• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

B. Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitus

Perubahan yang signifikan sebagai salah satu akibat dari adanya amandemen terhadap UUD 1945 adalah bahwa pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif pada setiap tingkatan baik nasional maupun lokal harus dilakukan dengan jalan pemilihan umum. Pemilihan umum kepala daerah sebagai bentuk sebuah demokrasi yang bertujuan untuk mendapatkan pemimpin daerah yang diinginkan oleh masyarakat, agar pelaksanaan otonomi daerah terselenggara dengan efektif dan efisien.

Pemilihan umum kepala daerah langsung pada dasarnya merupakan alternatif untuk menjawab permasalahan-permasalahan ketatanegaraan dan buruknya proses maupun hasil pemilihan umum kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan umum kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak guna mengatasi sesegera mungkin segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah masa lalu. Diselenggarakannya pemilihan umum kepala daerah secara langsung diharapkan dapat

memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan (governance) maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society).

Menurut analisis penulis terdapat lima implikasi penting dari kehadiran pemilihan umum kepala daerah langsung terhadap manajemen pemerintahan daerah ke depan. Pertama, dengan adanya pemilihan umum kepala daerah secara langsung mengakibatkan berkurangnya arogansi lembaga DPRD yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Kedua, pemilihan umum kepala daerah langsung berpotensi membatasi fungsi memilih, meminta mempertanggungjawabkan dan menghentikan kepala daerah. Ketiga, terwujudnya Kepala Daerah yang lebih bermutu. Keempat, pemilihan umum kepala daerah langsung berpotensi menghasilkan suatu pemerintahan daerah yang lebih stabil, produktif dan efektif. Kelima, pemilihan umum kepala daerah berpotensi menghentikan praktik politik uang.

Ditinjau dari lingkungan kemasyarakatan, sesungguhnya pemilihan umum kepala daerah langsung memiliki implikasi yang tidak kecil pula terhadap penguatan kehidupan politik masyarakat lokal. Paling tidak, pemilihan umum kepala daerah akan memajukan lembaga kemasyarakatan dan menyehatkan perilaku politik masyarakat daerah dalam lima hal. Pertama, meningkatnya kesadaran politik masyarakat daerah dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.

Kedua, pemilihan umum kepala daerah langsung akan memicu aktivitas politik masyarakat yang berpartisipasi dan mengembangkan organisasi madani. Ketiga, pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Keempat,

pemilihan umum kepala daerah bakal memotivasi media lokal lebih kepala daerah mendorong berkembangnya spirit kemandirian dalam tubuh partai politik.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tatangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah diserta dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah menjadi cermin dari wujud sebuah demokrasi rakyat, hal ini didasarkan kepada ketentuan perundangan yang menjadi dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebagai berikut :

1. UUD 1945 Perubahan Pertama yaitu Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 bahwa pemilihan umum kepala daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota ditentukan oleh adanya pemilihan secara demokratis, kemudian diterjemahkan menjadi secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005;

6. Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Ketentuan-ketentuan di atas kemudian menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah tersebut tidak oleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pemilihan umum kepala daerah merupakan perwujudan dari demokratisasi, di samping untuk memilih pemimpin di daerah.

Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah memungkinkan adanya pelanggaran atau sengketa. Secara praktis yuridis, pelanggaran adalah suatu tindakan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran pidana dan pelanggaran administrastif. Sedangkan sengketa adalah konflik antara dua pihak atau lebih yang terjadi akibat perbedaan penafsiran diantara para pihak terhadap fakta-fakta tentang aktivitas dan kejadian di lapangan, aturan hukum maupun kebijakan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Sengketa dibedakan menjadi dua, yakni sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan sengketa penetapatan hasil pemilihan kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.

Pengertian sengketa atas hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan kata lain adalah persengketaan yang timbul akibat adanya upaya hukum berupa keberatan yang diajukan oleh pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diputuskan dan diumumkan dalam sidang pleno lengkap dan telah

diterbitkan pula dalam keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku penyelenggara pemilihan kepala daerah. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa sengketa pemilihan kepala daerah baru timbul setelah terbitnya keputusan/penetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku penyelenggara pemilihan kepala daerah.

Ciri khas sengketa dalam penyelenggara pemilihan kepala daerah yaitu, adanya perbedaan pendapat atau interpretasi terhadap suatu objek. Bisa jadi sebenarnya hal perbedaan pendapat yang disengketakan tersebut adalah salah satu dari pelanggaran pidana atau administratif. Tidak jarang persengketaan yang ada akhirnya terbukti adanya unsur pelanggaran dan berakibat diberikannya sanksi. Jika sengketa dapat diselesaikan dan oleh para pihak dapat dimaklumi maka akan tercapai perdamaian diantar apara pihak dan sengketa tersebut tidak ada lagi. Tetapi sebaliknya apabila dianatra para pihak tidak terjadi perdamaian, maka proses penyelesaian sengketa akan terus berlanjut dan dapat bermuara pengusutan pelanggaran sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Hal ini terjadi apabila diantara para pihak terdapat perselisihan mengenai penetapan hasil suara pemilihan kepala daerah yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.

Permasalahan yang muncul sekarang adalah lembaga negara apakah yang berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah? Sebelum dilakukannya revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan umum kepala daerah dilakukan oleh Mahkamah

Agung. Di dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan sebagai berikut230:

1. Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

2. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

3. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimasud pada ayat (1) disampaikan kepada Pengadilan Tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada Pengadilan Negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

4. Mahkamah Agung memutuskan sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

5. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.

Berdasarkan penegasan di atas, tampak bahwa Mahkamah Agung telah mendapat tambahan wewenang untuk menyelesaikan sengketa tentang hasil pemilihan kepala daerah sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring bergulirnya pengujian undang- undang oleh Mahkamah Konstitusi, maka undang-undang tersebut juga tidak luput dari juducial review. Abdul Muktie Fadjar menyatakan jika perubahan tersebut mengkategorikan pemilihan kepala daerah bagian dari pemilihan umum maka konsekuensinya antara lain231:

230

Ni’matul Huda. 2008. UUD 1945 dan Gagasan Ulang Amandemen, Rajawali Pers. Jakarta. Hlm. 262.

231

1. Penyelenggaraannya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sekaligus sebagai pengendali pemilihan kepala daerah, sedangkan KUPD sebagai pelaksana teknis di masing-masing daerah yang bertanggung jawab kepada KPU;

2. Pesertanya adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau calon independen;

3. Pengawas pemilihan kepala daerah bersifat independen yang dibentuk oleh KPU dan/atau KPUD;

4. Apabila terjadi sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah, penyelesaiannya oleh Mahkamah Konstitusi;

5. Sengketa dalam penetapan daftar calon pemilihan kepala daerah oleh KUPD tidak menjadi kompetensi PTUN (vide Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004);

6. Impeachment terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah diajukan oleh DPRD kepada Mahkamah Konstitusi.

Dari pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu, apabila pemilihan kepala daerah langsung sebagai wujud demokrasi merupakan bagian dari rezim pemiliham umum, maka penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi.

Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terhadap UUD 1945 yang dikeluarkan pada 22 Maret 2005, atas tiga permohonan hak uji materiil Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang diajukan Centre for Electoral Reform (CETRO), Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilihan Umum Indonesia, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan 15 KPUD yang menyatakan asas pemilihan kepala daerah sama dengan asas pemilihan umum tetapi pemilihan kepala daerah bukan pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terhadap Pasal 1 Ayat (21) tentang KPUD sebagai pelaksana pemilihan kepala daerah, tetapi mengabulkan Pasal 57 Ayat (1) dan Pasal 67 Ayat (1) huruf e. Mahkamah Konstitusi tidak berusaha menyambungkan kembali hubungan hirarki antara KPU dengan KPUD, mengingat KPUD dibentuk dan disahkan oleh KPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Mahkamah Konstitusi justru membuat norma baru dalam putusannya, di mana KPUD tidak bertanggung jawab kepada DPRD tetapi langsung kepada rakyat. Satu sisi Mahkamah Konstitusi telah memutus belenggu parlemen lokal terhadap KPUD sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, tetapi di sisi lain Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan siapa yang dimaksud rakyat, serta bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya. Mahkamah Konstitusi memberi petunjuk bahwa dalam melaksanakan tugasnya KPUD mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi ini oleh sebagian orang dinilai “tanggung” dalam mengawal demokrasi.232

Masyarakat yang menilai secara langsung kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah. Jika dalam melaksanakan tugas tidak sesuai dengan prosedur, atau menyalahgunakan kewenangannya, maka masyarakat dapat melaporkan tindakan tersebut kepada panwaslu. Atau jika sudah dikelaurkannya penetapan hasil penghitungan suara versi Komisi Pemilihan Umum Daerah, masyarakat dapat

232

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Ulang Amandemen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 260-261.

mengajukan gugatan melalui pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kepada lembaga yang berwenang menangani sengketa yakni, Mahkamah Konstitusi.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 236 Huruf C, apabila terdapat keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Konstitusi. Keberatan tersebut hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Bahkan, Mahkamah Konstitusi sendiri menegaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah, bahwa obyek sengketa hasil pemilihan kepala daerah adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU di daerah yang bersangkutan. Dengan begitu, jelas sudah batas dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memangani perkara yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Sedangkan perkara yang diduga merupakan pelanggaran kriminal yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah diajukan kepada pengawas pemilihan kepala daerah untuk disampaikan kepada penyidik di kantor terkait untuk kemungkinan pengajuan ke pengadilan biasa.

Akar permasalahan mengenai kedudukan sengketa pemilihan kepala daerah sudah terjawab berdasarkan uraian di atas. Penyelesaian sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 pasal 236C merupakan kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi. Para pihak pencari

keadilan yang tidak puas dengan putusan Komisi Pemilihan Umum tentang hasil penghitungan suara, apabila memenuhi syarat dapat upaya hukum kepada Mahkamah Konstitusi. Dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final dan tidak ada upaya hukum lagi.

Berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah komitmen Mahkamah Konstitusi untuk menjadi hakim yang benar-benar amanah dibuktikan dengan adanya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Kesimpulannya dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tersebut bahwa mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah pada Mahkamah Konstitusi hampir sama dengan sengketa hasil pemilihan umum, namun yang menjadi pembeda disini adalah pemohonnya.

Kemudian kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai wujud pelaksanaan teori kewenangan yang bersumber dari UUD 1945 (atribusi). Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan tujuan untuk “mengawal” Konstitusi (UUD 1945). Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi dibentuk adalah untuk menjamin bahwa UUD 1945 benar-benar terjelma dan ditaati dalam implementasinya, termasuk di dalamnya menjamin bahwa hak-hak konstitusional warga negara yang benar-benar dihormati, dilindungi, dan dipenuhi dalam praktik penyelenggaraan bernegara. Seluruh kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat dikembalikan dan dijelaskan berdasarkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai “pengawal” Konstitusi. Dari kewenangan yang dimiliki Mahkamah

Konstitusi, satu-satunya yang langsung berkenaan dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional adalah jika undang-undang itu merugikan hak konstitusional warga negara.

Sebagai “pengawal” konstitusi kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dapat diperluas sesuai dengan garis ketentuan UUD 1945 demi terwujudnya negara hukum demokratis. Karena untuk menjadi “pengawal” konstitusi kewenangan yang dimiliki harus bersifat fleksibel, sebagaimana masalah ketatanegaraan yang senantiasa yurisdiksi kewenangan Mahkamah Konstitusi sudah tidak dapat diterima. Dengan demikian diperlukan perubahan undang-undang agar derajat konstitusional putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tidak diragukan lagi oleh publik.

C. Pengaturan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam

Dokumen terkait