BAB III PELAKSANAAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA
3.1. Mekanisme Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi tidak bisa mengandalkan sarana penal karena hukum pidana dalam bekerjanya memiliki kelemahan atau keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan telah banyak diungkapkan oleh para Sarjana, antara lain :
1. Muladi menyatakan, bahwa penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan yang efektif, mengingat kemungkinan besar adanya pelaku tindak pidana yang berada diluar kerangka proses peradilan pidana.
2. Donald R. Taft dan Ralph W. England, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan, dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok Interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan
45
sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia.28
3. Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Laica Marzuki, mengingatkan dalam produk perundang-undangan (Gezets) kadangkala terdapat Gezetzliches Unrecht, yakni ketidakadilan dalam undang-undang, sementara tidak sedikit ditemukan Iibergezetliches Recht (Keadilan diluar Undang-Undang) dalam kehidupan masyarakat.29
4. Anwarul Yaqin, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, mengemukakan bahwa “……….Law plays only one regulates and influences human behavior. Moral and social rules, though less explicit and less formal in their nature and content, also play a significant role in society‟s effort to control behavior.”30
Kelemahan atau keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Efektifitas tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarana, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya, serta budaya hukum masyarakatnya.
Kelemahan infrastruktur ini akan mengurangi pemasukan (input) dalam sistem peradilan pidana, atau dalam perkataan lain pelaku tindak pidana yang dapat dideteksi akan berkurang, sehingga hidden criminal semakin meningkat. Kemampuan untuk melakukan penyidikan serta pembuktian baik di dalam
28 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 42.
29Laica Marzuki, Op.,Cit, hal. 154-155.
30Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998, hal. 60.
pemeriksaan pendahuluan maupun di dalam sidang pengadilan merupakan variabel yang sangat mempengaruhi efektifitas system peradilan pidana.31
2. Sebab-sebab korupsi yang demikian kompleks, tidak dapat diatasi dengan hukum pidana berada diluar jangkauan hukum pidana;
3. Hukum pidana adalah bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah korupsi yang sangat kompleks (terkait dengan masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan atau tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah struktur atau sistem ekonomi, masalah sistem budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi atau prosedur administrasi dibidang keuangan dan pelayanan publik);
4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “Kurieren am Symptom”, oleh Karena itu hukum pidana hanya merupakan “Pengobatan Simptomatik” dan bukan
“Pengobatan Kausatif”;
5. Sanksi hukum pidana merupakan “Remedium” yang mengandung sifat kontradiktif atau paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
6. Sistem pemidanaan bersifat Fragmentair dan individual, tidak bersifat struktural atau fungsional, berfungsinya hukum pidana
31Muladi, Op., Cit, hal. 26.
memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.32
Mengingat keterbatasan atau kelemahan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana korupsi tersebut, kebijakan penanggulangan korupsi tidak bisa hanya menggunakan sarana penal tetapi juga menggunakan sarana nonpenal. Namun, apabila dilihat dari prespektif politik kriminal secara makro maka kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau non penal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini, disebabkan karena non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan.
Sasaran utama non penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.33
Eksistensi non penal policy sebagai kebijakan paling strategis dalam politik kriminal tersebut pernah ditegaskan dalam berbagai Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”. Dalam Kongres PBB Ke-6 diCaracas, Venezuela pada Tahun 1980 antara lain dinyatakan, bahwa “Crime Prevention Strategies Should be Based Upon the Elimination of Causesand Condition Giving Rise to Crime”.34 Selanjutnya dalam Kongres PBB Ke-7 di Milan, Italia pada Tahun 1985 juga dinyatakan bahwa “The Basic Crime Prevention Must Seek to Eliminate the Causes and Conditions that Favour Crime”.35 Kongres PBB Ke-8 di Havana, Kuba pada
32 Barda Nawawi Arief, “Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Korupsi”, disajikan dalam seminar CLC & FH UNSWAGATI, Cirebon, 30 Juli 2005.
33 Supriyadi, “Beberapa Catatan Terhadap Kebijakan Legislatif dalam Perundang-undangan Pidana di Indonesia”, Mimbar Hukum No. 40/11/2002, Majalah Berkala fakultas Hukum UGM, hal. 20.
34“Crime Trends and crime Prevention Strategies”, Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 1985, hal. 5.
35“Crime PPrevention in the Context of Development”, Seventh United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 1985, hal. 94.
Tahun 1990 menyatakan bahwa “The Social Aspects of Development are in Important Factor in the Achievement of the Objective of the Strategy for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Developtment and Should be Given Higher Priority”.36 Dalam Kongres PBB Ke-10 di Wina, Austria pada Tahun 2000 juga ditegaskan kembali bahwa “Comprehensive Crime Prevention Strategies at the International, National, and local Level Must Address the Root Causes and Risk Factors Related to Crime and Victimization Through Social, Economic, Health, Educational, and Justice Policies”.37
Masyarakat akan menanggapi gejala korupsi yang muncul melalui usaha-usaha rasional yang terorganisir, atau yang disebut dengan kebijakan criminal (Politik Kriminal).
Marc Angel, sebagaimana dikutip Soeparman, mengemukakan bahwa politik kriminal dapat diberikan pengertian sebagai “The Rational Organization of the Control of the Crime by Society”.38 Definisi tersebut tidak berbeda dengan pendapat G. Peter Hoefnagels yang menyatakan bahwa “Criminal Policy is the Rational Organization of the Social Reaction to Crime”.39 Hal ini, berarti dapat dirumuskan bahwa politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan kejahatan.
Dari pendapat Hoefnagels, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
1) Criminal Law Aplication;
2) Prevention Without Punishment :dan
36“Social Aspect of Crime Prevention of Criminal Justice in the Context of Development”, Eight united Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 1990, hal. 2.
37“Crime and Justice : Meeting the Challenges of the Twenty First Century”, Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 2000, hal. 59.
38 Soeparman, “Korupsi di Bidang Perpajakan”, Mimbar Hukum No. 40/11/2002, majalah berkala Fakultas Hukum UGM.
39 Loc., Cit.
3) Influencing views of Society on crime and Punishment /mass media.40
Dari pendapat Hoefnagels tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1) Pada butir 1 merupakan kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy); dan
2) Pada butir 2 dan 3 kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (Non Penal Policy).
Kedua sarana (Penal dan Nonpenal) tersebut diatas merupakan suatu pasangan yang satu sama yang lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat.41
Upaya penanggulangan korupsi tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan perangkat hukum.42 Keterbatasan hukum pidana itu, menurut Barda Nawawi Arief, disebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana.
2. Hukum pidana merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosiopsikologis, sosiopolitik, sosioekonomi, sosiokultural, dan sebagainya).
40Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 48.
41 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 7.
42Barda Nawawi Arief, Op., Cit, hal. 86-87.
3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “Kurieren am Symptom” (penaggulangan atau pengobatan gejala), oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “Pengobatan Simptomatik” dan bukan “Pengobatan Kausatif”.
4. Sanksi hukum pidana hanya merupakan “Remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif.
5. Sistem pemidanaan hanya bersifat fragmentair dan individual tidak bersifat struktural.
6. Keterbatasan sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.
7. Bekerjanya atau berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.43
Eksisitensi asas beban pembuktian terbalik sesuai dengan norma hukum pidana ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional. Akan tetapi, harus pada dua unsur rumusan sebagai bagian dari inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediming) dan yang melakukan pekerjaan ini yang bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn-plicht).
Ketiga, dikaji dari prespektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 (KAK 2003) yang diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Hakikatnya, dari dimensi ini beban pembuktian terbalik tersebut dilarang
43Ibid., hal. 87-88.
terhadap kesalahan orang dengan asas praduga tidak bersalah (Persumption of Innoncence) sehingga, menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah (Persumption of Guilt) atau asas korupsi (Persumption of Corruption). Selain itu, bersimpangan dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ ICC), Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, Prinsip Pasal 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43 Tahun 1739 Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas.
Dari uraian penjelasan tersebut, maka sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia “ada” ditataran kebijakan legislasi akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa” dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya..
Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang disatu pihak akan merugikan terdakwa, Karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi dilain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi orang banyak, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan Negara. Meskipun demikian, untuk dapat menerapkan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji terlebih dahulu. Karena menurut, Topo Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu :
1) Bagaimana pihak Kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya;
2) Apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (Pembuktian Terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya;
3) Jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru, dimana semua orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi.
Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, sehingga, banyak sekali orang yang akan
“diperas” karena dituduh melakukan tindak pidana korupsi.
Todung Mulya Lubis mengemukakan bahwa penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi, sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-kekayaan “haram” yang ia peroleh dari hasil kejahatan tindak pidana. Seharusnya, disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga Si pejabat bisa diinvestigasi.
Mengenai hukum tidak sebatas UU saja karena UU hanya merupakan salah satu unsur dari keseluruhan sistem hukum. Oleh karena itu, diluar paham Positivisme Hukum, terdapat paham hukum lain berperan penting sebagai sumber hukum formal dalam praktik pembangunan hukum, saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Menurut pandangan penganut hukum alam (Natural Law), isi hukum adalah moral. Hukum tidak semata-mata
merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum, tetapi juga berisi nilai-nilai. Hukum adalah indikasi mengenai perbuatan apa saja yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Di sisi lain, bagi penganut paham sosiological jurisprudensi, hukum dikontruksi dari kebutuhan, keinginan, tuntutan, dan harapan masyarakat. Jadi, yang didahulukan kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat sehingga hukum akan jadi hidup.
Dalam kaitan ini, penerapan pembuktian terbalik dalam sistem perundang-undangan di Indonesia tidak dapat serta-merta justifikasi sebagai bentuk intervensi hukum terhadap hak dasar individu atau bentuk pelanggaran terhadap International Covenant on Civil and Political Right, apalagi dikaitan dengan prinsip Presumption of Innoncence. Tujuan penerapan pembuktian terbalik bukan untuk mengurangi isi dan ketentuan perundang-undangan yang menguasainya, tetapi ia ada dan berdiri di atas kepentingan negara dan hukum yang bertindak atas kepentingan dan harapan bangsa, menuntut pertaggungjawaban dari aparatur atas kewenangan yang ada padanya, membuktikan bahwa ia telah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Jadi, yang dibuktikan secara terbalik bukan apa yang didakwakan, tetapi kewenangan yang melekat padanya, bersumber dari negara serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Untuk itu, hak dasar seseorang yang dijamin pelaksanaannya dalam asas Non Self Incrimination tidak dapat ditafsirkan secara sepihak, tetapi juga harus dilihat dari sudut lebih luas. Dalam konteks tertentu atau secara kauistis dilihat kewenangan yang melekat pada individu bersangkutan, hak dan
kewajibannya. Sebagai pelaksana kepentingan bangsa dan negara, ia berkewajiban menjamin kewenangan yang ada padanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan asas Non Self Incrimination dalam pengertian terbatas juga mengandung hak dan kewajiban hukum didalamnya, sesuai fungsi hukum yang memberikan pembatasan.44
Tugas penyidik dan penuntut umum adalah untuk membuktikan harta dari hasil kejahatan tindak pidana korupsi. Namun, dalam perkembangannya penyidik dan penuntut umum mengalami kesulitan untuk membuktikan hal tersebut. Sehingga, merupakan hal yang penting untuk menerapkan pembuktian terbalik, supaya kesulitan penyidik dan penuntut umum dapat teratasi. Selain itu, penuntut umum tidak perlu lagi mencari bukti tentang harta kekayaan karena dibebankan kepada terdakwa. Dalam hukum perdata pengakuan kepemilikan yang sah harus dibuktikan oleh pemilik.
Dalam penerapannya arah pembuktian lebih bersifat keperdataan tentang pengakuan kepemilikan hak yang sah dari pada tindak pidana korupsinya. Selain itu, harus ada hubungan sebab atau asal usul kejahatan Karena tidak menutup kemungkinan tidak ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan. Bisa saja terdapat perbuatan korupsi tetapi yang dibuktikan itu hasil dari tindak pidana narkoba.
Dimensi beban pembuktian hendaknya dilakukan secara hati-hati dan lebih selektif karena sangat rawan terhadap pelanggaran HAM dan dilakukan dalam rangka Proceeding (dalam kedudukan sebagai terdakwa), hanya karena tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya. Dengan demikian,
44 http//www.antikorupsi.org/id/content/urgensi-pembuktian-terbalik, diakses Tanggal 1 Januari 2014, jam : 07:33 wib.
sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah (Presumption Guilt) dalam hal Presumption of Corruption, tetapi beban pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka Proceeding kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan undang-undang.
Jan Mannopo (Hakim pengadilan Negeri Makassar), mengemukakan bahwa kelebihan pembuktian terbalik hanya terletak pada kemampuan terdakwa untuk membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya bukan merupakan hasil dari tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan selama penuntut umum dapat membuktikan maka harta yang dimilikinya dapat disita untuk negara.
3.2. Mekanisme Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Korupsi Di Indonesia
Delik korupsi adalah sebagaimana juga delik pidana pada umumnya dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara, yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak perkara-perkara atau delik korupsi lolos dari “jaringan” pembuktian sistem KUHAP. Karena itu, pembuktian undang-undang mencoba menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik, sebagaimana diterapkan sistem beracara pidana di Malaysia.
Upaya pembentuk undang-undang tersebut tidak tanggung-tanggung, karena baik dalam delik korupsi diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu adalah penerapan hukum pembuktian dilakukan dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, dan yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang (Negatief Wettelijk Overtuiging).
Jadi, tidak menerapkan sistem pembuktian terbalik murni (Zuivere Omskeering Bewijstaat), tetapi pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.
Dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian “Pembuktian Terbalik yang terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Kata-kata “Bersifat Terbatas” didalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Hal itu, tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi. Sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Kata-kata “Berimbang” mungkin lebih tepat “Sebanding”. Digambarkan sebagai penghasilan terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai Income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai Output. Antara Income atau Input yang tidak seimbang dengan Output, atau dengan kata lain Input lebih kecil dari Output. Dengan demikian, diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai Output tersebut (misalnya berwujud rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan mata uang asing, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tindak pidana korupsi yang didakwakan.
Penerapan pembuktian terbalik menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undanng Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Pasal 12B, 12C, 37A, dan 37B.
Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa : (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dimana yang dimaksud dengan “Gratifikasi” dalam ayat tersebut adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (Discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun yang diterima diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pada Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa :
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomomr 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini, sehingga penuntut umum berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pada Pasal 38A UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa :
“Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan”.
Pada Pasal 38B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak