• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Perjanjian

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perekonomian syari'ah yang berkembang dewasa ini mencakup bidang ekonomi yang tidak hanya membahas tentang aspek perilaku manusia yang berhubungan cara mendapatkan uang dan membelanjakannya, tetapi juga membahas segala aspek ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan ummat. Oleh karena itu, konsep kesejahteraan yang dikembangkan melalui ekonomi syari'ah juga harus sejalan dengan prinsip universal Islam yang tetap dipandang sahih dan aktual semanjang masa. Islam mengatur kegiatan kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkannya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di dunia perbankan juga berkembang pesat sehubungan dengan pemberdayaan perbankan nasional secara optimal diperlukan pemberdayaan seluruh potensi perbankan Indonesia termasuk perbankan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam perkembangannya perbankan syari’ah dan perkembangan lembaga keuangan syari’ah lainnya memerlukan pengaturan kegiatan operasional yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum.

Dalam pelaksanaan kontrak atau akad pada perbankan syariah ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, seperti pada perbankan umum maupun lembaga keuangan konvensional lainnya sering terjadi perselisihan pendapat baik dalam penafsiran maupun dalam implementasi isi perjanjian. Adanya kesalahan penafsiran maupun dalam pelaksanaan perjanjian ini tentunya berakibat terjadinya sengketa memerlukan adanya upaya penyelesaian.

Persengketaan tersebut harus segera diantisipasi dengan cermat untuk menemukan solusi bagi pihak bank syariah maupun lembaga keuangan sebagai kreditur maupun nasabah sebagai debitur. Guna mengantisipasi persengketaan ekonomi syari’ah yang terjadi pada bank syariah dan lembaga keuangan syariah, baik masyarakat, Lembaga Keuangan Syariah baik Bank maupun non Bank, serta para pengguna jasanya dapat menempuh berbagai upaya penyelesaian.

Namun demikian, mengingat hubungan hukum yang dibuat didasarkan pada prinsip syariah tentunya diperlukan adanya metode dan cara penyelesaian yang juga mengikuti prinsip syariah. Menyadari hal tersebut para pihak dalam perikatan atau perjanjian dengan prinsip syariah tidak dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syari’ah. Hal ini disebabkan karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara berbeda. Sebelum diberlakukannya Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah tersebut diselesaikan oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kini namanya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.

Berdasarkan hasil penelaahan dan penelitian yang dilakukan dalam praktik selama ini para pelaku ekonomi di bidang perbankan syariah, bank dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah dengan serta merta akan melangsungkan hubungan dengan kemitraan dengan sistem syariah pula. Oleh karena itu, bilamana hubungan tersebut terjadi atau berakhir dengan sebuah kecederaan perilaku salah satu pihak dalam istilah lain perselisihan, maka kedua belah pihak dapat memusyawarahkannya terlebih dahulu sebagaimana yang disebutkan di atas, dan jika hal tersebut juga tidak tercapai kesepakatan, maka kedua belah pihak dapat menunjuk seorang atau lembaga yang diyakini mampu untuk adil dalam menyelesaikan perkara mereka.101

Hal ini juga dibenarkan oleh Aidi Sofyan staf bagian pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat Muttaqin di Banda Aceh bahwa dalam suatu hubungan hukum yang didasarkan pada prinsip syariah seperti melalui pembiayaan dengan berbagai macam bentuk yang disalurkan bank syariah, baik pihak bank maupun nasabah dalam penandatanganan akad selalu dilakukan dengan lebih dahulu di musyawarahkan. Akan tetapi, perselisihan yang diakibatkan kesalahan dalam pemahaman terhadap akad dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan akad yang berpeluang tetap saja terjadi dan tentunya memerlukan adanya cara penyelesaian yang saling menguntungkan bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.102

101Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal 26 Maret 2012

102Aidi Sofyan, Staf Bagian Pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Muttaqin, Wawancara tanggal 6 April 2012

Berbagai perselisihan yang terjadi disebabkan karena pelaku bisnis khususnya pelaku bisnis di bidang perbankan dengan prinsip syariah juga manusia biasa yang tidak terlepas dengan masalah, maka masalah yang bisa berawal dari diri para pihak sendiri sendiri atau dapat juga berawal dari pihak rekan atau mitra bisnis, untuk itu kedua belah pihak membutuhkan solusi agar ketenangan hidup yang didambakan oleh setiap manusia dalam bermasyarakat dapat terwujud.103

Guna mengatasi perselisihan ini disebabkan karena para pihak dalam bidang bisnis perbankan dengan prinsip syariah, pihak lembaga keuangan syariah seperti halnya bank syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya dapat tindakan yang dapat dilakukan oleh para pihak dengan cara :

1) Membuat suatu perjanjian tersendiri yang khusus menyatakan keinginan para pihak tersebut untuk menyerahkan masalahnya diadili secara arbitrase, perjanjian khusus ini ada dibuat setelah perjanjian pokok disebut sebagai akta kompromis

2) Mencantumkan dalam perjanjian pokoknya suatu bagian atau klausula yang berisi tentang keinginan para pihak untuk menyerahkan masalah yang timbul dan perjanjian tersebut diselesaikan secara arbitrase atau melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).104

103Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal 26 Maret 2012

104Alfina dan Muchsin Putra Hespy, Notaris praktek di Banda Aceh, Wawancaratanggal 10 dan 11 April 2011

Basyarnas yang merupakan lembaga permanen yang didirikan oleh MUI Indonesia yang berfungi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan, untuk itu lembaga ini harus menampilkan kemampuan dalam menyelesaikan persengketaan secara baik dan memuaskan. Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/2005 yang juga terkait dengan penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah, dalam ketentuan Bab II Pasal 20 tentang penyelesaian sengketa bank dengan nasabah, menentukan bahwa ”Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah maka penyelesaian dilakukan dengan musyawarah, dalam musyawarah dimaksud tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah”.105

Keterangan di atas menunjukkan bahwa adanya peluang peluang dan jalan terhadap penyelesaian sengketa syariah selain di pengadilan yaitu di Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Penyelesaian melalui Basyarnas ini baru dapat dilakukan dengan syarat bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan masalah mereka di Basyarnas tersebut, tetapi jika salah satu pihak tidak setuju maka persoalan atau sengketa tersebut tidak dapat dengan jalan Arbitrse yang dimaksud. Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase boleh dilakukan oleh para pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relatif dilakukan oleh para

105Mohd. Ali, Kepala Unit Bank BRI Syariah di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 11 April 2011

pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relatif cepat, kerahasiaan para pihak yang bersengkata tetap terjaga mengingat sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum.

Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang selama ini dilakukan oleh pihak bank adalah karena manfaat yang lebih besar dibandingkan harus melalui lembaga peradilan karena yang menjadi hakim adalah pilihan para pihak dan sudah merupakan orang yang ahli dalam masalahnya, prosesnya cepat apabila dibandingkan dengan lembaga peradilan, karena umumnya merupakan keputusan yang sudah final dan mengikat dan menurut Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase menyebutkan : penyelesaian sengketa harus sudah diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk dan putusan arbitrase ini dapat dilaksanakan (eksekusi) di luar negeri.106

Akan tetapi, dalam perjanjian atau akad yang dibuat oleh para pihak para pihak tidak menyebutkan Basyarnas sebagai tempat penyelesaian sengketa bila terjadi perselisihan, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa lembaga yang berwenang dalam menyelesaian sengketa di bidang perekonomian syariah adalah Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 49 poin (i) menyebutkan bahwa ”Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris,

106Mohd. Ali, Kepala Unit Bank BRI Syariah di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 11 April 2011

wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah”. Di Provinsi Aceh termasuk di Kota Banda Aceh kewenangan ini adalah merupakan kewenangan Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah adalah yang merupakan nama lain dari Pengadilan Agama di Provinsi Aceh yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Mahkamah Syari’ah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syari’ah Provinsi. Berdasarkan ketentuan tersebut, telah dengan tegas menyebutkan bahwa perkara ekonomi syariah menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah untuk menyelesaikannya, dalam hal ini ekonomi syariah merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi dari Bank Syariah Oleh karena itu, mengingat luasnya ruang lingkup perekonomi an syariah dapat dilihat dalam dua disiplin ilmu yaitu Ilmu Ekonomi dan Ilmu Hukum Ekonomi Islam. Dengan demikian alasan disiplin ilmu ini merupakan salah satu alasan bahwa sengketa ekonomi syariah dalam Pasal 49 poin (i) menjadi wewenang lembaga Peradilan Agama. Kemudian karena berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi maka para hakim di lingkungan Peradian Agama harus lebih memperdalam pengetahuannya tentang hukum ekonomi syariah lebih lanjut.107

Menurut analisis penulis selain ketentuan tersebut, alasan lain yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menangani sengketa di Bank Syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya adalah dilihat dari para pihak atau

107Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal 26 Maret 2012

orang-orang yang berada di lingkungan peradilan umum, bukan ahlinya di bidang syariah. Kemudian para hakimnya pun tidak berlatar belakang pendidikan syariah. Oleh sebab itu, sudah tepat bila terjadi gugatan syariah diserahkan ke Mahkamah Syar’iyah yang pada umumnya para hakimnya mempunyai latar belakang pendidikan syariah.

Namun demikian, dapat saja terjadi dalam pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan ditemui adanya penggunaan sertifikat tanah milik pihak ketiga sebagai agunan pembiayaan. Dalam pelaksanaan pembiayaan tertunggak sehingga mengharuskan bank syariah melakukan eksekusi agunan sebagai upaya pelunasan pembiayaan. Hal ini tentunya merugikan pemilik sertifikat sehingga mengajukan gugatan kepada pihak debitur bank ke Pengadilan Negeri dan mengikutsertakan bank sebagai tergugat. Padahal gugatan tersebut dapat saja diajukan ke Mahkamah Syariah atau Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU Bank Syariah. Kondisi seperti ini dapat juga terjadi pada perjanjian atau akad yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah lainnya.108

Kondisi ini terjadi karena dalam akad pembiayaan yang dibuat antara bank dan nasabah juga dicantumkan adanya ketentuan yang mengatur bahwa :

 Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau menafsirkan bagian-bagian dari isi atau terjadi perselisihan dalam melaksanakan Perjanjian ini, maka NASABAH dan BANK akan berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat.

108Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh,Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012

 Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak,

 Maka dengan ini NASABAH dan BANK sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta memberi kuasa kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh dan/atau Pengadilan Negeri di daerah setempat untuk memberikan putusannya, menurut tata cara dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh dan berlaku di Badan tersebut.

 Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh dan/atau Pengadilan Negeri di daerah setempat bersifat final dan mengikat.109

Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa pada akad pembiayaan perbankan syariah walaupun telah ada ketentuan penyelesaian perselisihan dibidang perbankan syariah melalui pengadilan agama/mahkamah syariah, namun di dalamnya juga dimuat ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri. Kondisi ini tentunya dengan sendirinya berpeluang meresahkan masyarakat terutama bagi dunia bisnis perbankan, sebab bagi pelaku bisnis penyelesaian yang menimbulkan permusuhan akan dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian mereka. Untuk itu, diperlukan suatu institusi baru yang lebih efesien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa dan melahirkan kesepakatan yang bersifat win-win solution menjadi kerahasiaan para pihak dan menyelesaikan masalah secara komperehensif di dalam kebersamaan dengan tetap menjaga hubungan baik.

Sebenarnya konflik akan terjadi bila dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan yang kemudian berkembang menjadi sebuah sengketa baik pihak yang merasa dirugikan karena merasa tidak puas atas keprihatinannya baik

secara langsung terhadap pihak yang dianggap atau penyebab kerugiannya tersebut. Sepintas sebenarnya penyelesaian melalui peradilan masih dianggap sebahagian orang dapat memberikan keputusan yang adil, namun bagi sebahagian lainnya menganggap peradilan belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menumbuh kembangkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa.

Akan tetapi, pada prinsipnya penegakan hukum hanya dapat dilakukan salah satunya dengan kekuasaan kehakiman (judical power) yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut dengan badan yudikatif, dengan demikian wewenang memeriksa, mengadili sengketa hanya badan peradilan yang berwenang sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang juga merupakan derivate dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan peradilan, baik di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Mahkamah Konstitusi.

Hasil penelitian menunujukkan bahwa walaupun masih tetap terjadi tarik menarik wewenang terhadap penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini, dengan bukti masih banyak Bank syariah yang belum memilih penyelesaian sengketa melalui Peradilan Agama sebagai tempat penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam akad atau kontrak pembiayaan dimaksud. Kondisi ini juga didukung oleh adanya

ketentuan Pasal 55 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah yang menentukan bahwa : (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada yat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 juga dijelaskan bahwa “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya berupa musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Adanya ketentuan tersebut, juga memperjelas adanya beberapa alasan yang menyebabkan peradilan umum dalam hal ini pengadilan negeri masih dianggap sebagai institusi penyelesaian sengketa syariah, yaitu sebagai berikut :

1) Bahwa realisasi dari kontrak bisnis di lembaga keuangan syariah termasuk pembiayaan pada bank syariah sebahagianya masih mengacu pada KUH Perdata tentang perikatan sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tidak terlepas dari pada KUH Perdata yang ada.

2) Wewenang Pengadilan Umum juga menangani di bidang bisnis, maka pada Pengadilan umum tersebut dapat disediakan kamar yang memeriksa kasus bisnis syariah seperti Pengadilan Niaga yang berada di bawah pengadilan Umum

3) Menghindari gesekan-gesekan politis yang masih a priori terhadap Islam sehingga memperlambat lajunya pelaksanaan sistem ekonomi syariah.

Namun demikian penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum seperti halnya pengadilan negeri juga terdapat kelemahan, antara lain :

1) Para hakim di Peradilan Umum belum tentu menguasai permasalahan syariah, lagi pula dalam memeriksa dan mengadili sengketa di Peradilan Umum, hakim tidak merujuk kepada ketentutan hukum syariah

2) Meskipun telah ada hukum materil yang mengatur perbankan syariah para hakim di Pengadilan Umum, akan sulit untuk menerapkan hukum yang berlandaskan syariah Islam.110

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah yang terjadi di wilayah Provinsi Aceh termasuk di Kota Banda Aceh, sebagaimana dikemukakan oleh pelaku bisnis perbankan bahwa bagi para pihak yang terlibat dalam hubungan hukum yang dilakukan melalui akad dengan prinsip syariah oleh lembaga keuangan syariah maupun bank syariah dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad yang dibuat sebelumnya. Dalam hal ini, jika harus mendapat persoalan atau sengketa antara nasabah dengan pihak bank maupun pihak ketiga lainnya tentang hal yang tercantum dalam akad, para pihak lebih mengedepankan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, karena dengan musyawarah lebih mencerminkan prinsip ke Islaman dan melahirkan hasil yang

110M. Amin Said, Advokad dan Penasehat Hukum di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 25 juni 2012

memuaskan bagi para pihak yang bersengketa. Jika tidak tercapai kata sepakat antara nasabah dan bank atau lembaga keuangan, maka persoalan tentang yang disengketakan mereka dapat menunjuk Badan Arbitrase Syariah Nasional yang ada di daerah, dan jika tidak dapat terselesaikan hal ini baru diselesaikan melalui lembaga litigasi baik melalui Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan prinsip yang dianut oleh operasional bank syariah maupun pengadilan negeri sebagaimana termuat dalam akad.111

Dengan demikian, pilihan penyelesaian sengketa dalam sengketa perbankan syariah termasuk pada bank-bank yang menjalankan prinsip syariah di Kota Banda Aceh, masih berpatokan kepada aturan yang lama dan belum mengacu pada ketentuan UU No.3 Tahun 2006 Jo UU No. 50 tentang Peradilan Agama yang menentukan kewenangan Peradilan Agama atau ketentuan tentang Mahkamah Syariyah di Provinsi Aceh untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah, dan tidak terbatas penyelesaian sengketa di bank syariah.

Namun demikian, menurut hasil penelitian yang dilakukan sampai dengan periode tahun 2012 di Kota Banda Aceh belum ada sengketa pembiayaan yang disalurkan bank syariah yang berlanjut hingga ditempuh penyelesaian melalui jalur pengadilan negeri maupun melalui jalur Basyarnas. Hal ini disebabkan karena pihak bank mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dengan pihak nasabah jika terjadi perselisihan termasuk perselisihan akibat akad pembiayaan. Dengan demikian

111 Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh,Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012

dapat dikatakan bahwa penyelesaian perselisihan perbankan syariah antara nasabah dengan bank syariah, lebih mengutamakan penyelesaian dengan cara musyawarah walaupun dalam klausul akad cantumkan pengadilan negeri yang dipilih sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Upaya penyelesaian dengan cara musyawarah ini dirasakan lebih efektif dan mengurangi beban biaya bagi pihak Bank.112

Penyelesaian perselisihan dengan jalan musyawarah ini merupakan prinsip penyelesaian dalam hukum Islam, lagi pula penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian atau musyawarah merupakan suatu penyelesaian yang sesuai dengan kultur masyarakat yang beradat dan bersendikan syara’. Namun untuk menangani perselisihan dengan menempuh jalan musyawarah, diperlukan sumberdaya manusia yang berilmu, professional, jujur, adil dan bijaksana, sehingga nilai-nilai terkandung dalam syariah Islam dilaksanakan secara utuh (kaffah).

112 Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh,Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012

Dokumen terkait