• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala

Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Pasal 236 Huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah merupakan dasar yuridis kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala daerah. Pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan implikasi perubahan pemilihan kepala daerah menjadi rezim pemilihan umum. Sehingga permasalahan dalam pemilihan umum kepala daerah khususnya mengenai perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan umum kepala daerah yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Adapun bunyi Pasal 236 Huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 adalah, “penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak undang- undang ini diundangkan”. Pasal 236 Huruf C itu memang sempat menimbulkan multitafsir. Ada yang menafsirkan jika disebut “paling lama” berarti pengalihan

kewenangan ke Mahkamah Konstitusi bisa lebih cepat dari waktu delapan belas bulan.

Setelah terjadi penyerahan kewenangan penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi maka segala pengaturan tentang penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sepenuhnya menjadi hak Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 236 Huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sebagai perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan baru Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Tata cara pengajuan permhonan dijelaskan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 ini. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 5 jika permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU menetapkan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah di daerah yang bersangkutan dan apabila pengajuan permohonan melebihi batas waktu yang ditentukan maka permohonan tersebut tidak dapat diregistrasi ke Mahkamah Konstitusi. Pembatasan tenggang waktu selama tiga hari kerja merupakan suatu putusan yang sangat tepat, karena apabila tenggang waktu yang diberikan lama, maka dapat mengindikasikan adanya ketidakmurnian dalam pengajuan. Maksudnya, pemohon dapat saja memanfaatkan waktu tersebut untuk membuat suatu bukti (palsu) agar dapat dimenangkan dalam persidangan. Dengan kata lain kebenaran yang sesungguhnya dapat dimanipulasi.

Seperti halnya dalam mengajukan permohonan pada perselisihan hasil pemilihan umum dalam pengajuan permohonan disertai data identitas diri dan juga petitum yang akan diajukan yaitu membatalkan hasil penghitungan suara menurut termohon dan membenarkan hasil penghitungan suara menurut pemohon. Selain itu, yang paling penting dalam pengajuan permohonan tersebut harus disertai bukti. Pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah adalah salah satu pihak yang menjadi peserta (calon kepala daerah). Sedangkan termohon dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Kabupaten/Kota atau Komisi Independen Pemilihan Provinsi/Kabupaten/Kota.

Pengajuan permohonan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan persyaratan dan kelengkapan permohonan oleh panitera Mahkamah Konstitusi. Apabila permohonan tersebut memenuhi persyaratan dan permohonanya sudah lengkap maka perkara tersebut dapat dimasukkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam hal permohonan belum memenuhi syarat dan belum lengkap, pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat waktu mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) peraturan ini. Setelah masuk dalam buku registrasi perkara konstitusi, kemudian panitera mengirim salinan permohonan tersebut kepada termohon, disertai pemberitahuan hari sidang pertama dan permintaan keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi.

Sidang untuk memeriksa permohonan dapat dilakukan oleh panel hakim dengan sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim konstitusi atau pleno

hakim dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi. Proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Penjelasan permohonan merupakan penjelasan yang dilakukan oleh pemohon terkait dengan perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Kegunaan dari penjelasan yang dilakukan oleh pemohon terkait dengan perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Kegunaan dari penjelasan permhonan ini adalah untuk memperjelas duduk perkara yang diajukan dan apabila terdapat kekurangan atau kesalahan dalam permohonan dapat dilakukan perbaikan ulang. 2. Jawaban termohon.

Berdasarkan berkas perkara yang sudah dikirim oleh panitera kepada permohonan yang diajukan pemohon.

3. Pihak terkait dalam hal ini pasangan calon kepala daerah yang lain dapat memberikan keterangan apabila ada.

Keterangan pihak terkait dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi hakim konstitusi dalam memutus perkara.

4. Pembuktian oleh pemohon, termohon dan pihak terkait.

Alat bukti dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dapat berupa :

a. keterangan para pihak; b. surat atau tulisan; c. keterangan saksi; d. keterangan ahli; e. petunjuk; dan

Agar putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi bersifat objektif maka diperlukan bukti dari semua pihak yang berkepentingan di dalamnya mulai dari pemohon, termohon sampai pada pihak terkait.238 Saksi yang diajukan harus benar-benar memberikan keterangan sesuai dengan kondisi riil pada saat itu. Keterangan dari ahli diperlukan untuk mendukung kebenara alat bukti yang diajukan. Misalnya saja alat bukti yang berupa rekaman komunikasi elektronik. Di era teknologi komunikasi ini tidak menutup kemungkinan bukti yang diberikan adalah palsu, sehingga untuk membuktikan kebenaran tersebut dibutuhkan para ahli yang berkompetensi dalam bidang tersebut. Kemudian untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video conference);

5. Setelah mendengarkan keterangan dari saksi dan pembuktian yang ada dalam persidangan maka Mahkamah Konstitusi melakukan rapat permusyawaratan hakim untuk mengambil kesimpulan yaitu dengan mengeluarkan putusan.

Rapat permusyawaratan hakim sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi yang dilaksanakan secara musywarah dan mufakat. Apabila dalam rapat tersebut belum mencapai mufakat bulat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Putusan ketua rapat permusyawaratan hakim berlaku apabila putusan dengan suara terbanyak tidak dapat dicapai. Untuk kepentingan

238

Lebih lanjut lihat ketentuan Pasal 10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008. Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas: a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara dari tempat pemungutan suara (TPS); b. berita acara dan salinan sertifikat hasil penhitungan suara dari panitia pemungutan suara (PPS); d. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari panitia pemilihan kecamatan (PPK); d. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dariKPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota; e. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota; f. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/provinsi; g. penetapan calon terpilih dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota; dan /atau h. dokumen tertulis lainnya.

123

pemeriksaan, mahkamah dapat menetapkan putusan sela yang terkait dengan penghitungan suara ulang. Apabila Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan pemungutan suara ulang dalam persidangan yang memakan waktu 10 hari, maka batas waktu dianggap berhenti selama pelaksanana putusan itu. Artinya, sisa waktu empat hari akan digunakan Mahkamah Konstitusi untuk meneliti apakah proses pengulangan itu sudah sesuai atau belum. Hal ini terkait dengan putusn mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah diucapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan sela yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat final, karena putusan ini bukan merupakan puusan akhir yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah putusan sela ini hanya berlaku untuk keperluan pemeriksaan. Putusan sela tidak berlaku bagi putusan akhir Mahkamah Konstitusi. Misalnya saja dalam putusan Mahkamah Konstitusi memeriksakan untuk pemungutan suara ulang, maka apabila dalam proses pengulangan tersebut ditemukan adanya kecurangan maka Mahkamah Konstitusi dapat mengelaurkan suatu keputusan yang lebih bersifat objektif pada akhir persidangan. Hal ini terbentur oleh ketentuan Pasal 13 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 yang menyatakan jika Mahkamah Konstitusi harus menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah selama 14 hari kerja. Putusan yang sudah ditetapkan Mahkamah Konstitusi kemudian disampaikan kepada DPRD setempat, pemerintah, dan kedua belah pihak.

Dokumen terkait