• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA

C. Mekanisme Kerja Senyawa Antimalaria

Beberapa mekanisme aksi antimalaria telah diusulkan. Dahulu postulat Schonhofer merupakan mekanisme aksi malaria yang telah diterima secara luas. Schonhofer mengatakan bahwa aktivitas antimalaria membutuhkan struktur kuinolin yang mudah dioksidasi menjadi bentuk kuinoid. Hipotesis ini sekarang tidak digunakan lagi sejalan dengan penelitian bahwa 5,6-kuinon ternyata tidak terbukti sebagai bentuk aktif antimalaria aminokuinolin (Korolkovas dan Burckhalter, 1976).

Antimalaria memiliki berbagai mekanisme aksi. Pada tingkat molekular, antimalaria beraksi dengan menghambat enzim yang terlibat dalam biosintesis prekursor asam deoksiribonuklease (ADN) atau membentuk kompleks molekular dengan ADN, sehingga memblok sintesis ADN dan asam ribonuklease (ARN) plasmodia dengan menghambat polimerasi ADN dan ARN (Korolkovas dan Burckhalter, 1976).

Turunan 9-aminoakridin, 4-aminokuinolin, dan kuinolinometanol menunjukkan efek schizontisid yang cepat dengan dua mekanisme. Mekanisme kerja ketiga turunan ini melibatkan lisosom (vakuola makanan) plasmodia yang terdapat dalam sel darah merah (Block, 2004). Bentuk aseksual plasmodia malaria dapat tumbuh dalam sel darah merah dengan mencerna hemoglobin dalam vakuola makanan yang bersuasana asam. Hemoglobin merupakan nukleoprotein bagi plasmodia. Proses pencernaan hemoglobin menghasilkan radikal bebas dan heme (ferriprotoporphyrin IX) sebagai produk yang sangat reaktif. Dalam proses nukleasi terjadi penambahan histidin dan mungkin beberapa lipid. Heme

kemudian berpolimerisasi menjadi pigmen malaria yang inaktif dan tidak larut. Pigmen ini dinamakan hemozoin. Turunan 9-aminoakridin, 4-aminokuinolin, dan kuinolinometanol merupakan schizontosida darah yang bertindak sebagai basa lemah yang terkonsentrasi dalam vakuola makanan plasmodia yang bersuasana asam (Tracy dan Webster, 2001). Senyawa-senyawa ini kemudian mengalami protonasi, meningkatkan pH intravakuolar, dan terjebak di dalam vakuola makanan karena pori-pori membran vakuola juga bermuatan positif. Kondisi ini mempertahankan keberadaan senyawa-senyawa turunan 9-aminoakridin, 4-aminokuinolin, dan kuinolinometanol dalam hemoglobin penderita (Block, 2004). Dengan keberadaan senyawa-senyawa tersebut dalam hemoglobin penderita, maka aktivitas peroksidatif heme akan terhambat dan polimerisasi nonenzimatik heme menjadi hemozoin terganggu (Tracy dan Webster, 2001). Heme yang masih reaktif akan merusak membran plasmodia dan/ atau sel darah merah secara oksidatif, sehingga membran mengalami lisis (Block, 2004).

Mekanisme kerja kedua dari senyawa turunan 9-aminoakridin, 4-aminokuinolin, dan kuinolinometanol melibatkan sistem cincin datar yang dimiliki oleh senyawa-senyawa tersebut. Cincin datar yang dimiliki oleh turunan 4-aminokuinolin dan kuinolinometanol adalah cincin kuinolin, sedangkan cincin datar yang dimiliki oleh turunan 9-aminoakridin adalah cincin akridin. Sistem cincin datar memungkinkan senyawa-senyawa tersebut dapat berinterkalasi di antara pasangan basa dobel heliks ADN. Perhitungan orbital molekul menunjukkan bahwa senyawa-senyawa tersebut, terutama dalam bentuk terprotonasi selama berada dalam vakuola makanan, memiliki nilai energi LUMO

(Lowest Unoccupied Molecular Orbital) rendah (antara 0 dan -0,5β), sedang pasangan basa guanin dan sitosin mempunyai nilai energi HOMO (Highest Occupied Molecular Orbital) tinggi (+0,487β). Kondisi ini memungkinkan terjadinya kompleks transfer muatan antara cincin datar senyawa-senyawa tersebut dengan pasangan basa guanin dan sitosin, sehingga terbentuk kompleks obat-ADN. Kompleks obat-ADN diperkuat dengan adanya ikatan rantai samping senyawa-senyawa tersebut dengan gugus fosfat pada salah satu helaian dobel heliks ADN. Rantai samping kuinolinometanol yang berikatan dengan gugus fosfat adalah cincin kuinuklidin, sedangkan rantai samping 9-aminoakridin dan 4-aminokuinolin yang berikatan dengan gugus fosfat adalah atom nitrogen terprotonasi. Selain ikatan rantai samping dengan gugus fosfat, kompleks obat-ADN juga diperkuat dengan adanya ikatan hidrogen dengan molekul basa purin yaitu adenin (DiPalma, 1990). Dengan terbentuknya kompleks obat-ADN, maka transkripsi dan translasi ADN menjadi ARN akan terhambat. Hal ini akan berpengaruh terhadap sintesis ADN dan ARN (DiPalma, 1990). Interkalasi dan ikatan ionik yang terjadi antara klorokuin (senyawa turunan 4-aminokuinolin) dengan ADN diperlihatkan pada gambar 13.

Turunan 8-aminokuinolin yaitu primakuin bekerja dengan mengganggu mitokondria plasmodia (Block, 2004). Primakuin mengganggu transpor elektron, sehingga menyebabkan perusakan oksidatif pada sistem enzim mitokondrial. Proses ini mengakibatkan mitokondria plasmodia menggembung dan mengalami vakuolisasi. Dalam hal ini mitokondria penderita tidak terganggu. Primakuin juga menyerang bentuk seksual plasmodia dan membuat bentuk seksual ini tidak

mengalami pematangan (DiPalma, 1990). Primakuin dapat diubah menjadi elektrofil yang bekerja sebagai mediator oksidasi-reduksi (Tracy dan Webster, 2001). Hal ini menyebabkan perusakan oksidatif pada elektron asam nukleat dalam gametosit. Dengan demikian primakuin dapat digunakan untuk mencegah penyebaran malaria (DiPalma, 1990). Selain bekerja dengan mengganggu transpor elektron, primakuin juga bekerja dengan berinterkalasi di antara pasangan basa ADN plasmodia, sama seperti turunan 9-aminoakridin, 4-aminokuinolin, dan kuinolinometanol (Korolkovas dan Burckhalter, 1976).

A = adenine T = thymine G = guanine C = cytosine P = phosphate R = deoxyribose

Gambar 9. Mekanisme aksi klorokuin pada tingkat molekular

(Korolkovas dan Burckhalter,1976) Turunan biguanida dan diaminopirimidin, mempunyai aktivitas antimalaria karena menghambat secara selektif enzim dihidrofolat reduktase yang mengkatalisis perubahan asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat pada

plasmodia. Penghambatan ini mempengaruhi biosintesis plasmodia terutama pembentukan basa purin, pirimidin, dan ADN. Meskipun turunan ini tidak bekerja secara selektif terhadap enzim plasmodia, tetapi dapat mengikat enzim dihidrofolat reduktase lebih kuat dibanding isoenzim pada penderita. Efek pemblokan ini tidak berbahaya bagi penderita karena asam folinat yang diperlukan dipasok dari luar melalui makanan (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Turunan sulfonamida dan sulfon dapat menghambat secara selektif enzim dihidropteroat sintetase, yang mengkatalisis kondensasi ester pirofosfat dari 2-amino-4-okso-6-hidroksimetildihidropteridin dengan asam p-aminobenzoat dengan asam dihidropteroat. Hambatan ini menyebabkan kematian plasmodia (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

D. Vinkadiformina

N H

N

O O

Gambar 10. Struktur senyawa vinkadiformina

Vinkadiformina adalah salah satu indol alkaloid yang terkandung dalam tanaman Aspidosperma pyrifolium dan A. megalocarpon yang merupakan tanaman tradisional Amerika dan digunakan sebagai antimalaria (Mustofa, 2001). Vinkadiformina bersifat hipotensif, kronotropik negatif, spasmolitik,

hipoglikemik, dan simpatolitik (Anonim, 1996). Kuehne dkk (1978) dalam jurnal mengenai studi biomimetik sintesis alkaloid memaparkan bahwa vinkadiformina dapat disintesis dari tetrahydro-β-carboline melalui secodine intermediate.

Penelitian terhadap senyawa indol alkaloid dari tanaman bergenus

Aspidosperma pernah dilakukan oleh Mitaine-Offer dkk (2002). Dalam penelitian tersebut Mitaine-Offer dkk mengkombinasikan senyawa indol alkaloid berkerangka dasar aspidospermane (dari A. pyrifolium dan A. Megalocarpon) dengan klorokuin, kemudian menguji aktivitas antimalarianya terhadap P. falciparum yang sensitif klorokuin dan P. falciparum yang resisten klorokuin. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat sinergisme dari kedua senyawa yang dikombinasikan, sehingga dihasilkan efek antimalaria yang merupakan kumulasi dari aktivitas antimalaria senyawa yang dikombinasi.

Pada tahun 2001, Mustofa telah berhasil mensintesis 16 senyawa turunan vinkadiformina. Mustofa kemudian menguji aktivitas biologis yang lain dari vinkadiformina, yaitu sebagai antimalaria. Senyawa-senyawa tersebut diuji aktivitas antimalarianya terhadap P. falciparum yang tergolong resisten terhadap klorokuin yaitu FcM29-Kamerun dan P. falciparum yang sensitif terhadap klorokuin yaitu sel Nigerian (Tahir dkk, 2005).

Enambelas senyawa turunan vinkadiformina hasil sintesis Mustofa beserta data aktivitas antimalaria (log 1/IC50) terhadap P. falciparum yang sensitif terhadap klorokuin yaitu sel Nigerian, digunakan oleh Tahir dkk (2005) dalam menentukan hubungan kuantitatif antara struktur dan aktivitasnya sebagai

antimalaria. Data struktur dan aktivitas senyawa turunan vinkadiformina hasil sintesis dan uji oleh Mustofa dapat dilihat pada tabel 1. Parameter teoretis berupa parameter elektronik dan sterik dari keenambelas struktur senyawa merupakan variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel tergantung yang berupa log 1/IC50. IC50 merupakan konsentrasi yang dapat menghambat pertumbuhan plasmodia malaria sebanyak 50%. Dengan menggunakan metode AM1, Tahir dkk (2005) menemukan 10 model persamaan matematis HKSA terpilih yang kemudian diolah secara statistik hingga ditemukan model persamaan terbaik yang dapat menggambarkan hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas senyawa turunan vinkadiformina sebagai antimalaria.

Model persamaan terbaik yang dihasilkan dari penelitian Tahir dkk menyatakan bahwa deskriptor-deskriptor yang mempengaruhi aktivitas antimalaria vinkadiformina dan turunannya adalah muatan bersih, momen dipol, ELUMO, EHOMO, polarisabilitas molekular, dan luas permukaan. Daerah sensitif yang diduga memberi sumbangan pengaruh terhadap kuantitas aktivitas antimalaria, berdasarkan penelitian Tahir dkk digambarkan di bawah ini.

Gambar 11. daerah sensitif senyawa vinkadiformina dan turunannya hasil penelitian Tahir dkk

N H

Dokumen terkait