• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DAFTAR PUSTAKA

B. WANITA KARIER DAN MELAJANG

2. Melajang

Lajang atau hidup sendiri (single), yakni orang yang tidak menikah, sedang tidak terlibat hubungan romantis dengan lawan jenis

13

dan juga tidak memiliki teman yang tinggal dan hidup bersama di tempat tinggal yang sama. Melajang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hidup melajang atau hidup sendiri. Dariyo (2004) menambahkan bahwa hidup sendiri adalah salah satu pilihan hidup yang ditempuh oleh seorang individu. Hidup sendiri berarti ia sudah memikirkan resiko-resiko apa saja yang akan timbul sehingga mau tidak mau ia harus siap menanggung segala kerepotan yang muncul dalam perjalanan hidupnya Hal ini berarti bahwa melajang atau lajang adalah seseorang yang hidup sendiri dan tidak menikah (Stein, 1976, dalam Sutanto & Haryoko, 2010 ; kbbi, 2015; dan Dariyo, 2004). Seorang wanita yang masih lajang atau melajang dengan statusnya mereka memperoleh keuntungan, yakni: kebebasan, kesenangan, waktu untuk membangun sebuah persahabatan, dan adanya kepuasan akan materi yang dapat dinikmati sendiri (Rouse, 2006, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010). Wanita lajang dapat memperoleh rasa keintiman melalui hubungan pertemanan yang di dalamnya terdapat kasih sayang, komitmen, dan dapat berlangsung hingga waktu yang lama (Peter Stein, 1981, dalam Sutanto dan Haryoko, 2010).

Berikut Shostack (dalam Pratiwi, 2007) menjabarkan beberapa tipe wanita lajang:

1. Ambivalent

Tipe ini merupakan individu yang secara suka rela melajang dan menganggap kesendiriannya adalah sementara.

14

Mereka tidak mencari pasangan untuk menikah, tetapi tetap terbuka dengan rencana-rencana menikah. Biasanya wanita dengan tipe ini lebih mengutamakan pendidikan, karier, dan kesenangan.

2. Wishful

Individu yang termasuk dalam tipe ini adalah mereka yang aktif mencari pasangan, akan tetapi belum menemukan yang cocok. Dengan kata lain, mereka sudah siap untuk menikah.

3. Resolve

Tipe ini adalah individu yang melajang dikarenakan pilihan mereka sendiri, seperti: romo atau pastor, biarawan, biarawati, dan sebagainya.

4. Regretful

Tipe ini sebenarnya mereka memilih untuk menikah. Akan tetapi karena menyerah pada nasib, mereka tidak bisa menikah. Misalnya saja mereka yang memiliki cacat secara fisik maupun psikis, kaum lesbian, dan sebagainya.

Berikut ini terdapat alasan menurut para ahli mengapa wanita melajang: 1. Kehidupan pribadi yang bebas

Dariyo (2004) mengatakan bahwa wanita ingin menjalani hidup secara bebas. Hidup sendiri dipilih seseorang untuk menyenangkan diri sendiri tanpa diganggu dengan kehadiran orang lain. Pilihan apapun yang dilakukan diharapkan dapat memenuhi

15

kebutuhan diri mereka sendiri. Artinya, seseorang dapat bebas menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa diganggu. Hidup sendiri merupakan pilihan yang harus dijalani sepanjang hidupnya dengan menerima konsekuensi positif dan negatif. Serupa dengan Wulandari, Nurlasam dan Ibrahim (2015) yang mengatakan bahwa wanita ingin menjalani kehidupan yang pribadi secara bebas. Sejalan dengan feminisme liberal, yakni pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Perempuan juga harus menuntut haknya tanpa harus bergantung pada laki-laki. Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010) menambahkan bahwa adanya gaya hidup yang menggairahkan juga dapat mempengaruhi wanita untuk melajang. Artinya, gaya hidup yang bisa dinikmati sendiri tidak ada yang mengatur dirinya kapan harus berada di rumah tepat waktu.

2. Besarnya peluang untuk meningkatkan jenjang karier.

Dariyo (2004) mengatakan bahwa wanita karier terlanjur memikirkan karier pekerjaan tidak menutup kemungkinan, individu yang mencapai jenjang karier tinggi akan merasa kesulitan memperoleh jodoh yang diharapkan karena tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Akhirnya, setelah lama tidak menemukan pasangan yang sesuai, maka ia sibuk dengan kariernya. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Nursalam dan Ibrahim

16

(2015) yang mengatakan bahwa wanita karier terlalu memikirkan karier dan pekerjaannya. Dalam terori feminisme, kaum wanita ingin memperjuangkan haknya agar dapat setara dengan laki-laki. Hal ini semakin didukung dengan perkembangan jaman yang mengakibatkan semakin meningkatnya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010) menambahkan faktor yang serupa, yakni adanya keinginan untuk meniti karier dan senang berpergian. Meniti karier yang disenangi dapat menjadikan wanita karier menikmati dan ingin memperoleh kedudukan yang lebih. Selain itu, senang berpergian kemanapun yang diinginkan merupakan hal yang menyenangkan untuk menikmati hasil kerja keras sendiri.

3. Ketidakcocokan dengan lawan jenis.

Dariyo (2004) berpendapat bahwa wanita karier menunda untuk menikah karena adanya perasaan trauma pada masa lalu. Perasaan yang dipermainkan oleh kekasih menjadi penyebab munculnya perasaan takut untuk membangun rumah tangga. Akibatnya, mereka merasa takut untuk membentuk kehidupan rumah tangga. Selain itu, ada yang berpandangan bahwa dengan hidup berumah tangga berarti akan melahirkan, mengurusi, mendidik anak-anak, dan mengurus pasangan. Hal ini berarti, ia tidak dapat berkonsentrasi mencapai keinginan yang

dicita-17

citakannya. Faktor yang hampir serupa menurut Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010), yakni sering gagal dalam mencari pasangan hidup dan tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang sesuai dengan kriteria (Nanik dan Hendriani, 2016). Sering gagal mencari pasangan dikarenakan adanya kriteria tertentu yang kurang sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, wanita karier sulit mendapatkan pasangan.

4. Trauma perceraian.

Dariyo (2004) mengatakan bahwa adanya pilihan untuk menunda pernikahan disebabkan karena trauma perceraian. Bagi sebagian orang perceraian merupakan hal yang biasa. Kerap kali setelah menikah tidak lama kemudian perkawinan hancur karena masing-masing pasangan memilih hidup sendiri. Bagaimanapun peristiwa perceraian memberikan dampak luka batin yang tidak mungkin dilupakan seumur hidup, baik wanita maupun pria. Dengan hidup sendiri, seseorang merasa bebas menikmati seluruh aktivitas yang dilakukan tanpa memperoleh gangguan dari pihak lain. Hurlock (1990) menambahkan faktor lain, yakni kekecewaan di masa lalu yang dialami dalam keluarga dengan pengalaman pernikahan dan kehilangan kepercayaan dalam dirinya terhadap pernikahan karena trauma masa lalu orang tua (Nanik dan Hendriani, 2016). Kecewa di masa lalu terhadap pengalaman

18

pernikahan menjadikan seseorang untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan kembali dengan lawan jenis. Adanya rasa takut dalam diri sendiri apabila terulang kembali ketika menjalin hubungan baru.

5. Perasaan dibutuhkan oleh keluarga di rumah.

Wulandari, Nursalam dan Ibrahim (2015) mengatakan bahwa adanya perasaan dibutuhkan oleh keluarga di rumah menjadikan wanita karier menunda pernikahan. Sejak kecil orang tua selalu merawat anaknya. Inilah saatnya membalas jasa orang tua. Adanya rasa kasihan pada orang tua menjadikan seseorang untuk lebih bertanggung jawab. Hal ini didukung juga dengan peryataan dari Hurlock (1990) yakni wanita karier menganggap dirinya mempunyai tanggung jawab dan waktu untuk orang tua dan saudara-saudaranya.

6. Kenyamanan untuk hidup sendiri tanpa pasangan.

Kartono (2006) mengatakan bahwa adanya sikap egosentrisme atau narsisme yang berlebihan pada diri wanita karier. Cinta yang berlebihan pada diri sendiri. Cinta diri atau narsisme adalah hal wajar, bahkan sangat perlu untuk mempertahankan harga diri. Apabila berlebihan, akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang kedua adalah musim

19

pasang dari kebudayaan. Adanya perubahan secara teknologi dan kepandaian manusia yang lama kelamaan melupakan agama dan hanya menjadikan individu semakin individualis. Wulandari, Nursalam dan Ibrahim (2015) menambahkan bahwa adanya prioritas-prioritas kehidupan lainnya. Kebanyakan dari mereka yang masih lajang mengatakan bahwa menikah bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Apalagi saat ini perkawinan tidak selamanya bahagia karena semakin banyaknya kekerasan dalam rumah tangga, poligami, dan perceraian. Sumber lain menambahkan terlalu lama sandiri sehingga sudah nyaman dengan keadaan yang dialaminya (Nanik dan Hendriani, 2016).

7. Masalah ideologi dan panggilan agama.

Individu yang mempercayai suatu kepercayaan tertentu (ideologi politik atau agama tertentu) dan berusaha untuk mempertahankan keyakinan tersebut, ia memilih untuk tidak menikah. Rasul Paulus salah satu contoh orang yang melakukan kehidupannya sendiri. Orang yang memilih untuk hidup selibat dianggap sebagai orang yang mempunyai keputusan untuk hidup suci karena sepanjang hidupnya tidak akan pernah menikah dan tidak akan pernah melakukan hubungan seks dengan siapapun (Dariyo, 2004).

20

8. Tidak pernah mencapai usia kematangan sebenarnya.

Kematangan bukan semata-mata hanya mental dan fisik saja, akan tetapi juga harus mencapai kematangan secara sosial, seperti mampu beradaptasi pada lingkungan sosial di tengah masyarakat dan mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Kematangan ini sudah seharusnya dimiliki oleh setiap individu karena berguna untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan juga pasangan setelah menikah(Kartono, 2006).

9. Ketakutan akan munculnya konflik dalam keluarga.

Banyaknya kekerasan dalam rumah tangga dan berujung pada perceraian. Pengalaman rekan kerja yang sudah berkeluarga mengenai kehidupan ekonomi dan kebutuhan anak untuk bersekolah juga menjadikam pertimbangan seseorang untuk menikah (Nursalam dan Ibrahim 2015).

10.Identifikasi secara ketat terhadap orang tua.

Adanya kelekatan dengan orang tua dari usia kanak-kanak yang menjadikan seorang wanita dewasa sulit menemukan pasangan atau calon suami yang sesuai dengan dirinya. Setiap kali ia bertemu dengan seorang pria selalu saja hasilnya kurang sukses karena ia selalu terbayang dengan sosok ayahnya. Wanita yang

21

seperti ini tidak akan bisa terlalu lama terpisah dari ayahnya. Lama-kelamaan akan sulit mendapatkan pasangan (Kartono, 2006).

11.Anggapan bahwa diri tidak menarik.

Menurut Hurlock (1990, dalam Noviana dan Suci, 2010), dengan usia yang sudah seharusnya menikah, wanita lajang merasa tidak memiliki ketertarikan khusus pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh adaya rasa kurang percaya diri untuk tampil di depan orang lain terutama denagan lawan jenis.

Dokumen terkait