• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU Rafaksi Ubi Kayu

SALURAN PEMASARAN UBI KAYU Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Ubi Kayu

7 MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU Rafaksi Ubi Kayu

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia rafaksi berarti pemotongan (pengurangan) terhadap harga barang yang diserahkan karena mutunya lebih rendah daripada contohnya atau karena mengalami kerusakan dalam pengirimannya. Pada beberapa komoditas pertanian, istilah rafaksi sering digunakan untuk menilai kualitas beras, jagung, tebu dan ubi kayu. Namun penilaian kualitas yang telah memiliki acuan standarisasi dengan baik untuk rafaksi hanya terdapat pada komoditas beras yang tertuang dalam tabel rafaksi harga pembelian gabah dan beras yang dikeluarkan oleh Kemeterian Pertanian. Sementara untuk komoditas yang lainnya belum ada aturan standar yang tepat untuk pengukuran kualitas komoditas-komoditas tersebut, termasuk ubi kayu. Tabel di bawah ini memberikan contoh tabel rafaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menilai kualitas beras yang diperjual belikan.

Tabel 15 Contoh Tabel Rafaksi Harga Pembelian Beras di Luar Kualitas Inpres Nomor 1 Tahun 2008

Kadar air Derajat sosoh Butir patah Kadar menir Harga (Rp/Kg)

14 95 20 2 4 300

5 4 275

Sumber : Peraturan Menteri Pertanian 2008

Di Lampung, petani ubi kayu sudah sangat mengenal istilah rafaksi. Rafaksi ubi kayu adalah potongan (pengurangan) berat atau penalti kuantitas untuk menilai kualitas ubi kayu petani yang dinilai rendah. Jadi rafaksi yang disebutkan dalam kegiatan jual-beli ubi kayu di Lampung bukanlah rafaksi yang merupakan pemotongan (pengurangan) terhadap harga karena kualitas ubi kayu yang rendah seperti pada komoditas beras, melainkan pemotongan (pengurangan) terhadap berat ubi kayu petani yang dijual kepada pembeli. Bisa jadi harga ubi kayu yang dijanjikan oleh pembeli seperti pabrik atau lapak terlihat tinggi dan menguntungkan, namun jika rafaksi yang diterima pun tinggi maka petani tidak mendapatkan pendapatan sesuai dengan yang diperkirakannya. Adanya rafaksi

membuat petani merasa dirugikan karena harga hanya menjadi “kamuflase” untuk

menutupi nilai rafaksi yang juga ditetapkan oleh pembeli ubi kayu petani. Misalkan petani menjual hasil panen sebanyak 7 260 kg (Gambar 10), lalu pabrik menetapkan rafaksi sebesar 14 persen, sehingga berat yang dibayarkan oleh pabrik hanya sebanyak 6 240 kg ubi kayu dan sisanya sebanyak 1 020 kg dianggap

50

sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang seperti lapak nilai rafaksi yang ditetapkan bisa lebih tinggi lagi dari rafaksi yang ditetapkan oleh pabrik.

Gambar 11 Nota hasil timbangan ubi kayu petani

Selain nilai rafaksi yang dinilai tinggi, cara penentuan rafaksi bagi petani menjadi sesuatu yang tidak bisa diprediksikan dan terkesan dirahasiakan oleh pembeli. Petani ubi kayu tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai bagaimana penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif ketika petani tidak dapat menduga nilai rafaksi. Penentuan rafaksi seharusnya menjadi kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki pengatahuan yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu bentuk standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual, pabrik) terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk atribut produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat keseragaman dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam kelas-kelas tertentu (Asmarantaka 2013).

Mekanisme Penentuan Rafaksi Ubi Kayu

Beberapa hal yang dinyatakan sebagai kriteria penentuan kualitas ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah menurut Sagala (2011) adalah dari kadar aci ubi kayu, jenis varietas ubi kayu, usia panen dan banyaknya kotoran atau materi lain yang terbawa pada saat panen ubi kayu. Kenyatanya seringkali kriteria kualitas yang dinginkan oleh pabrik atau lapak juga tidak cukup terstandardisasi, seperti kadar aci dan banyaknya kotoran. Sehingga beberapa kriteria yang menjadi nilai kualitas terkadang tidak bisa dijelaskan secara terukur oleh pabrik atau pedagang, maupun petani.

Perbedaan persepsi terhadap kualitas ubi kayu dalam proses jual beli ubi kayu menyebabkan sulitnya pendataan mengenai kualitas ubi kayu yang ditransaksikan. Perlu transparansi oleh pembeli dalam penentuan rafaksi tehadap ubi kayu petani agar potongan berat sesuai dengan kondisi obyektif ubi kayu. Selain usia panen dan varietas ubi kayu yang dapat ditentukan secara pasti, kriteria lain seperti kotoran pada ubi kayu tidak dapat ditentukan secara pasti dan terukur. Petani umumnya tidak menggunakan alat ukur untuk memastikan kualitas

51 tersebut saat transaksi. Kualitas ubi kayu ditentukan hanya menggunkan pengamatan dengan menggunakan penglihatan (secara visual). Dalam penelitian ini, penilaian kualitas ubi kayu didapat melalui persepsi petani dan tidak menggunakan persepsi pedagang atau pabrik. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk memperoleh akses informasi dari kedua lembaga tersebut. Hasil kajian menunjukkan kriteria visual yang digunakan untuk menentukan kualitas ubi kayu berdasarkan persepsi petani adalah sebagai berikut :

Tabel 16. Kriteria Penentuan Kualitas Ubi kayu secara Visual Berdasarkan Persepsi petani

No Kriteria Derajat Kualitas

1 Usia panen >8 bulan

2 Varietas Casesart

3 Bonggol atau batang Terpotong rapi

4 Tanah atau kotoran Sedikit

Pada level pedagang seperti lapak, penentuan kualitas oleh pedagang pengumpul juga tidak menggunakan alat ukur atau sejenisnya, tetapi hanya menggunakan pengamatan visual berdasarkan penglihatan dan pengalaman pedagang, serta informasi yang diberikan petani mengenai keadaan ubi kayunya seperti berapa usia panen dan varietas. Dengan demikian bisa terjadi perbedaan persepsi kualitas, yaitu persepsi petani dan persepsi pedagang. Terutama mengenai kriteria kotoran dan bonggol.

Sementara itu pada pabrik terdapat kriteria kualitas lain yang ditambahkan pada ubi kayu petani yaitu kadar aci, beberapa sumber menyebutkan ada juga penilaian diameter ubi kayu dan kadar kelayuan atau kebusukan. Dalam mengukur kadar aci, pabrik diklaim memiliki sebuah alat yang digunakan secara khusus untuk melihat kadar aci ubi kayu. Kepada petanipun, pabrik tidak terbuka mengenai standar kualitas seperti apa yang mereka tetapkan dan bagaimana cara mereka dalam mengetes ubi kayu untuk menentukan kadar acinya. Petani ubi kayu menambahkan bahwa pengukuran kadar aci tidak dilakukan merata pada setiap truk ubi kayu yang membawa hasil panen, melainkan hanya mengambil sampel dari beberapa truk petani yang datang lebih awal di pagi hari untuk menentukan standar rafaksi yang diberlakukan pabrik pada ubi kayu petani yang dijual hari tersebut secara keseluruhan. Selebihnya untuk kriteria penilaian kualitas ubi kayu yang lain dilakukan secara visual.

52

Gambar 12 Ubi kayu varietas casesart, usia panen 7 bulan, terdapat sedikit bonggol dan kotoran tanah dan dipanen saat penelitian (musim kemarau). Rafaksi 14 persen.

Adanya perbedaan kualitas dan kriterianya berdasarkan persepsi petani, pedagang maupun pabrik, menunjukkan adanya informasi yang asimetris antara ketiganya dan cenderung merugikan petani dalam bertransaksi. Keterbatasan informasi yang dimiliki petani mengenai penentuan rafaksi menyebabkan rasionalitas petani menjadi terbatas (bounded rationality) dan pasrah menghadapi lingkungan pemasaran ubi kayu yang demikian. Satu-satunya “bahasa” kualitas

yang memiliki persamaan dalam pengukuran hanyalah mengenai usia panen dan varietas ubi kayu. Baik petani, pedagang dan pabrik memiliki kesamaan dalam pengukuran usia panen yaitu ubi kayu berusia diatas 8 bulan. Begitu juga dengan varietas ubi kayu. Petani, pedagang dan pabrik memiliki persamaan pengetahuan bahwa varietas casesart dinilai memiliki kadar aci yang lebih tinggi dibandingkan ubi kayu varietas lain seperti BW atau Adira. Sementara untuk kotoran dan bonggol, baik petani, pedagang dan pabrik memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam menafsirkan kriteria “banyak”, “sedang” ataupun “sedikit” nya. Bahkan

bila panen ubi kayu dilakukan di musim kemarau nilai rafaksi bisa turun karena kotoran pada ubi kayu dianggap lebih sedikit, dan sebaliknya pada musim hujan rafaksi bisa naik karena dianggap kotoran pada ubi kayu lebih banyak.

Tabel di bawah ini menunjukkan hasil pengujian secara statistik mengenai hubungan antara usia panen dan rafaksi. Diperoleh nilai r (korelasi) sebesar 0.186 dan tanda pada nilai r menunjukkan negatif. Koefisien korelasi bertanda negatif (-) yang berarti terdapat hubungan negatif antara usia panen dan rafaksi, yaitu semakin tinggi usia maka rafaksi akan semakin kecil dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hipotesis, namun nilai peluang pada hasil pengujian ini sebesar 0.138 yang berarti tidak signifikan. Ini menegaskan bahwa hubungan antara usia panen dan rafaksi tidak diperoleh hasil secara nyata. Nilai yang dihasilkan juga berarti bahwa hubungan antara usia panen dan rafaksi sangat lemah karena nilai r kurang dari 0.200. Untuk pengujian korelasi antara varietas ubi kayu dengan rafaksi ditunjukkan pada tabel di bawah.

Tabel 17 Korelasi antara rafaksi dengan usia panen dan rafaksi dengan varietas

Usia Varietas

Rafaksi Pearson correlation -0.186 -0.073

53 Hasil pengujian secara statistik mengenai hubungan antara varietas ubi kayu dan rafaksi (Tabel 18) diperoleh nilai r (korelasi) sebesar 0.073 dan tanda pada nilai r menunjukkan negatif, serta hasil pengujian yang tidak signifikan. Koefisien korelasi bertanda negatif (-) sesuai dengan hipotesis, yang berarti terdapat hubungan negatif antara varietas ubi kayu dan rafaksi, yaitu rafaksi akan semakin kecil apabila varietas ubi kayu yang dijual petani adalah jenis casesart dan semakin besar bila varietas ubi kayu yang dijual petani bukan casesart. Varietas ubi kayu dinyatakan dengan dummy, dimana dummy =1 adalah varietas ubi kayu casesart, dan dummy = 0 adalah varietas ubi kayu selain casesart. Nilai r pada hasil pengujian juga berarti bahwa hubungan antara varietas dan rafaksi adalah sangat lemah, karena nilai r kurang dari 0.200. Hasil ini menegaskan bahwa hubungan antara varietas dan rafaksi tidak diperoleh hasil secara nyata.

Petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah umumnya lebih banyak menanam ubi kayu varietas casesart karena rafaksi yang diperoleh untuk jenis ubi kayu varietas ini lebih kecil dibandingkan varietas lainnya. Dalam kegiatan budidaya, varietas ubi kayu BW lebih unggul dalam hal ukuran dibandingkan dengan varietas casesart. Untuk membudidayakan varietas BW dibutuhkan waktu lebih singkat karena ukurannya lebih cepat besar dibandingkan varietas casesart. Namun demikian kandungan airnya juga lebih tinggi, sehingga meskipun ukurannya lebih unggul dibandingkan varietas casesart namun pembeli akan menetapkan rafaksi lebih tinggi karena lebih banyak mengandung air daripada aci. Demikian juga untuk varietas lain seperti Adira yang diklaim oleh pabrik lebih kecil kadar acinya bila dibandingkan dengan varietas casesart.

Dalam kegiatan jual beli ubi kayu, proses penimbangan berat ubi kayu yang dijual oleh petani juga tidak dilakukan secara transparan. Ada pembeli yang memperbolehkan petani untuk melihat hasil penimbangan dan ada juga yang tidak. Pada tingkat pabrik, petani lebih sulit untuk dapat ikut menyaksikan proses penimbangan karena jenis timbangan yang digunakan adalah timbangan mobil dengan sistem komputerisasi. Sementara itu pada level pedagang seperti lapak, proses penimbangan ubi kayu ada yang mengguakan timbangan mobil dan ada juga yang menggunakan timbangan kecil (Gambar 12). Dalam melakukan proses penimbangan lapak lebih terbuka dan penimbangan dapat disaksikan oleh petani walaupun timbangan yang digunakan juga jenis timbangan mobil dengan sistem komputerisasi. Sehingga dalam kegiatan ini pedagang pengumpul memiliki keterbukaan dan akses bernegosiasi yang lebih baik dibandingkan dengan pabrik.

Ketidak konsistenan penentuan rafaksi juga terjadi manakala yang menjual ubi kayu adalah petani yang memiliki luas lahan dan hasil panen yang besar. Petani yang memiliki lahan dan hasil panen besar mengakui bahwa ketika akan melakukan penjualan ubi kayu ke pabrik, mereka bisa melakukan tawar menawar terlebih dahulu dengan pabrik tanpa mencabut hasil panen ubi kayunya, mengenai nilai rafaksi yang akan dikenakan pada ubi kayu petani tersebut. Dengan terlebih dahulu melihat usia panen, varietas dan luas lahan tanam, maka pabrik bersedia menurunkan nilai rafaksi kepada petani yang memiliki hasil panen besar. Petani dengan hasil panen yang besar ketika tidak mendapat nilai rafaksi yang menurutnya menguntungkan, maka tidak akan bersedia untuk mencabut dan menjual hasil panennya pada pabrik. Sehingga petani dengan luas lahan besar memiliki dapat mencari pembeli lain yang dianggap lebih menguntungka baginya. Dengan demikian pemberlakuan rafaksi lebih ketat diberikan pada petani yang

54

memiliki jumlah panen sedang atau sedikit dibandingkan dengan petani skala besar. Petani dengan skala usaha lebih besar memiliki bargain position lebih tinggi dibanding dengan petani yang skala usahanya kecil untuk dapat melakukan tawar menawar rafaksi.

Gambar 13 Timbangan mobil (kiri) dan timbangan kecil (kanan) yang digunakan dalam penimbangan jual-beli ubi kayu

Secara umum rafaksi seharusnya memiliki hubungan dengan kadar aci, varietas, usia panen, jumlah kotoran tanah atau bonggol. Kenyataannya hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan hal tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa petani ubi kayu berada pada posisi tawar yang begitu lemah. Ubi kayu dengan kualitas yang lebih baik seharusnya mampu memberikan efek lebih sedikitnya rafaksi yang diterima oleh petani dan begitu pula sebaliknya. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Hudson (2007) yaitu kualitas produk akan mempengaruhi harga. Dimana konsumen akan bersedia membayar dengan harga yang berbeda ketika kualitas produk juga berbeda karena akan memberika kepuasan yang berbeda pula. Selain itu perbedaan dalam kualitas seharusnya merupakan hal yang observable, dimana kriteria perbedaan itu harus mampu diamati dan dirasakan.

Oleh karena itu pengukuran rafaksi yang berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan oleh pabrik seharusnya dapat dibuktikan dengan pengukuran yang akurat untuk mengetesnya. Seringkali kualitas ubi kayu yang sama yang dijual oleh beberapa petani mendapatkan jumlah rafaksi yang tidak berbeda atau sebaliknya kualitas ubi kayu yang berbeda namun diberi jumlah rafaksi yang sama. Sehingga adanya rafaksi tidak membuat petani terangsang untuk meningkatkan kualitas ubi kayu karena menganggap seperti apapun kualias ubi kayu yang dihasilkan tidak akan mempengaruhi jumlah rafaksi yang didapat. Penentuan rafaksi yang demikian tentu akan menjadi permasalahan sangat serius jika terus menerus tidak terdapat penyelesaian bagi petani karena menyangkut masa depan ubi kayu di Lampung. Ketika petani tidak lagi merasa memperoleh pendapatan yang baik dari usahatani ubi kayu maka lambat laun produksi dan luas panen ubi kayu di Lampung akan semakin menurun serta angka impor diprediksi akan semakin meningkat.

55

8 PENGARUH SALURAN PEMASARAN TERHADAP

Dokumen terkait