• Tidak ada hasil yang ditemukan

Severely injuried patients

2.3 Mekanisme Koagulopati Pada Trauma

Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah. Banyak tes yang memberikan informasi tentang status koagulasi seperti jumlah trombosit, prothrombin time (PT), international normalized ratio (INR), activated partial thromboplastin time (aPTT), d-dimer,

12

dan kadar fibrinogen. Pada kondisi trauma, setiap pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya koagulopati membutuhkan waktu sedangkan perdarahan masih terus berlanjut. Ketika hasil laboratorium keluar, pasien mungkin sudah dalam keadaan hipotermia, asidosis dan koagulopati yang irreversibel. Dengan demikian diperlukan parameter tes yang cepat yang dapat memberikan point penting untuk penanganan pasien-pasien trauma yang memiliki resiko terjadinya koagulopati. (Thorsen dkk, 2011; Levy dkk, 2009)

Koagulopati yang terjadi setelah trauma merupakan gangguan sistem homeostasis yang disebabkan oleh banyak faktor. Disfungsi pembentukan fibrin, trombosit, endotel vaskular, inhibisi pembentukan clot dan proses fibrinolitik berperan dalam hal ini. Mekanisme ini tergantung dari beratnya trauma, derajat gangguan fisiologi sistemik dan efek dari terapi. Ada 6 faktor yang menyebabkan terjadinya koagulopati pada trauma yaitu : trauma jaringan, syok, hemodilusi, hipotermia, asidosis dan inflamasi. (John dkk, 2008; Virginia dkk, 2000)

13

Diagram diatas menunjukkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya koagulopati pada trauma. Trauma menyebabkan adanya perdarahan sehingga membutuhkan resusitasi. Resusitasi menyebabkan terjadinya hemodilusi dan hipotermia sehingga terjadi koagulopati dan kembali menyebabkan perdarahan. Syok yang terjadi akibat perdarahan menyebabkan terjadinya asidosis dan hipotermia yang merangsang koagulopati dan kembali lagi terjadi perdarahan dan hal ini dikenal dengan trias kematian pada trauma. Trauma dan syok berhubungan dengan konsumsi faktor-faktor koagulasi dan fibrinolisis yang berakhir pada koagulopati. Selain itu, koagulopati yang terjadi pada trauma dipengaruhi oleh inflamasi, genetik, medikasi dan penyakit lain. (John dkk, 2008; Esmon, 2005)

2.3.1 Trauma jaringan

Trauma jaringan berhubungan dengan besarnya jaringan yang mengalami kerusakan. Trauma tumpul atau crush injury memiliki kerusakan jaringan yang lebih besar daripada trauma penetrasi akibat benda tajam. Secara klinis beratnya trauma berhubungan erat dengan derajat koagulopati. Seperti pada crush injury, kerusakan jaringan yang hebat akan menyebabkan pemakaian faktor-faktor pembekuan yang berlebihan sehingga terjadi koagulopati komsumtif. (John dkk, 2008)

Kerusakan jaringan memicu koagulasi karena kerusakan endotel pada daerah trauma menyebabkan paparan dari kolagen tipe III subendotelial dan faktor jaringan yang mengikat faktor von Willebrand, trombosit dan aktivasi faktor VII untuk memulai pembentukan clot dan pelepasan trombin. Endotel yang

14

mengalami kerusakan juga melepaskan tisssue plasminogen activator (tPA) akibat adanya trombin dan iskemia sehingga akan terjadi proses fibrinolisis yang berlebihan. (John dkk, 2008; Anusha dkk, 2014)

Trauma pada organ spesifik berhubungan dengan terjadinya koagulopati. Cedera kepala berat sering berhubungan dengan peningkatan kejadian perdarahan. Pada cedera kepala terjadi pelepasan tromboplastin dan fosfolipid ke dalam sirkulasi yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan hiperfibrinolisis. Fraktur tulang panjang juga berhubungan dengan terjadinya koagulopati pada multi trauma. Koagulopati yang terjadi pada fraktur tulang panjang multipel disebabkan karena kerusakan jaringan, syok dan inflamasi. (John dkk, 2008)

2.3.2 Syok

Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan antara jalur prokoagulan dan antikoagulan dalam membentuk clot pada daerah trauma. Sekresi trombomodulin oleh kompleks endotelial dengan trombin dan aktivasi protein C menyebabkan inaktivasi faktor V dan faktor VIII yang irreversibel sehingga terjadi gangguan proses prokoagulan. Pada kondisi hipoperfusi terjadi pelepasan trombomodulin yang berlebihan oleh endotel, mengikat trombin sehingga terjadi aktivasi protein C yang merangsang jalur fibrinolitik. Brohi dan kawan-kawan meneliti bahwa pada 208 pasien trauma yang mengalami hipoperfusi (Base defisit >6) berhubungan dengan koagulopati dinilai dari activated partial trombin time (aPTT) atau protrombin time (PT) dengan nilai > 1,5 kali dari normal. Pada pasien ini didapatkan peningkatan kadar kompleks trombomodulin-trombin dan

15

penurunan kadar protein C yang menandakan adanya pemakaian protein C yang berlebihan. Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen normal karena trombin tidak bekerja untuk memecah fibronogen dan pemakaian trombosit. Brohi dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa aktivitas protein C merupakan penyebab terjadinya koagulopati akut pada trauma. (Anusha dkk, 2014; Tieu dkk, 2007; Binette dkk, 2007)

Gambar 2.5 Gambaran kompleks trombin-trombomodulin dan protein C pada koagulopati. (Thorsen dkk, 2011)

Pada syok terjadi hipoperfusi jaringan yang merangsang terjadinya asidosis. Asidosis yang terjadi menyebabkan gangguan yang signifikan pada aktifitas protease pada proses koagulasi. Dengan demikian, syok dan hipoperfusi jaringan berperan sebagai proses antikoagulan dan hiperfibrinolisis. (John dkk, 2008)

2.3.3 Hemodilusi

Hemodilusi faktor-faktor koagulasi merupakan penyebab mayor terjadinya koagulopati pada trauma secara klinis. Pada syok terjadi penurunan tekanan

16

hidrostatik intravaskular yang merangsang penarikan cairan dari intraseluler ke interstisial kemudian ke dalam plasma. Selain itu, pemberian resusitasi cairan yang agresif juga menyebabkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan. Pemberian transfusi packed red blood cell (PRC) juga menyebabkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktifitas koagulasi. Secara matematika, pemberian transfusi darah harus berdasarkan rasio 1:1:1 (PRC : plasma : trombosit) untuk mencegah terjadinya dilusi. Idealnya transfusi yang diberikan adalah whole blood (WB). Banyak penelitian yang mendukung konsep ini. (John dkk, 2008; Brummel dkk, 2006; Coats dkk, 2006; Hirshberg dkk, 2003)

2.3.4 Hipotermia

Hipotermia merupakan kondisi dimana suhu tubuh inti dibawah 350C. Kondisi hipotermi menyebabkan gangguan pada proses fisiologi normal. Helm dan kawan-kawan mengatakan bahwa satu dari dua pasien trauma yang datang di ruang gawat darurat dalam keadaan hipotermia dan luna dan kawan-kawan menyatakan 2/3 pasien yang datang di trauma centre dalam keadaan terintubasi memiliki suhu tubuh inti kurang dari 360C. (Eldar dan Charles, 2004)

Hipotermia berhubungan erat dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma. Perdarahan dengan hipoperfusi jaringan menyebabkan gangguan proses termoregulasi dan berakhir dengan hipotermia. Beberapa faktor lain yang menyebabkan hipotermia pada trauma adalah paparan lingkungan, dan pemberian cairan intravena yang masif dan dingin. Pasien yang menjalani operasi emergensi memiliki resiko terjadi hipotermia akibat

17

penggunaan cairan yang tidak dihangatkan dan ruang operasi yang dingin. (Eldar dan Charles,2004)

Pada trauma, berat ringannya hipotermia dibagi menjadi tiga, yaitu: hipotermia ringan (34-360C), hipotermia sedang (32-340C), dan hipotermia berat (< 320C). Efek samping terjadinya hipotermia adalah gangguan fungsi kardiovaskular, gangguan koagulasi, penurunan metabolisme obat, dan meningkatnya resiko infeksi. Penurunan suhu tubuh inti selama evaluasi awal dan resusitasi sering terjadi dan dapat menyebabkan akhir yang buruk pada pasien trauma. (Eldar dan Charles, 2004)

Hipotermia menghambat aktivitas protease dan fungsi trombosit. Aktivitas kompleks faktor jaringan menurun seiring dengan penurunan suhu tubuh dan 50% tidak bekerja pada suhu 28oC. Fungsi platelet lebih sensitif terhadap hipotermia dimana aktivitasnya menurun pada kondisi ini. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan efek traksi faktor von Willebrand pada glikoprotein IX. Aktivitas enzim menurun sebesar 10% setiap penurunan 1oC suhu tubuh. (Brandon dkk, 2007; John dkk, 2008)

2.3.5 Asidosis

Asidosis sering terjadi pada trauma, terutama disebabkan oleh syok dan kelebihan ion klorida pada resusitasi. Asidosis metabolik adalah yang paling sering terjadi pada kasus trauma. efek utama asidosis pada kagulopati adalah hambatan terhadap aktivitas kompleks enzim pada permukaan lipid. Meng dan kawan-kawan menyebutkan bahwa ketika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0, aktivitas

18

faktor VIIa menurun sebesar 90%, faktor jaringan sebesar 55% dan rata-rata aktivasi protrombin oleh faktor Xa/faktor Va kompleks menurun sebesar 70%. Aktivitas faktor koagulasi kompleks ini tergantung dari interaksinya dengan fosfolipid pada permukaan trombosit yang teraktivasi dan sangat dipengaruhi oleh ion hidrogen. Penelitian pada babi yang dilakukan Martini dan kawan-kawan menunjukkan asidosis (pH 7,1) dan jika dikombinasi dengan hipotermia (T 32oC) meningkatkan waktu perdarahan lien sebesar 41-72%. Trombin memegang peranan penting terhadap aktivasi kofaktor, trombosit dan enzim serta memecah fibrinogen menjadi fibrin. Asidosis merupakan penghambat yang sangat besar pada aktivitas trombin apalagi jika dikombinasi dengan hipotermia. (Brandon dkk, 2007)

Gambar 2.6 Penurunan aktifitas kompleks faktor koagulasi plasma jika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0. (Maegele dkk, 2012)

Ketika hantaran nutrisi dan oksigen tidak adekuat pada syok, terjadi pergeseran metabolisme sel menjadi metabolisme anaerobik. Ketika metabolisme menjadi anaerob, pembentukan energi menyebabkan akumulasi ion hidrogen,

19

laktat dan piruvat yang bersifat toksik pada fisiologi normal. Asidosis merupakan hasil akhir dari kompensasi fisiologis pada syok. (Kenneth, 2003)

Resusitasi dengan cairan kristaloid juga dapat menyebabkan perburukan dari asidosis. Berdasarkan model Stewart keseimbangan asam basa, pemberian cairan sodium klorida menyebabkan penurunan pada strong ion difference (SID) (Na + K + Ca + Mg - Cl - Laktat). Penurunan SID menyebabkan disosiasi ion H+ dari H2O untuk menjaga kestabilan sehingga terjadi penurunan pH. (Brandon dkk, 2007)

2.3.6 Inflamasi

Trauma merupakan pemicu inflamasi yang besar dan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) sering terjadi setelah trauma. Aktivasi endotel dan kerusakan jaringan memicu respon sistem imun baik seluler maupun humoral. Terdapat hubungan yang signifikan antara koagulopati dengan sistem inflamasi. Aktivasi protease koagulasi dapat merangsang inflamasi melalui reseptor transmembran pada permukaan sel dan mengaktifkan sistem komplemen. Degranulasi trombosit juga melepaskan mediator lisofosfolipid yang potensial pada respon imun melalui aktivasi neutrofil dan endotelium. Efek balik dari inflamasi ini terjadi kekacauan pada sistem koagulasi. Monosit mengekspresikan faktor jaringan dan dapat melekat pada trombosit di sekitar jaringan yang mengalami trauma. Aktivasi endotelial pada jalur trombomodulin-protein C dan pengikatan kompetisi protein pengikat C4b pada protein S bisa mengganggu jalur antikoagulan. (John dkk, 2008; Rigby dkk, 2004; Esmon, 2002)

Dokumen terkait