• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilihan Saluran Pemasaran Oleh Petani Ubi Kayu Di Kabupaten Lampung Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pilihan Saluran Pemasaran Oleh Petani Ubi Kayu Di Kabupaten Lampung Tengah"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI

KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,

PROVINSI LAMPUNG

KUSMARIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

MENGENAI

TESIS

DAN

SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

KUSMARIA. Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah. Dibimbing oleh RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan HARIANTO.

Ubi kayu menjadi komoditas penting di Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen utama ubi kayu di dunia. Selain mengekspor ubi kayu, kenyataanya Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam jumlah yang besar. Harga ubi kayu yang meningkat di Provinsi Lampung ironisnya belum mampu membuat petani meningkatkan produksi ubi kayu, sebaliknya dalam empat tahun terakhir produksi dan luas panen ubi kayu mengalami penurunan. Pabrik dan pedagang juga menetapkan rafaksi (potongan berat) yang nilainya cukup tinggi pada hasil panen yang dijual petani. Saluran pemasaran ubi kayu berperan dalam menentukan harga dan rafaksi yang diterima oleh petani yang pada akhirnya akan mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh petani. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani ubi kayu (2) menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu (3) menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran pemasaran (4) menganalisis pengaruh saluran pemasaran terhadap pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.

Kabupaten Lampung Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan sentra ubi kayu terbesar di Provinsi Lampung. Data primer diperoleh dari 74 responden yang diambil secara acak di kecamatan sentra. Metode yang digunakan adalah model regresi logistik biner untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran ubi kayu, metode deskriptif dan analisis korelasi untuk menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu, serta metode regresi linier berganda dan analisis keuntungan untuk menganalisis pengaruh saluran pemasaran pada pendapatan usahatani ubi kayu.

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran petani ubi kayu adalah harga, jumlah hasil panen, rafaksi dan adanya pinjaman modal. Rafaksi memiliki nilai peluang paling tinggi dibandingkan variabel lain. Mekanisme penentuan rafaksi menurut persepsi petani yaitu tidak terdapat kriteria yang pasti untuk menentukan rafaksi kecuali dalam hal usia panen dan varietas. Kadar aci dan kotoran hanya menggunakan pengamatan secara visual dan tidak terdapat alat ukur untuk mengukurnya. Selain itu tidak terdapat hubungan nyata antara usia panen dan varietas ubi kayu dengan rafaksi yang diterima petani. Pendapatan usahatani ubi kayu paling besar diperoleh petani yang menggunakan saluran pemasaran pabrik, namun nilai R/C rasio menunjukkan petani yang menggunakan saluran pemasaran pemborong memiliki R/C rasio yang lebih tinggi. Namun demikian saluran pemasaran tidak memiliki berpengaruh pada pendapatan usahatani ubi kayu.

(5)

SUMMARY

KUSMARIA. Choice of Marketing Channels by Cassava Farmers’ in Central

Lampung. Supervised by RATNA WINANDI ASMARANTAKA and HARIANTO.

Cassava become an important commodity in Indonesia because Indonesia is one of the major producer of cassava in the world. Besides exporting cassava, in fact Indonesia also imported cassava in large quantities. Prices of cassava growing in Lampung have not been able to make farmers to increase production, considering factories and traders also set rafaksi the farmers sold crops, moreover in the last four years of production and harvested area of cassava has decreased. Cassava marketing channels play a role in determining the price and rafaksi (penalty quantity) received by farmers will ultimately affect the benefits received by the farmer. This research aims are (1) to analyze the factors that influence the choice of marketing channels by cassava farmers (2) analyze the mechanism of determination rafaksi (3) analyze farming profit cassava in each marketing channel (4) analyze the influence choice of marketing channels to farming profit cassava in Central Lampung Regency.

Central Lampung regency chosen as the study site because it is the center of the largest cassava in Lampung Province. Primary data were collected from 74 respondents drawn at random in the district centers. The method used is the model of binary logistic regression to analyze the factors that influence the choice of marketing channels cassava, descriptive and correlation analysis to analyze the mechanism of determination rafaksi cassava, then multiple linear regression method and profit analysis to analyze the effect of marketing channels to farming profit cassava.

The results shows that price, amount of harvest, rafaksi and capital loan significantly affected choice of marketing channels. Rafaksi has the highest value opportunities compared with other variables. Rafaksi determination mechanism by farmers perception are there is no definitive criteria for determining rafaksi except in the age of harvest and varieties. Starch levels and soiled just using the visual observations and there is no measuring instrument to measure it. But there was no real connection between the ages of harvest and varieties of cassava with rafaksi cassava received by farmers. Cassava farming profit gained most farmers who use the factories marketing channel, but the value of R / C ratio showed farmers using marketing channels contractor has a R / C ratio is higher. However marketing channel has no real influence on the cassava farming profit.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI

KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,

PROVINSI LAMPUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Suharno, M.ADev

(9)

Judul Tesis : Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung

Nama : Kusmaria NIM : H351130271

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS Ketua

Dr. Ir Harianto, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pemasaran, dengan judul Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS dan Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Suharno, M.ADev selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr Rita Nurmalina, MS selaku penguji dari program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mamak, suamiku Kak Jojo, anakku Shofi, mbak, mas, dan seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada BP3K Bandar Mataram, Bapak Fatkur dan Bapak Fitriyanto beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan IV.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Sistem Pemasaran Ubi Kayu 10

Saluran Pemasaran 11

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran 12

Kualitas Produk Komoditas Pertanian 13

3 KERANGKA PEMIKIRAN 14

Kerangka Pemikiran Konseptual 14

Kerangka Pemikiran Operasional 22

4 METODE 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Sumber dan Jenis Data 25

Metode Pengumpulan Data 25

Metode Penentuan Sampel 25

Metode Analisis dan Pengolahan Data 26

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31

Keadaan Geografis Kabupaten Lampung Tengah 31

Karakteristik Petani Responden 34

6 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN SALURAN

PEMASARAN OLEH PETANI UBI KAYU 38

Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Ubi Kayu 38 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran 41

7 MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU 49

Rafaksi Ubi Kayu 49

Mekanisme Penentuan Rafaksi Ubi Kayu 50

8 PENGARUH SALURAN PEMASARAN TERHADAP PENDAPATAN

USAHATANI UBI KAYU 55

Keuntungan Usahatani Ubi Kayu 55

Pengaruh Saluran Pemasaran terhadap Keuntungan Usahatani

(14)

9 SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 62

Saran 62

(15)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan ekspor impor ubi kayu tahun 2010 -2015 1 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayudi Indonesia

tahun 2015 4

3 Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung

tahun 2012 6

4 Fungsi – fungsi Pemasaran 16

5 Interpretasi koefisien korelasi nilai r 29

6 Komposisi responden berdasarkan usia 34

7 Komposisi responden berdasarkan pendidikan 35 8 Komposisi responden berdasarkan pengalaman bertani 35 9 Komposisi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga 36 10 Komposisi respionden berdasarkan pekerjaan utama 37 11 Komposisi responden berdasarkan luas lahan 37 12 Komposisi responden berdasarkan kepemilikan lahan 38 13 Fungsi-fungsi pemasaran ubi kayu berdasarkan lembaga

pemasarannya 40

14 Uji Wald (parsial) faktor-faktor yang berpengaruh pada pilihan

saluran pemasaran 42

15 Contoh tabel rafaksi harga pembelian beras di luar kualitas

Inpres Nomor 1 Tahun 2008 49

16 Kriteria penentuan kualitas ubi kayu secara visual berdasarkan

persepsi petani 51

17 Korelasi antara rafaksi dengan usia panen dan varietas ubi kayu 52 18 Analisis keuntungan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah

tahun 2015 56

19 Hasil pendugaan pengaruh saluran pemasaran pada keuntungan usahatani

ubi kayu 61

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009 – 2016 2 2 Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik,

Lampung Tengah 3

3 Pohon Industri Ubi Kayu 5

4 Perkembangan Harga dan Luas Panen Ubi Kayu di Lampung

tahun 2003-2013 7

5 Kerangka pemikiran operasional penelitian 24

6 Peta Kabupaten Lampung Tengah dan Kecamatan Bandar Mataram 31 7 Pedagang pengumpul ubi kayu, lapak dan pemborong 39

8 Agen ubi kayu, supir truk dan mitra 39

9 Saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah 40 10 Saluran pemasaran yang digunakan dalam analisis 41

(16)

12 Ubi kayu casesart, usia panen 7 bulan, masih terdapat sedikit bonggol dan kotoran tanah, serta dipanen saat penelitian (musim kemarau) 52 13 Timbangan mobil dan timbangan kecil yang digunakan dalam

Penimbangan jual beli ubi kayu 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Estimasi Fungsi Regresi Logistik Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran Petani Ubi Kayu 68 2 Hasil Estimasi Fungsi Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Keuntungan Usahatani Ubi Kayu 69

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi kayu (Manihot utilisima) merupakan tanaman lokal daerah tropis yang di Indonesia sendiri banyak digunakan sebagai pangan alternatif. Ubi kayu menjadi salah satu bahan pangan potensial setelah beras dan jagung yang berperan cukup besar dalam mencukupi pangan nasional. Selain sebagai sumber bahan pangan, ubi kayu juga digunakan sebagai bahan pakan (ransum) ternak dan bahan baku berbagai industri. Beberapa negara bahkan telah mengembangkan ubi kayu sebagai sumber bahan bakar energi alternatif (biofuel).

Hasil olahan ubi kayu diperlukan dalam berbagai industri seperti industri pakan, tekstil, kertas, perekat dan farmasi. Konsumsi ubi kayu di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 24 juta ton pada tahun 2011 dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya (Pusdatin 2012). Prospek agribisnis ubi kayu cukup baik mengingat kebutuhan ubi kayu yang tinggi dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Ubi kayu sendiri cukup mudah untuk dibudidayakan dalam artian ringan perawatannya, dapat bertahan terhadap ketersediaan air yang sedikit di lahan kering maupun kurang subur, memiliki daya tahan terhadap penyakit dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk panen. Sehingga keberadaan ubi kayu menjadi kebutuhan yang selain untuk memenuhi pangan dan industri juga menjadi sumber penghasilan bagi petani yang mengusahakannya.

Ubi kayu menjadi komoditas penting mengingat Indonesia menjadi salah satu produsen utama ubi kayu di dunia dengan produksi mencapai 23 juta ton pada tahun 2014 dan produktivitas mencapai 23.36 ton/ha (BPS 2016). Indonesia dan negara penghasil utama ubi kayu seperti Nigeria, Kongo, Brazil dan Thailand, mampu menguasai 95 persen luas panen (FAO 2016) dengan jenis produk ubi kayu yang diekspor ke luar negeri adalah gaplek dan pati ubi kayu (Saliem dan Nuryanti 2011). Pada tahun 2014 total ekspor ubi kayu Indonesia mencapai 114 ribu ton dengan negara tujuan utama adalah China, Malaysia, Amerika Serikat dan Taiwan (Kementan 2016). Selain menjadi pengekspor, pada kenyataannya Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam bentuk pati ubi kayu dengan negara pengimpor utama pada tahun 2015 adalah Thailand dan Vietnam (Kementan 2016). Tabel 1 menunjukkan jumlah ekspor dan impor ubi kayu Indonesia tahun 2011 sampai 2015.

Tabel 1 Perkembangan ekspor impor ubi kayu tahun 2010-2015

Tahun Impor (ton) Ekspor (ton)

2011 435 423 157 662

2012 856 126 52 415

2013 220 189 185 679

2014 365 085 114 501

2015* 498 647 15 152

*Sampai Oktober 2015. Sumber : Kementerian Pertanian 2016

(18)

2

sampai dengan 2015 tren produksi ubi kayu Indonesia cukup fluktuatif mengalami peningkatan yang kemudian mengalami penurunan. Peningkatan produksi ubi kayu meningkat tajam pada kurun waktu 2009 hingga 2010, dan terus meningkat sampai tahun 2012. Namun pada tahun-tahun berikutnya, yaitu tahun 2013, 2014 dan 2015 produksi ubi kayu Indonesia terus menurun (BPS 2016). Hal ini menunjukkan ketersediaan ubi kayu dalam negeri masih belum cukup stabil. Grafik di bawah ini menunjukkan perkembangan produksi ubi kayu Indonesia selama tujuh tahun terakhir.

Gambar 1 Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009-2016 Sumber : Badan Pusat Statistik 2016

Sektor hulu menjadi penting dalam rangka menjaga ketersediaan ubi kayu nasional dimana petani memegang peranan didalamnya. Permasalahan ubi kayu di Indonesia selama ini diantaranya produktivitas ubi kayu yang belum optimal, kepastian pemasaran yang tidak ada serta harga jual ubi kayu yang rendah. Produktivitas ubi kayu di Indonesia masih tergolong rendah dikarenakan ilmu pengetahuan dan teknologi petani ubi kayu juga masih rendah, saprodi yang masih sulit, mahal dan tidak mencukupi serta adanya ketiadaan/kekurangan modal. Tidak adanya kepastian pemasaran berarti petani tidak memiliki kepastian mengenai harga ubi kayu.

Harga ubi kayu di tingkat petani belum mampu membuat petani untuk meningkatkan produksinya hingga mampu menjaga ketersediaan ubi kayu di dalam negeri dan beralih pada komoditas lain yang lebih menguntungkan. Harga ubi kayu yang rendah diduga karena struktur pasar yang tidak efisien, petani tidak memiliki keterkaitan dengan industri ubi kayu, kelembagaan kelompok tani yang masih lemah serta pembinaan pemerintah yang belum baik. Zakaria (2000) dan Sugino et al. (2009) menyebutkan bahwa struktur pasar ubi kayu di tingkat pabrik dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Kondisi pasar yang demikian menyebabkan pabrik tapioka mempunyai kelebihan dalam price control, padahal antara petani dan industri memiliki keterkaitan untuk saling mendapat keuntungan. Selain itu di Lampung sendiri pemerintah tidak memiliki kebijakan yang cukup mendukung petani dalam rangka perlindungan harga terhadap harga ubi kayu.

21500000

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

(19)

3 Petani dan industri seharusnya memiliki keterkaitan untuk saling menguntungkan. Apa yang menjadi kebutuhan industri adalah terpenuhinya jumlah bahan baku ubi kayu dalam kegiatan operasional dengan kualitas baik, sementara tujuan petani adalah produksi ubi kayu terserap, adanya jaminan harga dan pembayaran yang tidak ditunda. Seringkali pada saat panen raya harga ubi kayu menjadi anjlok karena adanya kelebihan pasokan. Disamping itu itu kualitas ubi kayu yang dianggap rendah oleh pabrik menyebabkan petani merugi karena pabrik lebih mempunyai power untuk memberlakukan rafaksi sesuai dengan kualitas ubi kayu petani menurut persepsi pabrik. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, rafaksi berarti pemotongan (pengurangan) terhadap harga barang yang diserahkan karena mutunya lebih rendah daripada contohnya atau karena mengalami kerusakan dalam pengirimannya, namun pada ubi kayu merupakan pemotongan terhadap berat barang. Sehingga pada ubi kayu rafaksi merupakan sistem potongan berat atau penalti kuantitas untuk menilai kualitas ubi kayu petani.

Saluran pemasaran berperan penting dalam menentukan harga ubi kayu yang akan berimbas pada pendapatan yang diterima petani ubi kayu. Setiap saluran pemasaran yang dipilih oleh petani kerap kali memiliki peran dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani yang mungkin saja tidak ditawarkan oleh saluran pemasaran lain. Chirwa (2009) menyatakan bahwa setiap saluran pemasaran menawarkan pilihan harga yang berbeda dan pelayanan penjualan yang berbeda pula, yang menentukan petani dalam memilih saluran pemasaran. Meskipun saluran yang lebih pendek kerap kali diidentikkan lebih efisien, margin yang rendah dalam pemasaran produk serta memiliki harga jual lebih tinggi, namun petani ubi kayu tidak selalu menggunakan saluran tersebut mengingat pada ubi kayu terdapat potongan berat atau rafaksi yang diberlakukan oleh pembeli. Adanya rafaksi diduga membuat pemasaran ubi kayu menjadi tidak efisien. Asmarantaka dkk (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat beberapa lembaga yang ikut menyalurkan ubi kayu ke berbagai pabrik pengolahan ubi kayu seperti lapak atau pemborong (Gambar 2). Selain melalui kedua lembaga tersebut, petani ada yang langsung menjual ke pabrik.

Gambar 2 Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik, Lampung Tengah Sumber : Asmarantaka dkk 2014.

Hinson and Steven (1994) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai aliran yang dilalui oleh produk untuk bergerak dari produsen ke konsumen. Pada berbagai komoditi pertanian, saluran pemasaran membawa pada penggunaan secara langsung (sebagai makanan atau pakan) atau untuk diolah kembali. Akses ke pasar dalam bentuk saluran yang berbeda bagi petani sangat penting untuk memanfaatkan potensi produksi dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani (Anteneh 2011). Qhoirunisa (2014) menyebutkan bahwa saluran pemasaran yang dipilih dan digunakan oleh petani dalam memasarkan komoditas hasil

(20)

4

pertanian memiliki pengaruh terhadap pendapatan yang akan diterima karena berkaitan dengan harga, sehingga petani akan memilih saluran yang lebih menguntungkan baginya. Pada masa lalu keputusan produksi seringkali terlepas dari keputusan pemasaran produk agribisnis. Sedangkan saat ini, keputusan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh bentuk dari lembaga pemasaran (marketing firms) dan konsumen. Hal ini juga guna mengurangi risiko ketidakpastian dan fluktuasi penawaran yang biasanya dilakukan penjualan dengan sistem kontrak antara lembaga pemasaran dengan petani produsen (Asmarantaka 2013). Penelitian ini akan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran, mekanisme penentuan rafaksi serta bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih oleh petani terhadap pendapatan petani.

Perumusan Masalah

Secara historis, Provinsi Lampung merupakan pengahasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Hal ini menyebabkan Lampung menjadi andalan pemasok ubi kayu nasional dan ekspor ubi kayu Indonesia ke luar negeri. Dari lima provinsi penghasil utama ubi kayu di Indonesia, Lampung memiliki luas panen, dan produksi ubi kayu terbesar di Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Komoditas ubi kayu menjadi komoditas utama yang memiliki areal tanam terluas di Lampung yaitu 324 749 ha, yang kemudian disusul oleh komoditas lain yaitu kopi seluas 161 677 ha, karet seluas 94 579 ha, lada seluas 63 640 ha dan kakao seluas 50 328 ha (Lampung Dalam Angka, 2013).

Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu per provinsi tahun 2015

No Provinsi Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)

1 Lampung 301 684 26.64 8 038 963

2 Jawa Timur 149 094 23.19 3 458 614

3 Jawa Tengah 153 201 24.09 3 758 552

4 Jawa Barat 93 921 24.07 2 020 214

5 Sumatera Utara 45 052 33.18 1 495 169

Sumber : Badan Pusat Statistik 2016

(21)

5 ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku tapioka tetapi ubi kayu dengan kadar racun lebih tinggi menghasilkan tapioka dengan kualitas lebih baik (Purba 2002).

Gambar 3 Pohon Industri Ubi Kayu Sumber : BPTP Provinsi Lampung 2008

Pengembangan agribisnis ubi kayu di Lampung masih tersekat-sekat yang nampak dari kenyataan bahwa sub sistem agribisnis hilir dikuasai oleh pengusaha menengah/besar bukan oleh petani, sedangkan petani hanya menguasai subsistem usahatani (on farm) dan sangat sedikit melakukan pengolahan terhadap ubi kayu menjadi produk lain. Pada pasar output atau produk, petani menghadapi kekuatan pasar yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar dan sangat sedikit hubungan organisasi fungsional misalnya kemitraan dengan perusahaan pengolah, serta nilai tambah terbesar yang banyak dinikmati oleh perusahaan dibanding oleh petani. Di Kabupaten Lampung Tengah sebagai pusat sentra ubi kayu di Lampung, terdapat 37 industri pengolahan ubi kayu yang menjadi pasar bagi petani dalam menjual ubi kayunya (Lampung Tengah Dalam Angka 2013). Tabel 3 menunjukkan luas lahan dan produksi ubi kayu per kabupaten di Lampung.

Adanya industri-industri besar di Lampung merupakan peluang pasar yang baik bagi petani untuk menyalurkan hasil panennya, karena hasil panen petani akan mudah terserap oleh pasar. Adanya pedagang perantara baik lapak atau pemborong turut membantu penyampaian produk ke pabrik. Namun kondisi pasar yang demikian tidaklah efisien karena industri tapioka lebih memiliki power dibandingkan petani. Seperti disebutkan sebelumnya struktur pasar ubi kayu di Lampung cenderung oligopsoni dengan monopsony power yang lemah, dimana pasar terdiri dari banyak penjual dan sedikit pembeli. Dalam menjual hasil produknya, petani sebagai penjual memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan tidak bisa mempengaruhi harga, hal sebaliknya pada pabrik yang memiliki power of buyers lebih kuat karena jumlahnya yang sedikit (Lipczynski et al. 2005).

(22)

6

Tabel 3 Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2012

No Kabupaten Luas (ha) Produksi (ton)

1 Lampung Tengah 130 781 3 371 618

2 Lampung Utara 51 782 1 357 275

3 Lampung Timur 47 555 1 236 925

4 Tulang Bawang Barat 38 926 1 058 194

5 Tulang Bawang 19 767 532 395

6 Way Kanan 15 725 373 832

7 Lampung Selatan 10 100 214 730

8 Mesuji 4 629 126 661

9 Pesawaran 3 323 71 001

10 Pringsewu 621 12 850

11 Lampung Barat 674 13 680

12 Tanggamus 585 12 270

13 Bandar Lampung 159 3 390

14 Metro 122 2 530

Jumlah 324 749 8 387 351

Sumber : Lampung Dalam Angka 2013

Harga ubi kayu di Lampung cenderung meningkat (Gambar 4), namun ironisnya produksi ubi kayu di Lampung semakin menurun (Gambar 5). Sebuah paradoks dimana harga yang semakin meningkat pada kenyataannya tidak diiringi dengan meningkatnya produk yang ditawarkan. Luas lahan ubi kayu di Lampung juga semakin menurun dari 368 096 ha pada tahun 2011, menjadi 301 684 ha pada tahun 2015 atau berkurang 18.04 persen dalam lima tahun. Hal ini diduga dikarenakan harga yang diterima petani belum mampu menjadi insentif bagi petani untuk tetap bertahan menanam ubi kayu dan tidak beralih pada komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Harga yang diterima petani juga masih tergolong rendah bila mempertimbangkan adanya rafaksi kuantitas yang nilainya cukup besar pada hasil panen yang dijual petani sehingga membuat sistem pemasaran ubi kayu tidak efisien. Rafaksi menjadi loss (kerugian) yang menyebabkan berkurangnya berat timbangan hasil panen ubi kayu petani yang dijual.

(23)

7

Gambar 4. Perkembangan Harga (kiri) dan Produksi Ubi Kayu (kanan) di Lampung tahun 2003-2013

Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2014; BPS 2016

Keputusan memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting dalam manajemen pemasaran (Kotler 1997). Saluran pemasaran yang dipilih dapat menentukan harga dan biaya sehingga mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. Dalam memilih saluran pemasaran, diduga petani dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti harga, jumlah hasil panen, jarak, usia panen, tingkat pendidikan, rafaksi atau potongan berat sampai adanya pinjaman modal yang diberikan oleh lembaga saluran pemasaran. Harga yang dijanjikan oleh pedagang atau pabrik menjadi sinyal pertama yang dapat mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran yang digunakannya.

Jumlah panen juga diduga ikut mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran ubi kayu dikarenakan pada jumlah-jumlah panen tertentu petani akan memilih lembaga yang sesuai dengan jumlah panen yang dihasilkannya. Petani diduga akan memilih saluran pemasaran selain pabrik jika memiliki hasil panen lebih sedikit untuk dijual. Selain itu lokasi ladang juga mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran karena berkaitan dengan jarak tempuh yang berefek pada biaya transportasi. Tingkat pendidikan berhubungan dengan informasi yang dimiliki oleh petani. Semakin baik informasi yang dimiliki petani maka diduga petani akan memilih saluran pemasaran pabrik atau saluran yang dianggap paling menguntungkan dan paling mudah dalam proses penjualan.

Adanya keterlibatan pedagang dalam memberikan pinjaman modal kepada petani juga diduga ikut mempengaruhi pilihan saluran pemasaran. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa petani ubi kayu kerap kali terkendala oleh modal, terutama untuk petani berskala kecil. Pedagang ubi kayu sendiri yang menjadi saluran pemasaran bisa berdiri independen atau tidak. Artinya dalam beberapa pedagang, struktur pasar yang berlaku yaitu pedagang dalam skala/tingkatan yang lebih kecil merupakan perpanjangan tangan dari pedagang atau perusahaan yang skala/tingkatan yang lebih besar. Dengan demikian terjadi jalinan perdagangan dimana pihak pedagang/pabrik yang lebih besar bisa berkontribusi memberikan modal kerja kepada pedagang yang lebih kecil. Dan perilaku ini diduga ikut menurun oleh pedagang untuk memberikan modal kepada petani agar petani menjual produk kepada pedagang tersebut. Sehingga dalam rangka mendapatkan

(24)

8

dana untuk usahatani, petani terlibat dalam kelembagaan saluran pemasaran yang memiliki kontrak yang tinggi dan sulit untuk berpindah pada alternatif saluran pemasaran yang lain. Hal ini dikarenakan pedagang yang bertindak menjadi saluran pemasaran juga dapat menjadi sumber keuangan bagi petani untuk mendapatkan modal.

Kualitas ubi kayu yang dijual oleh petani memiliki keterkaitan dengan saluran pemasaran yang dipilih petani dalam memasarkan produknya. Pabrik melihat kualitas ubi kayu dari kadar aci ubi kayu, jenis varietas ubi kayu, usia panen dan banyaknya kotoran atau materi lain yang terbawa pada saat panen ubi kayu (Sagala 2011). Selain hal tersebut ukuran diameter ubi kayu, tingkat kelayuan dan kebusukan, serta persentase bonggol juga diduga menjadi pertimbangan. Pabrik atau pedagang ubi kayu memberlakukan sistem potongan berat atau penalti yang dikenal dengan istilah rafaksi kuantitas untuk menilai kualitas ubi kayu petani. Semakin sedikit kadar aci, kotoran, tua usia panen maka semakin kecil potongan berat atau rafaksi yang diberikan pada hasil panen yang dijual oleh petani, begitu pula sebaliknya.

Selama ini petani tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif apabila petani sebagai penjual produk tidak dapat menduga nilai rafaksi dan hanya ditentukan sepihak oleh pembeli. Penentuan rafaksi seharusnya menjadi kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki pengatahuan yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu bentuk standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual, pabrik) terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk atribut produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat keseragaman dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam kelas-kelas tertentu (Asmarantaka 2013).

Rafaksi yang diberlakukan oleh pabrik atau pedagang pada hasil panen petani melalui sistem perhitungan yang tidak transparan dan cenderung dianggap merugikan petani ubi kayu. Rafaksi yang seharusnya menjadi ukuran agar ubi kayu yang dijual petani sesuai dengan kualitas yang ditentukan oleh pembeli, namun dalam prakteknya penentuan rafaksi yang merupakan potongan berat terkadang menjadi salah satu sarana bagi pabrik atau pedagang untuk mendapatkan pendapatan lebih dari selisih rafaksi yang ditetapkan pada masing-masing lembaga. Dalam 20 ton hasil panen petani misalnya, pabrik bisa menetapkan rafraksi 15 persen, sehingga tonase yang dibayar hanya 17 ton dan 3 ton sisanya dianggap sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang nilai rafaksi yang ditetapkan bisa lebih tinggi lagi. Penentuan rafaksi yang demikian tentu akan menjadi permasalahan sangat serius jika terus menerus tidak terdapat penyelesaian bagi petani karena menyangkut masa depan ubi kayu di Lampung. Ketika petani tidak lagi merasa memperoleh pendapatan yang baik dari usahatani ubi kayu maka lambat laun produksi dan luas panen ubi kayu di Lampung akan semakin menurun dan menyebabkan impor semakin meningkat.

(25)

9 memberikan alternatif harga jual yang lebih baik bagi petani ubi kayu sehingga memberikan pendapatan yang maksimal.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?

2. Bagaimana mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?

3. Bagaimana pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran pemasaran?

4. Bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap pendapatan yang diperoleh oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.

2. Menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.

3. Menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran pemasaran di Kabupaten Lampung Tengah.

4. Menganalisis pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.

Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran dan hubungannya dengan pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah, diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Petani dan lembaga pemasaran lainnya, yaitu memberikan informasi penentuan rafaksi yang lebih baik dan pelaksanaan fungsi pemasaran bagi setiap lembaga pemasaran yang terlibat agar terjadi pembagian harga yang sesuai dan peningkatan keuntungan.

2. Pemerintah dan pengambil keputusan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan untuk pengembangan ubi kayu yang lebih baik di Lampung.

3. Penulis sendiri, penelitian ini merupakan salah satu proses belajar dalam menganalisa suatu permasalahan dan menambah daya analisis pemasaran ubi kayu dan pendapatan usahataninya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi tambahan untuk penelitian yang berkaitan dengan pemasaran ubi kayu selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(26)

10

usahatani ubi kayu. Penelitian hanya melihat perilaku ditingkat petani dan tidak mengarah pada lembaga pemasaran selanjutnya serta sistem pemasaran ubi kayu secara keseluruhan. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran, saluran yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu pabrik dan selain pabrik. Hal ini dikarenakan untuk melihat perbedaan antara lembaga yang melakukan fungsi utamanya dalam hal fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian) yaitu pedagang, dengan lembaga yang fungsi utamanya selain fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), juga melakukan fungsi fisik (pengolahan ubi kayu) yaitu pabrik. Pedagang mendapatkan keuntungan dari kegiatan jual beli ubi kayu sedangkan pada pabrik mendapatkan keuntungan selain dari jual beli ubi kayu juga dari hasil pengolahan ubi kayu. Pada penelitian ini pengukuran kualitas ubi kayu hanya dibatasi pada pengukuran berdasarkan persepsi dari petani dan tidak menghimpun informasi dari lembaga lain seperti pedagang atau pabrik. Penelitian hanya dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah yang merupakan sentra ubi kayu di Lampung, sehingga dengan asumsi sudah mewakili daerah sentra produksi ubi kayu di Indonesia.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pemasaran Ubi Kayu

Beberapa negara penghasil ubi kayu di dunia memiliki permasalahan yang relatif sama dengan di Indonesia. Di Nigeria, petani ubi kayu banyak menghadapi kendala dalam pengolahan dan pemasaran ubi kayu. Sistem pemasaran ubi kayu terdiri dari tengkulak yang membeli dari para petani di pedesaan dengan harga murah dan menjual dengan harga tinggi kepada konsumen perkotaan dan prosesor. Share petani sangat rendah karena kendala pemasaran dan ada kebutuhan untuk mengolah ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tinggi sehingga memenuhi kebutuhan konsumen. Petani tidak mampu untuk menjual ubi kayu ke daerah perkotaan karena mereka miskin dan tidak memiliki sarana untuk mengangkut ubi kayu ke pasar (Otukpe 2010; Fefa and Cristopher 2014; Asogwa 2013). Sementara itu di Kamerun harga ubi kayu lebih banyak dipengaruhi oleh biaya transportasi, akses ke jalan beraspal, harga beras dan jagung (Mvodo dan Dapeng 2012). Secara umum pemasaran ubi kayu di negara berkembang masih banyak terkendala dengan kurang baiknya saluran pemasaran, infrastruktur dan informasi pasar yang buruk, pasokan yang tidak menentu dan kualitas ubi kayu (Prakash, 2005).

(27)

11 dengan pedagang, karena antar makelarpun ada perkumpulan yang tidak bisa dilanggar, terutama untuk ubi kayu yang berasal dari luar daerah setempat. Pedagang pengumpul yang berupa pemborong/penebas umumnya membeli langsung ke petani dengan cara tebasan. Dalam melakukan tawar menawar agar tidak rugi, maka penebas biasanya sudah memiliki ilmu dalam jenis varietas, kesuburan tanah, umur tanam dan informasi harga. Ubi kayu yang didapat dari petani kemudian dijual ke pengusaha tapioka.

Zakaria (2000) dalam penelitiannya mengenai analisis penawaran dan permintaan produk ubi kayu Lampung menyatakan bahwa pasar ubi kayu di tingkat pabrik dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Pasar terdiri dari banyak penjual (petani) serta pembeli (pabrik dan pedagang) yang tergolong sedikit. Dengan demikian dalam melakukan penjualan produknya petani penerima harga (price taker) dan petani terpaksa menerima rafraksi yang cukup besar. Biaya transportasi ubi kayu dari lokasi sentra produksi ubi kayu ke sentra pabrik gaplek atau tapioka belum optimal. Alternatif kelembagaan transaksi yang mampu memberikan biaya trasportasi ubi kayu minimal adalah kelembagaan kemitraan yang dibentuk oleh para petani di suatu sentra produksi dengan pabrikan di sentra industri gaplek atau tapioka yang lokasi lahan usahatani dan pabriknya saling berdekatan.

Saluran Pemasaran

Hasil penelitian mengenai saluran pemasaran produk pertanian primer di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pada saluran pemasaran kentang di Eritrea saluran pemasaran potensial adalah melalui pedagang grosir, pengecer dan langsung kepada konsumen. Mayoritas (78.3 persen) dari petani mengindikasikan bahwa sebagian besar produk mereka dipasarkan melalui grosir diikuti oleh pengecer (27.5 persen) (Ghebreslassie 2014). Sementara itu di Swazinland petani sayuran sangat sulit untuk bisa menjual produknya di pasar secara langsung, sehingga pedagang besar yang menjadi pilihan (Xaba 2013). Chirwa (2009) menyatakan bahwa setiap saluran pemasaran menawarkan pilihan harga yang berbeda dan pelayanan penjualan yang berbeda pula, yang menentukan petani dalam memilih saluran pemasaran.

(28)

12

perusahaan inti, akibatnya petani hanya menerima laporan jumlah produksi CPO (crude palm oil), keadaan demikian ini terjadi karena sampai saat ini KUD belum melakukan pengawasan terhadap pengelolaan rendemen. (4). Ketidak setaraan pengetahuan dan informasi pasar antara perusahaan inti dengan petani plasma, sering terjadi pada saat pembelian TBS, perusahaan inti membeli TBS dari petani plasma dengan harga lokal (rupiah), sedangkan peruasahaan inti menjual CPO dengan harga $ (US Dollar), hal ini terjadi karena perusahaan inti mempunyai akses pasar ekspor, sedangkan petani tidak pernah mengetahui harga CPO di pasar luar negeri, terjadilah disparasi harga, kondisi ini merugikan pihak petani plasma (Badri, 2011).

Asmarantaka dkk (2014) meneliti mengenai pemasaran ubi kayu di Lampung memberikan hasil bahwa umumnya terdapat tiga saluran ubi kayu dari petani ke pabrik. Saluran pertama yaitu dari petani langsung ke pabrik, saluran kedua dari petani ke pemborong lalu ke pabrik, dan saluran ke tiga dari petani ke lapak lalu ke pabrik. Ayatillah (2013) yang melakukan penelitian mengenai komparasi saluran pasar dan modern di Kabupaten Bandung menyatakan bahwa adanya saluran pasar modern terhadap petani berdampak pada meningkatnya produktivitas sayuran yang dihasilkan oleh petani, meningkatnya pendapatan dan meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume perdagangan sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta saluran pemasaran tradisional menjadi lebih pendek.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran

Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan lembaga pemasaran kakao di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa karakteristik petani seperti (1) luas lahan kakao, (2) hasil produksi kakao, (3) pendidikan, (4) jumlah tanggungan keluarga, (5) pendapatan keluarga petani (Dewi 2012) serta umur petani dan harga jual biji kakao (Akbar 2013) mempengaruhi petani dalam memilih kelembagaan tataniaga kakao. Sebagian besar petani memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan pedagang pengumpul desa/kecamatan dalam hal meminjam uang/modal. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki pilihan lain dalam menjual hasil produksinya dan harga jual yang relatif rendah ditentukan sepihak oleh pedagang. Semua faktor yang berpengaruh terhadap pilihan kelembagaan tataniaga oleh masing-masing petani menggunakan pendekatan model fungsi logistik, yaitu pengembangan model probabilitas linear (Dewi 2012; Chirwa 2009; Xaba 2013).

(29)

13 keuntungan petani dan menurunkan keuntungan perusahaan perantara. Sebagian besar petani (71 persen) terlibat dalam kelembagaan pedagang principal agent yang begitu kuat.

Suatu kelembagaan principal-agent merupakan suatu hubungan agensi yang lebih dihubungkan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) mengajak orang lain (agent) menyelenggarakan beberapa jasa dengan pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen. Purwaningsih (2006) menyebutkan bahwa principle agent adalah pola kerjasama keagenan, dimana satu perusahaan besar bekerja sama dengan beberapa agen, baik dalam distribusi input produksi maupun dalam pemasaran hasil. Beberapa hal diantaranya yang manjadi faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran yaitu informasi dan ketersediaan kontrak perjanjian (Jari 2009). Namun keterbatasan informasi menyebabkan rasionalitas petani terbatas (bounded rationality) (Urquieta 2009). Sehingga petani bertindak seakan-akan tidak rasional. Menurut Wiliamson (1996), dengan alasan bounded rationality, kontrak yang komprehensif merupakan suatu pilihan yang tidak layak. Karena kondisi pengetahuan petani tidak memungkinkan baginya dalam memahami keluasan kontrak tersebut.

Qhoirunisa (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani padi dalam menjual hasil panennya adalah lama pendidikan petani dan kemudahan dalam menjual hasil panen. Sementara itu peluang petani untuk memilih koperasi sebagai lembaga pemasaran akan semakin besar dengan semakin tingginya tingkat pendidikan formal petani dan apabila petani menjadi anggota koperasi pada pemasaran sawit di Banyuasin (Malini dan Desi 2010 ). Mzyece (2010) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kacang di Zambia dalam pemilihan saluran pasar diantaranya harga, jumlah persediaan, transportasi, tingkat mekanisasi dan status perkawinan. Sementara untuk kopi di Southern Ethiopia faktor yang mempengaruhi diantaranya pendidikan, proporsi lahan yang dialokasikan untuk kopi, proporsi pendapatan petani keseluruhan terhadap total pendapatan, kinerja kandang, kepuasan terhadap kinerja koperasi, dan cara pembayaran (Anteneh 2011; Ogunleye 2007). Faktor sosial, seperti tingkat kedekatan dan kekerabatan juga menjadi hal bisa yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran (Jari 2009).

Studi mengenai pemilihan saluran pemasaran lebih banyak mengkaji pada level petani, sementara itu Sujarwo et al. (2014) yang melakukan studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran pada tingkat pedagang karet di Jambi menyatakan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi pilihan saluran pemasaran pedagang adalah lokasi, akses kredit, akses informasi, keuntungan dan karakteristik pedagang. Pedagang cenderung tidak menjual ke pabrik jika jumlah karet sedikit, akses informasi lebih baik, dan proses birokrasi yang lebih mudah, meskipun lokasinya lebih jauh.

Kualitas Produk Komoditas Pertanian

(30)

14

air dan kotoran. Penilaian kualitas ini disebut rafaksi, yang bisa berupa pengurangan terhadap harga ataupun berat terhadap kualitas jagung yang diluar standar. Namun informasi mengenai standar kualitas ini tidak cukup pada level pedagang desa. Terlebih lagi mereka tidak memiliki alat dan hanya memiliki metode sederhana untuk menghitung kadar air. Sedangkan karakteristik kualitas lain terus ditambahkan oleh industri pakan seperti benih busuk, jamur, warna dan lain-lain. Petani dan pedagang tidak dapat menemukan syarat tersebut pada pasar ditingkat bawah.

Kualitas ubi kayu sering dinilai dari banyaknya penalti kuantitas atau disebut dengan rafaksi yang diberikan melalui potongan berat terhadap hasil panen ubi kayu yang dijual petani. Akiyama dan Nishio (1996) menyebutkan bahwa dalam penentuan rafaksi ubi kayu di Lampung, petani tidak diizinkan untuk melihat proses penentuannya, seperti kadar aci dan kemurnian ubi, termsuk juga proses penimbangan. Sugino dan Henny (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pabrik di Lampung Timur tidak terbuka mengenai standar kualitas yang mereka tentukan dan bagaimana cara mereka dalam mengetes ubi kayu untuk menentapkan kualitas ubi kayu yang dijual petani. Petani ubi kayu di Lampung tidak diperkenankan melihat proses penimbangan ubi kayu yang dilakukan oleh pabrik. Oh (1983) dalam tulisannya menyebutkan transaksi jual beli komoditi pertanian dalam negeri cenderung tidak menggunakan standardisasi dan grading dibandingkan dengan transaksi komoditi yang diekspor. Meskipun dalam hal ini sebenarnya terdapat standard dan grading. Dan yang lebih penting lagi kualitas grading dan klasifikasi dari komoditi lebih banyak dilakukan oleh pembeli. Pembeli memiliki posisi yang lebih baik dalam memperdebatkan hal ini. Wiyanto dan Kusnadi (2013) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat menyatakan bahwa penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah penggunaan pembeku selain pembeku terbaik dan dianjurkan lembaga penelitian karet yakni asam semut. Selain pembeku, penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah tercampurnya koagulump dengan kotoran seperti tatal, daun dan karet kering yang berwarna hitam. Dengan adanya hal ini petani melakukan perbaikan kualitas karet, yang ternyata menyebabkan adanya peningkatan keuntungan dengan lebih tingginya harga karet tersebut. Karena peningkatan kualitas karet di tingkat petani hanya akan berhasil jika terdapat keuntungan dari peningkatan kualitas yang dilakukan petani berupa tambahan pendapatan.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Konsep Pemasaran

(31)

15 yang terjadi dalam upaya menciptakan atau menambah nilai guna (bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan) dengan tujuan memenuhi kepuasan konsumen akhir (Kohls 1967; Asmarantaka 2013).

Alma (2011) mengatakan bahwa pemasaran mencakup berbagai kegiatan seperti membeli, menjual, dengan segala macam cara, mengangkut barang, menyortir, menyimpan dan sebagainya, yang bersifat produktif dan dapat menimbulkan kegunaan (utility). Cramer (1998) juga menjelaskan mengenai konsep kegunaan ini. Pemasaran didefinisikan sebagai kegiatan usaha yang menggerakkan aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen atau pengguna akhir. Baik yang berakhir pada konsumen yang membeli produk di toko eceran atau sebagai bahan baku untuk tahap produksi lain. Pemasaran mencakup perusahaan pasokan input yang melayani pertanian dan peternakan. dengan demikian, pemasaran terdiri dari usaha-usaha yang transfer pengaruh kepemilikan dan yang menciptakan kegunaan waktu, tempat dan bentuk.

Pada negara yang maju kegiatan pemasaran lebih berorientasi pada keinginan masyarakat (buyer’s market), sedangkan untuk negara berkembang kegiatan pemasaran berorientasi pada kebutuhan masyarakat (seller’s market). Dan setiap komoditas pemasaran memiliki cara yang khusus untuk mencapai pergerakan produk dari produsen ke konsumen akhir melalui berbagai lembaga yang disebut dengan saluran pemasaran (Kohls 1967). Dalam kegiantannya pemasaran memiliki tiga pendekatan. Pendekatan tersebut yaitu pendekatan kelembagaan (institutional approach), pendekatan fungsi (fungtional approach) yang terdiri atas fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas, serta pendekatan komoditi (commodity approach) (Alma 2011 ; Seperich 1994).

Kebanyakan orang mengira marketing (pemasaran) adalah selling (penjualan) atau advertising (iklan), meskipun benar selling dan advertising adalah bagian dari marketing. Namun marketing lebih luas dibandingkan dengan selling atau advertising (Mc Carthy dan William 1991). Pemasaran menekankan pada apa yang diinginkan konsumen, perusahaan merancang produk yang bertujuan untuk memuaskan selera konsumen, berorientasi pada profit atau laba total, bukan pada laba per unit barang, dan rencana dibuat dalam jangka panjang untuk memikirkan pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang (Stanton 1981 dalam Alma 2011). Sedangkan penjualan lebih menekankan kegiatan pada produk, dimana perusahaan mula-mula membuat produk lalu menjualnya, manajemen berusaha pada tercapainya volume penjualan sebesar-besarnya, dan biasanya rencana dibuat dalam jangka pendek.

Pemasaran mencakup dua aspek yaitu aspek ekonomi atau makro dan aspek manajemen atau mikro. Pemasaran dalam aspek makro adalah proses sosial yang mengarahkan aliran ekonomi barang dan jasa dari produsen ke konsumen dengan cara yang efektif, sesuai penawaran dan permintaan masyarakat. Pemasaran dalam aspek mikro adalah kegiatan yang berusaha untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan dengan memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan atau klien, dan mengarahkan aliran kebutuhan barang dan jasa dari produsen ke konsumen atau klien (Mc Carthy dan William 1991; Asmarantaka 2013).

(32)

16

Pada pasar ekonomi terbuka kesembilan fungsi tersebut normalnya dilakukan oleh middlemen. Middlemen ada dikarenakan perantara mampu melakukan beberapa tugas-tugas pemasaran yang lebih efisien daripada harus dilakukan oleh perusahaan. Perantara membantu untuk mengatasi perbedaan dalam jumlah, tempat, waktu pilihan dan kepemilikan yang timbul. Perantara adalah perusahaan bisnis yang membantu perusahaan menemukan pelanggan atau mendekatkan penjualan kepada perusahaan. Terbagi menjadi dua jenis, yaitu agen perantara dan pedagang perantara. Agen perantara (agen, broker, wakil-wakil produsen) bertugas mencari pelanggan atau melakukan negoisasi kontrak tetapi tidak melakukan pemindahan hak milik barang. Perusahaan akan membayar mereka berupa komisi. Sedangkan pedagang perantara adalah (pedagang grosir, eceran) berfungsi untuk membeli, melakukan pemidahan hak milik dan menjual kembali barang-barang tersebut.

Pemasaran yang baik dilihat melalui efisiensi pemasaran. Secara umum pasar dinilai efisien apabila mampu menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen dengan biaya sekecil-kecilnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak yang ikut dalam produksi dan pemasaran barang/jasa tersebut. Namun ukuran efisiensi tidak hanya dinilai dari hal tersebut, Asmarantaka (2013) menyebutkan bahwa ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat di dalam mengalirkan barang/jasa mulai dari petani sampai konsumen akhir. Oleh karena itu, banyak pakar yang mempergunakan ukuran efisiensi dengan menggunakan efisiensi operasional, efisiensi harga dan efisiensi relatif. Efisiensi teknis berkaitan dengan cara dimana fungsi-fungsi pemasaran fisik dilakukan untuk mencapai output maksimum per unit input sedangkan efisiensi harga dipengaruhi oleh kekakuan biaya pemasaran, sifat dan tingkat kompetisi di industri (Kohls 1967; Cramer 1988).

Tabel 4 Fungsi – Fungsi Pemasaran

Seperich (1994) mengungkapkan bahwa sistem pemasaran yang berjalan baik dapat dilihat dengan dua kriteria yaitu :

1. Efficiency, bagaimana barang dan jasa mengalir dari produsen ke konsumen.

(33)

17 Pasar memiliki struktur yang dapat dilihat dari konsentrasi industrinya (Baye 2010). Cramer (1988) menjelaskan bahwa struktur pasar menekankan sifat persaingan pasar, dan upaya untuk menghubungkan variabel kinerja pasar terhadap jenis struktur pasar dan perilaku pasar yang terbentuk. Struktur pasar adalah deskripsi dari jumlah dan sifat peserta dalam pasar. Termasuk jumlah dan distribusi ukuran pembeli dan penjual di pasar, tingkat diferensiasi produk dan hambatan untuk pendatang potensial. Pada kondisi pasar yang terkonsentrasi, kekuatan dari perusahaan yang besar pada pasar bisa mempengaruhi harga produk pada pasar tersebut. Dominasi dari satu atau sedikit perusahaan akan memberikan kemampuan untuk memanipulasi harga tidak hanya dengan menaikkan harga produk, tapi juga memperluas pasar dengan menurunkan harga produk.

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk mengatakan bahwa pasar memiliki struktur yang efisien dan adil (Seperich 1994), diantaranya :

1. Jumlah dan ukuran perusahaan dalam industri. Keberadan banyak perusahaan kecil dan sedikit perusahaan besar adalah yang terbaik. Perusahaan memang perlu untuk memperbesar usahnyanya untuk memperkecil biaya produksi per unit output, namun tidak terlalu besar sehingga tidak mendominasi pasar.

2. Tidak ada hambatan untuk masuk atau keluar pasar.

3. Kompetisi diantara perusahaan-perusahaan memaksa perusahaan untuk melakukan yang lebih baik.

Asmarantaka (2013) menyebutkan bahwa dalam garis besarnya ada dua kelompok struktur pasar yaitu pasar persaingan sempurna (perfect competition) dan pasar tidak bersaing (monopoli atau monopsoni), sedangkan jenis lainnya merupakan struktur pasar dengan jenis diantara kedua struktur tersebut (persaingan monopolistic, oligopoly, dan duopoly). Diantara semua jenis pasar, struktur pasar yang efisien adalah pasar persaingan sempurna. Tingkat kompetisi yang menurun, mempunyai konsekuensi penurunan efisiensi pasar. Oleh sebab itu, struktur pasar yang cenderung memiliki karakteristik mendekati pasar persaingan sempurna adalah pasar yang efisien. Sebaliknya dengan struktur pasar monopoli (hanya ada satu penjual) atau monopsony (hanya ada satu pembeli), dikatakan struktur pasar yang tidak efisien.

Pilihan Saluran Pemasaran

(34)

18

organisasi dalam proses penyaluran barang dan jasa dari produsen hingga ke konsumen disebut lembaga pemasaran atau perantara (Bovee dan Thill 1992).

Dalam kegiatan pemasaran, keputusan memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting (Kotler 1997). Lebih lanjut Kotler dan Keller (2009) menyebutkan bahwa saluran yang dipilih mempengaruhi keputusan pemasaran lainnya, seperti keputusan terhadap harga. Dalam memilih saluran pemasaran, harga dan kenyamanan dalam kegiatan pemasaran dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan saluran. Coughlan et al. (2006) menyebutkan bahwa keputusan dalam pemilihan saluran pemasaran dapat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi dari struktur saluran.

Peran lembaga pemasaran adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas keseluruhan dari suatu saluran pemasaran. Levens (2010) menjelaskan bahwa lembaga pemasaran terdiri dari empat tipe yang meliputi:

1. Pedagang besar/grosir,yaitu perusahaan yang memperoleh produk dalam jumlah besar dari perusahaan manufaktur dan kemudian melakukan proses sortasi, penyimpanan, dan penjualan kembali kepada pedagang pengecer atau bisnis lain.

2. Pedagang pengecer, yaitu seluruh anggota saluran yang terlibat secara langsung dalam penjualan produk atau jasa untuk konsumen.

3. Agen, yaitu orang yang memfasilitasi pertukaran barang atau jasa tetapi tidak memiliki barang yang yang mereka jual.

4. Fasilitator, yaitu orang yang membantu dalam pendistribusian barang dan jasa tetapi tidak memiliki barang yang mereka jual dan tidak ikut serta dalam negosiasi penjualan.

Seringkali petani sebagai penjual memiliki kelemahan dalam penguasaan informasi dan kemampuan bernegosiasi. Oleh karena itu lembaga pemasaran kerap kali menjembatani petani ketika menjual produknya karena memiliki kelebihan dalam hal tersebut. Lembaga pemasaran seperti agen membantu petani dalam proses penjualan produk dan menjadi wakil petani dalam berjual beli. Suatu permasalahan dalam hubungan ini muncul ketika para lembaga pemasaran justru mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri dibandingkan keinginan petani sebagai pemilik produk. Sementara itu Soekartawi (1987) menjelaskan bahwa saluran pemasaran amat penting fungsinya bagi petani, khususnya dalam melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pemasaran.

(35)

19 Kotler (2005) menyebutkan bahwa anggota-anggota saluran pemasaran melaksanakan sejumlah fungsi utama yaitu:

1. Mengumpulkan informasi mengenai calon pelanggan dan pelanggan sekarang, pesaing, dan pelaku serta kekuatan lainnya dalam lingkungan pemasaran tersebut.

2. Mengembangkan dan menyebarkan informasi persuasif untuk merangsang pembelian.

3. Mencapai kesepakatan mengenai harga dan ketentuan-ketentuan lain sehingga peralihan kepemilikan dapat terlaksana.

4. Melakukan pemesanan kepada produsen.

5. Memperoleh dana untuk membiayai persediaan pada tingkat yang berbeda dalam saluran pemasaran.

6. Menanggung risiko yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi pemasaran. 7. Mengatur kesinambungan penyimpanan dan perpindahan produk-produk fisik. 8. Mengatur pelunasan tagihan kepada pembeli melalui bank dan lembaga keuangan lainnya. Mengawasi peralihan kepemilikan aktual dari suatu organisasi atau orang kepada organisasi atau orang lainnya.

Grading dan Standardisasi Produk

Standardisasi dan grading pada produk-produk agribisnis akan meningkatkan potential benefits. Standardisasi merupakan kesepakatan dari partisipan (pembeli, penjual, pabrik) terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk atribut produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat keseragaman dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam kelas-kelas tertentu. Grading merupakan perlakuan terhadap produk untuk memilah-milah produk berdasarkan kelompok tertentu di dalam standardisasi tersebut. Standardisasi maupun grading merupakan komponen dari informasi pasar yang penting. Informasi harga yang akurat tentang produk harus disertai dengan kelompok standardisasi dari produk tersebut (Asmarantaka 2013).

Seringkali pembeli dan penjual komoditas-komoditas pertanian tidak memiliki informasi yang sama mengenai kualitas produk yang mereka perjual belikan atau sering dikenal sebagai informasi asimetris. Salvatore (2007) menyebutkan informasi asimetris adalah kondisi dimana salah satu pihak yang bertransaksi mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak lain untuk mutu dari suatu produk (yaitu dengan adanya informasi asimetris), dimana

produk bermutu rendah atau “lemon” akan mendorong produk bermutu tinggi

keluar dari pasar. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi hal ini adalah dengan pemberian isyarat pasar. Merek dagang dan jaminan digunakan sebagai isyarat untuk produk yang lebih bermutu tinggi, dimana pembeli akan membayar dengan harga yang lebih tinggi.

(36)

20

banyak kualitas yang heterogen satu sama lain. Konsumen akan bersedia membayar dengan harga yang berbeda jika kualitas produk juga berbeda karena akan menghasilkan tingkat kepuasan yang berbeda pula. Namun yang menjadi catatan penting adalah bahwa perbedaan dalam kualitas harus dapat dilihat atau diamati (observable). Ketika konsumen tidak menemukan perbedaan dalam kualitas, maka produk tersebut tidak dapat dibayar dengan harga yang berbeda.

Produk pertanian (on farm) maupun produk agribisnis mempunyai fluktuasi kualitas, tingkat kematangan, karakteristik mudah rusak, dan lain-lain sehingga standardisasi dan grading sangat penting yang dapat meningkatkan potensi dan nilai tambah produk tersebut. Pengolahan komoditi pertanian menjadi produk yang siap dikonsumsi konsumen, dilakukan proses pengolahan seperti pabrik. Untuk menjaga kualitas dan keseragaman produk akhir, biasanya pengolah meminta bahan baku pertanian yang seragam dengan syarat-syarat standard dan grading yang telah ditentukan. Biasanya mengandung karakteristik tingkat kematangan, warna, kadar air, kadar kotoran, dan lain-lain (Asmarantaka 2013).

Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa produk agribisnis yang kualitas berdasarkan grade dan standardisasi tertentu akan meningkatkan efisiensi pemasaran (efisiensi harga dan efisiensi teknis). Efisiensi teknis berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan rasio output-input pemasaran yang biasanya diukur melalui margin pemasaran dan farmer’s share. Sedangkan efisiensi harga menekankan pada kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya, dan mengkordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien yang sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga dapat tercapai apabila (1) masing-masing pihak yang terlibat puas dan responsif terhadap harga, (2) penggunaan sumberdaya mengalir dari penggunaan bernilai guna rendah ke nilai yang tinggi, dan (3) mengkordinasikan aktivitas antara pembeli dan penjual.

Aktivitas grading akan meningkatkan efisiensi harga dan efisiensi operasional. Meningkatkan efisiensi harga karena meningkatkan arti kuota harga dari informasi pasar, meningkatkan ketepatan harga, meningkatkan kompetisi alokasi produk sesuai dengan permintaan dari produk-produk yang telah mengalami grading dan standardisasi. Demikian pula akan meningkatkan efisiensi opersional karena menghemat waktu dan meningkatkan kemampuan menjual produk dengan produk yang standar, mengurangi biaya penjualan dan iklan karena dapat dilakukan melalui sampel, dan penjualan akan efektif dan efisien karena pergerakan produk sesuai dengan segmen pasar yang aka dituju (Asmarantaka 2013).

Beberapa kriteria grading dan standardisasi yang diperlukan, sehingga informasinya mempunyai arti (Kohls dan Uhl 2002), yaitu :

1. Stadardisasi karakteristiknya harus mudah dikenal, grading berorientasi kepada penggunaan nilai opini.

2. Standardisasi harus berdasarkan karakteristik atribut yang seragam, konsisten, dan mudah diinterpretasikan.

3. Standardisasi harus mempergunakan faktor-faktor dan terminologi yang membuat grading mempunyai arti dan manfaat sebanyak mungkin.

(37)

21 rata-rata produksi yang ada di pasar sehingga klasifikasi tersebut mempunyai arti.

5. Biaya operasional dari grading dan standardisasi harus layak dan wajar (reasonable), sehingga efisiensi dapat tercapai.

Pendapatan Usahatani

Pendapatan didefinisikan sebagai selisih antara total penerimaan suatu usaha dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan terdiri dari berapa banyak perusahaan yang menjual berbagai output dikali harga masing-masing output dikurangi biaya yaitu berapa banyak perusahaan menggunakan masing-masing input dikali harga tiap input. Dalam menentukan kebijakan yang optimal terkait pendapatan atau keuntungan, petani umumnya terkendala pada dua jenis kendala yaitu teknologi dan pasar. Petani sebagai produsen yang berlaku sebagai price taker pada pasar, hanya bisa mengoptimalkan keuntungan dengan berkonsentrasi pada tingkat output dan input yang digunakan. Hal ini dikarenakan perilaku perusahaan yang berstruktur monopsony pada pasar input adalah hampir sama dengan monopolis pada pasar output (Tian 2013).

Pindyck dan Rubinfield (1995) merumuskan secara matematis untuk menghitung pendapatan adalah sebagai berikut :

Π = TR - TC

Π = Py.Y – Pxi. Xi – TFC Dimana:

Π = pendapatan (Rp) Y = output (Kg) Py = harga output (Rp)

Xi = faktor produksi (I = 1, 2, 3, … , n) Pxi = harga faktor produksi ke-I (Rp) TFC = Biaya tetap total (Rp)

Petani dapat melalukan peningkatan pendapatan jika melakukan usahataninya secara efisien. Usahatani dikatakan efisien ketika pemanfaatan sumberdaya menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 2006). Daniel (2004) menyatakan konsep efisien dikenal dengan konsep teknis, efisiensi harga dan ekonomi. Kalau petani meningkatkan hasilnya dengan menekan harga faktor produksi, dan menjual hasilnya dengan harga yang tinggi, maka petani tersebut melakukan efisiensi harga dan efisiensi teknis bersamaan atau sering disebut istilah efisiensi ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, cara berpikir demikian disebut dengan pendekatan memaksimumkan pendapatan (profit maximization). Dilain pihak, manakala petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam melaksanakan usahataninya, maka mereka tetap mencoba bagaimana meningkatkan pendapatan dengan kendala biaya terbatas. Suatu tindakan yang dapat dilakukan adalah bagaimana memperoleh pendapatan yang lebih besar dengan biaya produksi yang sekecil-kecilnya atau terbatas. Pendekatan ini dikenal istilah dengan meminimumkan biaya (cost minimization).

(38)

22

Ketidaksamaannya yaitu dari segi sifat dan behavior petani bersangkutan. Petani besar seringkali berprinsip bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya melalui pendekatan profit maximization karena mereka tidak dihadapkan pada keterbatasan biaya. Sebaliknya petani kecil bertindak memperoleh keuntungan dengan keterbatasan yang dimiliki (Daniel 2004).

Kerangka Pemikiran Operasional

Lampung merupakan penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia yang berkontribusi sebanyak 34.69 persen terhadap produksi ubi kayu nasional (BPS 2014) dan keberadaan ubi kayu menjadi komoditas yang menjadi usahatani utama di Provinsi Lampung (Lampung Dalam Angka 2013). Berkembangnya ubi kayu sebagai tanaman utama petani juga didukung dengan adanya berbagai macam industri sedang/besar yang bergerak mengolah ubi kayu menjadi berbagai produk yang berfungsi sebagai pasar ubi kayu. Kebutuhan industri yang begitu tinggi akan bahan baku ubi kayu membuat industri sebagai pasar utama bagi petani dalam menjual produknya dan penyerap ubi kayu terbesar di Lampung.

Harga ubi kayu di Lampung secara perlahan mengalami peningkatan, namun pada kenyataan produksi dan luas lahan ubi kayu di Lampung semakin menurun. Pada skala nasional penurunan produksi ubi kayu di Lampung diikuti dengan penurunan produksi ubi kayu nasional yang menyebabkan kurangnya pasokan ubi kayu di dalam negeri yang juga mengakibatkan meningkatnya impor ubi kayu. Meskipun mengalami peningkatan, harga ubi kayu masih rendah bila mempertimbangkan adanya rafaksi yang diterima petani. Pabrik atau pedagang ubi kayu memberlakukan sistem potongan berat yang dikenal dengan istilah rafaksi untuk menilai kualitas ubi kayu petani.

Zakaria (2000) yang menyatakan bahwa pasar ubi kayu di tingkat pabrik gaplek dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Petani dengan adanya hal ini dihadapkan pada kondisi pasar yang cenderung mengarah pada oligopsoni dan sebagai penerima harga (price taker). Pabrik dan petani seharusnya dapat saling menguntungkan. Apa yang menjadi kebutuhan industri ubi kayu adalah terpenuhinya jumlah bahan baku ubi kayu dalam kegiatan operasional dengan kualitas baik, sementara kebutuhan petani adalah produksi ubi kayu terserap, adanya jaminan harga dan pembayaran yang tidak ditunda. Seringkali pada saat panen raya menyebabkan harga ubi kayu menjadi anjlok karena adanya kelebihan pasokan. Disamping itu itu kualitas ubi kayu yang dijual oleh petani tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh pabrik. Hal ini menyebabkan petani merugi karena pabrik lebih mempunyai power untuk menentukan harga dan memberlakukan rafaksi yang tidak sesuai dengan kualitas ubi kayu petani.

Gambar

Gambar 2  Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik, Lampung Tengah
Gambar 3  Pohon Industri Ubi Kayu Sumber : BPTP Provinsi Lampung 2008
Tabel 3  Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung
Gambar 5 Kerangka pemikiran operasional pilihan saluran pemasaran oleh petani
+7

Referensi

Dokumen terkait

Volume perdagangan saham juga dapat dipengaruhi secara mikro oleh kinerja/prestasi perusahaan, yang dalam penelitian adalah informasi dari laporan arus kas..

Hana Indah Kurniawati ( 2015 ) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Metode Outdoor Study untuk meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD

Berdasarkan hasil survei tahun 2003 oleh Proyek Irigasi dan Rawa dan Sub Dinas PSDA Provinsi Gorontalo diperoleh data jumlah bangunan pengendali banjir sebesar 8 buah dengan 7

Data ini menunjukkan terdapat peningkatan pendekatan bermain lempar tangkap terhadap hasil belajar servis bawah pada siswa kelas VII SMPN 1 Nanga Mahap

pada anak sekolah dasar di Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan meliputi kebiasaan minum air mentah, makanan tumbuhan rawa mentah,

Menyadari akan bahaya keberadaan logam berat terhadap organisme yang ada di daerah muara sungai maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kandungan logam berat

Dari variabel tersebut diketahui bahwa ada ketidakpastian dalam kontrak hal ini akan berpengaruh terhadap biaya pekerjaan dimana, semakin tinggi faktor

Penelitian ini tergolong deskriptif kualitatif. Sumber data adalah mahasiswa yang mengontrak mata kuliah Menulis Naskah Drama dan Skenario Film. Data penelitian ini