• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

012/PUU-I/2003

SKRIPSI

OLEH : ANTON SUBEKTI

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA

2013

(2)

KEDUDUKAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

012/PUU-I/2003

SKRIPSI

DI SUSUN OLEH : ANTON SUBEKTI

NPM : 29120007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA

2013

(3)

KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 012/PUU-I/2003

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH : ANTON SUBEKTI

NPM : 29120007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA

2013

(4)

KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR

13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 012/PUU-I/2003

NAMA : ANTON SUBEKTI NPM : 29120007

JURUSAN : ILMU HUKUM FAKULTAS : HUKUM

DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH :

PEMBIMBING

(5)

Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.

Surabaya, 05 Agustus 2013

Tim Penguji Skripsi :

1. Ketua : Tri Wahyu Andayani S.H., C.N., M.H ( ) ( Dekan)

2. Sekretaris : Dr. H. Taufiqurrahman S.H., M.Hum ( ) (Pembimbing)

3. Anggota : 1. Tri Wahyu Andayani S.H C.N., M.H( ) (Dosen Penguji I)

2. H. Arief Syahrul Alam S.H., M.Hum ( ) (Dosen Penguji II)

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR

13

TAHUN

2003

PASCA

PUTUSAN

MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 “ di Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua saya Bapak/Ibu yang sudah memberikan do’a restu dan dukungan baik moriil maupun sprituiil.

2. Bapak Budi Endarto S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.

3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya sekaligus dosen Pembimbing skripsi penulis.

4. Bapak H. Arief Syahrul Alam SH., M.Hum Selaku sekretaris Rektor. 5. Ibu Tri Wahyu Andayani S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Wijaya Putra Surabaya.

6. Bapak Andy Usmina Wijaya S.H., M.H Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.

(7)

7. Bapak Dr. Wahyu Kurniawan SH., LL.M Selaku pemberi saran untuk jadinya penulisan skripsi ini.

8. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 9. Bapak/Ibu Dosen Penguji Skripsi Penulis banyak terima kasih.

10. Istri dan anak-anak ku yang telah memberikan do’a restu kepada saya untuk menulis skripsi.

11. Keluarga saya Adik-adikku sekalian yang telah memberikan semangat dan motivasi penuh kepada saya untuk menyelesaikan penulisan skripsi saya ini.

12. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. “ Tetap semangat semua dan sukses selalu “.

Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan berkat yang melimpah dari ALLAH S.W.T

Surabaya, 05 Agustus 2013 Terima kasih,

Penulis

(8)

DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN….………...i KATA PENGANTAR….………....iii DAFTAR ISI ………... .. vi BAB I : PENDAHULUAN ... .1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Penjelasan Judul ... 7

1.4. Alasan Pemilihan Judul ... 8

1.5. Tujuan Penelitian ... 8

1.6. Manfaat Penelitian ... 8

1.7. Metode Penelitian ... 9

1.8. Sistematika Pertanggung Jawaban ... 11

BAB II : KEDUDUKAN HUBUNGAN KERJA ... 12

2.1. Hubungan Kerja Menurut KUH Perdata ... 12

2.1.1 Syarat-syarat Perjanjian Kerja Menurut KUH Perdata ... 15

2.1.2 Kewajiban Pengusaha Menurut KUH Perdata ... 19

2.1.3 Kewajiban Pekerja Menurut KUH Perdata ... 22

2.2 . Hubungan Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan ... 23

2.2.1 Ketentuan Upah Menurut UU Ketenagakerjaan ... 24

2.2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan .... 28

2.2.3 Beberapa Perjanjian Kerja Menurut UU Ketenagakerjaan ... 29

2.3. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ... 35

2.3.1 Perselisihan Hubungan Industrial ... 37

(9)

2.3.3 Penyelesaian Melalui Mediasi ... 40

2.3.4 Penyelesaian Melalui Konsiliasi ... 41

2.3.5 Penyelesaian Melalui Arbitrase... 42

BAB III : PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PUTUSAN NOMOR 012/PUU-I/2003 ... 46

3.1. Terhadap pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ... 46

3.2 UU Ketenagakerjaan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 ... 48

BAB IV : PENUTUP ... 56

4.1. KESIMPULAN ... 56

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) Departemen Tenaga Kerja pada waktu kongres Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) II Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut diatas, menurut penulis istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang, buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja pada sector non formal seperti kuli, tukang, dan sejenisnya, tetapi juga sektor formal, seperti Bank, hotel dan lain – lain. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan Penjelasan Pasal 28 UUD 1945 (setelah amandemen), “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Namun karena pada Orde Baru istilah pekerja khususnya yang banyak di intervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehinga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah,maka istlah tersebut disandingkan. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang selanjutnya disebut (UU Ketenagakerjaan) Pasal 1 angka (3) memberikan pengertian “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja

(11)

menerima upah atau imbalan dalam bentuk apa pun”. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.1

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.

Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka (4) UU Ketenagakerjaan adalah :

1. Adanya pekerjaan (arbeid);

2. Dibawah perintah pengusaha (gesag ver houding);

3. Adanya upah tertentu yang sesuai peraturan perundangan yang ditentukan pemerintah daerah yang disebut UMK (Upah Minimum Kota) dalam provinsi, kotamadya/kabupaten;

4. Dalam waktu (tijd) dapat tanpa batas waktu/pension atau berdasarkan waktu tertentu.

Maksud dari unsur yang pertama adanya pekerjaan (arbeid) pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Unsur kedua dibawah perintah pengusaha (gesag ver houding) di dalam hubungan kerja kedudukan pengusaha adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaannya, kedudukan buruh sebagai pihak yang menerima perintah untuk melaksanakan perintah untuk melaksanakan pekerjaan, hubungan pekerja

1

Lalu Husni, Pengantar Hukkum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 44.

(12)

dan pengusaha adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan sehingga bersifat subordinasi hubungan yang bersifat vertikal, yaitu atasan dan bawahan. Unsur ketiga adanya upah (loan) tertentu yang menjadi imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (30) UU Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan ditanyakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan pekerja. Unsur yang keempat adalah waktu (tijd) adalah pekerja/buruh bekerja untuk waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak ditentukan atau selama-lamanya.

Waktu kerja pekerja dalam satu minggu atau tujuh (7) hari adalah 40 jam. untuk 6 hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam 5 hari dan 5 jam dalam 1 hari. Adapun untuk 5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila kebutuhan proses produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maximal 3 jam perhari atau 14 jam perminggu. Kenyataannya lembur yang terjadi didalam praktik melebihi batas maximal tersebut.

Selama bekerja setiap 4 jam pekerja yang bekerja harus diberikan istirahat selama setengah jam. Dalam satu minggu harus ada istirahat minimal 1 hari kerja. Dalam satu tahun pekerja harus diberikan istirahat 12 hari kerja/tahun.

(13)

Apabila pekerja telah telah bekerja selama 6 tahun maka wajib diberikan istirahat cuti besar selama satu bulan dengan menerima upah penuh.2

Hubungan kerja terjadi karena Perjanjian kerja dalam undang-undang ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat digolongkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjajian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), dalam perjanjian kerja meski ada UU yang khusus mengaturnya tetapi ada pula peraturan perundangan yang umum untuk mengatur masalah perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang diatur dalam Pasal 1601 Huruf (b) KUH Perdata yang disebutkan bahwa “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dimana pihak yang satu sipemborong, mengikatkan untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

Mengenai pekerjaan waktu tertentu lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 57-66 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan Pasal 57 Ayat (2) dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu, perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya ,masa kerja percobaan, dalam hal diisyaratkan masa percobaan kerja, masa percobaan kerja tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (2) UU ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya bisa dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat kegiatan kerjaannya, perjanjian kerja waktu

2

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 37.

(14)

tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap karena perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau pun diperbaharui dalam arti perjanjian waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) Tahun, perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian waktu tertentu tersebut berakhir diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama.

Berdasarkan ketentuan pasal 62 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjajian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan yang disebut penyerahan pelaksanaan pekerjaan ke perusahaan lain atau yang beberapa waktu ini sering disebut Outsourcing. Dalam bidang ketenagakerjaan outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan melalui perusahaan penyedia jasa /pengerah tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan ini mengatur dan melegalkan outsourcing dan dalam pengikatan perjajian kesepakatan kerjanya adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh, dalam Pasal 64 UU ketenagakerjaan disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

(15)

Perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, apabila persyaratan diatas tidak dipenuhi demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.3

Pada tahun 2003 ada sebanyak 37 orang menamakan para aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang dengan swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang bergerak dan didirikan atas kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi pekerja/buruh yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya. Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana yang dimaksud Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai perorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama.

Pemohon para aktivis organisasi serikat buruh ini menuangkan hak uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 dengan Nomor 012/PUU-I/2003 Judicial

Review.

Para pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaan adalah Undang-Undang Pokok Perburuhan yang mengatur mengenai perburuhan di Indonesia dan memiliki dampak langsung kepada semua buruh /pekerja yang ada di Indonesia karena mempunyai kepentingan langsung dengan UU Ketenagakerjaan, yang oleh para pemohon dipandang merugikan hak-hak buruh/pekerja yang diatur

3

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 190.

(16)

dalam UUD 1945 Pasal 28 antara lain hak untuk berserikat, hak mogok, dan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama didepan hukum.4

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas maka penulis membuat skripsi ini dengan judul “ KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 “ di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, penulis dapat menarik suatu rumusan masalah yang akan menjadi pokok permasalahan dalam melakukan suatu penelitian antara lain rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana kedudukan hubungan kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU Ketenagakerjaan?

2. Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal-pasal pada putusan Judicial Review Nomor 012/PUU-I/2003 yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terkait UU ketenagakerjaan?

1.3. Penjelasan Judul

Untuk menghindari pemultitafsiran dalam penelitian ini. Maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini berjudul : “ KEDUDUKAN PEKERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 012/PUU-I/2003 “ Ruang Lingkup Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di

4

(17)

Negara Republik Indonesia, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003.

1.4. Alasan Pemilihan Judul

Dengan pemilihan judul pembuatan proposal skripsi tentang penelitian tersebut penulis mempunyai alasan dengan adanya uji materi UU ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 mengenai pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan pasal-pasal yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

1.5. Tujuan Penelitian

1. Untuk menjelaskan kedudukan hubungan kerja berdasarkan KUHPerdata dan UU Ketenagakerjaan.

2. Meneliti substansi pasal-pasal UU Ketenagakerjaan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003.

1.6. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bawha kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat menambah literatur dan referensi dalam dunia pekerja tentang ketenagakerjaan dan memperluas substansi pasal-pasal yang mempunyai hukum mengikat.

2. Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum ketenagakerjaan khususnya mengenai pelaksanaan terhadap UU ketenagakerjaan.

(18)

b. Manfaat Praktis

1. Memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap permasalahan yang diteliti.

2. Sebagai sarana penulis mengembangkan penalaran hukum, membentuk pola pikir ilmiah serta melatih soft skill berargumentasi dalam menghadapi suatu permasalahan hukum yang timbul dimasyarakat dan mengukur kemampuan penulis terhadap ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam perkulihaan.

1.7. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dari penulisan ini adalah menggunakan normatif dengan menelaah UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah statuta

approach, yaitu pendekatan dengan melihat dan menelaah suatu

perundang-undangan dan regulasi yang ada di Indonesia terkait dengan isu hukum yang timbul dan dihadapi dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis pada saat ini.

c. Langkah Penelitian

Adapun dalam penelitian normatif ini langkah penelitian adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dan diperoleh dengan mencari dan memperoleh bahan hukum yang relevan. Bahan-bahan hukum tersebut yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat. Seperti, UUD 1945 sesudah amandemen, UU No. 13

(19)

Tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 21 Tahun 2000, UU No. 24 Tahun 2003 serta peraturan perundang-undangan yang terkait, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti rancangan perundang-undangan, literatur, jurnal, hasil penelitian, buku-buku, teks-teks tentang hukum.

d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang diperlukan sesuai dengan pokok pembahasan.

Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah: - UUD 1945 original beserta Perubahannya.

Adalah sebagai sumber hukum primer yaitu sebagai dasar landasan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis dengan dasar UUD 1945 yang asli (original) dan perubahannya inilah sebagai dasar acuan penulis dalam pembuatan penelitian hukum. - Buku dan artikel yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan khususnya tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melalui sumber buku,literatur, hasil penelitian hukum, risalah rapat yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini.

Dari kedua bahan hukum primer dan sekunder ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap

(20)

bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan tersebut berhasil dikumpulkan dilanjutkan dengan wilayah-wilayah yang menjadi pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, artikel, risalah-risalah, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar serta peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan penulisan ini.

1.8. Sistematika Pertanggungjawaban

Dalam pembuatan proposal penulisan hukum (skripsi) ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggung jawaban.

BAB II adalah menjelaskan bagaimana kedudukan hubungan kerja sesuai undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan KUHPerdata.

BAB III adalah menjelaskan dari hasil penelitian pendapat Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 mengenai pasal-pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis.

BAB II

(21)

2.1. Hubungan Kerja Menurut KUHPerdata

Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata pada hakikatnya yang memegang peranan penting di dalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya yaitu buruh dan majikan saja. Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hubungan hukum privat.

Hubungan itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata dijelaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat diantaranya :

a. Sepakat antara kedua belah pihak; b. Cakap;

c. Suatu hal tertentu; d. Objek yang halal.

Sedangkan pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaannya muncul suatu perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan secara musyawarah untuk mufakat dalam permasalahan antara buruh/pekerja dan pengusaha.

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Di dalam Pasal 1601 a KUH Perdata yaitu “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh/pekerja) mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah“. Imam Soepomo (53 : 1983 ) berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan

(22)

menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.5

Dari pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “ Dibawah perintah pihak lain “, di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja KUHPerdata dengan perjanjian kerja yang lain.

Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja :

a. Adanya unsur pekerjaan (Work)

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian) pekerjaan tersebut haruslah dilakukan oleh pekerja hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. yang dalam hal ini dijelaskan dalam pasal 1603 huruf (a) yang berbunyi “ Buruh wajib melakukan sendiri

pekerjaannya hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga dalam menggantikannya”. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat

pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus dan harus batal demi hukum.

5

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 33.

(23)

b. Adanya Unsur Perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikankepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja wajibpada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah terjadi perbedaan hubungan kerja dengan bermacam-macam hubungan kerja dengan hubungan lainnya suatu missal hubungan antara pengacara dengan kliennya, hubungan dokter dengan pasiennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau kliennya.

c. Adanya Bentuk Upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja) bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja yang bekerja pada pengusaha adalah untuk menerima upah. Sehinggga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yangdiharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik dilapangan hotel.6

2.1.1. Syarat-syarat sahnya perjanjian kerja menurut KUH Perdata

Didalam suatu perjanjian, baik itu perjanjian kerja menurut KUHPerdata maupun UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang harus memenuhi sebagaimana yang diamanatkan Pasal 1320 KUHPerdata yang wajib memenuhi empat syarat yaitu dengan penjelasan sebagai berikut :

6

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 67.

(24)

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Mengandung arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak adanya paksaan, kekeliruan, dan ataupun unsur penipuannya. Adanya kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian yang dimaksud adalah dengan kesepakatan persetujuan secara bebas dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kehendak satu pihak haruslah juga kehendak yang lainnya juga. Kesepakatan harus diberikan dalam keadaan sadar, bebas dan tanggung jawab. tiga hal yang dapat menyebabkan tidak tercapainya kesepakatan secara bebas yaitu paksaan, khilaf, dan unsur penipuan.

1. Paksaan, terjadi yang dimaksud adalah dengan paksaan dapat berupa fisik dan paksaan phisikis. Paksaan phisikis sudah terjadi apabila ada ancaman menakut-nakuti, ancaman yang dimaksud disini adalah ancaman yang melawan hukum. Apabila tidak melawan hukum seperti ancaman gugatan atas kelalaian, maka tidak dapat dikatakan paksaan sesuai Pasal 1323 s/d Pasal 1325 KUH Perdata.

2. Kekhilafan, terjadi yang dimaksud dengan khilaf apabila pihak yang membuat perjanjian keliru menenai sifat, harga, dan jenis obyek yang diperjanjikan yang sesuai Pasal 1322 KUH Perdata. Kekeliruan disini haruslah yang tidak diduga dan disadari serta adanya kecenderungan siapapun yang memberi persetujuan akan berada dalam kekeliruan. Atas hal ini dapat dimintakan pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat.

(25)

3. Penipuan, yang dimaksud dengan penipuan apabila salah satu pihak memberikan informasi yang tidak benar mengenai subyek maupun obyek yang diperjanjikan dengan tujuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk memberikan persetujuan yang sesuai pasal 1328 KUH Perdata.7 Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya kesepakatan kedua belah pihak. Orang yang membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak bertemu sepakat.

b. Cakap dalam membuat suatu perjanjian

Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sesuai Pasal 1329 KUH Perdata. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu mempunyai kemauan untuk menginsafi segala tanggung jawab yang akan dipikulnya karena perbuatannya.8

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap

7

R.Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, PT.Internusa, Jakarta, 2003, hal 138 8

(26)

untuk hal itu“. Pihak-pihak yang dianggap tidak mempunyai kemampuan (tidak cakap) dalam membuat perjanjian adalah orang-orang yang dinyatakan sesuai pasal 1330 KUH Perdata adalah berbunyi sebagai berikut :

a) Orang-orang yang belum dewasa;

b) Mereka yang ditaruh dalam pengampuan;

c) Orang-orang perempuan yang dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat perjanjian tertentu.

Orang-orang yang dikatakan belum dewasa adalah dibawah 21 tahun KUH Perdata. Didalam Pasal 1601 huruf (h) KUH Pwrdata dikatakan bahwa “Jika anak yang belum dewasa yang belum mampu membuat suatu perjanjian kerja, telah membuat perjanjian kerja dan karena itu selama enam minggu telah melakukanpekerjaan pada pengusaha/majikan tanpa rintangan dan walinya menurut undang-undang, maka ia dianggap telah diberi kuasa dengan lisan oleh walinya untuk membuat perjanjian kerja tersebut.

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan yang disebut anak adalah setiap orang yang berumur 18 tahun (delapan belas) tahun. Undang- undang ketenagakerjaan hanya mengatur ketentuan umur saja yang tertuang dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 76 (ayat) 1. Orang-orang yang dibawah pengampuan adalah orang yang sakit ingatan dan apabila melakukan perbuatan hukum harus mengetahui walinya. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarangnya membuat perjanjian tertentu.

(27)

Undang-undang ketenagakerjaan menyatakan perjanjian kerja dibuat atas dasar kemampuan atau kesepakatan melakukan perbuatan hukum yaitu sesuai dengan Pasal 52 huruf (b). yang berbunyi “ kemampuan atau kecakapan seseorang melakukan perbuatan hukum”.

c. Suatu hal tertentu

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atas tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menentukan kewajiban siberhutang jika terjadi perselisihan. menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, tidak diharuskan oleh undang-undang bahwa barang itu harus ada atau sudah ada ditangan siberutang pada waktu perjanjian dibuat.

Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Hal ini dimaksudkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah artinya tidak bertentangan dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak, perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 52 huruf (c) UU ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja dibuat berdasarkan atas dasar adanya pekerjaan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang berkepentingan untuk melakukan perjanjian tersebut.

(28)

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat yang keempat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Menurut Pasal 52 huruf (d) UU ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerjaan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu sebab yang diperbolehkan atau apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. sebab yang tidak diperbolehkan ialah yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain perjanjian berisikan perikatan lain.9

2.1.2. Kewajiban pengusaha menurut KUH Perdata

Kewajiban pokok dari pengusaha hubungan kerja adalah membayar upah kepada pekerja/buruh menurut Pasal 1602 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut “ Si majikan diwajibkan membayar kepada siburuh upahnya pada waktu yang telah ditentukan”, yang dalam hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1602 huruf (a) “Upah yang ditetapkan menurut lamanya waktu harus dibayar sejak saat siburuh mulai bekerja hingga saat berakhirnya hubungan kerja. Selain membayar upah pekerja/buruh, pengusaha/majikan juga berkewajiban mengurus

9

(29)

pengobatan dan perawatan pekerja, dan juga memberikan surat keterangan sifat pekerjaan yang diperjanjikan.

a. Kewajiban membayar upah

Dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah sesuai Pasal 1602 KUH Perdata kepada pekerjanya tepat waktu. ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan kearah hukum publik. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan upah minimum. Campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah ini penting guna menjaga agar jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlalu rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja meskipun upah tersebut upah paling minimum sekalipun.

b. Mengurus pengobatan dan perawatan pekerja

Pengusaha wajib mengurus perawatan pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan sesuai dengan Pasal 1602 huruf (x) yang berbunyi sebagai berikut “Si majikan diwajibkan, jika seorang buruh yang bertinggal padanya sakit ataupun mendapat kecelakaan, selama berlangsungnya perhubungan kerja’ tetapi paling lama untuk waktu enam minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya yang sepantasnya diterima oleh buruh, sekedar tentang itu tidak telah diadakanaturan atas dasar yang lain. Ia berhak menuntut kembali biayanya dari si buruh, tetapi yang mengenai biaya

(30)

selama empat minggu yang pertama hanyalah apabila sakit atau kecelakaan itu disebabkan kesengajaan atau tak susila siburuh atau akibat dari suatu cacat badan tentang dimana siburuh sewaktu membuat perjanjian dengan sengaja telah memberikan keterangan-keterangan palsu kepada simajikan.

Tiap janji yang kiranya akan mengakibatkan bahwa kewajiban-kewajiban si majikan ini dikecualikan atau dibatasi adalah batal demi hukum”. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan saja, tetapi juga pekerja yang tidak bertempat tinggal di rumahnya. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian, telah dijamin melalui perlindungan jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek.

c. Kewajiban memberikan surat keterangan

Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan pasal 1602 huruf (z) K UH Perdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memeberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tandatangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa kerja), surat keterangan itu juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja. Surat baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.

(31)

2.1.3. Kewajiban pekerja/buruh menurut KUH Perdata

Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, Pasal 1603 huruf (a,b,c) KUH Perdata yang pada intinya adalah sebagai berikut :

a. Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan

Melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukannya sendiri, meskipun demikian dengan seijin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK demi hukum).

b. Buruh/Pekerja wajib mentaati aturan atau petunjuk pengusaha/majikan

Dalam melakukan pekerjaannya buruh/pekerja wajib mentaati peraturan atau petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.

c. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda

Jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian maka sesuai dengan prinsip hukum Pasal 1365 KUH Perdata yaitu, “Perbuatan yang melanggar hukum dan

(32)

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahan untuk mengganti kerugian tersebut pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda kepada majikan/pengusaha.10

2.2. Hubungan kerja menurut UU Ketenagakerjaan

UU Ketenagakerjaan pasal 1 angka (4) memberikan pengertian pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum tetapi maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan-badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu dikaji karena upah selama ini diidentikan dengan uang, padahal ada pula yang menerima imbalan berbentuk barang

Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan , perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat sahnya perjanjian sebagai mana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (30) UU

(33)

Ketenagakerjaan Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau dilakukan oleh pekerja.

2.2.1. Ketentuan Upah Menurut UU Ketenagakerjaan

Bagi pekerja khususnya yang bekerja diperusahan swata terdapat ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang telah ditetapkan oleh pemerintah, besarnya tidak sama setiap Kabupaten/Kota, yang menjadi petanyaan apakah UMK sudah sesuai dengan kebutuhan hidup pekerja? yang menjadi pemikiran selanjutnya apakah besarnya upah yang diterima pekerja itu sudah adil sesuai beban kerja yang diterima oleh pekerja tersebut? Dari kriteria yang diberikan UU Ketenagakerjaan besarnya upah amatlah jauh dari kehidupan yang layak karena itu marilah kita melihat ketentuan SK Menaker No.Kep-81/M/BW/1995 tentang penetapan komponen kebutuhan hidup manusia, berdasarkan ketentuan itu upah didasarkan pada Komponen Hidup Minimum Pekerja (KHMP) dan bukan kebutuhan fisik dari informasi dalam kenyataan sesungguhnya lagi.

Sebagai bahan perbandingan adalah besarnya upah minimum tenagakerja Indonesia yang bekerja diluar negeri, berdasarkan ketentuan SKDirjen P2TKLN No.Kep-314/D.P2TKLN/X/2002 tentang pedoman pelaksanaan penempatan TKI dalam kendali lokasi minimal gaji netto (bersih) yang diterima TKI $ 160.00 (US Dollar) dengan satu Dollar = Rp 8000 maka besarnya gaji adalah Rp 1.260.000 apabila dikaitkan dengan penetapan

(34)

besarnya UMK rata di Indonesia pada saat itu Rp 430.000 bahwa UMK rata-rata di Indonesia dibawah jauh upah standar Pekerja secara Internasional. Akibatnya Indonesia dituding sebagai suatu Negara yang melakukan kemiringan faktor upah berkaitan dengan rendahnya upah pekerja didalam dunia ketenagakerjaan Internasional.

Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dasar dari pemberian upah adalah waktu kerja dan dari ketentuan Pasal 77 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yang diatur dalam pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan :

a. 7 (tujuh) jam, 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu, untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja kerja dalam 1(satu minggu).

Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja diatur dalam Pasal 88 ayar (3) UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut :

1. Upah minimum; 2. Upah kerja lembur;

3. Upah tidak masuk kerja yang berhalangan;

4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya;

(35)

6. Bentuk dan tata cara pembayaran upah; 7. Denda dan potongan upah;

8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; 9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; 10. Upah untuk pembayaran pesangon;

11. Upah untuk penghitungan pajak penghasilan;

Ketentuan upah minimum yang diatur dalam Pasal 88 ayat (3) huruf (a) UU Ketenagakerjaan terdiri atas :

a. Upah minimum berdasarkan atas wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

b. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota 11

Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur dengan keputusan menteri dan pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagai mana Pasal 89 UU Ketenagakerjaan dapat dilakukan pengguhan, tata cara pengguhan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan diatur oleh keputusan menteri.

Pemerintah menetapkan ketentuan upah minimum yang dujelaskan oleh Furqon Karim bahwa “Upah minimum yang diatur pemerintah yang ide awalnya merupakan jarring pengaman agar perusahaan minimal membayar upah dengan

11

(36)

harapan kebutuhan dasar bagi kehidupan pekerja relative mendekati terjangkau. Namun dalam kenyataanya upah minimum masih jauh dari kebutuhan dasar pekerja, sehingga kehidupan dalam hubungan industrial belum menciptakan keharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha.

Apabila pengusaha mewajibkan pekerja untuk bekerja lembur, berdasarkan ketentuan Pasal (6) dan Pasal (7) Kemenakertrans No.KEP.102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja yang bersangkutan. Adapun cara penghitungan upah lembur diatur dalam Pasal (8) sampai dengan Pasal (11) Kepmenakertrans No.KEP.102/MEN/VI/2004. Selanjutnya sebagai upaya memberikan peningatan perlindungan hukum dibidang upah, berdasarkan Pasal 98 UU Ketenegakerjaan diatur mengenai Dewan Pengupahan yang berperan untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah serta untuk mengembangkan sistem pengupahan nasional dibentuk dewan pengupahan nasional.

Keanggotaan Dewan Pengupahan Nasional sebagaimana yang dimaksud terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja, perguruan tinggi, dan pakar hokum. Keanggotaan dewan pengupahan sebagaiman yang dimaksud di tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh presiden sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi Kabupaten Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota sedangkan ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan,

(37)

serta tugas, dan tata kerja Dewan Pengupahan diatur dengan Keputusan Presiden. 12

2.2.2 Syarat sahnya perjanjian kerja menurut UU Ketenegakerjaan

Dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan , perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materil diatur dalam Pasal 52 UU Ketenagakerjaan , sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 UU Ketenagakerjaan.

Syarat materil dari perjanjian kerja berdasarkan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan dibuat atas dasar :

a. Kesepakatan kedua belah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau perundang-undangan yang berlaku.

Apabila kita kaji lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 UU Ketenagakerjaan itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata , perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 53 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa segala hal dan atau biaya yang diperlikan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha, perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat-syarat formil, berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU Ketenagakerjaan yaitu :

12

(38)

1. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :

a. Nama,alamat perusahaan, dan jenis usaha b. Nama,jenis kelamin, umur dan alamat pekerja c. Jabatan atau jenis pekerjaan

d. Tempat pekerjaan

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja

g. Mulai dan jangka waktu perjanjian kerja h. Tempat dan tangal perjanjian kerja dibuat i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja

2. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (e) dan (f) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan perundang-undangan yang berlaku.

3. Perjanjian kerja sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua yang mempunyai hukum yang sama, serta pekerja dan pengusaha masing-masing mendapatkan (1) satu perjanjian kerja.

2.2.3 Beberapa perjanjian kerja menurut UU Ketenagakerjaan

Di dalam melakukan hubungan kerja antara pengusaha atau majikan dengan pekerja, pengusaha lebih senang memilih pekerja dengan sistem kontrak kerja dari pada pekerja tetap. Hubungan kerja yang didasarkan pada sistem kontrak kerja lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan pekerja tetap. Hubungan kerja yang tidak dibatasi pada jangka waktu cenderung tidak efisien.

Anggapan pengusaha menggunakan pekerja tetap tidak efisien karena harus memperhatikan banyak hal yang berkaitan dengan ketenangan kerja,

(39)

misalnya beberapa ketentuan dari peraturan yang mengatur mengenai upah, kesejahteraan, kenaikan upah berkala, tunjangan sosialnya, hari istirahat atau cuti, dan tidak mudah untuk memutuskan hubungan kerja secara sepihak apabila dikemudian hari ternyata pekerja yang bekerja pada pengusaha itu malas.

Hubungan kerja yang didasarkan pada kontrak kerja lebih efisien, karena pengusaha bisa dengan sekehendak hati membuat atau menetapkan syarat-syarat kerja yang disepakati juga oleh pekerja. Dengan suatu misal disepakati hubungan kerja akan berlangsung selama dua (2) tahun dengan upah tertentu untuk jenis pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha. Didalam kontrak kerja tersebut juga ditetapkan hal-hal yang berkaitan dengan tunjangan kesejahteraan dan hari istirahat.

Sistem tersebut membawa dampak yang kurang baik didalam penerapan kontrak kerja, karena lamanya kontrak kerja relative dapat dilakukan dalam jangka pendek. misal kontrak kerja dengan satu bulan kontrak, apabila lolos bisa diperpanjang tiga bulan kontrak kerja, apabila lolos lagi bisa diperpanjang enam bulan, dan selanjutnya bisa ditetapkan kontrak kerja dalam masa satu tahun. Begitu seterusnya dapat diterapkan untuk masa kerja satu setengah tahun dan masa kontrak kerja selama dua tahun.13

Selanjutnya jenis perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Ketenagakerjaan dibedakan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu selanjutnya juga disebut (PKWTT).

13

(40)

1. Lingkup PKWT dan PKWTT

Mengenai perjanjian kerja PKWT lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 57-66 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu antara lain yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak cukup lama dan paling lama (3) tiga tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman dan atau;

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat di adakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat di perpanjang dan di perbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun, hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan ayat (1),ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum perjanjian kerja tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

(41)

Beberapa penjelasan mengenai PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman antara lain :

a. Pekerjaan yang pelaksanaanya tergantung pada musim atau cuaca b. Hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu c. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target

dilakukan sebagai pekerjaan musiman

d. Dilakukan untuk pekerja yang melakukan kegiatan tambahan e. Membuat daftar nama pekerja yang melakukan kegiatan tambahan f. Tidak dapat dilakukan pembaharuan.

3. Pencatatan PKWT

PKWT dicatatkan pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak penandatanganan.

4. Akibat hukum kelalaian yang ditimbulkan dalam PKWT

a. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT

b. PKWT untuk pekerja yang bersifat musiman dibuat untuk lebih satu musim berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja

c. Pekerjaan yang terus menerus dibuat PKWT bukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja

(42)

d. Pekerjaan untuk produk baru atau kegiatan baru tidak sesuai dengan jangka waktu atau dilakukan pembaharuan, berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan adanya penyimpangan

e. Pembaharuan tidak melalui masa tenggang waktu dan tidak diperjanjikan lain berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut

f. Pengusaha mengakhiri hubungan kerja, hak-hak pekerja dan prosedurt penyelesaiannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan bagi PKWT Berdasarkan ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa dalam hal Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan.14 Selain PKWT dan PKWTT Undang-undang 13 tahun 2003 mengenal bentuk perjajian kerja pemborongan pekerjaan, berdasarkan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis atau yang disebut juga dengan outsourcing.

Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) Dilakukan terpisah dari kegiatan utama

14

(43)

b) Dilakukan dengan perintah langsung maupun tidak langsung dari pemberi pekerjaan

c) Merupakan kegiatan penunjang dari perusahaan secara keseluruhan

d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung

5. Ruang lingkup outsourcing

Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjajian pemborongan pekerjaan yang dijelaskan dalam sumber hukum undang-undang bersifat umum dalam Pasal 1601 Huruf (b). UU Ketenagakerjaan ini mengatur dan juga melegalkan outsorcing, istilah yang dipakai adalah perjanjian pemborongan penyediaan jasa pekerja yang disebutkan dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan yang syarat-syaratnya sudah dijelaskan dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan.

Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang berwenang dibidang ketenagakerjaan sesuai Pasal 66 angka (3) UU Ketenagakerjaan. Jika persyaratan tersebut diatas tidak terpenuhi , demi hukum perjajian kerja beralih status dari perusahaan penerima pekerjaan pemborongan kepada perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan.

2.3. Pemutusan Hubungan Kerja disebut (PHK)

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (25) UU Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. PHK berarti suatu keadaan dimana pekerja berhenti bekerja dari pengusaha/majikannya. Pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah harus

(44)

mengusahakan agar jangan terjadi PHK terkait Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

PHK pada dasarnya harus ada izin, kecuali dalam hal tertentu berdasarkan Pasal 153 ayat (1) dan Pasal 154. Terjadinya PHK ada 4 (empat) macam yaitu antara lain PHK demi hukum, PHK oleh Pekerja, PHK oleh pengusaha, dan PHK atas dasar putusan pengadilan.

a. PHK demi hukum

PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila pekerja tersebut meninggal dunia, berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

b. PHK oleh Pekerja

PHK oleh pekerja dapat terjadi apabila pekerja mengundurkan diri atau terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan buruh meminta di PHK, pengunduran diri pekerja dapat dianggap terjadi apabila pekerja mangkir paling sedikit dalam waktu 5 (lima) hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan tertulis maupun alasan yang sah tidak hadir bekerja lagi dalam perusahaan. selain itu berdasarkan Pasal 169 UU Ketenagakerjaan pekerja dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan penyimpangan dalan perjanjian kerja.

c. PHK oleh Pengusaha

PHK oleh pengusaha dapat terjadi karena alasan pekerja tidak lulus masa percobaan, perusahaan mengalami kerugian sehingga menutup

(45)

perusahaannya (lock out), atau pekerja melakukan kesalahan. Dalam pengusaha melakukan PHK kepada pekerja karena kesalahan didalam UU Ketenagakerjaan kesalahan dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu kesalahan berat dan kesalahan ringan, kesalahan ringan tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan tetapi diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Permenaker No.Per-4/Men/1986 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja. Sedang kesalahan berat diatur dalam Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

d. PHK karena putusan Pengadilan

Cara terjadinya PHK yang terakhir adalah karena adanya putusan pengadilan, PHK sebagai akibat munculnya sebagai akibat dari adanya sengketa pekerja dengan pengusaha mengenai perselisihan hubungan industrial. Bentuknya dapat melalui ganti rugi ke Pengadila Negeri (PN) apabila diduga ada perbuatan yang melanggar hukum dari slah satu pihak atau dapat melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

e. Hak-hak pekerja yang di PHK

Hak pekerja yang timbul akibat terkena PHK ada keterkaitannya antara status pekerja, upah pekerja dan alasan PHK yang berbentuk :

1. Apakah pekerja berhak atas pesangon, uang masa penghargaan masa kerja, dan ganti rugi perumahan dan pengobatan?

(46)

Dari ketentuan diatas besarnya pesangon dan hak-hak pekerja dapat dilihat berdasarkan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.15

2.3.1 Perselisihan Hubungan Industrial

Dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 ada 4 (empat ) jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja. Dari ketentuan tersebut diatas dapat dijelaskan mengenai :

a. Perselisihan hak adalah perselisihanyang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak antara pekerja dan pengusaha.

d. Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lainnya dalam satu perusahaan karena

15

(47)

tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban antar keserikatan pekerja 16

Penyelesaian perselihan hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan atau diluar Pengadilan Hubungan Industrial. Prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebelum ke PHI terlebih dahulu hendaknya diupayakan beberapa proses diantaranya dengan cara bipartite, mediasi, konsiliasi, maupun arbitrase.

2.3.2. Penyelesaian melalui Bipartit

Sebelum penyelesaian diajukan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesaian secara bipartite yaitu penyelesaian musyawarah untuk mencapai mufakat antara pekerja dengan pengusaha. Berdasarkan Pasal 1 angka (10) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) perundingan bipartite adalah perundingan antara pekerja, serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Upaya bipartite diatur dalam Pasal 3 – 7 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 (PPHI).

Penyelesaian melalui bipartite harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan, apabila dalam jangka waktu tiga puluh hari tersebut salah satu pihak menolak berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak menemui kesepakatan maka perundingan bipartite dianggap telah gagal. Apabila perundingan bipartite gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisiha ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan

16

(48)

bukti-bukti penyelesaian melalui bipartite, apabila bukti-bukti yang terlampir belum lengkap maka berkas tersebut akan dikembalikan kembali dan akan ditunggu paling lambat 7 (tujuh hari) dari tanggal diterimanya pengembalian berkas untuk segera dilengkapi.

Setelah menerima berkas yang lengkap instanti yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan tersebut wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase maka dalam 7 (tujuh hari) kerja instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator di instansi dibidang ketenagakerjan. Apabila perundingan dapat mencapai kesepakatan penyelesaian maka dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangi oleh para pihak serta perjanjian bersama tersebut mengikat ole para pihak, untuk selanjutnya perjanjian bersama itu wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah hukum para pihak yang melakukan perjanjian bersama. Perjanjian bersama yang telah didaftarkan akan diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bukti bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama.

Pada kesepakatan perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohohan eksekusi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah perjanjian bersama di daftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili diluar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama didaftarkan maka pemohon eksekusi dapat mengajukan

(49)

permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.

2.3.3. Penyelesaian melalui mediasi

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (11) Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja yang hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Dari ketentuan Pasal 1 angka (12)

Undang-Undang No.2 tahun 2004 PPHI mediator hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjan yang memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri ditugaskan melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan.

Upaya mediasi diatur dalam Pasal 8 -16 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 PPHI, dalam hal tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka wajib dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Pada dasarnya lembaga mediasi ini sebagaimana yang kita kenal adalah pegawai perantara Disnaker dan petugas yang melakukan mediasi

(50)

disebut mediator yang bertugas memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih, setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator wajib menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung menerima pelimpahan berkas perselisihan apabila tidak mencapai kesepakatan untuk diberikan surat anjuran, supaya salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi Hubungan Industrial. Hal ini dikarenakan Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. 17

2.3.4. Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Konsiliasi diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No.2 Tahun 2004.Penyelesaian konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota. Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja yang hanya dalam satu perusahaandilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat bekerja pekerja tersebut. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian melalui konsiliator secara tertulis.

Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan

17

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini telah menggunakan tempurung kelapa sawit sebagai bahan api bagi meningkatkan pengetahuan dan kepakaran mengenai penggunaan sumber biojisim tempatan serta

Dalam memandu seorang pemandu harus menguasai berbagai materi atau topik yang akan disampaikan kepada wisatawan, paling tidak tau sedikit tentang semua yang mengandung

Kemudian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (selanjutnya disebut dengan UU Hubungan Luar Negeri) khususnya dalam Pasal 1 angka 3

Paradigma baru pengelolaan sampah menggunakan sistem pengelolaan sampah 3R (reuse, reduce, recycle) dengan sistem pemberdayaan masyarakat. Bank Sampah Malang

Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu dibarengi dengan "keyakinan hakim", bahwa memang

KESIMPULAN Suatu desain produk harus berpusat pada pemakainya (human centered), sehingga untuk mendapatkan sikap kerja yang lebih dinamis diperlukan desain stasiun kerja

“ Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Melalui Model Discovery Learning pada Siswa Kelas V SDN Madyogondo 2 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Tahun

Untuk memahami dan mengetahui lebih jauh ketentuan perundang- undangan mengenai pembuktian terbalik berdasarkan KUHP, KUHAP, dan Pasal 12B, 12C, 37A, 38A, dan