• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Pembiayaan Istishna Menurut Fiqh

BAB II MEKANISME PERJANJIAN PEMBIAYAAN

C. Mekanisme Pembiayaan Istishna Menurut Fiqh

Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan- kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah, salam danistishna’.

Dalam fiqh muamalah, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual- beli, termasuk jenis-jenis jual beli yang dilarang oleh Islam. Macam atau jenis jual-beli itu antara lain:

1. Bai’ al mutlaqah, yaitu prtukaran antara barang atau jasa dengan uang. Berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk- produk lemabga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.

2. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan

sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat mengahsilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.

3.Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dólar, dol;ar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).

4.Bai’ al murahabahadalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual- beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.

5. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak mmeberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.

6. Bai’ al muwadha’ah, yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang- barang atau aktiva tetap yang ila bukunya sudah sangat rendah.

7. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang

disepakati. Bai’ as salam biasanya dialakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.

8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan Bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli melalui pemesanan pembuatan barang, di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagi prinsip model pembiayaan Syariah adalah pembaiyaan berdasarkan prinsip bai’al murahabah, bai’ as salam dan bai’ istisna’. Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank syariah dalam beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 yang dimaksud dengan istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli,mushtashni’) dan penjual (pembuat, shani’).93 Pengertian sejalan juga terdapat dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang menyatakan

istishna’ sebagai transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran

sesuai dengan kesepakatan. Persyaratan tertentu dimaksud adalah sesuai dengan objek barang yang dipesan seperti apabila yang dipesan rumah atau toko tentunya berbeda dengan apabila yang dipesan adalah kenderaan bermotor.94

Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksimurabahah muajjal. Perbedaannya, jual beli murabahah barangnya diserahkan di muka, sedangkan pembayarannya dilakukan secara cicilan, sedangkan pada jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun pembayarannya sama-sama dilaksanakan secara cicilan. Perbedaan antara keduaakadtersebut terletak pada waktu penyerahan barang.95

Adapun perbedaanistishna’dengansalamadalah dalam hal pembayaran. Pada

akad istishna’ pembayaran dilakukan secara cicilan, sedangkan pada akad salam

pembayaran dilakukan secara tunai. Dasar HukumIstishna’

1. Hadis Nabi:

”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR.Tirmizi dari ’Amr bin ’Auf). ”Tidak boleh membahayakan diri sediri maupun orang lain.” (HR.Ibnu Majah, daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).96

2. KaidahFiqh:

94

Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan (ADP) Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011

95

Adiwarman A. Karim,Op.Cit, hlm.126.

”Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”97

3. Pendapat Ulama

Menurut Mazhab Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.98

Ketentuan tentangIstishna’

Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000 tenang jual beli

istishna’telah menetapkan ketentuan tentangistishna’sebagai berikut: Ketentuan tentang pembayaran:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. Ketentuan tentang barang:

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

3. Penyerahannya dilakukan kemudian.

4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5. Pembeli (Mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.

97Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Istishna’ 98Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Istishna’

6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.

7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tdak sesuai denan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkanakad. Ketentuan Lain:

1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.

2. Semua ketentuan dalam jual belisalamyang tidak disebutkan diatas berlaku pula pada jual beliistishna’

3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa mekanisme pembiayaan istishna menurut fiqh didasarkan pada landasan syari’ah. Hal ini disebabkan karena istishna’ merupakan jenis khusus dari salam, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna’. Ketentuan Istishna’ diatur dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000. Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan karena alasan antara lain :

2. Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama

3. Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat

4. Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.99

Menurut fiqh muamalah mekanisme pembiayaan istishna ini menjadikan istishna’ sebagai kasus ijma atau konsensus secara umum. Operasional Istishna’ dalam penyelenggaraannya memiliki syarat utama sama dengan pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai pembangunan konstruksi

Sebagai Contoh

Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.100

Melalui fasilitas istishna’ bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.

99M. Denny Jandiar, Jual Beli Murabahah, Salam, Istishna’ dan Sharf,

http://www.badilag.net, Diakses 2011

Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain. Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas istishna' tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut.

Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna' paralel atau istishna' wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna' wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna') dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah). Adapun Rukun Rukun istishna’ menurut fiqh, adalah (a) Mustashni’ (Pembeli), (b) Shani’ (Penjual), (c) Mashnu’ (Barang), (d) Tsaman (Harga), dan (e) Shighat (Ijab Kabul).

Sedangkan Syarat Istishna’ menurut fiqh adalah :

a) Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli

b) Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji. c) Shani’ menyatakan kesanggupan untuk membuat barang

d) Apabila bahan baku berasal dari mushtasni’, maka akad ini bukan lagi Istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah

e) Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini juga bukan lagi Istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah

f) Mashnu’ (barang yang dipesan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya.

g) Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ (najis, haram/tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat) h) Ketentuan umum istishna’:

i) Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.

Dalam sebuah kontrak istishna’, dapat saja saja pembeli mengizinkan pembuat barang menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Kontrak

baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel yaitu sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagaiShani’.101

Dokumen terkait