• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG SECONDARY

B. Mekanisme Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

57

55

Fred BG Tumbuan (Tumbuan Pane), Menelaah KIK EBA Wahana Sekuritisasi, http://www.hukumonline.com./ , terakhir kali diakses pada tanggal 2 Mei 2007.

56

Jarrewidhi, Menyambut Pasar Mortgage, http//:jarrewidhi. Wordpress.com./ , terakhir kali diakses pada tanggal 2 Mei 2007.

57

Proses transformasi aset tidak likuid (piutang/tagihan) menjadi aset yang likuid (surat berharga yang disebut EBA) secara singkat adalah sebagai berikut:

a. Bank pemberi KPR (Krediutr Asal/Originator) menjual dan menyerahkan kumpulan piutang kepada Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (”PPSP”) atau Special Purpose Vehicle (”SPV”); dan

b. Berdasarkan Kumpulan Piutang Ini, Penerbit (PPSP atau SPV) menerbitkan EBA dimana hasil penjualan EBA kepada para investor harga pembelian Kumpulan Piutang.

Inti dari transaksi sekuritisasi adalah bahwa yang menjadi pokok ukur amannya investasi bukanlah bonafiditas (creditworthiness) dari Penerbit, tetapi tersedianya kumpulan piutang (portofolio tagihan) yang berkualitas baik dan memenuhi standard criteria tertentu sehingga bersama dengan aspek-aspek lain dari transaksi dapat memperoleh peringkat/rating sekuritisasi yang menopang pemasarannya. Rating didasarkan atas penilaian keseluruhan transaksi sekuritisasi, kualitas portofolio, dan terproteksi terhadap kemungkinan kepailitan (”Bankruptcy

Remote”).

Karena pembayaran EBA (investasi pemodal) bersumber pada portofolio tagihan, maka harus dijaga agar tidak timbul gangguan pada tagihan-tagihan portofolio (cash flow). Untuk menjaga kualitas portofolio, maka sangat penting adanya standarisasi dokumentasi, seperti adanya keseragaman syarat dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian KPR, dan HT pertama atas tanah dan

bangunan terpasang dengan syarat-syarat yang seragam pula. Selain itu HT segera dapat dieksekusi bila timbul debitur lalai dalam membayar tagihan KPR.58

a. Tersedianya portofolio tagihan yang handal untuk membayar kembali investasi para pemegang EBA; dan tidak mengandalkan pada kemampuan membayar (creditworthiness) dari Penerbit (Issuer);

Syarat mutlak untuk berhasilnya sekuritisasi adalah tersedianya aliran arus kas yang teratur (regular cash flow) setiap bulan untuk menjamin pembayaran kepada investor tanpa gangguan.

Ciri-ciri khusus sekur itisasi :

b. Arus kas yang mekanismenya sudah computerized untuk mengatur dan mencatat sistim tagihan (system receivables collection) yang sempurna, akurat dan up to date dan didukung jasa-jasa servicer yang handal, biasanya Bank Originator bertindak sebagai servicer karena sudah biasa melakukan tagihan terhadap debitur/pembeli rumah bersangkutan dan mempunyai data-data terkomputerisasi mengenai debitur-debitur itu;

c. Adanya standby debt servicer yang handal untuk menggantikan servicer bilamana karena apapun suatu saat berhalangan melakukan jasa-jasa koleksi dan pekerjaan-pekerjaan lainnya;

d. Portofolio tagihan sedapat mungkin terbebas dari ancaman kepailitan (bankruptcy remote). Aspek ini penting terutama untuk EBA berbentuk

58

Kunarti Surya Santoso, ”Aspek Hukum Sekuritisasi KPR dan Kendala-Kendala Hukum

Dalam Sekuritiasasi”, Diberikan dalam Workshop Sekuritisasi yang diselenggarakan PT Bank

Tabungan Negara (Persero), tanggal 9 dan 16 November 2006.

obligasi. Untuk EBA berbentuk surat partisipasi, hak milik atas Kumpulan Piutang berpindah kepada para investor/pemegang EBA secara kolektif;

e. Untuk penerbitan EBA berbentuk surat utang (obligasi), dilakukan oleh suatu

Special Purpose Vehicle (”SPV”) yang dibentuk PPSP, dimana SPV ini tidak

terlibat dalam kegiatan usaha selain untuk penerbitan EBA berbentuk Surat Utang (obligasi) untuk menghindari risiko timbulnya tagihan-tagihan lain sehingga risiko kepailitan SPV juga minimal.59

f. Terlibatnya Wali Amanat/Kustodian yang mewakili kepentingan para investor/pemegang EBA;

g. Struktur transaksi sekuritisasi dan dokumentasi yang memadai. Kriteria portofolio tagihan :

a. Legal dokumentasi yang memadai dan untuk itu diperlukan standarisasi dokumentasi perjanjian hutang, Hak tanggungan (”HT”) terdaftar atas nama bank pemberi KPR, tanah terdaftar atas nama pemilik, rumah memiliki IMB. b. Debitur KPR yang dapat diandalkan pembayarannya dan tidak mempunyai

history alpa bayar.

Dokumentasi transaksi sekuritisasi antara lain terdiri dari :

a. Jual beli portofolio tagihan (dalam sistem hukum Anglo American disebut “true sale” yang berarti tidak dapat kembali menjadi originator);

b. Balik nama Hak Tanggungan atas nama Wali Amanat sebagai pihak yang mewakili para investor/pemegang EBA secara kolektif (masih dalam pembicaraan dengan BPN);

59

c. Servicing agreement (antara Originator (servicer), PPSP dan Wali Amanat);

d. Enhacement agreement (guarantee, over collateralization dll);

e. Perjanjian antara Wali Amanat/Kustodian dan SMS;

f. Perjanjian penerbitan Obligasi atau perjanjian penerbitan Surat Partisipasi antara SPV c.q. SMC dan Wali Amanat.

Tugas servicer :

a. Menagih pembayaran-pembayaran bulanan (coolecting monthly payments); b. Meneruskan hasil koleksi pembayaran kepada investor;

c. Mengirim pemberitahuan tagihan kepada debitur;

d. Mengingatkan debitur yang pembayaranya telah jatuh tempo;

e. Melakukan komputerisasi administrasi yang up to date. memelihara catatan tentang saldo pokok tagihan dan bunga, dan lain-lain jumlah yang wajib dibayar debitur/pembeli rumah;

f. Melaksanakan proses eksekusi jaminan atas HT (bila perlu) dan mewakili Wali Amanat di depan Pengadilan dan Kantor Lelang terhadap debitor KPR.60

Berdasarkan defenisi sekuritisasi, ada 2 hal pokok dalam sekuritisasi, yaitu pembelian kumpulan tagihan dan penerbitan EBA. Untuk pembelian kumpulan tagihan, berlakulah ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPer”) mengenai jual beli tagihan. Dalam kaitannya dengan penerbitan EBA, penerbitan dapat dilakukan melalui penempatan langsung (private placement), maupun melalui penawaran umum (public offering).61

60

Kunarti Surya Santoso, Op. Cit., hal 3-6. 61

C. Aspek-Aspek Hukum Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Perbankan

Berdasarkan uraian di atas, aspek hukum transaksi sekuritisassi berkaitan erat dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHPer, hukum pasar modal, dan hukum jaminan.

1. Jual Beli Tagihan

Salah satu prinsip utama dalam transaksi sekuritisasi adalah terlepasnya kumpulan tagihan/piutang dari kepemilikan Kreditur Asal (Originator) sehingga terlepas dari risiko kepailitan pada Kreditur Asal. Untuk itu kumpulan tagihan tersebut dijual dan diserahkan oleh Kreditur Asal kepada pembeli kumpulan tagihan, yaitu PPSP atau SPV yang selanjutnya akan menerbitkan EBA. Penjualan (merupakan salah satu rechtstite/peristiwa perdata sebagai persetujuan untuk memindahkan hak milik atau disebut juga perjanjian obligatoir) dan penyerahan (levering) merupakan syarat utama pengalihan hak kepemilikan menurut ketentuan Pasal 584 KUHPer. Berbeda dengan penyerahan untuk benda bergerak berwujud yang dilakukan secara fisik, untuk penyerahan atas tagihan dilakukan secara tertulis dalam bentuk akte cessie62

Untuk jual beli tagihan, ada 2 hubungan hukum yang terjadi, yaitu (1) hubungan hukum antara penjual tagihan (cedent) dengan pembeli tagihan (cessionaris) dengan debitur (cessus). Jual beli dan penyerahan tagian antara

cedent dan cessionaris tidak memerlukan persetujuan cessus sehingga dengan

(baik otentik maupun bawah tangan) sesuai ketentuan Pasal 613 ayat (1) KUHPer.

62

Akte cessie bersifat perjanjian kebendaan karena intinya adalah penyerahan hak milik atas tagihan.

adanya perjanjian jual beli dan penyerahan tagihan, maka kepemilikan hak tagih telah beralih kepada cessionaris (pembeli). Adapun hubungan antara cessionaris dan cessus baru timbul apabila cessus telah diberitahu (atau cessus telah mengakui) adanya pengalihan hak tagih tersebut.

Pemberitahuan ini diatur dalam pasal 613 ayat (2) KUHPer, dan pemberitahuan ini bukan merupakan syarat beralihnya kepemilikan hak tagih dari

cedent kepada cessionaris. Dengan demikian, dalam transaksi sekuritisasi si

debitur (cessus) dapat tetap membayar secara sah kepada Kreditur Asal sebelum adanya pemberitahuan mengenai jual beli tagihan tersebut. Bilamana setelah pemberitahuan pemindahan hak tagih dilakukan ternyata debitur tetap membayar pada si penjual (cedent), pembayaran debitur tersebut adalah tidak sah sehingga ia tetap wajib melakukan pembayaran kepada si pembeli. Biasanya, penjual setelah pemindahan tagihan tetap melanjutkan koleksi atas tagihan, akan tetapi tidak lagi sebagai pemilik, tetapi sebagai kuasa dari si pembeli. Pengaturan demikian meniadakan kewajiban pemberitahuan kepada debitur (cessus) sehingga menghindari kerepotan pemberitahuan kepada tiap cessus.

Menurut sistem hukum perjanjian dalam KUHPer, yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian hanyalah subjek hukum, yaitu orang-perorangan atau badan hukum (rechtspersoon).63

63

Hal serupa juga ditentukan dalam UU No. 4 tahun 1996 yang mengatur mengenai Hak Tanggungan, bahwa hanya orang perseorangan atau badan hukum yang dapat menjadi pemegang HT (Pasal 9).

Dengan demikian, dalam kaitan dengan transaksi sekuritisasi, sebagai pembeli tagihan yang juga sebagai pemegang HT haruslah

berbentuk badan hukum. Atas alasan itulah, maka Perpres 19/05 menentukan bahwa SPV adalah berbentuk badan hukum perseroan terbatas.

2. Aspek Hukum Pasar Modal dalam Transaksi Sekuritisasi

Aspek penting dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (”UUPM”) untuk digunakan dalam transaksi sekuritisasi adalah adanya pemisahan kekayaan antara aset kustodian dengan aset pihak lain yang dititipkan padanya.64 Selain itu dikenalnya konsep ”trust” dalam penitipan kolektif pada kustodian yang tercatat sebagai pemegang efek bukan pemilik sesungguhnya, dimana pemiliknya adalah pihak yang mempunyai rekening pada kustodian.65

64

Pasal 44 ayat (3) UUPM menentukan bahwa efek yang disimpan pada rekening efek kustodian bukan merupakan bagian dari harta kustodian.

65

Pasal 56 UU Pasar Modal.

Adanya ketentuan tersebut sangat penting untuk melindungi para pemegang EBA apabila terjadi kepailitan pada kustodian sebagai pihak yang menjadi pemegang kumpulan tagihan, kumpulan tagihan yang ada padanya tidak masuk dalam harta pailit (boedel) kustodian.

Aspek penting lainnya dalam UUPM adalah dikenalnya Lembaga perwaliamanatan yang bertindak untuk kepentingan investor. Adanya lembaga ini dipergunkan dalam transaksi sekuritisasi untuk mewakili kepentingan pemegang EBA maupun terhadap Kreditor Asal selaku Pemberi Jasa yang melakukan tugas koleksi pembayaran.

Aspek-aspek hukum yang terdapat dalam ketentuan pasar modal tersebut kemudian diterapkan dalam transaksi sekuritisasi dengan melibatkan peranan Lembaga Kustodian dan Wali Amanat dalam transaksi tersebut.

3. Aspek Hukum Jaminan

Yang menjadi jaminan utama dari sekuritisasi KPR adalah hak tanggungan (”HT”) yang diberikan debitur untuk menjamin pelunasan atas KPR yang diberikan dalam sekuritisasi KPR, terjadi jual-beli dan penyerahan tagihan dalam kumpulan portofolio tagihan yang besar dari Kreditor Asal/Originator kepada pembeli tagihan. Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (”UUHT”), maka HT demi hukum ikut beralih kepada pembeli tagihan.66

Yang masih menjadi kendala dalam UUHT adalah belum dikenalnya penjualan tagihan berikut HT yang melekat padanya dalam jumlah yang besar. Yang dikenal hanya penjualan tagihan berikut HT secara individual. Selain itu Atas dasar itu, sangat penting untuk dipastikan bahwa setiap portofolio KPR yang diberikan, HT telah terpasang dengan sempurna.

Sebagaiman diuraikan diatas, Perpres 19/05 menetukan SPV adalah berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Ketentuan ini juga dimaksudkan untuk mengakomodir ketentuan dalam Pasal 9 UUHT yang menentukan bahwa hanya orang perseorangan atau badan hukum yang dapat menjadi pemegang HT, sehingga SPV dapat terdaftar sebagai pemegang HT.

66

UUHT tidak mengenal pencatatan HT atas nama lembaga wali amanat/kustodian sebagai pemegang HT. Untuk mengatasi kendala ini, BPN sedang menyiapkan peraturan yang memungkinkan hal tersebut untuk menunjang transaksi sekur itisasi KPR.67

D. Kendala-kendala Hukum dalam Sekuritisasi

Permasalahan hukum yang masih menjadi kendala transaksi sekuritisasi saat ini adalah :

1. Hak Tanggungan

UU Hak Tanggungan saat ini hanya mengenal cessie tagihan secara individual, dimana balik nama pemegang Hak Tanggungan dicatat satu demi satu. Dalam transaksi sekuritisasi, jual beli tagihan akan dijual dalam kumpulan yang besar sehingga pencatatan balik nama pemegang HT menjadi sangat tidak efisiensi.

Aspek lainnya dalam kaitan dengan HT adalah pencatatan Wali Amanat/kustodian sebagai pemegang HT. BPN selama ini dalam mencatatka pemegang HT haruslah atas nama kreditur langsung. Hal ini tidak dimungkinkan dalam sekuritisasi yang menerbitkan EBA berbentuk Surat Partisipasi, karena pemegang EBA tersebut setiap saat dapat berubah sehingga tidak efisiensi bila setiap pemegang EBA dicatat sebagai pemegang HT.

67

Dalam kaitan dengan KPR untuk tanah dan bangunan dalam luas tertentu, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu memumgkinkan tanah dan bangunan tersebut tidak dipasang HT, tetapi cukup didasarkan pada SKMHT. Akibatnya, tagihan dari KPR tersebut belum dijamin dengan HT. Pada saat portofolio KPR dialihkan, tidak ada HT yang menjamin pembayaran atas tagihan KPR, sehingga investor tidak akan tertarik untuk membeli EBA yang pembayarannya dijamin dengan portofolio KPR yang tidak ada jaminan HT.

Adapun SKMHT yang ada diberikan kepada bank penerbit KPR bukanlah suatu jaminan kebendaan yang dapat dialihkan kepada pihak lain seperti halnya HT yang ikut beralih demi hukum dengan beralihnya piutang yang dijaminnya.68

a. Syarat balik nama jaminan Hak Tanggungan Ada 2 permasalahan Hak Tanggungan yaitu :

Jaminan Hak Tanggungan yang semula terdaftar atas nama Bank Pemberi KPR (Originator) yang diberikan oleh masing-masing debitur harus melalui proses balik nama secara bertahap, yaitu dibalik nama terlebih dahulu atas nama SMC (”Tahap I”), baru kemudian dibalik nama atas nama Wali Amanat yang mewakili para investor/pemegang EBA (”Tahap II”). Mengingat transaksi sekuritisasi hanya menguntungkan bilamana mencakup

68

debitur-debitur dan tagihan-tagihan dalam jumlah besar agar dapat menutup biaya-biaya yang cukup tinggi untuk melakukan sekuritisasi, maka portofolio tagihan KPR yang terdiri dari ratusan atau bahkan ribuan tagihan akan menjadi kendala besar dalam efisiensi waktu dan biaya dalam proses balik nama yang sekarang dilakukan secara manual (satu persatu dan tidak secara kolektif/global). Untuk itu harus dimungkinkan Tahap I dan Tahap II dilakukan secara serentak dan kolektif (balik nama dapat langsung terjadi dari Bank Pemberi KPR (Originator) kepada Wali Amanat).

b. Tidak ditentukannya pendaftaran Hak Tanggungan. Hal ini masih dalam kajian BPN. Diharap dipertimbangkan praktek masa lalu dimana hipotek sudah biasa didaftarkan atas nama Wali Amanat untuk Obligasi atas unjuk. Dasarnya adalah Ordonansi op de Vergadering van Houders van

Schuldbrieven aan Toonder (Ordonansi Rapat Para Pemegang Surat Utang

atas Tunjuk) (Stb. 1973-545, tanggal 25 September 1937, berlaku sejak 4 Nopember 1937) (dibawah selanjutnya disebut ”Ordonansi”) yang hingga sekarang masih berlaku. Praktek yang dianut dan berlaku dalam masa lalu ini tidak dapat diabaikan dan dihentikan dalam perkembangan perundang-undangan.69

2. Eksekusi Hak Tanggungan

Hal lain dalam kaitan dengan HT adalah masalah eksekusi HT. Dalam melakukan eksekusi atas HT, dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

69

a. Berdasarkan Pasal 224 HIR dengan perantaraan Pengadilan; atau

b. Berdasarkan Pasal 6 UUHT melakukan ”parate eksekusi” dengan melelang secara langsung didepan umum.

Meskipun diperkenankan oleh Pasal 6 UUHT, dalam praktek masih sering dijumpai perlawanan dari debitur yang tidak koperatif. Selain itu, tidak memperoleh manfaat ketentuan Pasal 200 (11) HIR, bilamana yang menempati tanah/bangunan tidak bersedia secara sukarela mengosongkannya, maka Pengadilan dapat mengeluarkan langsung perintah pengosongan. Akibatnya eksekusi harus kembali melalui jalur pengadilan yang melalui proses yang panjang.

3. Pajak

Masalah pajak merupakan salah satu kendala dalam sekuritisasi. Dalam perpajakan dikenal adanya PPN dan PPH. Dalam kaitan dengan sekuritisasi, aspek pajak yang perlu segera clear adalah mengenai pengenaan PPN atas penjualan objek pajak berupa kumpulan tagihan. Apabila dikenakan dengan tarif umum sebesar 10 %, maka biaya transaksi menjadi terlalu mahal dan para investor tidak akan tertarik untuk membeli EBA yang akan diterbitkan.70

70

Dalam surat yang pernah dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak, ada kesan terhadap penjualan tegihan dalam transaksi sekurtisasi akan dikenakan perlakuan yang sama dengan PPN yang dikenakan terhadap perusahaan factoring. Dalam transaksi factoring, yang menjadi objek pajak PPN adalah penyerahan jasa factoring yang dilakukan oleh perusahaan factoring. Tarif efektif yang dikenakan adalah 0,5 % dari fee atau diskonto yang diterima perusahaan factoring. Namun hal ini masih perlu diklarifikasi lebih lanjut dengan Direktorat Jenderal Pajak.

4. Kelengkapan dan Standarisasi Dokumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

Untuk dapat dilakukannya sekuritisasi secara efisien dan efektif, serta cash

flow dari tagihan-tagihan yang dibayarkan secara berkala (sumber pembayaran

EBA) tidak terganggu, diperlukan adanya standarisasi dokumentasi kredit dalam praktek sering dijumpai didalam dokumentasi kreditnya terdapat beberapa versi perjanjian Kredit Pemilikan Rumak (KPR) dalam bank yang sama, sehingga akan menyulitkan proses sekuritisasi dan eksekusi Hak Tanggungan.

Hal-hal yang penting dalam melakukan standarisasi dokumentasi kredit untuk mendukung dokumentasi kredit untuk mendukung mekanisme sekuritisasi adalah bahwa dalam tiap berkas debitur harus terdapat :

a. Perjanjian kredit yang syarat-syaratnya memadai (antara lain memuat ketentuan debitur mengetahui dan menyetujui bahwa tagihan bank terhadapnya dapat dialihkan dan berakibat beralihya kewajiban pembayaran debitur);

b. Asli Akta Perjanjian jual beli tanah dan bangunan yang menunjukkan bahwa debitur telah membeli dengan sah tanah dan bangunan tersebut;

c. Sertifikat asli tanah dan bangunan yang sudah terdaftar atas nama debitur;

d. Sertifikat asli Hak Tanggungan yang sudah terdaftar atas nama Bank/Originator dengan jumlah yang menutup besarnya pinjaman;

f. Bukti Pajak bumi dan bangunan tiap tahun telah bayar lunas.

Semua dokumen asli tersebut harus disimpan rapi dan aman oleh Bank/Originator.

Yang menjadi kendala utama dalam kaitan dengan sekuritisasi adalah belum dapat dilaksanakannya jual beli, karena dalam praktek bangunan belum selesai didirikan sehingga tanah belum atas nama pembeli. Otomatis Hak Tanggungan juga belum dapat dipasang sehingga menghambat pelaksanaan sekuritisasi. Selain itu, tagihan yang timbul dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang belum dijamin dapat menyebabkan rating atas EBA yang diterbitkan menjadi rendah sehingga kurang menarik investor untuk membelinya.71

71

Kunarti Surya Santoso, Op. Cit. hal 8-9.

5. Peran Wali Amanat

Pengertian Wali Amanat sebenarnya sudah disinggung dalam Ordonansi. Ordonansi menentukan bahwa sertifikat utang yang dikeluarkan ”onder

trustverband” bilamana dalam ”trust akte” ada mengatur penyelenggaraan

rapat-rapat pemegang sertifikat utang, maka tidak tunduk pada ketentuan Ordonansi yang mengharuskan minta izin dari pengadilan untuk mengadakan rapat. Jadi jauh sebelum adanya peraturan pasar modal, institusi Wali Amanat sudah dikenal dalam praktek transaksi obligasi yang dijual malalui ”private placement” dan pemberian jaminan hipotik dan fidusia atas nama Wali Amanat untuk kepentingan para investor.

Di antara kalangan pemain pasar modal sekarang telah disinyalir timbulnya persepsi bahwa bilamana obligasi dikeluarkan sebagai ”private

placement”, Wali Amanat tidak mempunyai peranan dan tidak diperlukan karena

menurut hemat mereka, pengertian Wali Amanat hanya didasarkan pada Undang-Undang Pasar Modal No. 5/1995 yang mengatur fumgsi Wali Amanat dalam kaitan penjualan efek melalui penawaran umum. Persepsi demikian tidak benar dan tidak memperhatikan sejarah hukum mengenai institusi Wali Amanat dan fungsinya dalam melakukan proteksi kepentingan para pemodal untuk efek yang dijual melalui private placement.

Transaksi pengeluaran efek dengan ”private placement” tetap memerlukan fungsi dan proteksi Wali Amanat adalah penting dan tetap dibutuhkan serta tidak bisa ditiadakan untuk efek-efek yang dipasarkan dengan private placement karena Wali Amanat adalah badan yang menjaga kepentingan-kepentingan para investor. Para pemodal dapat mengalihkan hak mereka atas sertifikat obligasi setiap saat, baik bilamana dikeluarkan atas unjuk maupun bilamana dikeluarkan atas nama. Tidak ada beda dalam fungsi Wali Amanat untuk pemasaran efek yang dilakukan melalui privat eplecement72

72

Kunarti Surya Santoso, ibid.

atau pewaran umum, yaitu bertindak untuk

kepentingan kolektif para pemodal. Karenanya, persepsi seakan-akan dalam

private placement untuk sekuritisasi tidak diperlukannya Wali Amanat adalah

BAB IV

ASPEK HUKUM SECONDARY MORTGAGE FACILITY (SMF) DALAM RANGKA SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

PERBANKAN

A. Penerapan Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Ditinjau dari sudut pandang hukum Indonesia maka Secondary Mortgage

Facility (SMF) merupakan lembaga pembiayaaan yang didalamnya terkait dua

perbuatan hukum kredit pemilikan rumah dan perbuatan hukum jual beli sekuritas. Perbuatan hukum yaitu perbuatan jual beli rumah dan perbuatan kredit. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang bertujuan membantu mereka yang memerlukan rumah untuk dapat membeli rumah dengan fasilitas kredit perbankan. Dalam KPR ada aspek perjajian jual beli dan perjanjian kredit, jadi terdapat dua perbuatan hukum yaitu perbuatan jual beli rumah dan perbuatan kredit. Perjanjian jual beli rumah terjadi antara konsumen dan developer, dan untuk pendanaannya melalui perjanjian kredit dengan bank antara konsumen dengan bank dan pemberi kredit tersebut dibuat perjanjian pembebanan Hak Tanggungan sebagai perjanjian

accessoir dimana konsumen menyediakan suatu benda sebagai obyek jaminan.73

Tidak ada satupun ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang yang berlaku dewasa ini di Indonesia. Mulai tahun1997 sampai dengan tahun 2004 yang lalu Bapepam mengeluarkan lima peraturan (sebagaimana juga telah

73

kali diubah) yang terkait dengan penerbitan Unit Penyertaan Efek Beragun Aset. Kelima peraturan tersebut, secara berurutan dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Peraturan Bapepam No.V.G.5. tentang fungsi Manajer Investasi Berkaitan dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

2. Peraturan Bapepam No.VI.A.2. tentang Fungsi Bank Kustodian Berkaitan dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

3. Peraturan Bapepam No.IX.C.10. tentang pedoman Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset (Asset Backed

Securities)

4. Peraturan Bapepam No.IX.C.9. tentang pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

5. Peraturan Bapepam IX.K.I. tentang pedoman kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities)

Diluar kelima peraturan tersebut di tahun 2005, melalui Peraturan Presiden

Dokumen terkait