ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
SKRIPSI
DI SUSUN OLEH : ELSA TRI YUANA
10120062
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2014
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH : ELSA TRI YUANA
NPM :10120062
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2014
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
NAMA : ELSA TRI YUANA NPM : 10120062
JURUSAN : ILMU HUKUM FAKULTAS : HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH : DOSEN PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS.
Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu HukumFakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, Agustus 2014
Tim Penguji Skripsi :
Ketua : Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H ( ) (Dekan)
Sekretaris : Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H ( ) (Pembimbing)
Anggota : 1. Dr. Wahyu Kurniawan, S.H., LL.M ( ) (Dosen Penguji I)
2. Arief Syahrul Alam, S.H., M.Hum ( )
(Dosen Penguji II)
GUNAKANLAH WAKTU LUANGKU
SEBELUM DATANGNYA WAKTU SEMPITMU,
KARENA PADA HAKEKATNYA MANUSIA
ITU BERADA DALAM KERUGIAN
MOTTO
CARILAH ILMU SETINGGI LANGIT
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH S.W.T, karena berkat limpahan rahmat, taufik, hidayah-NYA. Sehingga, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA” sebagai syarat untuk memenuhi Tugas Akhir Sarjana Strata-1 diFakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Penulisan skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya pihak- pihak terkait yang memberikan motivasi baik itu moriil maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua Orang Tua Penulis Abah Budi dan Mama tercinta Umi Indah yang selalu memberikan semangat dan Do‟a tulus di dalam ibadahnya kepada penulis.
2. Mertua Penulis Meymunah yang selalu memberikan semangat penuh dan Do‟a Kepada penulis.
3. Bapak Budi Endarto, S.H., M.Hum, Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
4. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum, Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
5. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
i
6. Bapak Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H, Selaku Kepala Program Study Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi Penulis.
7. Bapak/Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya.
8. Kakak Irma Yuanita dan Sari Nusa N. Selalu memotivasi Penulis.
9. Sobat-sobat kampus Beny Sirait, Riyan Syukur, Sukmawati, Dian, Seftian, dan Yudi yang selalu memberikan perhatian lebih dan semangat kepada penulis.
10. Kakak-kakak kelas mas Asisman, Bang I Komang Satria, dan Yuda banyak memberikan Pengalamannya kepada Penulis.
11. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini tidak dapat penulis sebutkan secara rinci, karena keterbatasan pikiran dan waktu penulis.
Semoga amal ibadah dan amal perbuatan yang diberikan kepada penulis. Senantiasa mendapatkan pahala dan berkah dari ALLAH SWT.
ii
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi ujian Tugas Akhir. Jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik, masukan yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan skripsi. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai lebih dan manfaat yang besar bagi semua pihak untuk menambah wawasan dan pengetahuan di dunia pendidikan di Indonesia yang akan datang.
Surabaya, Agustus 2014 Terima kasih
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Penjelasan Judul ... 5
1.4. Alasan Pemilihan Judul ... 6
1.5. Tujuan Penelitian ... 7
1.6. Manfaat Penelitian ... 7
1.7. Metode Penelitian ... 9
1.8. Sistematika Pertanggungjawaban ... 13
BAB II PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA ... 14
2.1. Pengaturan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan KUHAP ... 14
2.2. Pengaturan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Korupsi ... 33
BAB III PELAKSANAAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 45
3.1. Mekanisme Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan KUHAP Di Indonesia ... 45
iv
3.2. Mekanisme Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Korupsi Di Indonesia ... 57
BAB IV PENUTUP ... 63
4.1. Kesimpulan ... 63
4.2. Saran ... 64
DAFTAR BACAAN ... 65
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kata „Korupsi‟ berasal dari kata asing, yaitu „Corruptus‟. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruption itu berasal pula dari kata asal rumpere itu berasal pula dari kata Corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, Corrupt; Perancis Corruption; dan Belanda yaitu Corruptive (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
1Korupsi bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan lama yang sangat pelik. Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, korupsi juga terjadi di negara-negara lain.
2Bahkan sekarang ini korupsi sudah dianggap sebagai masalah Internasional.
3Tindak Pidana Korupsi bisa dikatakan (Extra Ordenary Crime) pemberantasannya selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana lainnya.
1
Hamzah, 2007, hal. 7.
2
W. Tangun Susila dan I.B. Surya Dharma Jaya, “Koordinasi Penegakan Hukum dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi”, (Makalah disampaikan pada Seminar tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap Sistem hukum Nasional, Bali, 14-15 Juni 2006), hal. 2.
3
Dalam Konvensi PBB Anti Korupsi Resolusi PBB Nomor 58/4 Tanggal 31 Oktober 2003, (United Nations Convention Against Corruption) telah terjadi perubahan paradigma yang signifikan dalam strategi pemberatasan pemberantasan korupsi. Salah satunya yaitu korupsi dalam era globalisasi bukan lagi permasalah Nasional akan tetapi merupakan Internasional. Lihat Romli Atmasasmita, “Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia”, (Makalah disampaikan pada forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intensifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 8 Nopember 2006), hal. 2.
1
Menurut Romli Atmasasmita, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordenary Crime) karena korupsi merupakan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang meliputi hak sosial dan hak ekonomi. Senada dengan Romli muladi menyatakan bahwa korupsi juga merupakan kejahatan luar biasa. Hal ini disebabkan sifat korupsi yang sudah sistematik, endemik, berakar (ingrained) dan flagrant yang mengakibatkan kerugian finansial dan mental.
4Korupsi di Indonesia seakan telah mengakar dan membudaya. Praktek korupsi dilakukan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama oleh mereka yang bersinggungan langsung dengan kekuasaan dan jabatan.
Korupsi telah menyebar luas, tidak hanya dikalangan atas, juga sampai ditingkat bawah. Dikalangan birokrasi yang paling rendah sampai yang pejabat tingkat tinggi, dikalangan wakil rakyat sampai rakyat biasa. Korupsi seakan menjadi fenomena sosial yang terus menjangkiti masyarakat Indonesia seperti virus yang menggerogoti dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sungguh terasa ironis dan tidak dapat ditolelir.
Sebenarnya, korupsi bukanlah hal yang baru di Indonesia karena korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia. Salah satu faktor yang dapat memulai terjadinya korupsi ketika orang mulai mengadakan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, sebagaimana dikatakan oleh Ongkokham sebagai berikut :
“Korupsi hanya ada ketika orang memulai mengadakan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, sesuatu yang dalam konsep tradisional tidak terdapat. Masalah penjualan jabatan juga sama
4
Muladi, “konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik
Hukum”, (Makalah disampaikan pada forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi
pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 8 Nopember 2006), hal.14.
sekali bukan merupakan masalah baru. Hal ini sudah diperkenalkan pada masa VOC dan kemudian dipraktekan didalam kerajaan-kerajaan di indonesia. Dengan demikian, lahirlah konsep dalam jabatan umum dalam suatu negara adalah juga sumber penghasilan. Dari sanalah sebenarnya gejala korupsi bisa berjalan”.
5Bahkan dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey, misalnya Transparency International (TI) pada tahun 1998-2003, Indonesia menempati 10 besar negara paling korup didunia. Demikian pula Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dalam penelitiannya tahun 1997 mengemukakan bahwa Indonesia menempati posisi negara yang terkorup di Asia, dan pada tahun 2001 Indonesia turun peringkat menjadi negara terkorup ke 2 di Asia setelah Vietnam. Bahkan menurut Corruption Oerception Index (CPI) tahun 2006 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) November 2006, Indonesia berada pada peringkat ke-7 negara terkorup dari 163 negara. Posisi ini naik 1 peringkat dari tahun 2005 yang menempati posisi ke-6 negara terkorup dari 159 negara.
Bahkan Vice President East Asia Pasific Region of The Word Bank telah memasukkan daftar hitam kepada 306 perusahaan di seluruh dunia karena adanya indikasi korupsi dana bantuan lembaga donor Internasional dan 65 perusahaan di antaranya perusahaan di Indonesia. Dalam kurun waktu 2000- 2006 tercatat 100 kasus adanya indikasi korupsi dana bantuan Bank Dunia.
6Dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dinilai kurang memadai karena itu diterapkan dalam keadaan darurat perang melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat AD (P4AD) Prt/PERPU/031/1958 tentang Pengusutan,
5
Ongkokham, “Tradisi dan Korupsi”, dalam Majalah Prisma, 2 Februari 1983, hal. 3.
6
Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, ctk, pertama, Rafika Aditama, Bandung, 2007,
hal. 21.
Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, kemudian pada tahun 1960
dibuatlah UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Karena dirasa kurang memadai, yang
kemudian persoalan muncul sehubungan tuntutan untuk menerapkan asas
pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh terdakwa, maka pada tahun
1971 dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dimana sejak dalam pembahasannya UU Korupsi sebenarnya
berkeinginan menggunakan sistem pembuktian terbalik namun selalu
terhalang dengan alasan pembuktian terbalik bertentangan dengan asas
praduga tidak bersalah, namun dengan memperhatikan prinsip Lex Specialis
Derogat Legi Generalis akhirnya pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut
sistem pembuktian terbalik terbatas. Ini dijamin dalam Pasal 37 yang
memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap
tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi, namun Pasal 37 ini
tidak menyatakan secara tegas perlunya pembalikan beban pembuktian. Oleh
karena itu tidak diatur secara khusus, maka penerapannya dapat
menimbulkan persepsi dan interprestasi bagi para penegak hukum, dan
kemudian dipertegas lagi dengan diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu berupa sistem
Pembalikan Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang. Yang mengatur
pembuktian terbalik secara lebih jelas yaitu pada Pasal 12B, 12C, 37A, 38A,
dan 38B.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang skripsi di atas, maka penulis akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan pembuktian terbalik dalam perundang- undangan di Indonesia ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan pembuktian terbalik dalam KUHP dan UU Korupsi di Indonesia ?
1.3. Penjelasan Judul
Untuk menghindari multitafsir dalam penelitian ini maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini sebagai berikut :
“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA”
Analisis adalah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah bahasa guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam.
7Yuridis adalah suatu cara ketentuan perundang-undangan atau hukum yang berlaku di Indonesia.
8Pembuktian Terbalik adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan sesuatu peristiwa.
9Tindak Pidana Korupsi adalah suatu perbuatan penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dilakukan oleh aparatur
7
Wikipedia Indonesia.
8
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press.
9
M. Yahya Harahap.
pemerintah yang mengakibatkan kerugian bagi negara atau pihak yang terkait.
101.4. Alasan Pemilihan Judul
Untuk memahami dan mengetahui lebih jauh ketentuan perundang- undangan mengenai pembuktian terbalik berdasarkan KUHP, KUHAP, dan Pasal 12B, 12C, 37A, 38A, dan 38B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi serta menganalisis terhadap pengawasan dalam penerapan pembuktian terbalik dalam Pengadilan yang dilakukan oleh Jaksa dan Hakim. Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kejahatan yang luar biasa perlu diperangi dan diberantas oleh semua lapisan masyarakat, karena mempunyai dampak yang sangat besar dalam segala bidang, namun juga pelaku belum tentu melakukan tindak pidana korupsi yang berdasarkan asas praduga tidak bersalah dan hak-hak seseorang orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi perlu dilindungi sesuai dengan amanat UUD 1945 sesudah perubahan.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu pembobrokan karakter atau mental masyarakat Indonesia. Yang mengakibatkan masyarakat untuk enggan melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau norma yang berlaku dinegara Indonesia. Mesalah korupsi dapat mengakibatkan budaya Indonesia semakin hancur.
10
Kamus Besar Bahasa indonesia.
1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diambil tujuan penelitian sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang lebih jelas mengenai pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
2) Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan pembuktian terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP dan UU Korupsi di Indonesia.
1.6. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Undang-Undang Korupsi khususnya.
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi
dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang pembuktian
terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi terhadap KUHP dan
Undang-Undang Korupsi berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 setelah perubahan mengenai hak asasi yang
dimiliki oleh setiap warga negara.
b) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
a) Sebagai wahana penulis mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku perkulihaan. Memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat bahwa tindak pidana korupsi dapat menjerumuskan generasi penerus bangsa sehingga perlu diantisipasi sejak dini, dan bagi dunia hukum sebagai wahana literatur untuk dapat membuat suatu peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas mengenai tindak pidana korupsi.
b) Untuk memberikan suatu jawaban atas permasalahan yang
menjadi pokok penelitian dalam penulisan ilmiah.
1.7. Metode Penelitian
1) Penelitian Normatif
Jenis penulisan penelitian skripsi ini adalah menggunakan yuridis yang mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Korupsi.
2) Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang mengacu pada perundang-undangan yang berlaku, pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu pendekatan yang melihat norma-norma hukum tentang tindak pidana korupsi mengenai peraturan perundang-undangan pelaksanaan pembuktian terbalik dan mekanisme pelaksanaannya.
3) Langkah Penelitian a. Obyek Penelitian
Pelaksanaan Pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 di Indonesia.
b. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian
ini adalah berupa bahan hukum, yang diperoleh dengan cara studi
kepustakaan, meliputi :
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti undang-undang dan yurisprudensi.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti rancangan perundang-undangan, teks-teks tentang hukum, hasil penelitian, majalah, buku-buku, jurnal dan literatur.
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan maupun memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi.
c. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang diperlukan sesuai dengan pokok pembahasan.
Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah :
KUHP dan UU Nomor 20 Tahun 2001
Adalah sebagai bahan hukum primer yaitu sebagai
dasar landasan yamng mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat dengan dasar KUHP dan UU Nomor 20
Tahun 2001 inilah sebagai dasar acuan penulis dalam
pembuatan penelitian hukum.
Buku dan artikel yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melalui risalah rapat, literatur, sumber buku, yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini.
Kamus
Adalah sebagai bahan hukum tersier yaitu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier ini
diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian terhadap bahan-bahan yang harus penulis
kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan
hukum tersebut dikumpulkan selanjutnya dengan wilayah-
wilayah yang menjadi pembahasaannya. Adapun penelitian ini
dilakukan terhadap artikel, majalah-majalah, surat kabar,
risalah-risalah, buku-buku, serta peraturan perundang-
undangan yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini.
d. Metode Analisis
Menganalisis pelaksanaan pembukian terbalik dalam tindak
pidana korupsi di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta dampak yang ditimbulkan bagi
masyarakat dan pengaruh seorang yang melakukan tindak pidana
korupsi tersebut. Metode analisis tersebut menggunakan cara
deduktif, dimana pembahasan diuraikan lebih lanjut dengan
menggambarkan wilayah-wilayah yang bersifat umum menjadi
wilayah-wilayah yang bersifat khusus.
1.8. Sistematika Pertanggungjawaban
Dalam pembuatan proposal penelitian hukum ini digunakan sistematika pertanggungjawaban penulisan sebagai berikut :
BAB I adalah Pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggungjawaban.
BAB II yang meliputi tinjauan tentang pengaturan pelaksanaan pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi berdasarkan KUHP dan UU No. 20 Tahun 2001 dan tinjauan terhadap faktor penyebab tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka pemikiran, sehingga sangat membantu penulis dalam menjawab permasalahan yang menjadi obyek penelitian penulis.
BAB III adalah menjelaskan dan membahas tentang pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sesuai dengan norma, kaidah aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian
yang dilakukan penulis.
BAB II
PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
2.1. Pengaturan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan KUHAP
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja melawan (melanggar) hukum yang mempunyai dampak pada orang lain. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang di Pengadilan, dengan kata lain melalui pembuktian nasib terdakwa ditentukan apakah ia dapat dinyatakan bersalah atau tidak. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Benar atau salahnya suatu permasalahan terlebih dahulu perlu dibuktikan. Begitu pentingnya suatu pembuktian sehingga setiap orang tidak diperbolehkan menjustifikasi begitu saja sebelum melalui proses pembuktian.
Urgensi pembuktian ini adalah untuk menghindari dari kemungkinan- kemungkinan salah dalam memberikan penilaian.
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang di Pengadilan, karena melalui pembuktian tersebut putusan hakim ditentukan.
Oleh karena itu, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian pembuktian baik secara etimologi maupun secara terminologi.
14
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “Bukti” yang artinya adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran atau peristiwa. Kata “Bukti” jika mendapat awalan “Pe” dan akhiran “an” maka berarti “Proses”, “Perbuatan”,
“Cara membuktikan”.
11Secara terminologi pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya dalam sidang di Pengadilan.
Pengertian dari bukti, membuktikan, terbukti, dan pembuktian menurut W. J. S. Poerwadarminta sebagai berikut :
a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya);
b. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya);
c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian : 1) Memberi (memperlihatkan) bukti;
2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);
3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);
4) Meyakinkan, menyaksikan.
Sehubungan dengan istilah bukti Andi Hamzah mengemukakan bahwa bukti yaitu :
“Sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melaui alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang Pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.”
11
Kamirsa, Kamus Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, 1995, hal. 151.
Menurut M. Yahya Harahap mengatakan bahwa :
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan sesuatu peristiwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim membuktikan kebenaran suatu peristiwa.”
Menurut R. Supomo menjabarkan bahwa pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah : membenarkan hubungan hukum, yaitu misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengadung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Untuk itu, membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat- syarat bukti yang sah. Dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibentuk oleh tergugat.
Apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
Dari uraian penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam suatu pemutusan perkara di sidang Pengadilan harus dapat membuktikan kesalahan terdakwa atas pidana yang telah dilakukan.
Menurut Sudikno Mertokusumo membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional, dan yuridis, dengan penjelasan sebagai berikut :
1) Membuktikan dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang
bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang. Dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya adalah aksioma
bahwa dua garis sejajar tidak mungkin bersilang.
2) Membuktikan dalam arti konvensional ialah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan sebagai berikut :
a) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intutif (Conviction Intime).
b) Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, oleh karena itu disebut Conviction Raisonnee.
3) Membuktikan dalam arti yuridis ialah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju pada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinan pengakuan, kesaksian, atau bukti tertulis tidak benar atau dipalsukan.
Dari uraian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan, atau dipertahankan, sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
1. Teori Pembuktian
Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya dan khususnya
delik korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik
korupsi selain diterapkan KUHAP, diterapkan juga peraturan perundang-
undangan hukum acara pidana, yaitu pada BAB IV terdiri atas Pasal 25
sampai dengan Pasal 40 dari UU No. 31 Tahun 1999.
Ada beberapa teori atau sistem pembuktian,
12yakni : 1) Teori Tradisionil
Menurut pendapat B. Bosch-Kemper ada beberapa teori tentang pembuktian yang tradisionil, yakni :
a. Teori Negatif
Teori ini mengatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Teori ini dianut oleh HIR, sebagai ternyata dalam Pasal 294 HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah :
a) Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada :
b) Alat-alat bukti yang sah.
b. Teori Positif
Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Dan jika bukti minimum itu diperoleh, bahkan hakim diwajibkan menyatakan bahwa kesalahan terdakwa. Titik berat dari ajaran ini adalah positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum; ada bukti meskipun sedikit harus dihukum.
Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
12
Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesiamemasuki Abad ke XXI : suatu
reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum universitas Padjajaran, Bandung 25 September 1999. Hal. 8.
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
c. Teori Bebas
Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Yang dijadikan pokok, asal ada keyakinan kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.
Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP.
2) Teori Modern
a. Teori Pembuktian dengan keyakinan hakim belaka (Conviction Intime)
Teori ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan hakim terkesan bersifat subyektif. Menurut teori ini sudah dianggap cukup bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini, hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apakah keadaan harus dianggap telah terbukti.
Dasar pertimbangannya menggunakan pikiran secara logika
dengan memakai silogisme, yakni Premise Mayor, Premise Minor,
dan Konklusio, sebagai hasil penarikan pikiran dan logika. Sistem
penjatuhan pidana tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut perundang-undangan.
Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan pada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan, sehingga sulit pengawasan.
b. Teori Pembuktian menurut undang-undang secara positif (Positif Wettelijke Bewijstheorie)
Dalam teori ini, undang-undang menetapkan alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim, dan cara bagaimana hakim mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu sedemikian rupa.
Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai secara yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi cara-cara mempergunakan alat-alat bukti, meskipun hakim berkeyakinan bahwa keadaan itu benar-benar terjadi, maka dikesampingkanlah sama sekali keyakinan hakim tentang terbukti atau tidaknya suatu hal.
Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan pada kebenaran.
c. Teori Pembuktian menurut undang-undang secara negatif
(Negatief Wettelijk)
Teori ini juga dianut oleh (Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana) KUHAP dan (Herzienne Inlands Reglement) HIR, dalam teori ini dinyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan pada undang-undang, yaitu alat bukti yang sah menurut undang-undang disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
d. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee)
Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah menurut keyakinannya, keyakinan yang didasarkan pada dasar- dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan (Conclusi) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
Dalam teori ini juga disebutkan pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (Vrijebewijstheorie).
e. Teori Pembuktian Terbalik
Teori pembuktian terbalik merupakan teori yang membebankan
pembuktian kepada terdakwa atau dengan kata lain terdakwa
wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan,
pelanggaran atau kejahatan seperti apa yang disangkakan oleh
Penuntut Umum.
3) Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Alat-alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan ditentukan secara Limitatif. Di luar dari alat bukti tersebut, tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “Kekuatan Pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan pembuktian mengikat
13.
Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah :
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.
a) Alat Bukti Keterangan Saksi
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.
Menurut M. Yahya Harahap bahwa hampir semua perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian
13
Laica Marzuki, Berjalan-Jalan diRanah Hukum, Pikiran-Pikiran Lepas, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 3.
dengan alat bukti lain, masih perlu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Pengertian saksi sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (26) KUHAP, yaitu :
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.”
Dalam hukum acara pidana, perihal keterangan saksi penjelasannya tercantum dalam Pasal 1 ayat (27) dan Pasal 185 KUHAP yang berbunyi :
Pasal 1 ayat (27) :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Pasal 185 KUHAP :
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang Pengadilan.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbutana yang didakwakan kepadanya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Pada hakekatnya, semua orang dapat menjadi saksi.
Namun demikian, ada pengecualian khusus yang menjadikan
mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana tercantum
dalam Pasal 168 KUHAP yang mengatakan kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi : (1) Keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa;
(2) Saudara dari terdakwa atau yang berusaha bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu, atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
(3) Suami atau istri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam Pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian dibawah sumpah.
Dengan bunyi pasal sebagai berikut :
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa di sumpah adalah :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa maupun kadang-kadang ingatannya baik kembali.”
Dari penjelasan pasal tersebut diatas Andi Hamzah, mengatakan bahwa
14:
“Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu jiwa disebut Psucophaat, mereka itu tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan. Karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.”
14
Suparman, Beban Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Makalah Pada
Seminar Nasional Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi dengan Sistem Pembuktian Terbalik,
Surakarta, 10 Juli 2000, hal. 8.
b) Alat Bukti Keterangan Ahli
Agar tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang- undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan-keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengalaman dan berpengalaman khusus..
Melihat letak urutnya, pembuat undang-undang menilai keterangan ahli menilai sebagai salah satu alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana. Mungkin pembuat undang-undang menyadari, tidak dapat dipungkiri lagi, pada saat perkembangan ilmu dan teknologi, keterangan ahli memegang peranan penyelesaian dalam perkara pidana.
Perkembangan ilmu dan teknologi setidaknya membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.
Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa :
“Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli
nyatakan dalam sidang pengadilan”. Pasal tersebut
memang belum menjawab siapa yang disebut ahli dan
apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut
juga tidak menjelaskan hal ini. Dikatakan bahwa
keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima
jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu, tidak diberikan pada
waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
maka pada pemeriksaan di sidang di minta untuk
memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara
Pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.”
Dari keterangan tersebut, Andi Hamzah menerangkan bahwa
15:
“Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas oleh HIR yang meliputi kriminalistik, sehingga Van Bammelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam ilmu pengetahuan”.
Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M.
Yahya Harahap hanya bisa didapat dengan :
“Melakukan pencarian dan hubungan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal-pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka (28), Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179. Dengan jalan merangakai pasal-pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti.”
Untuk lebih jelasnya dapat menjajaki lebih jauh dengan melihat bunyi dari pasal-pasal yang dimaksudkan.
a. Pasal 1 angka 28 KUHAP yaitu :
“Yang dimaksud keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
Melihat bunyi Pasal 1 angka 28 KUHAP, M. Yahya Harahap membuat pengertian :
1) Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “Keahlian Khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.
15
Ibid, hal. 15.
2) Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “Menjadi Terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
b. Pasal 120 ayat (1) KUHAP :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.”
Dalam pasal ini kembali ditegaskan, yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki “Keahlian Khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
c. Pasal 133 ayat (1) KUHAP :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman, atau dokter atau ahli lainnya”.
Pasal 133 KUHAP menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli kedokteran kehakiman, dan menghubungkan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan penganiayaan, dan pembunuhan.
d. Pasal 179 KUHAP :
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi
berlaku juga untuk mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 179 KUHAP memberi penegasan tentang ada dua kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28, Pasal 120, dan Pasal 133) KUHAP, seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap ada dua kelompok ahli
16:
a. Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, dan pembunuhan.
b. Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki
“Keahlian Khusus” dalam bidang tertentu.
Tentang orang-orang ahli ini juga oleh Pasal 306 HIR mengatakan, bahwa laporan dari ahli-ahli yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengutarakan pendapat dan pikirannya tentang keadaan-keadaan dari perkara yang bersangkutan, hanya dapat dipakai guna memberi penerangan pada hakim, dan hakim sama sekali tidak wajib turut pada pendapat orang- orang ahli itu, apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli-ahli itu.
Selanjutnya Karim Nasution pernah mempertanyakan bilamana diperlukan keterangan ahli. Menurut beliau keterangan ahli diperlukan pada saat pemeriksaan suatu perkara baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun selanjutnya dimuka pengadilan.
16
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta 2006, hal. 2.
c) Alat Bukti Surat
Definisi Surat Asser-Aneme adalah sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Selanjutnya menurut I. Rubini dan Chaidir Ali Bukti Surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kayu, daun lontar, dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (duwujudkan dalam suatu surat).
Dalam KUHAP seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 187, yang bunyinya surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
2) Surat yang dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat olleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai hal atau keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
d) Alat Bukti Petunjuk
Petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung,
karena hanya merupakan kesimpulan yang dihubungkan dan
disesuaikan dengan alat bukti lainnya, hal ini dapat dilihat dari definisi alat bukti petunjuk yang terdapat pada Pasal 188 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP, yaitu :
1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik anatara yang satu dengan yanng lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperloh dari ;
a. Keteranagn saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
Taufiqul Hulam mengatakan perihal penggunaan alat bukti petunjuk ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan individu hakim untuk dapat melahirkan kesimpulan atau persangkaan atau tidak, ini sesuai dengan bunyi pada Pasal 188 ayat (3) KUHAP, yaitu penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya
17.
Hal tersebut dikuatkan oleh Andi Hamzah, dari bunyi Pasal 188 tercermin bahwa persoalan pada akhirnya diserahkan sepenuhnya pada hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut sebagai pengamatan oleh hakim harus dilakukan selama sidang.apa yang dialami atau yang diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali jika perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui umum.
17
Ibid, hal. 5.
e) Alat Bukti pada Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatan pada urutan terakhir inilah yang menjadi salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan setelah pemeriksaan keterangan saksi..
Menurut Andi Hamzah bahwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR yang menyebutkan “Pengakuan Terdakwa” sebagai alat bukti. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara “Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti dan “Pengakuan Terdakwa” sebagai alat bukti
18.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa “Keterangan Terdakwa”
sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan.
Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan atau pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat :
1. Mengaku ia yang melakukan delik;
2. Mengaku ia bersalah.
18
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 7.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan pengakuan terdakwa.
D. Simon agak keberatan mengenai hal ini, karena hak kebebasan terdakwa untuk mengaku atau menyangkal harus dihormati. Oleh sebab itu suatu penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu keadaan tidak dapat dijadikan bukti.
Tetapi suatu hal yang jelas berbeda antara “Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti dengan “Pengakuan Terdakwa”
ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti
19.
Dalam KUHAP Paal 189 memberikan penjelasan bahwa : (1) Keterangan Terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan disidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
19
Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998, hal. 60.
2.2. Pengaturan Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Korupsi
Salah satu langkah komperehensif yang dapat dilakukan dalam sistem Peradilan Pidana Di Indonesia adalah melalui sistem pembuktian yang relatif lebih memadai, yakni diperlukan adanya „Pembuktian Terbalik‟ atau
„Pembalikan Beban Pembuktian‟.
20Sistem pembebanan pembuktian terbalik hanya diterapkan pada tindak pidana yang berkenaan dengan gratification yang berhubungan dengan suap.
21Jenis pembuktian dalam hukum pidana yang diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah pembuktian terbalik yang merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut masih memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya. Jadi, kedua UU tersebut tidak semata-mata memberikan terdakwa kesempatan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan pembuktian terbalik dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah mengalami penyempurnaan dari rumusan semula pada UU No. 31 Tahun 1999 sampai dengan rumusan pada UU No.
20 Tahun 2001, sehingga menunjukkan sifat berimbang antara pembuktian yang dilakukan dengan akibat hukum dari pembuktian bagi si terdakwa itu sendiri.
20
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia : Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, Bandung, Alumni, 2007, hal. 252-253.
21
Indriyanto Seno Adji, Sistem Pembuktian Terbalik : Minimalisasi Korupsi Di Indonesia (artikel). Jurnal
Keadilan vol. 1 No. 2 Juni 2002.
Pada Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebelumya dinyatakan bahwa : “Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.”
Sementara setelah dilakukan perubahan terhadap Pasal 37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 maka dengan lebih tegas dinyatakan bahwa : “Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh Pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”
Mengingat tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana dengan melibatkan Finacial System yang mempunyai dampak begitu besar bagi suatu negara maka, sangat diperlukan suau usaha yang khusus untuk menaggulanginya. Usaha tersebut meliputi pengefektifan bagi Financial System (Prinsip Mengenal Nasabah). Dalam hal ini, menurut Bismar Nasution,
22Know Your Customer Principle dijabarkan ke dalam tiga aspek meliputi :
1. Kebijakan dan prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah.
2. Pemantauan rekening nasabah dan transaksi nasabah.
3. Kebijakan dan prosedur manajemen resiko.
Cara ini akan menjadi perisai utama bagi bank untuk mencegah agar bank jangan sampai dijadikan sarana oleh para pelaku kejahatan yang berkedok sebagai nasabah untuk menjalankan kejahatannya.
Reglement of Straafvordering (RSv) dan HIR maupun KUHAP, begitu pula semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-
22
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Loudring, Books Terrance & Library, Bandung, 2005, hal. 1.
undang secara negatif (Negatief Wettelijk) yang dapat disimpulkan berdasarkan Pasal 183 KUHAP.standar bukti tersebut ialah (1) harus sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan (2) dari alat bukti tersebut hakim mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana. Dengan syarat itu, barulah hakim dapat menjatuhkan pidana.
Hukum pidana korupsi yang merupakan Lex Specialis, sehingga tentang pembuktian dibedakan 3 sistem beban pembuktian yaitu :
1. Sistem terbalik;
2. Sistem biasa;
3. Semi terbalik atau juga biasa disebut sistem berimbang terbalik.
a) Sistem Terbalik
Sistem terbalik terdapat dalam Pasal 37 jo 12B ayat (1) jo 38A dan 38B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan terdakwa, maka pembuktian terbalik ada 2 (dua) macam, ialah :
a. Pembuktian terbalik pada Tindak Pidana Korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih (Pasal 12B ayat (1) jo 37 ayat (2) jo 38A);
b. Pembuktian terbalik pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38B).
Sistem beban terbalik ditujukan untuk membuktikan dua hal
saja. Oleh karena itu, dapat disebut pembuktian terbalik yang
terbatas. Pembuktian melalui beban pembuktian terbalik terbatas
mempunyai tujuan yang pertama membuktikan bahwa benar
ataukah tidak menerima suap gratifikasi. Kedua pembuktian
bahwa harta benda yang belum didakwakan mempunyai sumber yang haram atau halal.
Pasal 37 menyatakan bahwa terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi (ayat 1); dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti (ayat 2).
Ketentuan ayat (2) merupakan inti sistem beban pembuktian terbalik tindak pidana korupsi. Pasal 37 berhubungan dengan Pasal 12B dan Pasal 37A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12B, ialah bahwa sistem beban pembuktian terbalik pada Pasal 37 berlaku tindak pidana korupsi menerima suap gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih [Pasal 12B ayat (1) huruf a].
Sementara, itu hubungannya dengan Pasal 37A khususnya ayat (3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain- lain, diluar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37A, dalam hal ini hanya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37A ayat (3).
Isi rumusan Pasal 12B ayat (1) UUTPK mengandung 4 (empat) arti yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Norma huruf a berhubungan erat dengan (dijelaskan oleh)
Pasal 37. Artinya ialah tentang apa yang dimaksud beban
pembuktian menurut norma ayat (1) huruf a dalam hal ini
ada pada terdakwa dan penerapannya dirumuskan pada Pasal 37.
2. Sistem terbalik berlaku pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih.
3. Sedangkan tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10 juta, beban pembuktian ada pada Jaksa Penuntut Umum. Artinya sesui dengan sistem biasa KUHAP.
4. Mengenai unsur-unsur tindak pidana menerima suap gratifikasi, ialah (1) Subyek hukumnya Pegawai Negeri atau penyelenggara negara; (2) Perbuatannya menrima gratifikasi; (3) Berhubungan dengan jabatannya; (4) berlawanan dengankewajiban atau tugasnya.
23Ada yang menarik dari ketentuan Pasal 12C. Menurut ketentuan Pasal 12C dengan melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka akan meniadakan pidana pada Pasal 12B.
Bahkan perbuatan tersebut merupakan bagian dari perbuatan yang dilakukan pembuat dan/atau bagian dari keadaan batin si pembuat, yang memang harus sudah ada atau terdapat pada saat perbuataan dilakukan, dan bukan sesudah perbuatan dilakukan. Sedangkan, tindakan pegawai negeri penerima gratifikasi “melaporkan penerimaan gratifikasi” kepada KPK adalah sesudah perbuatan terjadi, atau jauh setelah perbuatan terjadi,
23
Penyebutan standar bukti digunakan oleh Adami Chazawi. Lihat Adami Chazawi (I), Hukum Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia, Publishing, Malang, 2011. Hal. 78.
bisa jadi pada ke 30 (tiga puluh) hari kerja. Oleh karena itu, dari sudut ini tindakan melaporkan penerimaan gratifikasi tidak dianggap sebagai alasan peniadaan pidana.
24Syarat pelaporan bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi, ditujukan pada 3 (tiga) hal, ialah Pertama, untuk tidak mempidana pegawai negeri yang suka rela melaporkan tentang penerimaan gratifikasi. Pelaporan dapat dinilai sebagai suatu kesadaran dari pegawai negeri untuk berbuat jujur, menegakkan moral, dan menjunjung tinggi harkat dan derajat serta sumpah jabatan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai pelaksana pelayanan masyarakat. Kedua, bertujuan berpendidikan moral bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam waktu 30 hari kerja, adalah waktu yang cukup bagi pegawai negeri untuk merenungkan dengan hati, memikirkan dengan akal, tentang haramnya pemberian gratifikasi.
Ketiga, ditujukan untuk menentukan apakah penerimaan
gratifikasi menjadi milik negara atau milik pegawai negeri yang menerima gratifikasi (Pasal 12C ayat (3)).
25Pembuktian terbalik mengenai harta benda yang belum didakwakan norma Pasal 38B ayat (1) dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Norma ayat (1) adalah dasar hukum sistem beban pembuktian terbalik dalam hal objek pembuktian harta
24
Ibid, hal. 264.
25
Ibid, hal.267.
benda terdakwa yang belum didakwakan, tapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
2. Pembuktian mengenai harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan hasil korupsi adalah berlaku dalam hal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok, adalah Tindak Pidana Korupsi Pasal : 2, 3, 4, 14, 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya Tindak Pidana Korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38B ayat (1).
Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik. Namun khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum didakwakan, tidaklah dapat menggunakan Pasal 37.
Karena Pasal 37 adalah khusus diperuntukkan bagi pembuktian
terdakwa mengenai dakwaan tindak pidana (khususnya suap
menerima gratifikasi Rp. 10 juta atau lebih), dan bukan dakwaan
mengenai harta benda. Maka keberhasilan terdakwa membuktikan
tentang kekayaannya itu bersumber pada pendapatan yang halal,
tidaklah ia harus dibebaskan dalam dakwaan perkara pokok
melakukan TPK, melainkan sekedar menyatakan harta benda
yang belum didakwakan tersebut bukan hasil korupsi, dan
menolak tuntutan JPU untuk menjatuhkan pidana perampasan
harta benda tersebut saja.
b) Sistem Semi Terbalik dan Biasa
Dasar hukum sistem semi terbalik ada pada Pasal 37A ayat (3) UUTPK.
TPK selain suap menerima gratifikasi penrapan pembuktian tentang harta benda terdakwa (yang telah didakwakan) dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37A. Tentang beban pembuktian kepada siapa dan bagaimana cara membuktikan menurut ketentuan pasal ini dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik. Karena hasil pembuktian terbalik mengenai harta benda menurut ketentuan ini, dapat digunakan oleh jaksa untuk memperkuat alat buktinya, yakni bila alat pembuktiannya itu tidak berhasil membuktikan keseimbangan antara hartanya dengan sumber pendapatannya.
Jika, menggunakan sistem biasa pada KUHAP, dalam hal membuktikan tindak pidana beban pembuktian sepenuhnya pada JPU. Sedangkan, terdakwa tidak wajib, dalam arti pasif. Namun, demikian dalam sistem Akusator (Accusatoir), demi hukum terdakwa mempunyai hak untuk menyangkal dakwaan dan membuktikan sebaliknya.
26Dalam hukum pidana korupsi, sistem pembuktian TPK suap menerima gratifikasi yanng nilai objeknya kurang dari Rp. 10 juta (Pasal 12B huruf b), menggunakan beban pembuktian biasa, yakni pada jaksa.
Apabila dilihat dari sudut pembebanan pembuktian Pasal 37A, maka dalam hal pembuktian kekayaan terdakwa ternyata
26