• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA

C. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan Umum

Tindak pidana pemilu sudah ada sejak awal kemerdekaan telah diatur, yaitu di dalam KUHP (UU No. 1 Tahun 1946). Selanjutnya diatur pula di dalam UU Pemilu tahun 1953, UU Pemilu orde baru, dan UU No. 3 Tahun 1999, tetapi baru pada undang-undang pemilu terakhir (UU No. 10 Tahun 2008) baru diatur mekanisme khusus untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu.

Permasalahan hukum terkait dengan pemilu, dalam proses penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan. Lembaga peradilan ini terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang No. 10 tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan

pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.

Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan undang-undang No. 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Angota DPR, DPD dan DPRD didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu, secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP, yang antara lain mengatur : 35

Penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana / KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme / hukum acaranya sendiri (lex a). dengan kekerasan/ancaman sengaja mrintangi orang menggunakan hak pilih; b). menjanjikan/menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilih;

c). menerima janji / menerima suap;

d). melakukan tipu muslihat agar suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih kepada orang lain;

e). memakai nama orang lain supaya dapat memilih;

f). menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat agar hasil pemilihan lain dari yang seharusnya.

35

Abdul Fickar Hadjar, Persfektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs: Agustus 2009, hal. 3.

specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dalam mengisi fungsi-fungsi kenegaraan yang masa jabatannya terbatas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilu yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat pemilih maupun peserta pemilu pada setiap tahapan pemilu. Di sisi yang lain “nuansa cepat” dalam penegakkannya berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang setidaknya juga dapat diakomodir oleh sistem hukum pidana yang bersifat umum. Aturan perundangan pidana pemilu setidaknya merupakan sistem yang sengaja diciptakan dalam rangka terus menerus memperbaiki kualitas demokrasi, adalah tidak akan terhindarkan kepentingan politis golongan mewarnai sistem perundang-undangan. Jika bandul kekuatan politik sarat mewarnai sistem perundangan pemilu yang mengarah pada negasi (pengingkaran) terhadap nilai-nilai demokrasi, jangan khawatir, masyarakat dan Mahkamah Konstitusi akan melawannya. Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK. 36

Selain KUHP berikut ini, kita akan mencoba melihat mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilu berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia.

a). Penyelesaian Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 7 Tahun 1953.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah undang-undang yang mengatur secara khusus suatu tindak pidana pemilu. Undang-undang ini dapat disebut undang-undang non-pidana yang di dalamnya dimuat beberapa ketentuan pidana, yaitu tindak pidana pemilihan umum. Undang-undang ini hampir keseluruhannya mengatur mengenai seluk-beluk pemilihan umum, mulai dari sistem pemilu, penyelenggaraan pemilu, daerah pemilu, prosedur pelaksanaan pemilu dan sebagainya. Guna melindungi kemurnian pemilu maka dibuat juga beberapa tindak pidana pemilu yang jumlahnya lebih banyak yang diatur dalam KUHP. Tindak pidana pemilu di dalam undang-undang ini dimuat dalam Bab XV yang berjudul : Pasal-Pasal Pidana, yakni mulai dari Pasal 113 sampai Pasal 126. Tiga pasal lain dalam bab ini, yaitu Pasal 127, 128 dan 129 tidak berisi tindak pidana pemilu melainkan ketentuan mengenai perampasan atau pemusnahan barang bukti (Pasal 127), sanksi tambahan, yaitu pemecatan dari hak-hak tertentu (Pasal 128) dan penjelasan mengenai jenis tindak pidana (Pasal 129). Jika diteliti secara keseluruhan undang-undang ini yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu ternyata hanya dimuat di dalam Bab XV ini saja yang di dalamnya sama sekali tidak ada ketentuan apa pun juga mengenai bagaimana suatu tindak pidana pemilu diselesaikan.37

37

Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.42-43.

Oleh karenanya, untuk mengetahui bagaimana penyelesaian tindak pidana pemilu orang harus melihat kepada dasar hukum acara pidana, yaitu di dalam KUHAP. Mengingat pada saat berlangsungnya Pemilu tahun 1955 belum berlaku KUHAP, maka penyelesaian tindak pidana (termasuk tindak

pidana pemilu) harus dilakukan sesuai hukum acara pidana yang berlaku pada masa itu, yakni Herziene Inlands Reglement (HIR).38

HIR dan KUHAP mengatur masalah yang sedikit berbeda khususnya mengenai masalah perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa dan masalah pembedaan fungsi yang lebih tegas antar penegak hukum, dalam hal proses penyelesaian perkara tindak pidana masih terdapat banyak kesamaan, misalnya adanya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan hakim dan seterusnya. Pada masa HIR Jaksalah yang memegang peran penting dalam penuntutan perkara pidana. Tidak hanya itu, dalam hal penyidikan jaksa berfungsi mengontrol kerja polisi dan juga memiliki wewenang melakukan penyidikan. Akan tetapi, pada umumnya hanya pada perkara tertentu yang dianggap sulit saja jaksa turun langsung menyidik. Untuk perkara-perkara pada umumnya, polisi yang memiliki peran sebagai hulp magistrat (Jaksa pembantu)-lah yang melakukan penyidikan. Hal ini kemudian berubah dimasa KUHAP dimana terdapat perbedaan fungsi antara kepolisian dan kejaksaan. Polisi terutama bertugas selaku penyidik untuk semua tindak pidana, sedangkan jaksa merupakan satu-satunya lembaga penuntut umum. Meski ada pemisahan fungsi, berdasarkan Pasal 284 KUHAP dan kemudian dalam UU Kejaksaan, pihak kejaksaan masih diberi landasan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana khusus seperti korupsi.39

Pemilu pada masa orde baru pemilu diadakan sebanyak enam kali, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Undang-undang yang melandasi pelaksanaan

b). UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum

38

Staatblaad 1941-44. Untuk uraian lebih lanjut mengenai HIR ini, dapat dilihat pada H. Haris, pembaharuan Hukum Pidana yang terdapat dalam HIR, 1978.

39

Mengenai hubungan polisi dan jaksa di dalam penyidikan tindak pidana baik pada masa HIR maupun KUHP dapat diperiksa pada Topo Santoso, Polisi dan Jaksa, Keterpaduan dan

Pemilu itu adalah UU No. 15 Tahun 1969 untuk Pemilu 1971, UU No. 4 Tahun 1975 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969 untuk Pemilu 1977, UU No. 2 Tahun 1980 tentang perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1975 untuk Pemilu 1982, dan UU No. 1 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun1975 dan UU No. 2 Tahun 1980 untuk pemilu tahun 1987, 1992 dan 1997. Di dalam peraturan perundang-undangan itu didapati masalah penyelesaian tindak pidana pemilu meski sangat samar, yaitu melalui ketentuan Panitia Pengawas Pemilu (di masa orde baru terkenal dengan akronim Panwaslak atau Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu). Berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 1999 dimana lembaga Panwas terpidah dari Komisi Pemilihan Umum. Dalam Pemilu Orde Baru Panwaslak ini berada di dalam Panitia Pelaksana Pemilu.

Undang-undang Pemilu pada masa orde baru menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak) merupakan bagian dari panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), Panitia Pemlihan Daerah Tingkat II (PPD II) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). UU No. 1 Tahun 1985 menyatakan bahwa Panwaslak bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dalam wilayah kerjanya masing-masing, sesuai dengan tingkatannya dan bertanggung jawab kepada Ketua Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara yang bersangkutan. Adapun untuk Panitia Penawas Pelaksanaan Pemilu Tingkat Kecamatan (Panwaslakcam), undang-undang menyatakan bahwa lembaga tersebut juga melakukan pengawasan terhadap pendaftaran pemilih dan menyampaikan surat pemberitahuan/panggilan.40

40

Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1985.

Dari pengaturan seperti itu dapat dikatakan bahwa Panwaslak Pemilu pada masa Orde

Baru merupakan lembaga yang tidak bersifat bebas dan mandiri, karena undang-undang menegaskan bahwa mereka merupakan bagian dari Panitia Pelaksana Pemilu dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan.41

3). Yang memenuhi unsur pidana. Jika ada unsur pidana, maka pelaku harus diperiksa oleh aparat penegak hukum.

Pengawas Pemilu bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu, meski dinyatakan demikian, namun di dalam undang-undang pemilu orde baru juga tidak ada satu pun pasal yang memberi kejelasan mengenai wewenang apa yang dimiliki lembaga ini dalam menyelesaikan perselisihan. Juga, tidak satu pun ketentuan yang menyatakan bahwa Panwas berwenang menyelesaikan. Juga, tidak satupun ketentuan yang menyatakan bahwa Panwas berwenang menyelesaikan tindak pidana pemilu.

Undang-undang Pemilu Orde Baru di atas sama sekali tidak ada kewenangan dari Lembaga Pemilihan Umum maupun Panwaslak khususnya untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu, maka sesuai peraturan perundang-undangan yan ada, penyelesaian tindak pidana pemilu pun harus diselesaikan sebagaimana tindak pidana lainnya, yaitu melalui sistem peadilan pidana dan tidak bisa diselesaikan di luar ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, misalnya melalui mekanisme musyawarah atau diselesaikan sendiri oleh Panwaslak. Para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang berwenang menyelesaikan tindak pidana pemilu yang terjadi. Hal ini dibenarkan oleh Singgih, Ketua Panwaslak pada Pemilu 1992 yang menyatakan bahwa penyimpangan pemilu ada 3 (tiga) kategori, yaitu : 1). Yang bermuatan politik.

2). Administratif.

42

41

Ismail Sunny, Beberapa catatan tentang Panitia Pengawas dan Sistem Penyelesaian

Sengketa dalam Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia”, disampaikan dalam seminar tentang

“Pengalaman yang diperoleh dari Pemilu Juni 1999 : Menyelesaikan Pengaduan dan Perselisihan dalam Proses Pemilu, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Univesitas Indonesia dan International

D. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan UU

Dokumen terkait