• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Perbankan"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Perbankan, 2008.

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ULFA RAHYUNITO DAULAY NIM : 040200095

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ASPEK HUKUM SECONDARY MORTGAGE FACILITY (SMF) DALAM

RANGKA SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

PERBANKAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

ULFA RAHYUNITO DAULAY 040200095

DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI

MENGETAHUI

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH NIP : 131 570 455

MENYETUJUI

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala

rahmat,berkah, dan nikmat serta pertolonganNYA yang senantiasa diberikan

kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul: ASPEK HUKUM SECONDARY

MORTGAGE FACILITY (SMF) DALAM RANGKA SEKURITISASI KREDIT

PEMILIKAN RUMAH (KPR) PERBANKAN (Studi Pada PT.BTN Kantor

Cabang Medan Jalan Pemuda No.10 A Medan) adalah guna memenuhi

persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Penulis sadar akan ketidaksempurnaan hasil penulisan skripsi ini yang

membawa harapan yang besar pada semua pihak agar dapat memberikan kritik

dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih

baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi substansi ataupun dari segi cara

penulisannya di masa mendatang.

Secara khusus, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua

orang tua Penulis, Ayahanda Tercinta Drs.H.Hasanuddin Daulay dan Ibunda

Tersayang Dra.Hj.Masdaria Yunidar Harahap yang telah merawat,mendidik dan

memberikan perhatian yang sangat besar, doa, kasih sayang, dan pengorbanan

yang tidak ternilai sehingga Penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan

(4)

Tak lupa ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. Chairuddin

Lubis atas kesempatan berharga yang diberikan untuk dapat mengikuti

segala kegiatan yang dilaksanakan di kampus USU.

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU) atas dukungan yang besar terhadap

seluruh mahasiswa/i di lingkungan kampus USU.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Universitas

Sumatera Utara (USU).

4. Syarifuddin Hasibuan, SH. M. Hum, DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Muhammad Husni, SH. M. H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara (USU).

6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M. H selaku Ketua Departemen Hukum

Ekonomi, Guru Besar dan Dosen Hukum Ekonomi serta Dosen

Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan

dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian

skripsi ini.

7. Dr. Sunarmi, SH. M. Hum selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum

Ekonomi, Dosen Hukum Ekonomi serta Dosen Pembimbing II. Ucapan

terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran,

bimbingan dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga

(5)

8. Dr.Idha Apriliana Sembiring,SH.M.Hum selaku Pembimbing Akademik

atas bimbingan selama penulis menimba ilmu di Fak.Hukum USU.

9. Buat uda Juneidi Kamil,SH dan etek Evi. Ucapan terima kasih

sebesar-besarnya atas segala bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Buat saudara-saudaraku K’Rima,Lia,Ade,Junjung…I Love U all...

11.Buat abangku yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat

dalam penyelesaian skripsi ini.makasih banyak y bang...

12.Buat temen-temanku yang paling teristimewa Cici, Adex, Asna, Dina,

Fatimah, Kemeng,Ucok, Samsul, Agus,Indra. Thax y…….

13.Buat sobatku, Mala SH,Yessy SH,Rini SH,terima kasih banyak ats sgala

bantuannya slama ini. N’ teman-temanku yang sudah menyemangatiku

menyelesaikan skripsi ini Eka, Puput, Olive SH , Flo SH,Dini SH, Kiky,

Izal, Vera, Taufik, Berry, n’ specialnya buat ”tina” Thanx banged dah

membantuku,and all teman-teman Fak.Hukum USU stb’04 n’ Dep.Hk

Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Chiayoooooo….

14.Buat pegawai kantor pendidikan,pegawai perpus FH……… tanx.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang

telah membantu secara tulus dan ikhlas mendapatkan berkah-Nya.

Salam Hormat,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan... 14

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG SECONDARY MORTGAGE FACILITY (SMF) A. Pengertian Secondary Mortgage Facility (SMF)………16

B. Latar Belakang Berdirinya Secondary Mortgage Facility (SMF)………..20

C. Tujuan dan Manfaat Secondary Mortgage Facility (SMF)….28 D. Landasan Peraturan Secondary Mortgage Facility (SMF)…..32

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) A. Pengertian Sekuritisasi ...41

(7)

C. Aspek-aspek Hukum Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah(KPR)... 48

D. Kendala-kendala Hukum dalam Sekuritisasi... 52

BAB VI ASPEK HUKUM SECONDARY MORTGAGE FACILITY

(SMF) DALAM RANGKA SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) PERBANKAN

A. Penerapan Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ... …...59

B. Manfaat Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Kredit PemilikannRumah (KPR) ... …….63

C. Pelaksanaan Sekur itisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN ... ...66

D. Upaya Penanggulangan Masalah Dalam Pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ... ...67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ....72

B. Saran ... ... 73

DAFTAR PUSTKA ... ... 74

(8)

ASPEK HUKUM SECONDARY MORTGAGE FACILITY (SMF) DALAM RANGKA SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

PERBANKAN

*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M.H **) Dr. Sunarmi, SH. M. Hum

***) Ulfa Rahyunito Daulay

ABSTRAKSI

Masalah pemilikan rumah timbul terutama bagi golongan menengah ke bawah yang pada umumnya tidak memiliki dana secara tunai untuk membeli rumah. Upaya mengatasi permasalahan pendanaan tersebut melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Namun pendanaan program KPR memerlukan dana jangka panjang agar dapat dijangkau semua golongan. Sebagaimana diketahui banyak bank yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pendanaan KPR. Karena dana KPR merupakan dana jangka pendek.Oleh karena itu didirikanlah sebuah lembaga pembiayaan sekunder perumahan (Secondary Mortgage Facility/SMF) yang diberi nama PT.Sarana Multigriya Finance yang merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan kegiatan penyaluran dana jangka panjang kepada kreditur asal (bank pemberi KPR) melalui mekanisme sekuritisasi (securitization). Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana penerapan dan manfaat lembaga SMF dalam rangka sekuritisasi KPR, dan Bagaimana Pelaksanaan sekur itisasi Kredit KPR BTN, serta Bagaimana upaya penanggulangan masalah dalam Pembiayaan KPR?

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat hubungannya dengan maksud tujuan penyusunan karya ilmiah ini serta penelitian lapangan (field research), untuk melihat aplikasi peraturan perundang-undangan tersebut dengan mengambil lokasi penelitian pada PT.BTN, Kantor Cabang Medan Jalan Pemuda No.10 A Medan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan Lembaga Secondary

Mortgage Facility (SMF) adalah akhir penantian atas permasalahan mendasar

yang ada pada bank-bank penyalur KPR, yaitu kesenjangan jangka wakktu jatuh tempo antara kredit dan dana (maturity mismatch) serta repricing gap. Dalam melakukan aktivitas sekuritisasi Aset bagi Bank Umum. Perlu diterapkan Prinsip Kehati-hatian agar piutang-piutang yang dialihkan atau dijual oleh bank merupakan piutang-piutang yang sehat.

Kata kunci: Secondary Mortgage Facility (SMF), Sekuritisasi, KPR. *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II

***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perumahan merupakan salah satu dasar kebutuhan primer bagi manusia.

Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan faktor penting dalam

meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pemenuhan kebutuhan papan

(rumah) merupakan salah satu perhatian utama pemerintah. Hal ini dapat terlihat

pada visi GBHN 1999 yang menyebutkan bahwa perwujudan kesejahteraan rakyat

yang ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat

serta memberi perhatian utama pada tercukupnya kebutuhan dasar yaitu : pangan,

sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

Prinsip dasar pembangunan perumahan pada hakekatnya bertolak dari

pemikiran bahwa pembangunan perumahan didasarkan atas prakarsa dari

masyarakat itu sendiri. Namun, dalam kenyataannya pemenuhan kebutuhan akan

perumahan di Indonesia tidak terlepas dari peranan Pengembang (Developer) baik

swasta maupun Perum Perumnas dan bank selaku kreditur yang menyediakan

pendanaan, serta tanggung jawab Pemerintah sesuai dengan yang tertuang dalam

GBHN.

Kebutuhan rumah di Indonesia cukup besar mengingat jumlah

penduduknya yang sangat banyak dan tumbuh relatif cepat. Berdasarkan data dari

Pusat Studi Properti Indonesia, diperoleh data bahwa total kebutuhan rumah per

tahun adalah sebanyak 1.125.000 juta dengan perhitungan :

(10)

Jumlah Penduduk pada tahun 2003 mencapai 220 juta jiwa

a. Pertumbuhan penduduk per tahun adalah 1,68 % atau skitar 1,68 juta jiwa.

b. Jika diasumsikan 1 keluarga terdiri dari 4,6 jiwa maka total kebutuhan

rumah adalah 800.000 unit per tahun (1,68 juta : 4,6).

2. Kebutuhan Rumah Untuk Memenuhi Back log

a. Jumlah Penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 224 juta.

b Kebutuhan rumah pada tahun 2004 seharusnya sekitar 48,7 juta (224 juta :

4,6).

c. Jumlah rumah yang ada dan layak huni pada tahun 2004 ± 42,2 juta,

sehingga jumlah kekurangan rumah sampai dengan tahun 2004 = 6,5 juta

unit (48,7 juta – 42,4 juta).

d. Bila diasumsikan semua keluarga Indonesia memiliki rumah pada tahun

2024, maka kekurangan rumah 6,5 juta unit itu, harus dipenuhi selama 20

tahun yang akan datang.

e. Tambahan untuk menutupi kekurangan rumah setiap tahun adalah 325.000

unit (6,5 juta : 20 tahun).1

Meningkatnya pertumbuhan terutama di perkotaan, berakibat pada

masalah pertumbuhan. Rumah merupakan sarana utama dalam kehidupan

manusia. Kebutuhan rumah bagi masyarakat dan keinginan memiliki rumah

sendiri dari waktu ke waktu semakin meningkat. Masalah pemilikan rumah timbul

terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah yang pada umumnya

1

Ardin Simanjuntak, “Membedah Aspek Hukum dari peluang Investasi dan Potensi

Bisnis Masa Depan”, Disampaikan pada acara seminar sehari SMF, di Sahid Jaya Hotel, Jakarta

(11)

tidak memiliki dana secara tunai untuk membeli rumah. Ini menjadi program

pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan tersebut.

Upaya mengatasi permasalahan pendanaan perumahan sejak lama sudah

dikenal dan sudah berjalan lama yaitu melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Namun pendanaan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ini memerlukan dana

jangka panjang agar dapat dijangkau oleh semua golongan terutama masyarakat

menengah ke bawah. Sebagaimana diketahui banyak bank yang tidak mampu

memenuhi kebutuhan pendanaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) karena dana

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan dana jangka pendek yang bersumber

pada tabungan, deposito, dan giro, terlebih lagi setelah krisis moneter dan

banyaknya bank yang dilikuidasi, masyarakat makin hari makin hati-hati dan

selektif dalam penyimpanan dana di bank untuk jangka waktu panjang.2

Secara langsung dapat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan kredit

konstruksi untuk pembangunannya. Sedangkan secara tidak langsung, Kredit

Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) bagi industi-industri yang

mempunyai kaitan dengan pembiayaan perumahan ”housing related”. Misalnya, Sementara itu, penerapan perbankan adalah sebagai lembaga pembiayaan

yang sangat penting dalam pembiayaan perumahan. Diharapkan, perbankan dapat

menyalurkan kredit yang terkait dengan pembiayaan perumahan. Bentuknya dapat

secara langsung atau tidak langsung.

2

Djuhaendah Hasan, “Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility (SMF) Sebagai

(12)

industri genteng, batubata, penambangan pasir dan sebagainya, yang kebanyakan

milik pengusaha Usaha Kecil Menengah (UKM).

Peranan pengembang sendiri adalah terletak pada industri perumahan. Hal

ini mengingat bahwa pengembang mempunyai fungsi melakukan pengembangan

wilayah dengan membangun perumahan bagi masyarakat. Dan perusahaan harus

secara terus menerus dan optimal untuk mencari sumber-sumber pembiayaan

pembangunan perusahaan, baik secara intenal maupun eksternal.

Menurut Kodrati, selaku direktur utama PT Bank Tabungan Negara

(BTN), ”Secara internal, artinya pengembang harus berusaha untuk memperkuat

struktur finansialnya baik dengan cara memperkuat modal maupun pengelolaan

keuangannya dengan lebih efektif dan efisien. Secara ekternal, pengembang dapat

mengusahakan sumber-sumber pembiayaan pembangunan perumahan dari

eksternal, yakni dengan cara menjalin kerja sama denga investor, baik lembaga

maupun perorangan”.3

Salah satu jalan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat yang

dapat dilaksanakan dalam jangka panjang adalah dengan menggunakan sistem

pembiayaan perumahan seperti yang berjalan di Amerika Serikat yang dikenal

dengan housing finance system,berupa Secondary Mortgage Facility (SMF)dan

Secondary Mortgage Market (SMM). Dalam Secondary mortgage facility (SMF)

biasanya ada peran dan kebijakan pemerintah sedangkan dalam Secondary

Mortgage Market (SMM) pemerintah tidak ikut berperan murni swasta, Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) ini juga dikenal antara lain di Malysia.

3

(13)

Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah lembaga pembiayaan yang akan

memberikan pinjaman kepada Bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

untuk jangka menengah dan panjang guna pembiayaan perumahan .4

Sejak pemerintah memutuskan untuk menghentikan bantuan Kredit

Pemelikan Rumah (KPR) pada tahun 2004, kebutuhan pendanaan jangka panjang

bagi sektor perumahan semakin mendesak adanya. Pembentukan lembaga yang

memfasilitasi pembiayaan sekunder perumahan Secondary Mortgage Facility

(SMF) yang prosesnya sudah berlangsung lebih dari 10 tahun lalu juga terpaksa

dimulai dari tahap awal oleh pemerintah.5

Menurut Erica Soeroto, pakar Secondary Mortgage Facility (SMF), yang

juga staf ahli Menteri Keuangan, menjelaskan bahwa semakin hari persoalan

pendanaan perumahan memang semakin kompleks. Pasalnya, seiring dengan

mulai diterapkan konsep otonomi daerah, pengoperasian Lembaga Secondary

Mortgage Facility (SMF) ini akan melibatkan departemen di tingkat pusat

maupun Pemda. Dengan kondisi tersebut bentuk lembaga pembiayaan perumahan

pun perlu diperbaiki dari konsep awal yang belum melibatkan Pemda.6

4

Djuhaendah Hasan, Loc. Cit. 5

Sadyo Kristiarto, Menanti Lembaga Pendanaan Perumahan, Media Indonesia, jumat tanggal 13 Desember 2002 hal 7.

6

Media Indonesia, Op. cit., hal. 16

Menurut Penangian Simanungkalit, Direktur Pusat Studi Properti

Indonesia (PSSI), “Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah instrumen

keuangan yang bisa menarik dana-dana jangka panjang dari pasar modal untuk

(14)

Setidaknya 30 provinsi di Indonesia saat ini menghadapi masalah

pembangunan perumahan secara serius akibat kurangnya basis sumber dana

jangka panjang. Dengan adanya Secondary Mortgage Facility (SMF), maka

diharapkan masalah sumber dana tersebut segera bisa diatasi. Lembaga Secondary

Mortgage Facility (SMF) semacam ini menurut Penangian Simanungkalit, telah

terbukti sukses di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.

Penangian menjelaskan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan

perumahan adalah dana jangka panjang, sedangkan dana-dana yang tersedia

diperbankan umumnya berjangka pendek.7

1. Bagaimana penerapan dan manfaat Lembaga Secondary Mortgage Facility

(SMF) dalam rangka sekur itisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ? B. Perumusan Masalah

Agar tidak menjadi bias dan melebarnya pembahasan dalam skripsi ini

maka perlu untuk mengangkat permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau

acuan dari pokok materi penulisan sehingga suatu kesimpulan dapat diperoleh.

Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

2. Bagaimana pelaksanaan sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN ?

3. Bagaimana upaya penanggulangan masalah dalam Pembiayaan Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) ?

7

(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perlunya penerapan dan manfaat Lembaga Secondary

Mortgage Facility (SMF) dalam rangka sekuritisasi Kredit Pemilikan

Rumah (KPR).

b. Untuk mengetahui cara pelaksanaan sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah

(KPR) BTN.

c. Untuk mengetahui upaya penanggulangan masalah dalam Pembiayaan

Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

2. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Secara teoritis, pembahasan masalah yang telah dirumuskan akan

memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru

tentang Secondary Mortgage Facility (SMF) terutama dalam penerapannya dan manfaatnya.

b. Secara Praktis

Pembahasan dalam masalah ini diharapkan dapat menjadi pemasukan bagi

pembaca, khususnya bagi dunia perbankan yang berhubungan lansung

dengan penerapan dan manfaat Secondary Mortgage Facility (SMF)

(16)

dengan sebaik-baiknya sehingga membawa manfaat bagi perbankan,

pemerintah maupun kususnya bagi masyarakat.

D. Keaslian penulisan

”Aspek hukum Secondary Mortgage Facility (SMF) Dalam Rangka

Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Perbankan ” yang diangkat jadi judul

skripsi belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyusunya melalui bahan-bahan referensi buku-buku, media cetak dan

elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian skripsi

ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakan

Menurut Pasal 1 SK Menkeu RI No. 132/KMK.014/1998 ini yang

dimaksud dengan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan (sebagai terjemahan

Secondary Mortgage Fasility/SMF) adalah "Pinjaman jangka menengah atau

jangka panjang kepada bank yang memberikan KPR dengan jaminan berupa

tagihan atas KPR tersebut dan Hak Tanggungan atas rumah dan atas tanah".

Sedangkan Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan –PFPSP (

sebagai terjemahan dari Special Purpose Company -SPC) adalah "Lembaga

keuangan yang melakukan usaha di bidang pembiayaan sekunder perumahan".8 Indonesia sebenarnya memiliki banyak sumber dana jangka panjang

seperti asuransi, dana pensiun atau jaminan sosial (provider fund). Namun, di

8

(17)

bank, dana ini dominan mengendap dalam bentuk deposito yang berjangka pendek

1-12 bulan.

Di beberapa negara, SMF memang menjadi sumber dana jangka menengah

dan panjang secara konsisten. Sejak sepuluh tahun lalu, SMF sudah menjadi isu di

Indonesia hingga keluarnya Keputusan Menteri Keuangan

No.132/KMK.014/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Perusahaan Fasilitas

Pembiayaan Sekunder Perumahan.9

Secondary Mortgage Facility (SMF) sebenarnya merupakan sebuah

lembaga yang mampu memberikan jaminan kepada bank-bank primer untuk

menyediakan dana yang bersifat jangka panjang dengan menerbitkan dan

memasarkan obligasi (surat-surat berharga jangka panjang). Dimana dana yang

terkumpul dari penerbitan obligasi itu akan dimanfaatkan oleh Secondary

Mortgage Facility (SMF) untuk memberikan pinjaman dana berjangka panjang

kepada bank pelaksana dengan jaminan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).10

Menurut Peraturan Presiden No.19 Tahun 2005 Pembiayaan Sekunder

Perumahan/Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah penyelenggaran kegiatan

penyaluran dana jangka panjang menengah dan atau/panjang kepada Kreditur

Asal (bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah(KPR)) melalui mekanisme

sekur itisasi (securitization).11

Sekuritisasi aset didefenisikan sebagai sebuah proses untuk memaketkan

pinjaman individu, perusahaan dan instrumen utang yang dikoneksikan terhadap

9

http://www.btn.co.id/ ,terakhir kali diakses tanggal 24 April 2008. 10

Faisal Reza, Secondary Mortgage Facility Mungkinkah Terbentuk ?, Medan bisnis,

tanggal 3 Juni 2002, hal 7. 11

(18)

sebuah instrumen investasi dan untuk memperbaiki status kredit atau peringkatnya

ditingkatkan agar dapat dijual kepada investor. Adapun instrumen atas hasil

sekuritisasi ini dikenal sebagai Efek Beragun Aset (EBA).12

Sekuritisasi pada hakikatnya adalah teknik pembiayaan dengan mana

dikumpulkan dan dikemas sejumlah aset (aktiva) keuangan berupa piutang

(tagihan) yang lahir dari transaksi keuangan atau transaksi perdagangan yang

biasanya kurang likuid menjadi Efek yang likuid karena mudah diperjual-belikan.

Proses sekuritisasi yang dilaksanakan akan diserahkan kepada suatu wahana yang

disebut Special Purpose Vehicle (SPV). Dalam pasar modal Indonesia, wahana

sekuritisasi tersebut adalah berupa Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset

(KIK-EBA) yang diatur berdasarkan Peraturan BAPEPAM Nomor IX.K.1 tentang

Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset ( Asset Backed Securities

) sebagaimana dimuat dalam Surat Keputusan Ketua Bapepam Nomor:

Kep-28/PM/2003 tanggal 21 Juli 2003.13

1. Jenis Penelitian F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan supaya dapat lebih

terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan

yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Dalam menyusun skripsi ini, digunakan Metode Penelitian Hukum Normatif

yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan

12

Adler Haymans Manurung & Eko Surya Lesmana Nasution, Investasi Sekuritisasi Aset

Mudah Himpun Dana Triliunan Rupiah, (Jakarta: PT Gramedia, Cetakan Pertama, 2007), hal 3.

13

(19)

hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder. Sedangkan yang

bersifat deskriptif maksudnya penelitian tersebut kadangkala dilakukan

dengan melakukan suatu survei ke lapangan untuk mendapatkan informasi

yang dapat mendukung teori yang telah ada.

2. Sumber Data

A. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan

informan yang berasal dari pihak PT.BTN Kantor Cabang Medan Jalan

Pemuda No.10 A Medan dan pihak-pihak yang terkait.

B. Data Sekunder

Data-data sekunder tersebut, meliputi: 14

1) Batang Tubuh UUD 1945

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan

terdiri dari:

a. Norma/kaidah dasar, yaitu: Pembukaan UUD 1945

b. Peraturan dasar:

2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

c. Peraturan Perundang-undangan:

1) Undang-Undang dan peraturan yang setaraf,

2) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf,

3) Keputusan Presiden dan keputusan yang setaraf,

4) Keputusan Menteri dan keputusan yang setaraf,

14

(20)

5) Peraturan-peraturan Daerah.

d. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti Hukum Adat.

e. Yurisprudensi

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan

Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan

data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun

dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak

maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan

perundang-undangan.

b. Penelitian Lapangan (Fields Research), yaitu suatu pengumpulan data

dengan cara terjun ke lapangan guna memperoleh data-data yang

diperlukan, dan data yang diperoleh itu disebut dengan data primer. Dalam

penelitian ini dilakukan wawancara (interview). Wawancara (interview)

(21)

seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan

masalah penelitian kepada seorang responden.15

BAB I : Berisikan Pendahuluan yang merupakan pengantar yang di

dalamnya terurai mengenai Latar Belakang Penulisan Skripsi,

Perumusan Masalah kemudian dilanjutkan dengan Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, 4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara

perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode

deduktif dilakukan dengan cara membaca, menafsirkan dan membandingkan,

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai

sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh

kesimpulan yang sesuai dengan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah, maka pembahasannya harus diuraikan

secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan

adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang

saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

adalah:

15

(22)

Metode Penulisan, yang kemudian diakhiri oleh Sistematika

Penulisan.

BAB II : Merupakan bab yang membahas tentang Gambaran Umum tentang

Secondary Mortgage Facility (SMF), dimana di dalamnya diuraikan

Pengertian tentang Secondary Mortgage Facility (SMF), Latar

Belakang Berdirinya Secondary Mortgage Facility (SMF), Tujuan

dan Manfaat Secondary Mortgage Facility (SMF), Landasan

Peraturan Secondary Mortgage Facility (SMF).

BAB III : Merupakan bab yang membahas tentang Sekur itisasi Kredit

Pemilikan Rumah (KPR), dimana di dalamnya diuraikan, Pengertian

Sekurisasi, Mekanisme Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR),

Aspek-Aspek Hukum Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

Perbankan, Kendala-Kendala Hukum dalam Sekuritisasi.

BAB IV : Merupakan bab yang membahas tentang Aspek Hukum Secondary

Mortgage Facilty (SMF) dalam Rangka Sekuritisasi Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) Perbankan, dimana di dalamnya diuraikan,

Penerapan Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) dalam

Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Manfaat

Secondary Mortgage Facility (SMF) dalam Rangka Sekuritisasi

Kredit Pemlikan Rumah (KPR), Pelaksanaan Sekuritisasi Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) BTN, Upaya Penanggulangan Masalah

(23)

BAB V : Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan bab-bab yang telah

dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi

perkembangan Secondary Mortgage Facility (SMF) di Indonesia dan

orang-orang yang membacanya.

(24)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG SECONDARY MORTGAGE FACILITY (SMF)

A. Pengertian Secondary Mortgage Facility (SMF)

Mortgage adalah lembaga jaminan kebendanaan yang mirip hipotik dan

berlaku di negara yang menganut system Anglo-Saxon. Fairest menyebutkan

bahwa : “ In essence, mortgage is a transfer of an interest in property as security

for a loan “. Jadi Lembaga mortgage adalah lembaga jaminan kebendaan untuk

suatu pinjaman dan yang dapat menjadi objek mortgage adalah real property

maupun personal property, untuk real property (land) berlaku mortgage dan

untuk personal property (others things than land) berlaku chattel mortgage.

Jaminan sekunder (second mortgage) berasal dari sistem hukum yang

berlaku di Amerika dan sering dipergunakan dalam pembiayaan perumahan

(housing finance). Jaminan sekunder adalah penjaminan dimana suatu benda

dijaminkan kepada dua kreditur dimana terdapat kreditur awal dan kreditur akhir.

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan : Second mortgage, a mortgage

that’s is junior to first mortgage on the same property, but the senior to any later mortgage. Sedangkan second mortgage dalam dictionary of finance and banking, is a mortgage taken out on a propery that is already mortgaged. Jadi dalam second mortgage objek jaminan yang sudah dijaminkan dalam perjanjian kredit

dijaminkan lagi.

Di Amerika tanah dan bangunan/rumah yang sudah dijaminkan dalam

pembiayaan rumah dijaminkan lagi untuk mendapatkan dana pembiayaan

(25)

diserahkan pada suatu lembaga trust untuk penerbitan sekuritas untuk dijual

kepada para investor. Dalam system common law dikenal lembaga trust dimana

dimana seseorang/trustor mempercayakan harta kekayaannya kepada trustee

untuk kepentingan beneficiary. Trustee dalam system common law merupakan

legal owner/legal little yana akan mengelola harta bagi kepentingan beneficiary owner/equitable right (dalam system common law/Anglo Saxon dikenal dual ownership yaitu system hak milik ganda yang tidak dikenal pada Negara penganut civil law/E. continental).

Dalam proses pembiayaan tersebut trustee yang mengelola dan

mengumpulkan mortgage serta menerbitkan sekuritas yang dijamin dengan

mortgage dan menjual kepada para investor.

Bank pemberi kredit sebagai kreditur asal (originator) akan melakukan

fungsinya sebagai pemberi kredit dengan memantau kelangsungan pembayaran

kredit dan apabila terjadi kemacetan, sebagai originator bank akan menalangi

pembayaran kewajiban debitur (biasanya dituangkan dalam perjanjian). Di

Amerika sistem ini berkembang menjadi mortgage backed securitiers.16

Secondary Mortgage Facility (SMF) lembaga pembiayaan dalam sistem common law yang didalamnya terdapat Secondary Mortgage, dimana benda

obyek jaminan yang sudah dijaminkan (mortgaged) dijaminkan lagi dalam

penerbitan sekuritas (Mortgage Backed Securities). Lembaga Secondary

Mortgage Facility (SMF) sebagai lembaga pembiayaan perumahan sekunder

berkaitan dengan jaminan sekunder (second mortgage). Dalam prosesnya

16

(26)

mortgage yang dikumpulkan diserahkan kepada Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) sebagai jaminan dalam penerbitan sekuritas (mortgaged backed securities).17

Berdasarkan SK Menkeu No.312/KMK.014/1998, Secondary Mortgage

Facility (SMF) diperkenalkan dengan istilah Perusahaan Fasilitas Pembiayaan

Sekunder Perumahan. Lembaga Keuangan ini melakukan kegiatan pembiayaan

sekunder perumahan (pasal 1 ayat 2). Sedangkan yang dimaksud fasilitas

pembiayaan sekunder perumahan adalah pinjaman jangka menengah atau panjang

kepada bank yang memberikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan agunan

berupa tagihan atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan hak tanggungan atas

rumah dan atau tanah yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2).18

Dari segi hukum Indonesia Secondary Mortgage Facility adalah lembaga

pembiayaan rumah yang dalam prosesnya terdapat dua perjajian. Itu

masing-masing berdiri sendiri meskipun timbulnya perjanjian kedua berkaitan dengan

perjanjian pertama dan perjanjian kedua juga dijamin oleh ikatan yang terdapat

dalam perjanjian pertama. Jadi kedua perbuatan hukum tersebut terpisah tetapi

berkaitan dalam proses dan hakikat hukumnya. Kedua perbuatan hukum dalam

Secondary Mortgage Facility (SMF) yaitu perbuatan hukum pertama adalah

perjanjian kredit pemilikan rumah antara bank dengan konsumen perumahan dan

perbuatan hukum kedua adalah penjualan sekuritas di pasar modal.19

17

Djuhaendah Hasan, Op. Cit., hal. 3-4. 18

Edy Mulyadi, Secondary Mortgage Facility (SMF), Jurus Sakti yang Kedaluwarsa, Media Bisnis, Kamis tanggal 12 November 1998, hal 8.

19

Djuhaendah Hasan, Op. Cit., hal. 5.

(27)

Secondary Mortgage Facility (SMF) merupakan sistem yang memungkinkan diperolehnya dana-dana murah bagi pengadaan Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) yang berbunga rendah dan berkesinambungan dengan didukung

penjaminan portofolio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang ada.20

Menurut Panangian Simanungkalit, Selaku Direktur Pusat Studi Properti

Indonesia (PSPI), Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah instrumen

keuangan yang bisa menarik dana-dana jangka panjang dari pasar modal untuk

menyalurkan lewat bank.21

Menurut Peraturan Presiden No.19 Tahun 2005, Pembiayaan Sekunder

Perumahan/Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah penyelenggaran kegiatan

penyaluran dana jangka panjang menengah dan atau/panjang kepada Kreditur

Asal (bank pemberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR)) melalui mekanisme

sekuritisasi (securitization).

Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) pada dasarnya merupakan

fasilitas pembiayaan yang diadakan secara khusus untuk diberikan kepada

Lembaga Kredit Pemilikan Rumah (Lembaga perbankan) dalam rangka

penyaluran kredit guna memenuhi kebutuhan pasar primer perumahan.

22

Secondary Mortgage Facility (SMF) sebenarnya merupakan sebuah

lembaga yang mampu memberikan jaminan kepada bank-bank primer untuk

menyediakan dana yang bersifat jangka panjang dengan menebitkan dan

20

Irsad, Secondary Mortgage Facility (SMF) digulirkan awal 2005, Bisnis Indonesia, Selasa tanggal 21 September 2004, hal 8.

21

Media Indonesia, Loc. Cit. 22

Kurnati Surya Santoso, “Permasalahan Hukum Dalam Mekanisme Sekuritisasi Melalui

Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF)”, Diberikan dalam seminar sehari SMF, yang

(28)

memasarkan obligasi (surat-surat berharga jangka panjang). Dimana dana yang

terkumpul dari penerbitan obligasi itu akan dimanfaatkan oleh Secondary

Mortgage Facility (SMF) untuk memberikan pinjaman dana berjangka panjang

kepada bank pelaksana dengan jaminan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).23

Secondary Motrgage Facility (SMF) adalah Lembaga Keuangan di pasar

hipotek sekunder. Dalam fungsinya, Secondary Mortgage Facility (SMF)

berperan mengumpulkan dana melalui penjualan obligasi ke pasar modal.

Selanjutnya, dana yang terhimpun digunakan untuk membiayai Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) di pasar perumahan primer.24

Selanjutnya Secondary Morgate Facility (SMF) menjual kembali dana

tersebut kepada masyarakat untuk membiayai pembangunan perumahan (kredit

konstruksi dan kredit pemilikan rumah).

Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah Lembaga Keuangan yang

mengelola dana yang biasanya berasal dari penjualan obligasi di pasar modal dan

menyalurkan dana yang terhimpun untuk pembiayaan portofolio primary Markey

lenders.

25

Di Indonesia, yang dulu banyak berkecimpung dalam pembiayaan

perumahan adalah Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Papan Sejahtera. B. Latar Belakang Berdirinya Secondary Mortgage Facility (SMF)

23

Faisal Reza, Secondary Mortgage Facility Mungkinkah Terbentuk ?, Medan Bisnis, tanggal 3 Juni 2002, hal 7.

24

Irsad, Pembiayaan Perumahan dengan Facilitas Hipotek, Medan Bisnis, Rabu tanggal 23 Juni 2004, hal.7.

25

(29)

Namun, kebutuhan perumahan semakin lama semakin besar. Bank-bank umum

lain mulai melihat ada suatu pasar yang menjanjikan di bidang ini. Kemudian

perbankan mengembangkan pasar primer pembiayaan perumahan.

Persoalannya, perbankan kebanyakan mengandalkan sumber dana yang

jangka pendek, termasuk di Amerikia Serikat yang perbankannya sudah begitu

maju. Sementara pembiayaan perumahan berjangka panjang, bisa mencapai 20

tahun. Ini menyebabkan tidak match-nya sumber pendanaan dengan pembiayaan.

Oleh karena itu, pembiayaan primer dari perbankan ada batasnya. Batasnya itu

mungkin dengan cepat akan tercapai kalau pertumbuhan kredit properti tinggi

sekali. Kalau limit ini sudah habis, pasar yang sedang hangat-hangatnya tiba-tiba

berhenti. Kalau tiba-tiba sumber dana KPR ini habis, kemudian menyebabkan

demand-nya menjadi anjlok, maka harga properti akan jatuh.26

26

http://www.panangian.com/, terakhir kali diakses tanggal 24 April 2008.

Pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang pesat di satu pihak

menciptakan peluang dan optimisme bagi dunia perbankan untuk membiayainya,

namun di lain pihak juga dapat mengakibatkan ancaman dan pesimisme apabila

terus memperbesar komposisi Kredit Pemilkan Rumah (KPR) dan kredit yang

berkaitan dengan perumahan yang berjangka panjang di dalam portofolio asetnya.

Ancaman dan pesimisme ini pada dasarnya disebabkan oleh sebagian besar

komposisi portofolio sumber dana yang diperoleh industri perbankan di Indonesia

untuk membiayai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) saat ini berasal dari dana pihak

(30)

Dana pihak ketiga dimaksud pada umumnya dihimpun melalui instrumen

produk-produk konvensional bank umum, seperti : giro, tabungan dan deposito

yang berjangka waktu pendek yaitu antara 1 (satu ) bulan sampai dengan 1 (satu)

tahun. Sedangkan sumber dana yang berjangka waktu panjang, seperti obligasi

maupun instrumen pasar modal lainnya yang umumnya berjangka waktu panjang

yaitu sampai dengan 5 (lima) tahun dan dilakukan melalui penawaran di bursa

pasar modal, relatif masih sangat sedikit dan kurang memadai. Akibatnya bank

yang membiayai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan mengandalkan

sumber-sumber dana pihak ketiga akan menghadapi 2 (dua) hal resiko, yaitu :

1. Maturity gap, yaitu kesenjangan antara sumber dan penggunaan dana, Hal

ini disebabkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) umumnya berjangka panjang

yakni antara 5 (lima) sampai dengan 20 (dua puluh) tahun dan dibiayai

dengan sumber dana yang berjangka waktu maksimal 1 (satu) tahun, kondisi

ini mengakibatkan bank memiliki resiko likuiditas yang tinggi.

2. Repricing gap, yaitu kesenjangan waktu perubahan tingkat bunga antara

sumber dan penggunaan dana, Hal ini disebabkan deposito khususnya

deposito 1 (satu) bulan direpricing setiap 1 (satu) bulan, sedangkan Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) umumnya direpricing setiap 6 (enam) bulan.

Resiko-Resiko seperti tersebut, membuat bank-bank hanya menyisihkan

sebagian kecil dari sumber dananya untuk pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah

(KPR), walaupun disadari potensi permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

menguntungkan.27

27

(31)

Untuk menyehatkan dan menstabilkan pasar perumahan, maka

satu-sutunya cara adalah dengan membentuk Secondary Mortgage Facility (SMF).

Untuk membentuk Secondary Mortgage Facility (SMF) perlu kajian kelayakan

secara rinci. Terutama mengenai struktur kepemilikan dan prosedur untuk

menfasilitasi obligasi utang yang dikeluarkan oleh Secondary Mortgage Facility

(SMF) agar mampu berkompetisi di pasar modal.

Di samping itu, dibutuhkan pula kajian secara menyeluruh mengenai

potensi investasi di pasar obligasi, aspek legal dari Secondary Mortgage Facility

(SMF) yang disesuaikan dengan lembaga jasa keuangan yang ada.

Kajian-kajian tersebut harus dilakukan secara simultan, guna memperoleh

gambaran yang jelas mengenai efektifitas Secondary Mortgage Facility (SMF)

dan manfaatnya untuk membiayai pembangunan perumahan.28

Pemerintah melihat kondisi yang ada, menyikapi Lembaga SMF ini

melalui penerbitan SK Menkeu RI No. 132/KMK.014/1998 Tanggal 27 Februari

1998 Tentang Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan. Menurut

Pasal 1 SK Menkeu RI No. 132/KMK.014/1998 ini yang dimaksud dengan

Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan (sebagai terjemahan Secondary

Mortgage Fasility- SMF) adalah "Pinjaman jangka menengah atau jangka panjang

kepada bank yang memberikan KPR dengan jaminan berupa tagihan atas KPR

tersebut dan Hak Tanggungan atas rumah dan atas tanah". Sedangkan Perusahaan

Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan -PFPSP( sebagai terjemahan dari

28

(32)

Special Purpose Company -SPC) adalah "Lembaga keuangan yang melakukan

usaha di bidang pembiayaan sekunder perumahan".29

Menurut Darmin Nasution, Dirjen Lembaga Keuangan, Dana untuk

menyerap KPR (Kredit Pemilikan Rumah) itu akan diperoleh dari penerbitan

obligasi dan penerbitan surat partisipasi seperti dalam penjualan reksadana.

Mengacu kepada gearing ratio (rasio utang terhadap modal) perusahaan

pembiayaan, Secondary Mortgage Facility (SMF) ini akan dapat memberikan

pembiayaan lebih dari 15 kali dari modal dasar perusahaan.

Lembaga pembiayaan sekunder perumahan (Secondary Mortgage

Facility/SMF) dengan modal dasar Rp.3,5 triliun diperkirakan akan mampu

menyerap KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dan memberikan likuiditas baru kepada

bank penyalur kredit lebih dari Rp 50 triliun.

30

Sementara itu, pengikut sertaan modal swasta dalam lembaga-lembaga

pemerintah dimaksudkan untuk mendorong efisiensi dan pengaturan dalam

mengatasi resiko (risk management) dengan tepat. Modal swasta juga merupakan

Secondary Mortgage Facility (SMF) harus mempunyai modal operasi

yang cukup besar. Untuk itu diperlukan biaya untuk awal pengembangan sistem,

prosedur dan pemasaran, serta untuk mengatasi resiko yang mungkin timbul

dalam pengembangan pasar untuk mortgage tersebut. Dukungan (back-up) baik

dari pemerintah secara eksplisit maupun implisit dimaksudkan agar para investor

mau menanamkan modalnya dalam surat berharga (sekuritas) yang dikeluarkan

Secondary Mortgage Facility (SMF) tersebut.

29

http://adln.lib.unair.ac.id/ , terakhir kali diakses tanggal 24 April 2008. 30

(33)

imbangan untuk mengurangi resiko modal (modal hazard) sehubungan dengan

adanya penyertaan modal swasta ini menimbulkan semacam “tarde off’ antara

manfaat dan resiko dari penyertaannya, lembaga yang didukung pemerintah

biasanya mempunyai sifat monopoli sehingga dalam menentukan misi,

pemamtauan (monitoring) harga, dan pengambilan resiko (risktaking), diperlukan

ketelitian dan kehati-hatian.31

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Secondary Mortgage Facility (SMF)

atau Pembiayaan Sekunder Perumahan, Pemerintah mendirikan Perusahaan

Pembiayaan Sekunder Perumahan yang berbadan hukum perseroan terbatas.32

Yang diberi nama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).33 Modal Perusahaan

bersumber dari penyertaan Modal Negara Repuplik Indonesia sebesar Rp.1

Trilyun yang berasal dari APBN Tahun Anggaran 2005.34

PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) telah menunjuk PT Trimegah

Securities Tbk dan PT Bahana Securities sebagai penjamin pelaksana emisi

obligasi senilai Rp.200 milyar. Sementara itu, saat ini SMF telah menyalurkan

pinjaman Rp.300 milyar kepada bank dan disalurkan kepada 7.126 nasabah.

Artinya, secara langsung atau tidak langsung hal ini mendorong sektor riil,

khususnya pembangunan perumahan. Disamping itu, SMF sedang

31

Dono Iskandar, SMF dan Upaya Mengatasi Masalah Pendanaan, PARAS BTN, Oktober 1994, hal. 11-12.

32

Ngalim Sawega (Ditjen Lembaga Keuangan), Perusahaan Pembiayaan Sekunder

Perumahan/ Secondary Mortgage Facility (SMF), Disampaikan dalam Diskusi yang

diselenggarakan oleh DPC ikadin Jakarta, Sahid Jaya Hotel, Candi Prambanan Room 2 Jakarta, tanggal 10 Mei 2005.

33

M.Munir Haikal, SMF tunjuk Trimegah dan Bahana jadi penjamin obligasi, Bisnis Indonesia, tanggal 16 November 2007, hal 7.

34

(34)

mempersiapkan transaksi sekuritisasi KPR (Kredit Pemilikan Rumah) pertama di

Indonesia.

PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) merupakan perusahaan yang

didirikan khusus untuk membangun dan mengembangkan pasar pembiayaan

sekunder perumahan serta memperkuat pasar primer.

Untuk menjalankan tugasnya, SMF menjadi fasilitator terjadinya aliran

dana dari pasar modal ke sektor perumahan, melalui dua jenis transaksi yang

dapat dipilih lembaga penyalur yaitu pinjaman dan sekuritisasi.

PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) telah menjalin kerja sama dengan

Bank DKI untuk program mortgage deposit link. Kerja sama itu mengatur

penempatan dana di deposito berjangka untuk penyaluran Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) kepada lembaga penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) baru

dengan standar dokumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) SMF.35

PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) menargetkan bisa melahirkan

produk pembiayaan perumahan berdaya saing tinggi untuk mendorong perbankan

menyertakan semua produk KPR (Kredit Pemilikan Rumah) nya.36

1. Terdapat ketidakcocokan (mismatch) dalam pendanaan Bank atau lembaga

dalam memberikan kredit perumahan yaitu jangka waktu antara sumber dana

dan investasi. Pada saat ini, kredit untuk perumahan merupakan kredit jangka Latar belakang pendirian Secondary Mortgage Facility (SMF) ini antara

lain:

35

M.Munir Haikal, Loc. Cit,. 36

(35)

panjang yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari dana jangka pendek

seperti giro, deposito, dan berbagai jenis tabungan masyarakat lainnya.37

Mismatch dalam istilah perbankan berarti kesenjangan jangka waktu antara

aktiva dan pasiva. Setiap bank yang menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah

(KPR), pasti akan terkendala dengan isu mismatch ini, tidak terkecuali Bank

BTN. Dengan menyalurkan kredit perumahan dengan jangka waktu 15 s/d 20

tahun, sementara dana yang tersedia berjangka waktu pendek, maka terjadilah

kesenjangan jangka waktu. Mismacth seperti ini, secara teori berpotensi

kepada resiko likuiditas dan resiko tingkat bunga.38

2. Masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat dibandingkan

dengan harga rumah.

3. Keuangan negara belum memungkinkan untuk melaksanakan sepenuhnya

pembiayaan perumahan.

4. Keuangan negara belum memungkinkan untuk melaksanakan sepenuhnya

pembiayaan perumahan.

5. Tingkat suku bunga masih tinggi.

6. Permintaan terhadap Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tinggi seiring dengan

pertambahan jumlah penduduk Indonesia.39

Dengan terciptanya Secondary Mortgage Facility (SMF) diharapkan

beberapa persoalan dalam pembangunan perumahan dapat diatasi.

Persoalan-persoalannya Antara lain : menurunya liquidity risk yang dihadapi oleh pemberi

37

Ngalim Sawega, Op. Cit,. Hal.2. 38

Mada Gandi, Antara Mismatch Modal yang kecil dan pasar yang tergerus, PARAS BTN, Edisi Novrmber 2007, hal 19.

39

(36)

Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang bersumber dari penggunaan dana jangka

panjang, berkurangnya disparitas sumber pembiayaan perumahan antar daerah,

meningkatnya kualitas portofolio hipotek, serta terciptanya standardisasi prosedur

dan pinjaman hipotek di pasar primer.40

Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) yang menyelenggarakan

kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditur

Asal (Bank) dengan melakukan sekuritisasi (transformasi aset yang tidak likuid

menjadi likuid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal dan

penerbitan Efek Beragun Aset), diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam

pembiayaan perumahan sehingga peranan bank dalam pembiayaan perumahan

semakin meningkat.41

Tujuan Secondary Mortgage Facility (SMF) adalah memberikan fasilitas

pembiayaan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan

pembiaayaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat. C. Tujuan dan Manfaat Secondary Mortgage Facility

42

Menurut Erica Soeroto, selaku direktur utama PT SMF Persero. Tujuan

SMF adalah mengupayakan terwujudnya pemenuhan kebutuhan akan hunian di

masyarakat dengan cara memfasilitasi perputaran aliran dana melalui mekanisme

sekuritisasi yang mensinergikan Pasar Primer KPR, Pasar Sekunder SMF dan

40

Pembiayaan Perumahan dengan Fasilitas Hipotek, Medan Bisnis, Loc. Cit. 41

Ardin Simanjuntak , SE., MBM., Op. Cit. 42

(37)

Pasar Modal. Sehingga pada akhirnya mekanisme pasar mampu mendorong

turunnya tingkat bunga secara bertahap sampai kepada tingkat yang terjangkau.43

b. Mengembangkan industri properti.

Manfaat Fasilitas Secondary Mortgage Facility (SMF) :

1. Manfaat Secondary Mortgage Facility bagi pemerintah dan masyarakat

Adanya fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan (SMF) di Indonesia

menghasilkan beberapa manfaat bagi pemerintah selain utamanya pemenuhan

kebutuhan rumah, diantaranya :

a. Mengurangi angka pengangguran dengan penciptaan lapangan kerja melalui

pembangunan perumahan dan infrastruktur serta fasilitas umum dan fasilitas

sosial sebagai penunjang program perumahan.

c. Menggairahkan industri pendukung properti.

d. Mengembangkan pasar modal.

e. Menarik investor baik lokal maupun internasional.

f. Meningkatkan pendapatan pemerintah yang berasal dari pajak.

Sedangkan untuk masyarakat, Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan

(SMF) menpunyai manfaat langsung maupun tidak langsung seperti :

a. Besarnya kesempatan memiliki rumah melalui kredit panjang.

b. Kesenpatan kerja yang lebih luas dalam industri properti dan industri

penunjangnya.

43

(38)

2. Manfaat Secondary Mortgage Facility bagi pemodal

Efek Beragun Aset (EBA) akan dilakukan secara wholesale dan memilki

keunggulan bagi pemodal sebagai berikut :

a. Dapat memanfaatkan Efek Beragun Aset sebagai salah satu alternatif investasi

yang menghasilkan stream cash flow yang jelas.

b. Efek Beragun Aset (EBA) dijamin dengan cash flow pool KPR yang memiliki

agunan yang jelas.

c. Sebagai sarana diversifikasi risiko.

3. Manfaat Secondary Mortgage Facility (SMF) bagi industri perbankan.

Ada banyak manfaat dari Secondary Mortgage Facility (SMF) bagi

Industri Perbankan, yaitu diantaranya :44

a. Memperbaiki Capital Adequency Ratio.

b. Meniadakan tenor mismatch yaitu jangka waktu pendek sumber pembiayaan

(dari deposito-deposito) dan jangka waktu pemberian kredit perumahan yang

umumnya adalah untuk jangka panjang.

c. Memperoleh dana-dana baru untuk dapat melanjutkan pembiayaan pembelian

rumah pada masyarakat yang membutuhkannya.

d. Memperoleh sumber penghasilan berupa fee untuk bertindak sebagai debt

servicer.45

e. Meningkatkan kinerja bank, antara lain meningkatkan pendapatan dan

Lending Capacity.

44

Ardin Simanjuntak, Op. Cit., hal. 11. 45

(39)

Sekuritisasi aset akan berpengaruh terhadap struktur laporan keuangan, baik

pada sisi neraca (balance sheet) maupun pada laporan laba rugi (income

statement).

f. Pada sisi neraca, akan terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap

bentuk portofolio aset dan kredit yang notabene merupakan aset lain yang

lebih likuid (kas)

g. Apabila sebagian besar portofolio KPR disekuritisasi, maka pendapatan utama

bank bukan lagi hanya berasal dari interest income, tetapi juga berasal dari fee

based income baik yang berasal dari originating fee maupun servicing fee

serta custodian fee.

h. Hilangnya alokasi biaya Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP)

dari aset KPR yang disekuritsasi, sehingga akan mengurangi biaya

pembentukan PPAP dan pada akhirnya akan meningkatkan laba yang akan

diperoleh.

i. Menigkatkan lending capacity dan utilasi modal bank, karena dengan

dikeluarkannya KPR yang dijual dari neraca akan mengurangi jumlah Aktiva

Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), sehingga Bank memiliki peluang untuk

melakukan ekspansi kredit tanpa perlu meningkatkan modal.

j. Dalam proses sekuritisasi, bank bisa bertindak sebagai Kreditur Asal,

Penyedia Kredit Pendukung, Penyedia fasilitas Likuiditas, Penyedia jasa,

Bank Kustodian dan Pemodal sehingga bank bisa meningkatkan fee-based

(40)

k. Menghilangkan risiko-risiko yang dihadapi bank antara lain dengan

memindahkan risiko kredit dan risiko suku bunga dari bank sebagai Kreditur

Asal kepada Penerbit. Risiko suku bunga, yaitu risiko yang ditimbulkan dari

berfluktuatifnya suku bunga di Indonesia, karena dengan terus menerus

mengucurkan kredit yang berjangka waktu panjang maka bank akan

mengalami kesulitan bila terjadi kenaikan suku bunga seperti yang terjadi di

masa krisis moneter. Dengan melakukan sekuritisasi melalui Lembaga SMF

ini, maka bank dapat meminimalkan risiko suku bunga tersebut. Sedangkan

risiko kredit, dengan penerapan sekuritisasi dengan mekanisme jual putus

(true sale) maka risiko kredit yang ditanggung oleh bank akan dipindahkan ke

Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF).46

1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tanggal 7

Februari 2005 Tentang Pembiayaan Sekunder perumahan dalam pasal 3, pasal

4 ayat (1), (2), (3), pasal 8, pasal 9, pasal 15 ayat (1), (2). D. Landasan Peraturan Secondary Mortgage Facility (SMF)

Adapun yang menjadi Landasan peraturan Secondary Mortgage Facility

(SMF) adalah sebagai berikut:

2. Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005

Tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank

Umum dalam pasal 3 ayat (1), (2), pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (1),(2), pasal 7

ayat (1), (2), (3), pasal 8 ayat (1) , pasal 9 ayat (1).

46

(41)

Dalam rangka menigkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan,

perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiaayaan sekunder

perumahan, dan untuk mendukung upaya penyediaan dana pembangunan

perumahan secara efektif dan efisien perlu diatur ketentuan mengenai pembiayaan

sekunder perumahan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Februari 2005, Pemerintah

Repuplik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 19

Tahun 2005 tersebut diantaranya diatur hal-hal sebagai berikut :47

2. Pasal 4 1. Pasal 3

Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan oleh suatu Lembaga Keuangan

yang didirikan khusus untuk itu.

(1) Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara pembelian kumpulan

Aset Keuangan dari Kreditur Asal dan sekaligus penerbitan Efek Beragun

Aset (EBA)

(2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat Partisipasi

(3) Efek Beragun Aset harus diperingkat oleh lembaga pemeringkat.

3. Pasal 8

Pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

ayat (1) hanya dapat dilakukan atas Aset Keuangan yang sekurang-kurangnya

memenuhi persyaratan standardisasi desain, standardisasi dokumen KPR,

47

(42)

pedoman analisa risiko, dan pedoman penilaian real estat yang ditetapkan oleh

lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.

Penjelasan :

a. Standarisasi desain, misalnya Fixed Rate Mortgage, Adjustable Rate

Mortgage, Suku Bunga Efektif, Suku Bunga Annuitas.

b. Standarisasi dokumen KPR, misalnya PK mencantumkan pengalihan hak

tagih.

c. Pedoman analisa resiko, misalnya minimum 6 bulan lancar, Loan to Value

Ratio maksimal 80 %, analisa kredit menggunakan Credit scoring Model.

d. Pedoman penilaian real estat yang ditetapkan oleh Lembaga Keuangan,

misalnya standardisasi dalam proses penilaian/appraisal agunan.

4. Pasal 9

Dana yang diperoleh dari pembelian kumpulan Aset Keuangan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) hanya dapat digunakan oleh Kreditur Asal

untuk pemberian KPR.

5. Pasal 15

(1) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan,

Pemerintah mendirikan perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan sebagai

lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.

(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbadan hukum perseroan

(43)

Sebagaimana regulator dan pengawas perbankan, Bank Indonesia

mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tanggal 20 Januari

2005 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekur itisasi Aset Bagi Bank

Umum yang antara lain mengatur hal hal sebagai berikut :48

1. Pasal 3

(1) Dalam Sekuritisasi Aset, Bank dapat berfungsi sebagai :

a. Kreditur Asal (Originator)

Kreditur Asal adalah pihak yang mengalihkan aset keuangan kepada

penerbit.

b. Penyedia Kredit Pendukung

Kredit Pendukung (Credit Enhacement) adalah fasilitas yang diberikan

kepada penerbit untuk meningkatkan kualitas aset keuangan yang

dialihkan dalam rangka pembayaran kepada pemodal.

c. Penyedia Fasilitas Likuiditas

Fasilitas Likuiditas (Liquidity Facilty) adalah fasiltas talangan yang

diberikan kepada Penerbit untuk mengatasi mismatch pembayaran

kewajiban kepada pemodal.

d. Penyedia Jasa (Servicer)

Penyedia Jasa adalah pihak yang menata usahakan, memproses,

mengawasi, dan melakukan tindakan-tindakan lainnya dalam rangka

mengypayakan kelancaran arus kas aset keuangan yang dialihkan kepada

Penerbit sesuai perjanjian antara pihak tersebut dengan Penerbit, termasuk

48

(44)

memberikan peringatan kepada Reference Entity ( pihak yang berhutang

atau mempunyai kewajiban membayar dari aset keuangan yang dialihkan )

apabila terjadi keterlambatan pembayaran, melakukan negosiasi dan

menyelesaikan tuntutan.

e. Bank Kustodian

Bank Kustodian adalah Bank yang memberikan jasa penitipan EBA dan

harta serta jasa lain yang berkaitan dengan Sekuritisasi Aset sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

f. Pemodal (Investor)

Pemodal adalah pihak yang membeli EBA.

(2) Bank yang melakukan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak mengakibatkan rasio kewajiban penyediaan modal minimum Bank

lebih rendah dari ketentuan yang berlaku; dan

b. Melakukan fungsi tersebut sesuai dengan peraturan Bank Indonesia ini

serta memprehatikan prinsip kehati-hatian.

2. Pasal 4 ayat 3

Bank sebagai Kreditur Asal hanya dapat mengeluarkan aset keuangan yang

dialihkan dari neraca (derecognition) , apabila memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

a. Aset keuangan yang dialihkan dari Kreditur asal kepada Penerbit

memenuhi kondisi jual putus; dan

(45)

3. Pasal 5

(1) Kondisi jual putus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a terjadi

apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. seluruh manfaat yang diperoleh dan atau akan diperoleh dari aset

keuangan telah dialihkan kepada Penerbit;

b. risiko kredit dari aset keuangan yang dialihkan secara signifikan telah

beralih kepada Penerbit; dan

c. Kreditur Asal tidak memiliki pengendalian baik langsung maupun tidak

langsung atas aset keuangan yang dialihkan.

(2) Pemenuhan kondisi jual putus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

dilengkapi dengan pendapat auditor independen dan pendapat hukum yang

independen.

4. Pasal 7

(1) Bank yang berfunsi sebagai penyedia Kredit Pendukung dapat memberikan

fasilitas Kredit Pendukung berupa fasilitas penanggung risiko kedua (second

loss facility)

(2) Setiap penyediaan kredit Pendukung oleh Bank sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset yang antara lain

menetapkan :

1) jumlah fasilitas yang diberikan; dan

(46)

b. Diberikan maksimun sebesar 10 % (sepuluh perseratus) dari Nilai Aset

keuangan yang dialihkan dalam hal Bank juga bertindak sebagai Kreditur

Asal.

(3) Jumlah fasilitas Kredit Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf

a tidak dapat diubah selama jangka waktu perjanjian.

5. Pasal 8 ayat 1:

Penyediaan Kredit Pendukung yang memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diperlakukan sebagai penyediaan

dana dan diperhitungkan dalam kewajiban penyediaan modal minimum

dengan ketentuan sebagai berikut :

a. apabila Kredit Pendukung merpakan fasilitas penaggung risiko pertama,

maka Kredit Pendukung akan menjadi faktor pengurang Modal sebesar

nilai terkecil antara jumlah beban Modal (capital charge) dari Nilai Aset

Keuanga yang dialihkan;

b. apabila Kredit Pendukung merupakan fasilitas penanggung risiko kedua,

maka Kredit Pendukung akan menjadi komponen aktiva tertimbang

menurut risiko.

6. Pasal 9 ayat 1:

Setiap penyediaan fasilitas likuiditas oleh Bank wajib memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset yang antara lain

menetapkan :

(47)

2). jangka waktu perjanjian;

b. jangka waktu Fasilitas Likuiditas maksimum 90 (sembilan puluh) hari;

c. jumlah Fasilitas Likuiditas yang dapat diberikan oleh Bank yang juga

bertindak sebagai Kreditur Asal maksimum sebesar 10 % dari Nilai Aset

keuangan yang dialihkan;

7. Pasal 11

(1) Bank yang berfungsi sebagai penyedia jasa wajib memenuhi persyaratan

antara lain sebagai berikut :

a. Diperjanjikan pada awal aktivitas Sekuritisasi Aset; dan

b. Didukung oleh sistem administrasi yang memadai.

(2) Bank sebagai Penyedia Jasa dapat melakukan Pembelian Kembali.

(3) Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat

dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Nilai sisa aset keuangan yang dialihkan maksimum sebesar 10 % dari Nilai

Aset Keuangan yang dialihkan;

b. Biaya yang ditanggung oleh Bank lebih besar dari pendapatan yang

diperoleh dari penatausahaan aswt keuangan yang dialihkan; dan

c. Dalam hal Bank juga merupakan Kreditur Asal dan penyedia Kredit

Pendukung, Pembelian Kembali tidak digunakan untuk menghindari

kerugian yang harus ditanggung oleh Kreditur Asal sebagai penyedia

(48)

8. Pasal 13

(1) Bank yang berfunsi sebagai Bank Kustodian wajib menjalankan kegiatan

sesuai ketentuan yang berlaku.

(2). Bank yang berfungsi sebagai Kreditur Asal dan atau Penyedia Jasa tidak dapat

(49)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

A. Pengertian Sekuritisasi

Black’s Law Dictionary, memberikan defenisi mengenai sekuritisasi, yaitu

sebagai berikut; “Securitization- is the process of homogenezing and packaging

financial instruments into a new fungible ono. Acquisition, classification, collateralization, composition, pooling and distribution are functions within this process“.

Securitization, menurut Dictionary of Financial Risk Management, adalah; The process of converting assets which would normally serve as collateral for a bank loan into securities which more liquid and can be traded at a lower cost than the underlying assets. The largest category of securitized assets is real estate mortgage loans which serve as collateral for mortgage-backed securities.49

Menurut Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan

Sekunder Perumahan (”Perpres 19/05”), sekuritisasi50 adalah transformasi aset

yang tidak likuid (tagihan-tagihan yang semula sulit diperjualbelikan) menjadi

likuid (mudah diperjualbelikan) dengan cara pembelian Aset Keuangan51

49

Gunawan Widjaja & E.Paramitha Sapardan, Aset Securitization (Pelaksanaan SMF di

Indonesia), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal 9.

50

Konsep sekuritisasi (securitization) lahir dan pertama berkembang di Amerika Serikat. Karena Amerika Serikat menganut sistem hukum commcn lawmengenal institusi ”trust” dan ”trustee” sehingga dikenal adanya perbedaan ”holder of record” dan ”beneficial owner”, mereka tidak menjumpai masalah seperti yang timbul disini mengenai pendaftaran HT atas nama wali Amanat (trustee).

51

Yang dimaksud dengan Aset Keuangan menurut Pasal 1 angka 2 Perpres 19/05 adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan KPR, termasuk hak agunan yang melekat padanya.

(50)

Kreditur Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset52

b. Surat Partisipasi yang dijual kepada/ dimiliki investor sebagai bukti

kepemilikan secara proporsional atas portofolio tagihan yang merupakan

kumpulan tagihan-tagihan terpilih dari bank pemberi kredit (Originator)

terhadap debitur/pembeli rumah.

(”EBA”). Adapun EBA yang

diterbitkan berupa :

a. Surat Utang (misalnya obligasi) yang dijamin pembayarannya dengan

portofolio tagihan-tagihan terhadap debitur yang didalamnya melekat jaminan

Hak Tanggungan (”HT”); atau

53

Sekuritisasi aset menurut Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005,

dalam pasal 1 butir 2 adalah Penerbitan surat berharga oleh penerbit efek beragun

aset yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal yang diikut i

dengan pembayaran yang berasal dari penjualan Efek Beragun Aset kepada

pemodal.54

Sekuritisasi pada hakikatnya adalah teknik pembiayaan dengan mana

dikumpulkan dan dikemas sejumlah aset (aktiva) keuangan berupa piutang

(tagihan) yang lahir dari transaksi keuangan atau transaksi perdagangan yang

biasanya kurang likuid menjadi Efek yang likuid karena mudah diperjualbelikan.

Proses sekuritisasi yang dilaksanakan akan diserahkan kepada suatu wahana yang

disebut Special Purpose Vehicle (SPV). Dalam pasar modal Indonesia, wahana

sekuritisasi tersebut adalah berupa Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset

(KIK-EBA) yang diatur berdasarkan Peraturan BAPEPAM Nomor IX.K.1 tentang

52

Pasal 1 angka 14 Perpres No. 19/2005. 53

Pasal 4 ayat (2) Perpres No. 19/05. 54

(51)

Pedoman Ko

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan klasifikasi diagnosis, sebagian besar pasien terdiagnosis UAP, NSTEMI, dan STEMI memiliki riwayat hipertensi, dimana didapatkan prevalensi kasus UAP dengan

Gambar 4.2 dan tabel 4.2 menunjukkan Pengelompokan diatas didasarkan pada jumlah data atau banyaknya observasi yaitu sebanyak 37 data, sehingga dapat diketahui data

Populasi kera-kera juga cukup banyak di kawasan ini dan merupakan salah satu jenis yang sangat berpotensi untuk dikembangkan.. Jenis ini menarik sebagai tanaman hias

(2013) the process of germination of oil palm seed is quite difficult because the seed has a hard shell that is dormant. The existence of this dormancy condition causes the

Hasil penelitian menunjukan, pada gedung tipe ruko penghematan energi terbaik diperoleh Kaca 1 dengan luas bukaan jendela 40% untuk orientasi Barat, 40% untuk orientasi

Politik transaksional dalam pilkada serentak di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari fenomena adanya barter politik antar partai politik dalam pilkada, munculnya boneka politik

Sedangkan penelitian yang dilakukan Indrianawati, et, al, 2015 yang berjudul Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syari’ah Dengan Sample pada BNI Syari’ah,

JUDUL : Museum Seni Rupa Modern Surakarta TEMA DESAIN : Arsitektur Kontemporer.. FOKUS KAJIAN : Kejelasan