• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinding sel, membran sitoplasma dan sitoplasma merupakan target utama dari senyawa antimikroba.

1. Merusak Dinding Sel

Dinding sel pada bakteri Gram positif terdiri dari peptidoglikan yang berikatan dengan asam teikoat. Pada bakteri Gram negatif, yang dimaksud dengan dinding sel adalah lapisan paling luar dari sel yang disebut membran luar (outer membrane) yang terdiri dari fosfolipid, lipopolisakarida (LPS) dan protein (Russel, 1984).

Beberapa senyawa kimia bekerja pada dinding sel yaitu menghambat sintesis peptidoglikan bakteri Gram positif dan Gram negatif. Antibiotik β-laktam seperti penisilin dan sepalosporin mengganggu enzim-enzim yang sensitif terhadap penisilin yang berfungsi mensintesis peptidoglikan, yang dapat diukur dari jumlah protein yang dapat berikatan dengan penisilin (PBPs) yang terdapat pada membran sitoplasma (Russel, 1983 dan 1984). D-sikloserin bekerja pada tahap awal sintesis dinding sel bersaing dengan enzim alanin rasemase dan alanin sintetase, vankomisin juga mempengaruhi sintesis dinding sel. Polimiksin bekerja pada bagian luar dan dalam membran sitoplasma bakteri Gram negatif, LPS dan fosfolipid pada bagian luar membran terlibat dalam sisi pengikatan.

Enzim lisozim menyebabkan dinding sel Gram positif lisis, enzim ini menyerang peptidoglikan pada ikatan β1-4 sementara bakteri Gram negatif lebih resisten ( Russel, 1983 dan Fardiaz, 1988). EDTA adalah senyawa pengkelat yang berpengaruh pada dinding sel bakteri Gram negatif (P. aeruginosa ), dapat menyebabkan pelepasan kation khususnya Ca+ dan Mg2+ yang menyebabkan sel menjadi lisis (Russel, 1983 dan 1984). Beberapa senyawa desinfektan seperti formalin pada konsentrasi 0,12 %, fenol 0,32 %, merkuri klorida 0,008 % menyebabkan sel E. coli, Streptococcus dan Staphylococcus lisis (Russel, 1983).

2. Menggangu Membran Sitoplasma

Membran sitoplasma berperan dalam mempertahankan keutuhan struktur sel dan berfungsi dalam transport nutrien secara selektif ke dalam sel. Membran juga tempat terletaknya enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis dinding sel. Bila membran rusak maka fungsinya akan terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat atau sel menjadi mati (Russel, 1983; Fardiaz, 1988 dan Brooks et al. 1989). Agen fisik maupun senyawa kimia pada organisme prokariot maupun eukariot dapat menyebabkan kematian dengan rusaknya membran (Russel, 1984).

Manifestasi dari kerusakan membran adalah kebocoran kandungan intraseluler berupa pentosa atau asam-asam amino atau ion K+ (Russell,1984). Beberapa senyawa yang merusak membran adalah fenol, klorheksidin, amonium kuartener, paraben (Russel, 1984). Klorheksidin pada konsentrasi rendah menye-babkan kebocoran sel, sementara pada konsentrasi tinggi dapat menggumpalkan sitoplasma (Russel, 1983 dan 1984).

3. Menganggu Protein dan Asam Nukleat

Kematian dan kerusakan sel dipengaruhi oleh keutuhan alami molekul protein dan asam nukleat (Fardiaz, 1988). Denaturasi protein dan asam nukleat oleh senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel yang fatal dan tidak dapat disembuhkan.

Senyawa antimikroba yang bekerja pada asam nukleat (DNA dan RNA) dapat mempunyai mekanisme yang berbeda (Russel, 1983). Pada DNA tipe kerusakan dapat dalam bentuk kerusakan rantai, pembentukan photoproduct, interkalasi, ikatan silang dan penghambatan sintesis DNA (Russel, 1984). Rantai tunggal DNA bakteri yang tidak membentuk spora dapat rusak oleh radiasi ionisasi. Proses fisik lain yang mampu merusak rantai tunggal dan ganda DNA adalah pembekuan, thawing dan pemanasan di atas suhu 50oC, pecahnya rantai ganda DNA dalam jumlah kecil sangat merusak sel. Radiasi sinar UV merusak DNA dengan cara yang berbeda yaitu dengan cara membentuk photoproduct yaitu terbentuknya dimer timin-timin antara timin yang berdekatan pada rantai yang sama.

Beberapa senyawa antibiotik dan senyawa kimia yang merusak DNA adalah akridin merusak DNA dengan cara berinterkalasi dengan DNA, etilen oksida dan formaldehid merusak DNA dengan cara alkilasi dari asam amino dengan grup fosfat dari asam nukleat, rifampisin menghambat polimerase RNA, mitomisin menghambat DNA dengan cara membentuk ikatan kovalen dengan DNA.

E. PERUBAHAN STRUKTUR SEL MIKROBA

Efek senyawa antimikroba pada morfologi dan ultrastruktur sel bakteri dapat dikelompokkan menurut target dimana perubahan sel terjadi. Misalnya antibiotik, perubahan pada dinding sel disebabkan oleh ß-laktam, polimiksin menyebabkan perubahan pada membran plasma, kloramfenikol, tetrasiklin dan aminoglikosidase meyebabkan perubahan pada ribosom (Gemmel dan Lorian, 1996).

Perubahan struktur tergantung dari aktivitas antimikroba, seperti β-laktam mempunyai kisaran yang berbeda aktivitasnya di bawah atau di atas MIC (Gemmel dan Lorian, 1996). Penisilin menghasilkan perubahan morfologi pada konsentrasi rendah (1/16 MIC), sefaloridin aktif hanya pada 1/3 MIC. Destruksi sel bakteri terjadi dengan sefaloridin pada 2 kali MIC tetapi ampisilin memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan lisis yang sempurna. Pada konsentrasi antibiotik mendekati MIC, terjadi lisis pada bagian sel yang memanjang. Lisis dapat terjadi pada bagian dinding sel yang mengakibatkan membran sel pecah dan sitoplasma keluar. Pada konsentrasi di atas MIC filamen berhenti tumbuh dan sel lisis. Beberapa β-laktam pada konsentrasi lebih besar dari MIC menyebabkan pembentukan protoplas tanpa perpanjangan.

1. Pembentukan Filamen

Perpanjangan sel berbentuk batang sebagai batang yang panjang, bila panjangnya lebih dari 10 μm dapat diistilahkan dengan filamen (Gemmel dan Lorian, 1996). Filamen bakteri adalah hasil pertumbuhan basil yang tidak

membelah menjadi individu baru, dan bila dipindahkan pada medium yang bebas stres akan memisah menjadi individu.

Filamen dihasilkan pada pemberian antibiotik pada konsentrasi rendah (Gemmel dan Lorian, 1996). Amoksilin menghasilkan filamen yang pendek pada E. coli sementara sefalesin atau sefositin menghasilkan filamen yang panjang pada P. aeruginosa. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, dinding sel menjadi lebih tidak teratur dan berombak. Pada konsetrasi lebih tinggi ini dinding sel tidak bersambung, hasil lisis filamen. Pada beberapa organisme yang membentuk filamen perpanjangan terjadi pada bagian tengah yang sering diamati pada E. coli dan P mirabilis yang kontak dengan ampisilin.

Pada dosis di bawah MIC, efek morfologi dari antibiotik yang sama berbeda dengan berbedanya spesies (Gemmel dan Lorian, 1996). Misal, penisilin dapat menyebabkan penghambatan inisiasi septum pada E. coli oleh karenanya terbentuk filamen, pada E. faecalis terbentuk rantai panjang bentuk koki yang tidak beraturan yang mengandung beberapa septa yang tidak lengkap karena penghambatan penyelesaian septum, pada staphylococci penghambatan lisis septum menyebabkan berkembangnya sel dengan septa yang banyak.

Pembentukan filamen juga diamati pada L. monocytogenes yang ditumbuhkan dalam 1,5 mol/l NaCl panjangnya menjadi 50 kali (Jorgensen et al., 1995). Sebelumnya Brazin (1973 dalam Rowan, 1999) juga menemukan peru-bahan morfologi L. monocytogenes di dalam makanan yang mengandung kadar garam tinggi (8-9 %). Menurut Isom et al (1995) pembentukan filamen dimulai pada konsentrasi garam di atas 1,000 mM dan panjangnya meningkat dengan meningkatnya konsentrasi.

Brandi et al ( 1989) melaporkan E. coli juga membentuk filamen pada perlakuan hidrogen peroksida (H2O2), panjang filamen meningkat dengan lamanya waktu kontak. Perlakuan H2O2 pada konsentrasi tinggi menghasilkan kerusakan yang ekstensif terhadap membran sitoplasma dan terbentuk jarak (gaps) antara sitoplasma dan dinding sel. Imlay dan Linn (1987) melaporkan efek H2O2 pada E. coli menghambat pertumbuhan dengan membentuk filamen tetapi tidak membentuk septa. Pembentukan filamen diperlukan untuk perbaikan DNA yang

luka. Fenomena yang sama diamati pada pH 5,0-6,0 yang diatur dengan asam sitrat dan pada pH.9 dengan NaOH.

Panas pada suhu di atas optimal, pada L. monocytogenes menyebabkan pertumbuhannya tidak stabil, membentuk filamen yang panjangnya sampai 110

μm, terjadi perubahan morfologi yang tidak khas; koloni tidak beraturan, kemilauannya hilang dan terjadi perubahan fisiologi (Rowan, 1999). Mikro-organisme yang membentuk filamen lebih tahan panas karenanya terdapatnya bahu dan ekoryang jelas pada respon kinetika kematian.

2. Pembentukan Septum dan Peningkatan Ukuran Sel

Semua β-laktam mempunyai efek morfologi yang sama pada stafilokoki dan Gram positif kecuali stafilokoki yang resisten terhadap metisilin (Gemmel dan Lorian, 1996). Penisilin menyebabkan sel-sel stafilokoki menjadi besar yang diamati pada mikroskop cahaya, TEM dan SEM. Setelah kontak pada waktu yang relatif pendek pada konsentrasi yang sama atau lebih besar dari MIC septa kehilangan densitas dan bentuk menjadi tidak beraturan dan keliling dinding sel lebih tipis. Penebalan septa dengan dinding sel yang normal diamati setelah kontak pada penisilin pada dosis di bawah MIC, tetapi efek ini tergantung pada medium, tekhnik kultivasi yang digunakan dan ada atau tidak adanya lisozim dan tripsin (Gemmel dan Lorian, 1996).

Stafilokoki di dalam media bebas obat akan membelah, berpisah dalam bentuk cluster karena pembelahan dalam banyak arah. Bila stafilokoki dikon-takkan pada penisilin pada dosis di bawah MIC memperlihatkan sejumlah nuklei tetapi tidak memisah. Penghambatan pemisahan septa bersifat reversible. Bila diinkubasi pada medium bebas obat, cluster dari staphylococcus memisah menjadi cluster yang lebih kecil dan nampak seperti normal.

Menurut Thomson dan Hinton, (1996) inkubasi Salmonella selama 2-4 jam pada konsentrasi bakteriostatik dan bakterisidal dengan asam format dan propionat menghasilkan ukuran sel menjadi lebih besar. Pada konsentrasi 50 mmol/l asam propinat selama 2 jam pada pH 5.0, granula sitoplasma homogen, kandungan sitoplasma sedikit membentuk agregat. Dengan 500 mmol/l asam format atau asam propinat menyebabkan kerusakan yang parah pada sitosol, tetapi

membran sitoplasma dan dinding sel tidak rusak. Kejadian ini menunjukkan bahwa antimikroba bekerja pada sitosol. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penghambatan DNA, sementara makromolekul yang lain seperti RNA, protein, dan lipid terus disintesis tanpa membelah akibatnya ukuran sel menjadi besar. .

Ekstrak air teh hijau (Camellia sinensis) menyebabkan perubahan morfo-logi yang ekstensif pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA) galur US12 (Hamilton-Miller dan Shah, 1999). Pada konsentrasi 256 μg/l (1/2 MIC) pembelahan sel dan pemisahan sel menjadi sangat kacau, sehingga sel menjadi besar dengan terbentuk septa yang banyak sampai 14 koki ditemukan dan tidak terpisah. Pada keadaan ini dinding sel bagian luar normal sementara pada bagian dalam menebal. Perubahan morfologi seperti ini tidak ditemukan pada perlakuan ekstrak yang sama pada S. aureus yang sensitif terhadap metisilin

3. Penebalan Dinding Sel

Kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin menyebabkan penebalan dinding sel 3-4 kali dari normal pada sel S. aureus (Gemmel dan Lorian, 1996). Staphylococcus yang ditumbuhkan di dalam rifampisin terjadi perubahan ultra-struktur pada konsenrasi 3-20 kali MIC. Dinding sel periferal meningkat ketebalannya 3-4 kali dari normal dengan permukaan luar yang berombak dan ketebalan septa 2-10 kali dari normal. Rifampisin menghambat sintesis protein. Kloramfenikol menghasilkan perubahan dengan karakteristik : ribosom hilang dari pusat sel, agregasi mengarah ke membran sitoplasma, sementara agregat material inti mengarah ke pusat sel. Bila Gram positif bentuk batang seperti B. cereus dikontakkan pada kloramfenikol dinding sel menebal, mirip dengan perubahan yang diamati pada sel S. aureus.

S. epidermis yang resisten terhadap vankomisin ditumbuhkan di dalam media yang mengandung vankomisin (30 ug/ml), sel berubah secara menyolok yaitu terjadi penebalan dan kerusakan dinding sel dan pembentukan septa yang abnormal (McGuire dan Conrad, 2000).

4. Terbentuknya Tonjolan (Blebs) pada Permukaan Sel

Melalui scanning electron microscope (SEM) S. aureus yang kontak dengan 0,1 MIC sefalotin selama 3 jam perubahan yang terjadi adalah terbentuk tonjolan pada permukaan sel dengan letak yang tidak beraturan (Klainer, 1974). Kontak sefalotin selama 90 jam, efek yang lebih besar ditemukan terbentuk tonjolan seperti batu, dinding sel rusak, ukuran sel menjadi lebih besar dengan permukaan yang kasar seperti mosaik. Sel berbentuk batu dengan permukaan kasar ditemukan semakin banyak pada sel yang dikontakkan dengan 10 MIC sefalotin selama 3 jam. Metisilin juga memperlihatkan bentuk kerusakan yang sama berupa kerusakan dinding sel berbentuk batu yang besar. Perubahan sel ini menunjukkan bahwa senyawa antimikroba bekerja pada dinding sel mempe-ngaruhi sintesis dinding sel. Hal ini juga ditemui pada streptomisin, eritromisin, kloramfenikol dan tetrasiklin.

Bermacam-macam senyawa antimikroba diketahui mengganggu sintesis protein pada tahap yang berbeda-beda (kanamisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan tobramisin). Beberapa obat menyebabkan perubahan permukaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan tempat khusus kerja antibiotik seperti yang ditemui pada galur yang sama dari S. aureus yang dikontakkan pada bermacam-macam konsentrasi sulfametoksazol. Perubahan sel oleh sulfametoksazol ini sama bentuknya dengan kerusakan oleh tetrasiklin, kloramfenikol dan tobramisin walaupun mekanismenya berbeda. Hal ini secara jelas mendemonstrasikan bahwa tempat kerja senyawa antimikroba adalah intraseluler yang bisa menyebabkan perubahan morfologi yang sama. Jadi perubahan sintesis protein dapat menye-babkan perubahan permukaan morfologi sel.

Tergantung dari spesies dan jenis obat, bentuk lain dari sel dapat terjadi. Polimiksin menghasilkan bentuk yang unik dari P. aeruginosa yaitu terbentuk tonjolan pada permukaan luar dinding sel (Gemmel dan Lorian, 1996). Pada galur yang kekurangan lipopolisakarida tonjolannya datar dan lebih kecil. Jika konsentrasi polimiksin meningkat, tonjolan dalam bentuk lubang kecil pada permukaan luar ditemui. Tonjolan yang sama juga terjadi pada E. coli, Serratia marcescens dan Salmonella sp yang dikontakkan pada polimiksin. Studi dengan E

coli membuktikan bahwa tonjolan yang terjadi adalah tonjolan pada lapisan luar dari membran luar sel.

Dokumen terkait