• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagian besar tumbuhan sagu tumbuh pada lahan yang terendam, baik sifatnya temporer maupun permanen. Pada kondisi habitat yang senantiasa tergenang tersebut memungkinkan kondisi tanah menjadi masam dan miskin oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah di areal lahan sagu

Habitat TTG T2AT T2AP TPN M. rumphii M. microcanthum M. Sylvestre M. longispinum M. rumphii M. Sylvestre M. longispinum akanaro M. rumphii M. Sylvestre M. longispinum o M. rumphii M. Sylvestre M. longispinum M. sagu M. sagu

berkisar antara 4,47 – 5,63 (pH H2O), dan berpotensi turun lebih rendah lagi mencapai 4,13 (pH KCl). pH masam pada umumnya bersifat melisis suatu zat sehingga dapat merusak didinding sel. Tanah-tanah masam dengan kandungan logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan tumbuhan. Syekhfani (1997) mengemukakan logam memiliki kemampuan untuk melisis air sehingga pH tanah dapat semakin masam. Pada saat pH dalam kondisi masam Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat. Konsentrasi Fe dan Al yang tinggi dapat meracun perakaran, walaupun Fe merupakan unsur hara esensial, namun termasuk dalam kategori unsur hara mikro, sehingga kelebihannya tidak menguntungkan bagi perakaran.

Separoh atau sebagian besar habitat tumbuhan sagu adalah berupa rawa-rawa yaitu berupa tipe habitat tergenang, baik temporer atau permanen. Pada kondisi habitat seperti itu biasanya sistem perakaran sagu mengalami modifikasi bentuk untuk dapat beradaptasi dengan kondisi habitat tereduksi. Kondisi habitat tergenang atau berupa rawa-rawa, identik dengan kondisi tereduksi. Artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah karena oksigen atau udara terdesak oleh partikel air (H2O). Pada sisi yang lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan oksigen untuk proses respirasi akar.

Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka sistem perakaran tumbuhan sagu mengalami modifikasi bentuk dan arah. Biasanya pergerakan akar senantiasa tumbuh ke samping secara horizontal dan vertikal ke lapisan tanah bagian dalam. Namun ketika kondisi tanah tergenang air, maka terdapat sebagian arah pertumbuhan akar sagu berbalik ke atmosfer keluar menembus permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Disamping itu jumlah atau volume akar rambut meningkat sehingga luas permukaan kontak bertambah besar. Mekanisme adaptasi sistem perakaran sagu seperti inilah yang ditemukan terjadi untuk memenuhi penyerapan aksigen melalui perluasan kontak permukaan akar dengan udara luar, sehingga kebutuhan oksigen sagu dapat terpenuhi selama terjadi genangan (Gambar 24).

Gambar 24. Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang Modifikasi sistem perakaran ke arah permukaan air, atau melewati tinggi genangan ini, diduga agar supaya penyerapan oksigen oleh perakaran tumbuhan sagu dapat berlangsung dengan baik, yang dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan oksigen. Mekanisme pergerakan ini selanjutnya disebut sebagai

oxytropisme, yaitu pergerakan akar sagu menuju tempat yang cukup tersedia

oksigen. Menurut Levitt (1980) dikemukakan bahwa lahan yang tergenang dalam tempo cukup lama memunculkan cekaman. Kondisi cekaman tidak menguntungkan bagi banyak jenis tumbuhan. Beberapa tumbuhan dalam menghadapi kondisi cekaman, secara alamiah terjadi pembentukan organ dalam jumlah banyak seperti rhyzome dan memperbanyak jumlah akar. Mekanisme inilah yang terjadi pada tumbuhan sagu untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi tergenang. Daubenmire (1974) mengemukakan pula bahwa banyak tumbuhan untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lahan yang memiliki aerase jelek, terjadi melalui dua mekanisme adaptasi yaitu : 1) melalui adaptasi morfologi seperti membentuk sistem perakaran dangkal, membentuk jaringan aerase khusus atau organ aerase tertentu, misalnya membentuk sistem ruang udara interseluler yang menghubungkan stomata dengan sistem parakaran, yang disebut

pneumatophora, dan 2) melalui adaptasi fisiologi seperti pemenuhan kebutuhan

oksigen rendah dan kemampuan respirasi anaerobik secara spesifik.

4.2.7. Karakteristik habitat sagu di P. Seram a. Karakteristik iklim

Intensitas sinaran surya

Hasil penelitian intensitas sinaran surya dalam areal pertumbuhan sagu pada tiga wilayah sampel di P. Seram menunjukkan bahwa hanya sebagian dari intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke lantai rumpun sagu. Dari jumlah intensitas sinaran surya yang mencapai 2000 lux (lumen/m2) yang diukur pada ruang terbuka, hanya sekitar 29,69 % yang sampai ke bagian bawah rumpun tumbuhan sagu (Tabel 17). Jumlah intensitas sinaran surya yang sampai di bagian bawah rumpun sagu di antara rumpun mencapai 46,97 %, sedangkan intensitas yang sampai di bagian bawah dekat pohon hanya mencapai 12,40 %. Hal ini berarti bahwa lebih dari 50 % intensitas sinaran surya tidak dapat masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan tumbuhan sagu. Rata-rata jumlah intensitas sinaran surya yang terukur di dekat rumpun tumbuhan sagu sekitar 206,53 lux, di antara rumpun sagu yang satu dengan yang lain sekitar 781,48 lux. Sedangkan intensitas sinaran surya rata-rata yang terukur pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux (Lampiran 9).

Rendahnya intensitas sinaran surya yang masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan pohon tumbuhan sagu dikarenakan adanya hambatan dari tajuk. tajuk terbentuk dari tangkai dan anak-anak daun yang tumbuh merapat. Selain itu pada suatu rumpun terdiri dari beberapa individu. Individu dimaksud meliputi beberapa fase berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Walaupun tidak semua rumpun ditemukan stadia pertumbuhan yang lengkap, namun pada setiap rumpun bisa terdapat lebih dari 10 individu tumbuhan sagu. Setiap individu tumbuhan sagu dapat memiliki 8-14 tangkai daun dengan anak daun dapat mencapai 150 helai.

Tabel 17. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Wilayah Sampel

Lokasi Pengamatan

Rg Terbuka Bwh Tgkn Antara Tgkn Rataan

WS I Luhu-SBB lux (lumen/m2)

April 250,38 882,91 566,64 1779,56 Mei 233,10 803,45 518,28 1676,85 Juni 225,78 789,58 507,68 1641,30 Juli 204,06 793,24 498,65 1542,22 Rataan 228,33 817,30 522,81 1659,98 WS II Sawai-MT April 186,70 837,48 512,09 1872,89 Mei 206,91 825,95 516,43 1781,93 Juni 199,34 796,05 497,69 1788,26 Juli 181,24 796,23 488,74 1644,47 Rataan 193,55 813,93 503,74 1771,89 WS III Werinama-SBT April 252,68 960,28 606,48 2019,48 Mei 246,39 749,79 498,09 1852,71 Juni 182,48 762,36 472,42 1653,03 Juli 109,34 380,47 244,91 850,80 Rataan 197,72 713,22 455,47 1594,00 Rataan umum 177,07 670,56 423,82 1427,56 Persen thdp Rtb 12,40 % 46,97 % 29,69 %

Keterangan : WS = wilayah sampel, Bwh Tgkn = bawah tegakan, Rg = ruang, Rtb = ruang terbuka. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Temperatur udara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di bawah tegakan sagu P. Seram Maluku selama periode waktu pengamatan antara bulan April sampai Juli 2009 berkisar antara 22,69 – 23,940C (Tabel 18). Fakta ini menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan sagu relatif sempit, lebih rendah dibandingkan dengan temperatur di lahan terbuka. Berdasarkan data yang diperoleh dari dua stasiun Klimatologi yang terdapat di P. Seram menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata berkisar antara 24,67 – 26,31oC (Lampiran 10).

Tabel 18. Temperatur rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Wilayah Sampel Periode Pengamatan

April Mei Juni Juli

WS I Luhu-SBB Temperatur (0C) MG 1 23,13 23,38 23.47 23.94 MG 2 23,56 23,25 23.00 23.63 MG 3 23,50 23,38 23.25 22.94 MG 4 23,44 23,31 23.44 23.25 Rataan 23,41 23,33 23.29 23.44 WS II Sawai-MT MG 1 23,50 23,88 23.38 23.75 MG 2 23,56 23,44 23.13 23.38 MG 3 23,50 23,38 23.25 22.94 MG 4 23,38 23,31 23.44 23.25 Rataan 23,48 23,50 23.30 23.33 WS III Werinama-SBT MG 1 23,69 23,13 23.44 22.88 MG 2 23,75 23,63 23.25 23.00 MG 3 23,88 23,94 23.63 22.69 MG 4 23,50 23,38 23.00 23.13 Rataan 23,70 23,52 23.33 22.92

Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Kondisi temperatur ini hampir mirip dengan hasil penelitian Matanubun et

al. (2005) yang dilakukan pada areal pertumbuhan sagu di Papua. Rendahnya

temparatur udara di bawah tegakan tumbuhan sagu dikarenakan permukaan tanah sebagian besar (sekitar 55 %) turtutup oleh bagian tajuk tumbuhan sagu, sehingga menghambat penetrasi sinaran surya sebagai sumber energi yang dapat memberikan efek panas. Implikasi dari rendahnya sinaran surya yang masuk ini menyebabkan temperatur udara di sekitar tajuk atau rumpun tumbuhan sagu lebih rendah daripada di ruang terbuka.

Perubahan temperatur udara di sekitar tumbuhan sagu senantiasa mengikuti perubahan (fluktuasi) kondisi temperatur lokal (Gambar 25). Kondisi temperatur lokal rata-rata pada bulan April sekitar 26,15oC, kondisi ini selama tiga bulan ke depan bergerak turun sampai mencapai 24,67oC pada bulan Juli. Dengan kata lain temperatur lokal sejak bulan April sampai Juli terjadi penurunan temperatur udara sekitar 1,5oC. Pergerakan ini mengikuti pola perubahan musim.

dimana pada bulan April termasuk musim kemarau dan sampai dengan bulan Juli sudah masuk ke musim hujan.

Gambar 25. Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku

Curah hujan

Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang diperoleh dari dua stasiun klimatologi di P. Seram yaitu stasiun klimatologi Amahai Kabupaten Maluku Tengah dan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat, menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P. Seram Maluku banyak ditemukan tumbuh pada kondisi curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 139,37 mm pada bulan Januari sampai 491,36 mm pada bulan Juni, puncak hujan berlangsung pada bulan Juni-Juli (Gambar 26 dan Lampiran 11). Dengan kata lain bahwa curah hujan tahunan berkisar antara 1.672,44 mm – 5.896,32 mm/tahun (rata-rata 3.031,82 mm/tahun), termasuk dalam kategori tipe hujan A dan B berdasarkan klasifikasi menurut Schmidt and Ferguson (BPKH Wil. IX Ambon 2006). Jumlah curah hujan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi curah hujan

22 23 24 25 26 27 28

April Mei Juni Juli

T em p er at u r u d ar a ( o C ) Periode Waktu

Amahai Kairatu Rataan T-mikro

>2000 mm/tahun. Hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Provinsi Papua menunjukkan bahwa tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh pada tipe iklim B1 dengan curah hujan rata-rata 2.118 mm/tahun. Harsanto (1992) mengemukakan bahwa jumlah curah hujan sekitar 2.000 - 4.000 mm/tahun menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu.

Gambar 26. Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku

Kelembaban Udara

Hasil penelitian kelembaban udara relatif di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram Provinsi Maluku menunjukkan bahwa jumlah kandungan uap air yang terdapat di bawah tegakan tumbuhan sagu berkisar antara 87,97 – 91,60 %. (Tabel 19 dan Lampiran 12). Hal ini berarti bahwa kandungan uap air di bawah tegakan tumbuhan sagu cukup besar. Apabila dibandingkan kondisi kelembaban udara lokal, tampak bahwa perubahan kondisi kelembaban udara mikro sepadan dengan perubahan kondisi kelembaban lokal. Pada bulan April rata-rata kelembaban udara relatif lokal sebesar 86,70 %, kemudian cenderung bergerak naik sampai mencapai 91,13 % pada bulan Juli (Gambar 27). Perubahan kondisi

50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des

Ju m la h C u ra h H u ja n B u la n an ( m m ) Periode Waktu

Kairatu Amahai Rataan

kelembaban ini sejalan dengan peningkatan jumlah curah hujan yang mulai meningkat sejak bulan April, terus bergerak naik sampai mencapai puncaknya sekitar bulan Juni dan Juli, dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara 477,24 mm – 491,36 mm.

Tabel 19. Kelembaban udara relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku

Wilayah Sampel Periode Pengamatan

April Mei Juni Juli

WS I Luhu-SBB Kelembaban relatif (%)

MG 1 87,38 90,38 89,63 92,13 MG 2 88,63 89,50 90,00 90,13 MG 3 87,25 85,88 89,75 92,38 MG 4 86,00 89,25 90,00 89,25 Rataan 87,31 88,75 89,84 90,97 WS II Sawai-MT MG 1 88,88 91,25 92,50 91,38 MG 2 87,38 91,93 91,25 91,50 MG 3 89,63 90,75 89,25 91,75 MG 4 89,50 89,01 90,88 89,88 Rataan 88,84 90,73 90,97 91,13 WS III Werinama-SBT MG 1 88,50 90,75 91,75 93,00 MG 2 88,13 90,88 92,00 92,50 MG 3 87,25 90,50 92,00 92,63 MG 4 87,13 89,88 92,00 92,75 Rataan 87,75 90,50 91,94 92,72 Rataan umum 87,97 89,99 90,92 91,60

Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Di bawah tegakan rumpun sagu, tingkat kelembaban udara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif lokal, hal ini dimungkinkan karena pergerakan uap air di bawah tegakan rumpun sagu berjalan lambat karena ada hambatan tajuk rumpun sagu. sedangkan kelembaban udara relatif lokal berasal dari data stasiun klimatologi yang dipasang pada ruang terbuka, tanpa ada hambatan pohon, bangunan atau bentuk hambatan lainnya. Pada ruang terbuka pergerakan angin biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan di bawah tajuk vegetasi.

Tingkat kelembaban udara relatif di P. Seram ini, baik bagi pertumbuhan sagu karena berada pada rentang yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu menghendaki kondisi kelembaban >70 % untuk menjamin pertumbuhannya yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Papua, diperoleh kelembaban relatif sebesar 83,34 % pada areal pertumbuhan sagu dengan tipe iklim B1.

Gambar 27. Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku

b. Karakteritik tanah habitat sagu

Hasil analisis paramater tanah menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan dengan pH (H2O) berkisar antara 4,47 – 5,63 (Tabel 20). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan sagu mampu tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat pH aktual bersifat masam. Pada kondisi seperti ini tidak banyak tanaman pertanian mampu bertahan hidup atau dapat tumbuh dengan baik. Apabila kondisi tanahnya makin tereduksi, maka reaksi tanah akan semakin masam. Fakta ini ditunjukkan oleh pH (KCl) hasil

85 86 87 88 89 90 91 92

April Mei Juni Juli

Ke le m b a b a n Ud a ra ( %) Periode Waktu

Amahai Kairatu Rataan RH-mikro

analisis berkisar antara 4,13 – 4,67 (Lampiran 13). Berdasarkan kisaran nilai pH (KCl) ini, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu memiliki toleransi yang kuat terhadap kondisi kemasaman yang rendah. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan palem yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap kondisi kemasaman tanah yang dapat mencapai empat.

Kandungan bahan organik tanah pada berbagai tipe habitat di lahan sagu P. Seram mencapai 4,81 %, termasuk dalam kategori sedang-tinggi (berdasarkan kriteria PPT Bogor dalam Hardjowegeno 1992). Tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari satu persen merupakan tanah yang menyerupai kondisi tanah dalam kawasan hutan. Tanah-tanah hutan biasanya memiliki kandungan bahan organik lebih dari 3 %, hal ini dikarenakan di dalam kawasan hutan sumber bahan organik cukup banyak yang berasal dari seresah tumbuhan hutan. Pada lahan yang ditumbuhi sagu dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi, dimungkinkan karena lahan tumbuhan sagu pada umumnya terletak di dataran rendah, lembah-lembah bukit, di bagian kiri-kanan sungai, atau lahan datar sampai ke arah dekat pesisir pantai. Pada wilayah tersebut bahan organik bisa berasal dari daerah dataran tinggi yang terangkut air mengikuti run off kemudian mengendap atau terakumulasi pada lahan-lahan habitat tumbuhan sagu, atau dapat pula berasal dari vegetasi dalam habitat sagu, termasuk dari tumbuhan sagu itu sendiri.

Kandungan unsur hara nitrogen di habitat sagu rataan sebesar 0,19 %, nitrogen paling tinggi ditemukan pada tipe habitat T2AT mencapai 0,26 %. Rendahnya kandungan nitrogen tanah ini menunjukkan bahwa sumber nitrogen tanah terbatas. Nitrogen tanah biasanya berasal dari bahan organik yang mempunyai kandungan protein tinggi, fiksasi atau pengikatan Nitrogen bebas oleh mikroba tanah, air hujan, atau melalui pemupukan. Rendahnya kandungan Nitrogen tanah diduga dapat pula dikarenakan Nitrogen anorganik dalam bentuk ion terabsorpsi atau terserap oleh tumbuhan sagu termasuk vegetasi lainnya yang berada dalam habitat sagu.

Secara keseluruhan pada semua tipe habitat C/N ≤ 20. merupakan rasio yang termasuk dalam kategori rendah. Rasio C/N yang rendah merupakan

petunjuk yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengenai kecepatan proses perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi unsur hara yang terikat secara kimia dalam bentuk senyawa kompleks dalam tubuh organisme. Rasio C/N yang kurang atau sama dengan 20 %, merupakan petunjuk bahwa perombakan berlangsung cepat, dan sebaliknya apabila rasio C/N melebihi 20 %, kecepatan perombakan bahan organik akan berlangsung lambat. Jika perombakan berlangsung lambat, maka pelepasan (release) unsur hara terutama Nitrogen akan mengalami keterlambatan pula.

Pada umumnya Kapasistas Tukar Kation tanah > 14 cmol/kg, pada tipe habitat tergenang permanen dapat mencapai 26,69 cmol/kg. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan sagu cukup subur, artinya unsur hara yang berada di dalam tanah dalam kondisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tumbuhan. Kondisi KTK yang tinggi ini merupakan petunjuk pula bahwa tanah lahan sagu di P. Seram memiliki penyanggah (buffer) terhadap unsur hara. Tanah-tanah yang memiliki KTK tinggi terhindar dari pencucian unsur hara (leaching), sehingga unsur hara senantiasa tetap berada dalam jangkauan perakaran tumbuhan. Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah, karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid, maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air.

Kandungan kalium, kalsium, dan magnesium tanah rata-rata secara berurutan K 0,72 %, Ca 0,34 %, dan Mg 0,46 %, termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Ketiga unsur hara tersebut di dalam tanah merupakan kation basa, artinya dapat memberikan akses basa dalam meningkatkan pH tanah. Tingginya kation-kation basa ini dapat dikarenakan oleh pengaruh bahan induk tanah yang sebagian berasal dari bahan coral dan

limestone. Dalam kaitan dengan sifat kation basa tersebut, Syekhfani (1997)

mengemukakan bahwa di antara ion-ion basa K, Ca, dan Mg terdapat sifat antagonistik dalam hal serapan oleh tumbuhan. Bila salah satu unsur lebih

Tabel 20. Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Tipe Habitat Kedalaman (cm) pH (1:5) C-Org1) N-Total2) C/N Rasio KTK 3) P K Ca Mg Fe Al

H2O KCl % % - Cmol(+) /kg Total (NHO3 + HClO4) (%)

TTG 0-30 5,6 4,7 2,62 0,20 12,50 14,32 0,04 0,77 0,36 0,47 3,10 4.65 30-60 5,3 4,5 1,57 0,13 12,50 14,28 0,05 0,72 0,29 0,48 4,53 4.79 T2AT 0-30 4,9 4,3 6,46 0,26 21,72 25,03 0,10 0,73 0,37 0,51 3,31 5.36 30-60 4,5 4,1 3,12 0,14 18,45 21,49 0,06 0,87 0,33 0,58 4,45 6.11 T2AP 0-30 5,4 4,5 6,08 0,23 20,00 18,97 0,03 0,60 0,30 0,35 1,56 3.42 30-60 5,3 4,3 3,24 0,24 13,25 17,21 0,05 0,62 0,33 0,40 1,66 4.38 TPN 0-30 4,7 4,3 5,62 0,25 20,00 26,69 0,05 0,72 0,53 0,48 2,91 5.46 30-60 4,5 4,1 3,80 0,20 16,17 18,57 0,03 0,64 0,33 0,39 2,14 4.82 Rataan 0-30 5,1 4,4 4,81 0,23 17,89 20,88 0,05 0,72 0,38 0,46 2,82 4.85 30-60 4,8 4,3 2,73 0,16 15,06 17,77 0,04 0,73 0,30 0,47 3,33 5.14 Rataan Umum 5.0 4,3 3,77 0,19 16,47 19,32 0,05 0,72 0,34 0,46 3,08 4,99

Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen, C-org = Karbon organik, N = Nitrogen, KTK = Kapasistas Tukar Kation, P = Phosfor, K = Kalium, Ca = Kalsium, Mg = Magnesium, Fe = Ferrum, Al = Aluminium.

1)

Walkley & Black; 2)Kjeldahl; 3)NH4-Acetat 1N. pH7. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Kompetisi ini berkaitan dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar.

Bagi tumbuhan, kalium berperan dalam meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap penyakit tertentu di samping mendorong perkembangan akar. Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa kalium berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis dalam tumbuhan. proses metabolik dalam sel, mempertinggi daya tahan tumbuhan, dan penting dalam perkembangan perakaran. Sedangkan kalsium berperan dalam penyusunan dinding-dinding sel, pembelahan sel, dan pemanjangan sel (elongation). Sementara magnesium berperan dalam pembentukan klorofil, sistem enzim, dan pembentukan minyak pada tumbuhan. Hasil analisis sifat fisika tanah menunjukkan bahwa bulk density atau kepadatan tanah di lahan sagu P. Seram Maluku tidak terlalu tinggi atau termasuk dalam kategori sedang yakni berkisar antara 1,07 – 1,31 (Tabel 21 dan Lampiran 14).

Tabel 21. Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku Tipe Habitat Kedalaman (cm) BD Tekstur (Pipet) (%) Kelas Tekstur Pasir Debu Liat

TTG 0-30 1,31 22,67 39,00 38.33 Lempung liat 30-60 21,83 38,67 39.50 Lempung liat T2AT 0-30 1,24 23,33 41,00 35.67 Lempung berliat

30-60 17,17 46,00 36.83 Lempung liat T2AP 0-30 1,19 22,00 40,75 37.25 Lempung liat 30-60 25,50 34,50 40.00 Berliat halus TPN 0-30 1,07 18,00 40,00 42.00 Liat berdebu 30-60 10,17 41,17 48.67 Liat Berdebu Rataan 0-30 1,21 21,47 40,69 37.83 Lempung liat 30-60 18,29 40,89 40.82 Liat berdebu Rataan Umum 1.20 19,88 40,79 39,33 Lempung liat Keterangan : BD = bulk density, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar,

T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Tingkat bulk density yang sedang ini dapat dikarenakan oleh cukup tingginya kandungan bahan organik tanah di lahan sagu Pulau Seram Maluku. Kondisi ini memberi ruang yang baik untuk mendukung pertumbuhan perakaran tumbuhan sagu. Hasil analisis kelas tekstur tanah menunjukkan bahwa secara umum termasuk dalam kategori lempung liat, sebagian termasuk dalam kategori

liat berdebu. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pada semua tipe habitat tumbuhan sagu ditemukan adanya kandungan liat, artinya tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi lahan yang memiliki kandungan liat.

c. Kualitas air rawa habitat sagu

Hasil analisis parameter air menunjukkan bahwa pH air pada lahan sagu di P. Seram Maluku, baik pada tipe habitat tergenang tidak permanen ataupun tergenang permanen memiliki kisaran kemasaman yang sedang berkisar antara 6,23 – 6,58, dengan kondisi kesuburan air yang cukup baik yang ditunjukkan oleh kandungan nitrogen, kalium, kalsium, dan magnesium yang cukup tinggi (Tabel 22 dan Lampiran 15). Kadar salinitas air pada lahan sagu di P. Seram Maluku relatif rendah, walaupun pada tipe lahan tergenang tidak permanen air payau. Hal ini diduga disebakan karena dua sebab yaitu 1) adanya pengaruh air tawar yang berasal dari sungai yang terdapat disekitar lahan tempat tumbuh sagu atau air sungai yang berdekatan dengan lahan sagu. Pada umumnya tumbuhan sagu ditemukan tumbuh pada lahan yang berada disekitar sumber air, seperti misalnya dekat sungai, dan 2) tumbuhan sagu senantiasa berada di belakang vegetasi nipah kearah daratan dari bagian pesisir pantai. Vegetasi nipah diketahui memiliki kemampuan untuk memfilter atau menyaring kadar garam yang terkandung dalam air laut, sehingga air yang masuk sampai ke lahan sagu kandungan garamnya telah turun, atau dapat pula disebabkan karena tumbuhan sagu memiliki kemampuan untuk menyaring kadar garam sehingga salinitas air menjadi rendah yakni hanya mencapai 0,60 ppt.

Pada Tabel 22 tampak bahwa kandungan nitrogen mineral dalam air di lahan sagu P. Seram Maluku kebanyakan dalam bentuk Nitrat (NO3-) (rata-rata 5,65 mg/l) dibandingkan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+) (rata-rata 0,61 mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air berada dalam suasana teroksidasi, indikasi ini diperjelas dengan kondisi pH air yang mendekati netral. Hal ini berarti

Dokumen terkait