TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO.
10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
DEDY J.R MANALU 040200032
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA DALAM PERSFEKTIF UU NO.
10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O L E H
040200032 DEDY J.R MANALU
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
NIP. 196107021989031001 (Abul Khair, SH.M.Hum)
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum)
NIP. 197302202002121001 NIP. 195810071986011002 (Armansyah,SH, M.Hum)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
KATA PENGANTAR
Segala puji dan hormat syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus
Sang Kepala Gerakan sebagai Tuhan yang hidup yang telah mencurahkan berkat dan
karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini, sebagai slah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studinya
dan memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul
yang dipilih adalah “Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pemilu dan
Proses Penyelesaian Perkaranya dalam Persfektif Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna, dalam penyusunan, pemilihan maupun merangkai kata demi kata,
serta kelalaian dalam proses pengeditan. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki
oleh penulis. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.
Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan
perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan
I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH, M. Hum
selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak
Muhammad Husni, SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
2. Bapak Abdul Khair, SH, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan
ibu Nurmalawaty, SH, M. Hum selaku Sekretaris Departemen hukum Pidana
yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dan penulisan skripsi ini
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang
telah membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai
penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Armansyah, SH, MH selaku Dosen pembimbing II yang telah banyak
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini sampai
dengan selesai.
5. Erna Herlinda, SH M.Hum selaku dosen wali penulis yang telah banyak
membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Segenap dosen serta seluruh Civitas Akademik dan seluruh staf pegawai
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Yang teristimewa dan penulis cintai Ayahanda G. Manalu dan Ibunda E.
Hutagalung, SPd yang telah sabar dalam mengasuh dan mendidik serta memberi
dorongan kepada penulis dengan iringan doa yang tak henti-hentinya serta kerja
keras, kesabaran, nasehat dan kasih sayang dari ayahanda dan ibunda, sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya buat ayahanda dan ibunda tercinta. Semua hal yang ayahanda
dan ibunda berikan tidak mungkin dapat tergantikan. Aku akan selalu berusaha
membuat ayahanda dan ibunda bangga.
9. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan seluruh civitasnya yang telah
memberikan pembelajaran yang tak ternilai bagi penulis.
Akhirnya Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak
terkhusus pembaca.
Medan, Juli 2010
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ...i
DAFTAR ISI ... .vi
ABSTRAKSI... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1
B. Perumusan Masalah……….3
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….4
D. Keaslian Penulisan………...5
E. Tinjauan Kepustakaan………..5
F. Metode Penelitian………...15
G. Sistematika Penulisan………`16
BAB II BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA A. Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP...19
B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum...26
BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA A. Sistem Pemilihan Umum...40
B. Kasus Tindak Pidana Pemilu...45
C. Mekanisme Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan KUHP...51
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………...88
B. Saran………..90
ABSTRAKSI
Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum* Armansyah,SH, MH**
Dedy J.R Manalu***
Penyelengaran Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu. Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.
Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.
Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.
ABSTRAKSI
Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum* Armansyah,SH, MH**
Dedy J.R Manalu***
Penyelengaran Pemilihan Umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan penegakan hukum. Begitu banyak ketentuan dalam perundangan Pemilihan Umum yang mengatur tindak pidana Pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada mekanisme hukum acara pidana biasa. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana Pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada hukum acara dalam keadan normal. Atau sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, mengakomodir kepentingan ketepatan Pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu. Permasalahan hukum Pemilu yang penyelesaiannya memerlukan putusan lembaga peradilan terbagi dalam dua jenis masalah, yaitu Perselisihan Hasil Pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 258 dan Pasal 259 dan tindak pidana Pemilu yang diatur dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 310 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dengan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu, yang hanya dapat diajukan permohonan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi, paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan.
Sedangkan Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya.
Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai dengan pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur perihal tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilu 2009 adalah pemilu yang di awal persiapan perhelatannya telah
melahirkan banyak kontroversi di publik. Banyak fenomena yang mengusik atau
mungkin bisa dikatakan anomali. Tidak berhenti sampai di situ, produk calon
legislatif yang dimunculkan dari tiap partai politik belakangan juga menuai banyak
kritikan dan cercaan. Proses rekruitmen bakal calon yang tidak jelas, jumlah partai
politik yang banyak (44 partai politik), kurang matangnya persiapan pemerintah
dalam proses penyelenggaraan pemilu serta minimnya sosialisasi tentang tata cara dan
aturan Pemilu, adanya peraturan mengenai parliament threshold, menjadikan
banyaknya kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang terjadi di pemilu 20091
Banyaknya fenomena pelanggaran yang terjadi di dalam Pemilu 2009,
misalnya penggelembungan suara caleg salah satu partai politik, pencontrengan yang
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali sampai money politic yang dilakukan salah satu
caleg untuk mencari simpati rakyat. Diantara sekian banyak kasus pelanggaran Pemilu
yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, yang sangat urgent dan menjadi pembahasan
apalagi untuk persiapan Pemilu Presiden yang akan dating adalah masalah DPT
(Daftar Pemilih Tetap). Masalah DPT ini menjadikan Pemilu 2009 sebagai Pemilu
paling buruk dibandingkan Pemilu 1999 dan 2004. Itu karena angka golput mencatat
rekor tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Angka golput diperkirakan
mencapai 30% dan angka pemilih yang tidak masuk DPT sekitar 10-12%, sehingga
jika ditotal, angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilih mencapai 40% lebih. .
1
DPT tidak akurat, buruknya persiapan, serta rendahnya sosialiasi merupakan factor
penyebab melambungnya angka golput2
Kisruh masalah DPT akhirnya masuk ke wilayah politik DPR. Hak angket
digunakan untuk membedah kesemrawutan daftar tersebut. Sebanyak 22 anggota
DPR dari enam fraksi menggunakan hak konstitusional mereka untuk
mempersoalkan kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Mereka menilai bahwa
pemerintah ikut bertanggung jawab atas hilangnya hak pilih warga negara dalam
pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu. Langkah politik DPR ini sangat masuk akal
manakala langkah hukum atas hilangnya hak pilih warga negara belum menemukan
salurannya. Pengaduan warga negara ke kepolisian belum mendapatkan tanggapan
memadai. Padahal, hilangnya hak pilih warga negara adalah pelanggaran hak asasi
manusia yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik
.
3
Kecurangan Pemilu melalui manipulasi DPT atau electoral fraud merupakan
pelanggaran HAM Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Hal ini
adalah indikasi pengurangan integritas masyarakat. Suatu hal kritis yang telah
memaksa BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) menyatakan perlunya suatu .
Adalah suatu kenyataan bahwa hingga kini belum ada pihak yang bertanggung
jawab atas kesemrawutan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Komisi Pemilihan Umum
yang kewenangannya turun dari konstitusi menolak untuk bertanggung jawab,
sementara Departemen Dalam Negeri menimpakan tanggung jawab kepada KPU.
Pada akhirnya, rakyat ditempatkan sebagai pihak yang ikut bersalah karena tidak mau
mengecek Daftar Pemilih Sementara (DPS) serta aktif mendaftarkan diri.
2
Khofifah Indar Parawansa, Pencerdasan Demokrasi, Harian Seputar Indonesia, Edisi Senin, 27 April 2009, hal. 4.
3
Isu DPT Masuk Parlemen, Tajuk Rencana, Harian Kompas, Edisi Rabu, 29 April 2009, hal.
pemungutan suara ulang. Kecuarangan tersebut sudah tidak mungkin dipermaklumkan
sebagai kesalahan yang tidak bisa dihindari. Kelemahan administrasi penyelenggaraan
Pemilu sudah semakin terlihat sebagai bentuk lain dari strategi pemenangan dengan
medium pemilu.4
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi, khususnya
pertanggungjawaban pidana kasus-kasus pidana yang terjadi dalam proses Pemilihan
Umum, baik berdasarkan KUHP maupun UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Sebagaimana diketahui, beberapa kasus yang terjadi di Pemilu khususnya masalah
DPT, seakan membawa kita masuk dalam kehidupan tanpa negara (stateless). KPU
dan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang bertanggung jawab atas DPT
tidak mau mengakui DPT bermasalah itu. Bahkan, mereka saling lempar tanggung
jawab satu ama lian. Sama dengan kasus Pilgub Jatim, kasus DPT Pemilu 2009 juga
tak ditangani serius oleh pihak kepolisian. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir
tunggal undang-undang juga tidak mampu berbuat apa-apa.
B. Rumusan Permasalahan
Rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana
pemilu dalam KUHP.
2. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana
pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara
singkat, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak
pidana pemilu dalam KUHP.
2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak
pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk :
1. Manfaat secara teoritis
Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat
memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan
dengan mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu
yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan kepada masyarakat tentang mekanisme pertanggung jawaban dan
penyelesaian tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP dan UU No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga dapat memberikan pembelajaran politik
bagi masyarakat. Sehingga untuk pemilu selanjutnya tidak akan ada lagi terjadi
berbagai pelanggaran yang menimbulkan kerugian masyarakat untuk menyalurkan
D. Keaslian Penulisan.
Pembahasan skripsi ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
TINDAK PIDANA PEMILU DAN PROSES PENYELESAIAN PERKARANYA
DALAM PERSFEKTIF UU NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN
UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD”, adalah masalah yang sebenarnya
sudah sering kita dengar, dimana seringkali terjadi berbagai pelanggaran yang
terindikasi sebagai tindak pidana di dalam Pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu,
padahal keseluruhan mekanisme pada dasarnya sudah diatur di dalam UU No. 10
Tahun 2009 tentang Pemilu.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan
doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama,
maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5
Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,6 bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPRD
tingkat propinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota dan anggota DPD (Dewan Perwakilan
Daerah). 7
Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Adapun t ahapan
penyelenggaraan Pemilu meliputi : 8
Peserta Pemilu adalah Partai Politik.
a). pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
b). pendaftaran Peserta Pemilu;
c). penetapan Peserta Pemilu;
d). penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
e). pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
f). masa kampanye;
g). masa tenang;
h). pemungutan dan penghitungan suara;
i). penetapan hasil Pemilu; dan
j). pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
9
Partai politik dapat menjadi Peserta
Pemilu setelah memenuhi persyaratan :10
c). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan;
a). berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b). memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
6
Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
7
Pasal 1 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
8
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
9
Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
10
d). menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e). memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu
perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota;
f). mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf
c; dan
g) . mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
2. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Secara institusional, KPU yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang
dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001)
dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang
berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ
Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang
berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik
oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001. KPU
ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7
orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan
birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik
Presiden karena masalah hukum
Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus
diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi
tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih
berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Sebagai anggota KPU,
integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor
penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena
didukung oleh personal yang jujur dan adil. Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya
penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR
untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara
Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.
Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah
mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu.
Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E
Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat
nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai
penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang
menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan
tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum
bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian
disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga
pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai
dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh
tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga
mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN
serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad
hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan
Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan
kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik
Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU
Provinsi, dan Bawaslu. Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan
Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah
anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar
pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan
melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu
Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun
terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
3. Pengertian Tindak Pidana
Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang
diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan
dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III.
Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar
pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan
penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri
pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan
penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik
undang-undang (wet-delichten).
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa
delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan
dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang.
Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang
Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan,
pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari delik
undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan, peraturan
pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya. Sarjana lain
yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar pembagian
pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan
sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat
(zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena :
a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat
dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan
b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat
dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.
Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang
dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya
untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau
penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan
dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran.
Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau
pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman.
Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya,
seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum
positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan
dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman
Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya
setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau
pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah
tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan
sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran.
Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan
dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua
perundang-undangan hukum pidana.
Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari
bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti :
a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
b. Peristiwa pidana
c. Perbuatan pidana dan
d. Tindak pidana
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah
“Het Strafbare feit” antara lain 11
Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu handeling
(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya
dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang
dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang :
a. Rumusan Simon
11
berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar) dari petindak.
b. Rumusan Van Hammel
Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan
oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat
dipidana”.
c. Rumusan VOS
VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia
yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d. Rumusan Pompe
Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah
(penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan
untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum
dan menjamin kesejahteraan umum.
Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak
pidana ini, yaitu 12
Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak
pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua :
a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.
b. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.
c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan
merupakan “subjek” tindak pidana.
suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan
singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu
tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak.
Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal
suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan
jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada
negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang
dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan
apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan
tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja
melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 13
Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum,
tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung
terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang
sudah dipandang merugikan kepentingan umum di samping kepentingan
perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun
tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak
akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam
masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang
diharuskan. Sedangkan pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan
pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau
diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan .
14 .
13
Ibid, Hal. 209. 14
F. Metode Penelitian 1. Sifat/Bentuk Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan
pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini
dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang
dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian
hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana
Pemilu menurut KUHP dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Selain itu
dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini.
Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam
meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan
dengan mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilu menurut KUHP dan UU No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
2. D a t a
Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas
kerja.
b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi
yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar,
internet dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu
kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analissi data yang digunakan dalam
skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih
mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika
penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan yang diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
BAB II BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
tindak pidana Pemilihan Umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia, baik yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10
BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
Pada bab ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme
penyelesaian tindak pidana pemilihan umum di Indonesia baik
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di
dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, serta diakhiri
dengan kasus-kasus Tindak Pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi
di Indonesia.
Pada bab ini juga akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan analisa
mengenai tindak pidana Pemilihan Umum yang pernah terjadi di
Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) maupun di dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari
BAB II
BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
Terjadinya pelanggaran Pemilu seperti dalam pelaksanaan Pemilu 2009 sudah
tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan
maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak
bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku
pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap
tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau
sanksi.
Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain :15
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD,
tim kampanye.
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU
Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten
Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan
lainnya.
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus
BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan
lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
15
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut
sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu,
tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis
pelanggaran pemilu menjadi:
(1) pelanggaran administrasi pemilu;
(2) pelanggaran pidana pemilu; dan
(3) perselisihan hasil pemilu.
Berikut ini akan kita lihat peraturan perundang-undangan yaitu KUHP dan UU
No. 10 Tahun 2008 memandang hal tersebut.
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP
Dalam KUHP Inonesia yang merupakan kitab undang-undang warisan dari
masa penjajahan Belanda terdapat lima pasal yang mengatur mengenai tindak pidana
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Lima pasal yang terdapat dalam Bab
IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana ”Kejahatan terhadap Melakukan
Kewajiban dan Hak Kenegaraan”, adalah Pasal 148, 149, 150, 151, 152 KUHP.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih
Pasal 148 KUHP menyatakan :
”Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum,
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja merintangi seseorang
memakai hak pilihnya dengan bebas dan tidak terganggu, diancam dengan pidana
Berdasarkan Pasal 148 KUHP ini seseorang akan dinyatakan melakukan
perbuatan pidana apabila merintangi orang lain dalam memberikan hak pilihnya
pada waktu dilaksanakannya pemilihan umum. Perintangan ini dapat dilakukan
dengan kekerasan atau ancaman, bisa juga dengan intimidasi sehingga orang
tidak memberikan suaranya pada saat pemilu. Hukuman untuk tindak pidana ini
paling lama adalah satu tahun empat bulan penjara.
2. Penyuapan
Pasal 149 KUHP menyatakan :
” (1) Barang siapa waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum,
dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak
memakai hak pilihnya, atau supaya memakai hak itu menurut cara yang
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima
pemberian atau janji, mau disuap supaya memakai atau tidak memakai
haknya seperti di atas”.
Pasal 149 ini mengatur bahwa dikenakan tindak pidana bagi seseorang yang
melakukan penyuapan sehingga orang menggunakan hak pilihnya menurut cara
tertentu atau sama sekali tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu.
Hukuman untuk tindak pidana ini adalah paling lama sembilan bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Hal ini berlaku bagi orang yang
menerima suap. Pemilu 2009 yang lalu, kita banyak menemukan kasus-kasus yang
bermotif ”money politic” yang sebenarnya bisa dikenakan pasal ini, misalnya
Partai A, B dan sebagainya. Namun, seperti diketahui, sangat sedikit sekali
kasus-kasus yang bisa diperoses secara pidana.
3. Perbuatan Tipu Muslihat
Pasal 150 KUHP menyatakan :
”Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum,
melakukan tipu muslihat sehingga suara orang pemilih menjadi tidak berharga
atau menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh pemilih itu menjadi
terpilih, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Pasal 150 KUHP ini mengatur bahwa barangsiapa yang melakukan tipu muslihat
agar suara tidak berharga, misalnya pada kasus-kasus pemilu 2009 banyak sekali
kertas-kertas suara yang sudah dipilih dinyatakan rusak sehingga tidak bisa
dihitung. Selanjutnya pasal ini juga mengatur bahwa termasuk tindak pidana
apabila menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh pemilih itu menjadi
terpilih, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pada
kasus-kasus Pemilu 2009 beberapa ditemukakan adanya surat suara yang sangat berlebih
yang dikhawatirkan sudah dicontreng yang bertujuan untuk memenangkan calon
tertentu.
4. Mengaku sebagai orang lain.
Pasal 151 KUHP menyatakan :
”Barangsiapa dengan sengaja memakai nama orang lain untuk ikut dalam
pemlihan berdasarkan aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling
Pasal 151 KUHP ini mengatur bahwa merupakan tindak pidana bagi orang yang
sengaja memakai nama orang lain untuk ikut dalam pemilihan, dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan. Pada pemilu 2009, ada beberapa
kasus yang dapat dikenakan tindak pidana ini, misalnya kasus yang terjadi pada
Cahyadi salah seorang dari tiga orang yang pada hari pencoblosan, diamankan
Panwaslu Jakarta Utara, karena mencoblos dengan kartu milik orang lain. Mereka
telah ditetapkan Polres Metro Jakarta Utara sebagai tersangka karena melanggar
pasal 139 Undang-undang Pemilu No. 12 Tahun 2003.
Mereka yang ditangkap adalah Cahyadi, Ramhot Rumihar Butar-butar dan Simon
Siahaan, diamankan petugas Panwaslu Jakarta Utara, Senin siang. Cahyadi
tertangkap tangan saat mencoblos di TPS 06 Kelurahan Sungai Bambu, Tanjung
Priok dengan menggunakan kartu atas nama Erikson. Saat diinterogasi, Cahyadi
mengaku aksinya tersebut atas suruhan Ramhot yang juga menantu salah seorang
caleg nomor 1 dari Partai Pariot Pancasila, Posman Siahaan. Mendengar
pengakuan Cahyadi, warga sekitar TPS tersebut, sempat emosional. Petugas
Panwaslu pun sempat mengamankan Simon Siahaan anak dari caleg tersebut
karena pada saat kejadian ada disekitar lokasi.
Menurut ketua Panwaslu Jakarta Utara Amir Rudianata, masalah tersebut tidak
bisa diselesaikan di tempat, sehingga ketiganya perlu dibawa ke Panwaslu Kodya
Jakarta Utara. "Saat itu warga emosional, kami takut terjadi apa-apa. Namun
Panwaslu kemudian hanya menyerahkan Cahyadi karena yang bersangkutan
jelas-jelas dan tertangkap tangan melakukan pencoblosan dengan kartu atas nama orang
lain. Dari tersangka, diperoleh barang bukti sebuah kartu pemilih atas nama orang
lain dan sebotol cairan bahan pemutih yang diduga untuk menghilangkan bekas
gambar caleg Partai Patriot Pancasila Posman Siahaan. Dari keterangan warga,
Cahyadi adalah salah satu dari sekitar 50 orang bayaran yang disebar ke sejumlah
TPS untuk mencoblos nama salah satu caleg partai tertentu. Namun, pihak
Panwaslu mengaku masih menyelidiki kebenaran masalah ini.
Sedangkan terhadap dua orang lainnya, Panwaslu melepaskan mereka.16
Pasal 152 ini mengatur bahwa barang siapa yang menggagalkan pemungutan
suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan
putusan pemungutan suara itu lain dari yang seharusnya, dipidana dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan. Pasal ini juga banyak terjadi pada
Pemilu 2004 yang lalu. Pada Pemilu 2004 yang lalu, ditengarai ada paku
tersembunyi di tengah-tengah bantal pencoblosan sehingga begitu surat suara mau
ditusuk ternyata sudah tertusuk lebih daulu. Bila pemilih mencoblos yang kiri atau
kanan maka kartu itu akan termasuk kategori rusak atau tidak sah. Kemudian ada
lagi penyalahgunaan kartu AB. Seringkali terjadi pada waktu pemindahan berkas
5. Menggagalkan Pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat.
Pasal 152 KUHP menyatakan :
”Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum
dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah diadakan atau
melakukan tipu muslihat yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain
dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan kartu-kartu pemungutan suara yang
masuk secara sah atau berdasarkan suara-suara yang dikeluarkan secara sah,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.
16
Memakai Kartu Orang Lain ditangkap, diakses dari situs
daftar pemilih yang menggunakan kartu AB, nama pemilih di tempat pertama
mendaftar tidak dicoret sehingga namanya masih tercantum. Dengan demikian hal
itu dimanfaatkan oleh yang bersangkutan atau petugas TPS setempat atau orang
lain untuk suara Golkar. Jadi satu orang memberikan suara dua tempat berbeda
atau lebih. Selanjutnya masalah sisa surat suara. Sangat boleh jadi sisa surat suara
ditusuki oleh petugas TPS untuk kepentingan Golkar. Hal itu pernah terjadi di
kantor perwakilan Indonesia di Kinabalu, Malaysia. Pemilihannya hanya
berjumlah 1,2 juta tetapi jumlah suaranya lebih dari itu. Padahal untuk mencapai
100 persen suara saja sulit karena para pemilih terbesar diberbagai tempat yang
sulit, seperti buruh-buruh di perkebunan pedalaman.17
Secara umum KUHP (lex generalis) telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai
dengan pasal 153 KUHP, yang antara lain mengatur : 18
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dapat diuraikan bahwa pasal ini
terdiri dari 2 (dua) unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif a). Dengan kekerasan/ancaman sengaja merintangi orang menggunakan hak pilih;
b). Menjanjikan/menyuap orang supaya tidak menggunakan hak pilih;
c). Menerima janji / menerima suap;
d). Melakukan tipu muslihat agar suara pemilih tak berharga atau menyebabkan
beralihnya hak pilih kepada orang lain;
1). memakai nama orang lain supaya dapat memilih;
2). menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat agar hasil
pemilihan lain dari yang seharusnya.
17
Titik-Titik Rawan Kecurangan dalam Pemilu, diakses dari situs : diakses dari situs :
18
adalah adanya orang perorang atau kelompok yang dengan sengaja melakukan
perbuatan. Perbuatan yang dimaksud adalah merupakan unsur objektif dari pasal ini,
yaitu bertujuan untuk menghalangi orang memberikan haknya dalam pemilu atau
menyebabkan suara pemilih tak berharga atau menyebabkan beralihnya hak pilih
kepada orang lain , dengan melakukan:
a) tindakan kekerasan/ancaraman
b) Memberikan janji/melakukan penyuapan
c) Menerima janji / menerima suap
d) Melakukan tipu muslihat.
Pasal 148-153 merupakan pasal-pasal yang berasal dari KUHP, yang pada
umumnya menjamin agar supaya setiap warga negera dapat menentukan pilihannya
dengan bebas terhadap wakil-wakil untuk duduk dalam Dewan pemerintahan/Dewan
Perwakilan Rakyat dan agar Pemilu dapat dilakukan dengan bersih, jujur dan bebas
dari segala macam kecurangan.19
KUHP memberikan penjelasan bahwa penyuapan itu harus dilakukan dengan
“pemberian” atau “perjanjian” yang berupa apa saja. Kemudian yang dihukum
menurut pasal ini bukan saja orang yang menyuap, akan tetapi juga orang menerima
suap itu, misalnya A berkata pada B, jika kamu memilih tanda gambar partai X, maka
saya akan memberikan uang Rp. 50,-. Apabila Pemilih (B) menerima pemberian atau
perjanjian itu, dan ia memilih apa yang dikehendaki oleh A, maka A dan B
kedua-duanya dihukum. Seorang dari partai politik yang menganjurkan supaya memilih Selanjutnya di dalam KUHP dijelaskan pula bahwa Pemilihan Umum anggota
Badan Permusyawartan/Perwakilan Rakyat dengan khusus diatur dalam UU No. 1969
No. 15 (LN. 1969 No. 58 Tahun 1980) dan UU No. 1 Tahun 1985.
partainya dengan tidak memakai pemberian atau perjanjian suatu apa itu tidak
diancam hukuman. Menurut yurisprudensi, maka menawarkan suatu pemberian atau
perjanjian itu merupakan permulaan dari pelaksanaan kejahatan tersebut sehingga
sudah dapat dipandang sebagai “percobaan” dari kejahatan dalam pasal ini.
Dimuatnya ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan
umum di dalam KUHP adalah menarik, karena ketika Wetbook van Strafrecht mulai
berlaku di tahun 1917, pasal-pasal tersebut sudah ada, padahal Indonesia masih
dijajah oleh Belanda sehingga pemilihan umum belum ada. Tampaknya ketentuan
WvS Belanda diambil begitu saja untuk Hindia Belanda. Di negeri Belanda,
pemilihan umum memang sudah dilaksanakan pada masa itu. Di negara yang
memiliki system bicameral itu, Konstitusi1815 menentukan adanya pemilihan
langsung yang dilakukan untuk memilih Second Chamber. Sementara the Chamber
dipilih secara tidak langsung. Adapun di Indonesia sendiri meskipun di masa
penjajahan Belanda sudah ada wakil-wakil bangsa Indonesia di lembaga perwakilan
saat itu (Volksraad), khususnya sejak 1918-1942, namun pemilihan masih dilakukan
oleh pemilih yang sangat terbatas.20
Bila berbicara tentang Pemilu tanggal 9 April 2009 yang lalu, maka akan ada 2
(dua) peristiwa menarik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum
tersebut. Pertama diajukannya judicial review terhadap UU No. 10 Tahun 2008 Pemilihan umum nasional barulah dilaksanakan
sesudah Indonesia merdeka, tepatnya di tahun 1955 yang merupakan pemilu nasional
pertama.
B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
20
Herberth Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Topo Santoso, dalam Tindak Pidana
tentang Pemilihan Umum Angota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD oleh beberapa
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Mahkamah konstitusi. Kedua, terjadinya
pendaftaran peserta pemilihan umum partai politik dengan kepengurusan ganda.
Kedua peristiwa itu berkaitan erat dengan aspek penegakan hukum, baik dalam artian
penegakan aturan oleh institusi pelaksana pemilihan umum maupun penegakkan
hukum dalam pengertian timbulnya sengketa yang harus diputuskan oleh kekuasan
peradilan, termasuk didalamnya Mahkamah Konstitusi. Pada peristiwa uji materi
terhadap UU No. 10 Tahun 2008 sesungguhnya telah terjadi silang sengketa antara
regulator dengan warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dalam
hal ini berkisar pada permasalahan ketentuan persyaratan menjadi anggota DPD yang
tidak membatasi hanya pada penduduk yang bertempat tinggal di suatu provinsi saja,
sehingga substansi pengertian “perwakilan daerah” harus orang yang bertempat
tinggal di daerah yang bersangkutan sebagaimana diamanatkan UUD 45 tidak
terpenuhi, ketentuan itu dianggap telah menjadi norma sendiri yang justru
bertentangan dengan norma dasarnya. 21
Komisi Pemilihan Umum dalam menentukan kepengurusan partai yang sah
menjadi peserta pemilihan umum bagi partai yang berpengurus ganda, akan
mendasarkan pada kepengurusan yang tercatat pada partai yang sudah berstatus badan
hukum di Departemen Hukum dan HAM. Dalam konteks partai berpengurus ganda
Departemen Hukum dan HAM dalam mencatat kepengurusan yang sah sebagai badan
hukum akan mengacu kepada putusan pengadilan. 22
Dua peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa penyelengaran pemilihan
umum sebagai peristiwa politik tidak mungkin dilepaskan dari persoalan-persoalan
21
Abdul Fickar Hajar, Op.cit, hal. 4.
22
penegakan hukum, begitu banyak ketentuan dalam perundangan pemilihan umum
yang mengatur tindak pidana pemilu yang penegakannya harus didasarkan pada
mekanisme hukum acara pidana biasa. Problemnya adalah dapatkah tindak pidana
pemilu yang bernuansa harus diselesaikan cepat penyelesaiannya didasarkan pada
hukum acara dalam keadan normal. Atau sejauh mana UU No. 10 Tahun 2008
mengakomodir kepentingan ketepatan pemilu yang terjadwal ketat dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana pemilu.
Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Umum Angota DPR, DPD dan DPRD didefenisikan sebagai
pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam undang-undang ini
yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada peradilan umum, sedangkan
pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan melalui KPU dan Badan
Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks pengaturan tindak pidana,
sesungguhnya UU Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena
mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Pemilu 2009 dinyatakan
sebagai Pemilu dengan masalah terbanyak. Masalah-masalah tersebut membuat hasil
dari pemilu tanggal 9 April 2009 yang lalu banyak diragukan legitimasinya. Persoalan
yang mencuat banyak yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu. Dalam UU No. 10
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilu Legislatif sudah banyak diatur tentang
penyelesaian sengketa pidana dalam pemilu, antara lain money politics, indikasi
penggelembungan suara, jual beli suara, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tercatat
sudah mencapai angka ratusan pelanggaran pidana dalam pemilu kali ini. Hal ini
mengejutkan, karena tentu dapat mengurangi kredibilitas dari para peserta pemilu
terutama yang mendapat suara besar. Sebab itulah perlu dicarikan solusinya.23
Jika kita petakan persoalan tindak pidana pemilu ini, sebenarnya UU No. 10
Tahun 2008 sudah mengakomodasi banyak hal bila terjadi tindak pidana. Artinya,
dengan menggunakan UU Nomor 10 tahun 2008 sudah bisa menjerat banyak tindak
pidana yang terjadi dengan upaya pidana (penal).
Meskipun dalam UU No. 10 Tahun 2008 tidak mencantumkan tentang tujuan
dan pedoman pemidanaan untuk tindak pidana pemilu ini, tapi UU ini tetap
diharapkan bisa berfungsi sebegaimana mestinya, yakni memberikan keadilan pada
masyarakat. Pentingnya tujuan dan pedoman pemidanaan ini, menurut Prof. Barda
Nawawi Arief yakni sebagai pemberi arah agar digunakannya sarana penal ini dapat
bermanfaat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, serta memberikan landasan
filosofis mengapa dan bagaimana pidana itu diberikan.
Beberapa jenis tindak pidana yang disinyalemen banyak terjadi antara lain
adalah money politics (politik uang). Dalam Pasal 286 UU No. 10 Tahun 2008 disebut
sebagai tindakan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada
pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu
atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah. Pidananya adalah penjara selama minimal 12 bulan dan maksimal 36 bulan dan
denda minimal 6 juta rupiah dan maksimal 36 juta rupiah. Mestinya pidana yang
diberikan bukan penjara, melainkan kurungan. Hal ini terkait sebutan dalam UU No.
10 Tahun 2008 bahwa tindak pidana pemilu adalah pelanggaran. Sedangkan
pembagian dalam KUHP sebagai induk dari peraturan pidana yang lain menyatakan
Sedangkan pidana penjara adalah untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori
kejahatan24
Bila memperhatikan sanksinya saja, dengan membandingkan Pasal 286 dan
288, dalam UU No. 10 Tahun 2008 ini terlihat tidak jelas pola pemidanaannya. Pola
pemidanaan ini menurut Prof. Barda Nawawi Arief dipedomani agar ketentuan pidana
yang sudah ditetapkan jelas bentuknya dan memberikan koridor yang sama untuk .
Dikhawatirkan hal inilah yang membuat UU No. 10 Tahun 2008 sebagai
aturan normatif dari penyelenggaran pemilu menjadi fungsinya terhambat karena
tidak bersinergi dengan KUHP sebagai induk dari peraturan pidana yang lainnya.
Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa pembuat UU pemilu hendak memberikan
aturan yang sulit dioperasionalkan dalam pelaksanaan pemilu ini. Mestinya ketentuan
pidana dalam UU Pemilu ini tetap mengacu pada KUHP sebagai ketentuan induk.
Yakni membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, serta memberikan jenis sanksi
pidana yang berbeda pula dengan pidana penjara untuk kejahatan dan pidana
kurungan untuk pelanggaran. Kondisi UU yang seperti ini akan menjadi persoalan
saat terjadi hal-hal lain dalam proses pemilu ini, misalnya percobaan, atau
perbarengan, dll, karena tidak bisa serta merta mengacu pada KUHP. Inilah masalah
yuridis dalam bentuk tindak pidana yang ada dalam UU No. 10 Tahun 2008.
Pasal lain yang mengatur pidana lainnya adalah Pasal 288 yang menyatakan
bahwa: Tindakan sengaja yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak
bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau
perolehan suara peserta pemilu menjadi berkurang. Pasal 288 ini memberikan sanksi
pidana paling singkat 12 bulan dan maksimal 36 bulan penjara dan denda paling
sedikit 12 juta rupiah dan paling banyak 36 juta rupiah.
24
jenis pidana yang sama pula. Pola pemidanaan ini hendaknya menjadi pedoman bagi
lembaga legislatif sebagai pembuat UU agar dapat merumuskan ketentuan pidana
dengan lebih baik. Mestinya jika melihat pola pemidanaan Pasal 286 yang
memberikan penjara 12 dan 36 bulan serta denda 6 dan 36 juta rupiah, dengan pola
yang sama mestinya berpola 12 dan 36 bulan penjara dan 6 dan 36 juta rupiah juga.
Hal ini menunjukan bahwa pembuat UU No. 10 Tahun 2008 ini tidak mempunyai
konsep yang baik dalam membuat UU tersebut.
Dalam Pasal 260 UU ini diatur tentang setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12
bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit 12 juta rupiah dan paling
banyak 24 juta. Ini adalah masalah yang paling banyak terjadi dalam pelaksanaan
pemilu kali ini. Namun ada permasalahan dalam rumusan ketentuan tersebut, yakni
tidak diaturnya bila yang menyebabkan kehilangan hak pilih masyarakat adalah
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri. Tentu ini menjadi masalah yuridis di mana
tidak ada pertanggungjawaban terhadap KPU bila ternyata terbukti KPU yang
menyebabkan masyarakat kehilangan hak pilihnya. Ketiga pasal tersebut saja banyak
menunjukan bahwa UU No. 10 Tahun 2008 ini banyak mengandung kelemahan. Jadi,
dalam kebijakan hukum pidana yang akan ditegakkan nantinya jelas akan
menimbulkan kesimpangsiuran, atau bahkan akan terjadi in efisiensi dalam aturan
yang ada. Sebab itulah penting untuk mereformulasi UU Pemilu ini agar lebih baik
dan kebijakan hukum pidana dapat efektif sehingga pelaksanaan pemilu ke depan
akan lebih baik25
Begitu ketatnya UU No. 10 tahun 2008 mengatur prihal tindak pidana Pemilu,
hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/ .
25
tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya
Pemilu. Tidak hanya ketat dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 yang hanya
mengatur 31 Pasal tentang tindalk pidana Pemilu, UU No. 10 tahun 2008 ini
mengaturnya sampai sejumlah 51 Pasal.
Dari 51 Pasal yang mengatur tindak pidana pemilu, sebagian besar (40 pasal)
mengancam penyelenggara pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan ketingkat
Desa, hanya 11 ketentuan yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara pemilu,
bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 311 UU No. 10 tahun 2008 penyelenggara
pemilu ditambah hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan
pada subjek lain selain penyelenggara pemilu. Dengan demikian keseluruhan
ketentuan/ pasal tindak pidana pemilu dapat di jatuhkan terhadap penyelenggara
pemilu dari tingkat pusat (KPU) sampai ke tingkat desa (PPS).
Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu antara lain: setiap orang
(umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event organizer), Pejabat Negara
(seperti Ketua/Wakil ketua/Ketua Muda/Hakim agung pada Mahkamah Agung,
Ketua/Wakil ketua, Hakim Mahkamah Konstitusi, hakim pada semua badan
peradilan, Ketua / Anggota BPK, Gubernur/Deputi Gubernur BI, serta Pejabat Badan
Usaha Milik negara ), PNS/TNI/POLRI, Lembaga-lembaga Survey baik perorangan
maupun institusi, Perusahaan Percetakan, dan Badan Pengawas Pemilu.
Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan tahapan pelaksanaan Pemilu antara
lain26
26
Ibid, hal. 6.
:
a. Tahapan pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih
1). Sengaja menyebabkan orang kehilangan hak pilih;
3). Menghalangi orang mendaftar sebagai pemilih;
4). Panitia Pemilihan Suara /PPLN tidak memperbaiki daftar pemilih;
5). Merugikan WNI dalam proses rekapitulasi daftar pemilih tetap;
b. Pendaftaran peserta Pemilu/ Penetapan Peserta Pemilu/ Penetapan jumlah Kursi/
pencalonan DPR, DPD, DPRD;
1). Perbuatan curang memperoleh dukungan pencalonan DPD;
2). Membuat dan menggunakan dokumen palsu untuk menjadi calon angota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;
1). Penyelenggara Pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam
verifikasi partai politik;
2). Penyelenggara Pemilu yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu dalam
verifikasi partai politik dan verifikasi adninistratif calon DPR, DPD, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota;
c. Tahapan Masa Kampanye;
1). Kampanye diluar jadwal waktu ang dtentukan;
2). Melanggar larangan isi kampanye (mempersoalkan dasar negara/UUD 45,
disintegrasi, menghasut agama, ketertiban umum, kekerasan, merusak dan
menggunakan fasilitas pemerintah);
3). Larangan kampanye bagi pejabat negara Hakim, BPK dan BI, PNS/TNI Polri;
4). Menyuap untuk memilih peserta tertentu atau tidak memilih (golput);
5). Menerima suap;
6). Menerima sumbangan kampanye dari pihak asing, tiidak jelas identitas,
pemerintah;
7). Mengacaukan kampanye;
9). Keterangan tidak benar laporan Dana Kampanye;
d. Tahapan masa Tenang;
1) Orang / lembaga survei dilarang mengumumkan hasil suevey pada masa
tenang;
e. Tahap pemungutan dan Penghitungan Suara;
1). KPU sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditentukan (Pasal l
145);
2). Perusahaan pencetak suara mencetak melebihi jumlah yang ditetapkan dalam
Pasal 146 ayat (1);
3). Perusahaan pencetak tidak menjaga kerahasiaan, keamanan dan keutuhan surat
suara;
4). Menjanjikan atau menyuap/memberi uang agar tidak memilih atau memilih
peserta pemilu tertentu;
5). Dengan kekerasan menghalangi orang menggunakan hak pilihnya;
6). Sengaja melakukan erbuatan yang menyebabkan suara pemilih tak bernilai;
7). Mengaku orang lain pada saat pemungutan suara;
8). Memberikan suara lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS;
9). Sengaja mengagalkan pemungutan suara;
10).Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan pekerja memberikan
suaranya;
11).Merusak hasil pemungutan suara;
12).KPPS tidak memberikan surat suara pengganti surat suara yang rusak;
13).Memberitahu pilihan pemilih kepada orang lain;
15).KPPS tidak melaksanakan ketetapan KPU untuk melakukan pungutan suara
ulang;
f. Penetapan Hasil pemilu
1). lalai menyebabkan rusak/hilangnya hasil pemungutan suara;
2). mengubah Berita Acara hasil pemungutan suara;
3). KPU karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya/berubahnya berita acara
hasil rekapitulasi;
4). Sengaja merusak / mengganggu / mendistorsi sistim informasi perhitungan
suara;
5). KPPS sengaja tidak membuat/menandatangani berita acara perolehan
suarapeserta pemilu;
6). KPPS sengaja tidak memberikan salinan berita acara pemungutan suara,
sertifikat hasil penghitungan suara ;
7). KPPS/KPPSLN tidak menjaga , mengamankan keutuhan kotak suara;
8). Pengawas Pemilu lapangan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara
tersegel;
9). PPS yang tidak mengumumkan hasil perhitungan suara;
10).KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD;
11).Orang / lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang mengumumkan
hasil perhitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara;
12).Orang/lembaga survey perhitungan cepat (quickcount) yang tidak
mengumumkan bahwa hasil perhitungannya bukan merupakan hasil pemilu
13).Bawaslu /Panwaslu yang tidak menindak lanjuti temuan/laporan pelanggaran
Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU) dalam setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu.
Tindak Pidana Pemilihan Umum berdasarkan ketentuan Undang-undang No.
10 Tahun 2008, didefenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu
yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya melalui pengadilan pada
peradilan umum, sedangkan pelanggaran yang bersifat administratif diselesaikan
melalui KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta aparat dibawahnya. Dalam konteks
pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU Pemilu merupakan Undang-undang
khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu.
Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam pasal 148 sampai
dengan Pasal 153 KUHP. Begitu ketatnya UU No. 10 Tahun 2008 mengatur perihal
tindak pidana Pemilu. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir
seluruh perbuatan / tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang
menghambat terlaksananya Pemilu. Tidak hanya ketat, dibandingkan dengan UU No.
12 Tahun 2003 yang hanya mengatur 31 Pasal tentang tindak pidana Pemilu, UU
Nomor 10 Tahun 2008 ini mengaturnya sampai sejumlah 51 pasal. Dari 51 Pasal yang
mengatur tindak pidana Pemilu, sebagian besar (40 pasal) mengancam penyelenggara
Pemilu tingkat pusat (KPU) sampai dengan tingkat Desa (PPS). Hanya 11 ketentuan
yang tidak langsung ditujukan kepada penyelengara Pemilu, bahkan berdasarkan
ketentuan Pasal 311 UU Nomor 10 Tahun 2008, penyelenggara Pemilu ditambah
hukumannya 1/3 dalam melakukan tindak pidana yang ditujukan pada subjek lain
selain penyelenggara Pemilu. Subjek lain yang dapat dikenai tindak pidana Pemilu
antara lain: setiap orang (umum), Pelaksana Kampanye (orang partai atau event