BAB III : AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM PRAKTEK HUKUM PIDANA
AJARAN SEBAB AKIBAT DALAM UNDANG-UNDANG
B. Hubungan Sebab Akibat, Bersifat Melawan Hukum Dan Kesalahan Dalam Tindak Pidana
1. Melawan Hukum
a. Istilah melawan hukum dan melawan undang-undang
Perbedaan pengertian hukum dan undang-undang, berakibat harus memperbedakan pengertian dari “bersifat melawan hukum” terhadap “bersifat melawan undang-undang”. Bersifat melawan undang-undang, berarti bertentangan dengan undang-undang, atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan dalam undang-undang, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Bersifat melawan hukum, berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh huku m. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah hukum positif (yang berlaku).
Arrest HR tanggal 31 desember 1919 tentang Pasal 1365 BW, mengenai pengertian dari “tindakan yang tidak sesuai dengan hukum” (onrechtmatige
daad) yaitu merusak hak subjektif seseorang menurut undang-undang ;
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban (hukum) pelaku menurut undang-undang; melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan; dan melakukan sesuatu yang bertantangan dengan kepatutan dalam masyarakat, diikuti oleh banyak sarjana. Dalam hal ini Pompe
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
mempersamakan “tindakan yang tidak sesuai dengan hukum” dengan “bersifat melawan hukum”.
Simon mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik, beliau mengatakan agar berpegangan kepada norma delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana. Jika ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap terikat pada perumusan undang-undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah yang dengan tegas dirumuskan dalam undang-undang dalam rangka usaha pembuktian.
b. Bersifat melawan hukum sebagai unsur delik
Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana yang berlaku sekarang, bersifat melawan hukum (dari suatu tindakan) tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur delik. Akibatnya timbul persoalan, apakah bersifat melawan hukum, harus selalu dianggap sebagai salah satu unsur delik, walaupun tidak dirimuskan secara tegas, ataukah baru dipandang sebagai unsur dari suatu delik, jika dengan tegas dirumuskan dalam delik? Pasal-Pasal KUHP yang dengan tegas mencantumkan bersifat melawan hukum antara lain adalah Pasal-Pasal 167, 168, 333, 335, 362, 368, 378, 406, dan sebagainya.
Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan adalah bersifat melwan hukum, apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-undang, karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xxxiii
perkataan lain semua tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, atau suatu tindadakan yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat melawan hukum itu dirumuskan atau tidak, dalah tindakan-tindakan bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum itu hanya akan hilang atau ditiadakan, jika ada dasar-dasar peniadaannya ditentukan dalam undang-undang.
Para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan hukum dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat melawan hukum itu. Karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dalam rangka penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam delik, menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.
Sebaliknya para sarjana yang berpandangan material tentang bersifat melawan hukum, mengatakan bahwa bersifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap delik, walaupun tidak dengan tegas dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan bahwa pengertian dari hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam bersifat melawan hukum, tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi, yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum. Dengan perkataan lain
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
bersifat melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat, atau tidak terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan perwujudan cita-cita masyarakat.
Seseorang dari ekspedisi penyelidikan telah menembak salah seorang rekannya yang terluka parah atas permintaan rekannya tersebut. Hal tersebut dilakukan karena tidak mungkin ada pertolongan pengobatan, tanpa mana tidak mungkin lagi ia sembuh, dan demi menghindarkan penderitaan yang berlarut-larut dari rekannya tersebut. Tindakan tersebut sudah memenuhi unsur-unsur Pasal 344 KHUP. Apakah tindakan terseut juga bersifat melawan hukum? Menurut penganut ajaran bersifat melawan hukum material, dalam hal-hal seperti tersebut tindakan itu tidak bersifat melawan hukum, walaupun telah memenuhi unsur dari suatu delik. Hal itu dikatakan tidak sebagai bersifat melawan hukum, karena tindakan tersebut tidak bertentangan dengan suatu kepatutan dalam masyarakat.
Menanggapi pandangan tersebut, Pompe mengemukakan pandangannya. Bahwa bersifat melawan hukum selalu merupakan salah satu unsur dari suatu delik adalah terlalu jauh. Hal itu terutama didasarkan pada sistematika atau metode yang dianut oleh undang-undang, yang dalam beberapa delik ditentukan sebagai unsur, sedangkan dalam delik lainnya tidak. Beliau sejalan dengan pandangan yang formal dalam hal bersifat melawan hukum tidak dirumuskan sebagai unsur delik, dan sejalan dengan yang berpadangan material dalam hal sifat melawan hukum dicantumkan sebagai unsur delik.
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xxxv
Menurut beliau, ketentuan-ketentuan yang kurang memuaskan sehubungan dengan sifat melawan hukum hamper selalu ditanggulangi dengan “dasar peniadaan bersifat melawan hukum” yang ditentukan dalam Pasal 48 KUHP (dengan menggunakan penafsiran secara luas ataupun analogi)
Seterusnya dikatakan adanya beberapa pasal dengan istilah yang berbeda, menunjukkan adanya bersifat melawan hukum terkandaung di dalamnya, jika diinterpretasikan secara teologis. Sehingga sekiranya bersifat melawan hukum itu tidak ada, dapat diselesaikan diluar hukum pidana; seperti terdapat dalam Pasal-Pasal; 302 KUHP (tanpa tujuan yang wajar), 290 KUHP (tindakan asusila), 282 KHP (melanggar kesusilaan). Beliau mengatakan bahwa pembuat undang-undang telah merumuskan sedemikian itu, yaitu pada umumnya delik-delik itu adalah selalu bersifat melawan hukum. Jika ternyata demikian maka tersangka dapat membela diri dengan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Pada beberapa delik dirumuskan secara tegas unsur bersifat melawan hukum, karena dikhawatirkan jika seseorang menjalankan hak atau kewajibannya akan dipidana, karena telah memenuhi unsur-unsur delik tersebut yang apabila bersifat melawan hukum tidak secara tegas dicantumkan sebagai unsurnya.
Metode pembuatan undang-undang berpijak kepada tujuan tertentu (doelmatigheid). Karenanya dipermudah penerapan hukum dalam kejadian-kejadian yang konkrit. Dan juga karena bukti-bukti yang harus diajukan kepada hakim terbatas.
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
1) Penganut bersifat melawan hukum formal
Penganut bersifat melawan hukum yang formal mengatakan, bahwa setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari tindakan pelanggaran tersebut. Dengan demikian dalam hal delik tidak dengan tegas menyatakan bersifat melawan hukum sebagai unsur, sudah dengan sendirinya bersifat melawan hukum ada, dan tidak perlu lagi dibuktikan. Tetapi jika dengan tegas dicantumkan bersifat melawan hukum sebagai unsur delik maka harus dibuktikan adanya bersifat melawan hukum itu. Pendirian ini dihubungkan dengan sejarah pencantuman bersifat melawan hukum sebagai unsur delik. Yaitu dikhawatirkan, jika bersifat melawan hukum tidak disebut sebagai unsur delik, maka seseorang yang benar-benar menjalankan hak/kewajibannya akan dapat dianggap telah melakukan suatu delik tertentu. Untuk menguatkan pendirian tersebut, beberapa contoh diberikan sebagai berikut :
a. Kasus penganiayaan (Pasal 351 KUHP)
Jika A memukul B, dan B mendapat luka karenanya, maka A telah melanggar delik penganiayaan tersebut Pasa 351 ayat 1 KUHP. Tidak perlu diselidiki lagi, apakah pemukulan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Pemukulan itu sudah dengan sendirinya bersifat melawan hukum karena telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang.
b.Kasus melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP)
C berada dalam keadaan telanjang bulat di tempat umum. Dalam hal ini C telah melakukan delik Pasa 281 KUHP. Tindakan itu dengan sendirinya sudah
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xxxvii
bersifat melawan hukum, karena memenuhi perumusan pasal tersebut. Tidak perlu lagi diselidiki apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.
c. Kasus memasuki rumah dengan paksa (Pasal 167 KUHP)
Seandainya dalam Pasal 167 KUHP tidak dinyatakan dengan unsur bersifat melawan hukum, maka seseorang pegawai penyidik atau jaksa memaksa memasuki rumah untuk menjalankan tugasnya, dapat dipersalahkan melanggar Pasal 167 KUHP. Justru dengan adanya unsur bersifat melawan hukum pada pasal tersebut, maka harus dibuktikan apakah pegawai tersebut benar-benar sedang melakukan tugasnya atau tidak. Dalam hal ia benar menjalankan tugasnya, maka tindakannya memasuki rumah tersebut dengan paksa tidak bersifat melawan hukum, tetapi jika tidak dalam rangka pelaksanaan tugas, maka tindakannya itu adalah bersifat melawan hukum.
d.Kasus perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP)
Dalam Pasal 333 KUHP, jika bersifat melawan hukum tidak dicantumkan, maka pegawai penyidik/jaksa yang menangkap dan menahan seseorang penjahat, sudah dapat dituntut atas dasar Pasal 333 KUHP, karena tindakannya tersebut.
Alasan-alasan yang diberikan oleh penganut bersifat melawan hukum formal dalam pendiriannya yaitu : Dari adigum “setiap orang mengetahui undang-undang” (een ieder wordt geacht de wet te kennen), maka tidak perlu lagi dicari, apakah tindakan seseorang itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat atau tidak. Kemudian apabila dianut pendirian bersifat melawan hukum material, maka setiap orang dapat membela diri dengan mengatakan
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
bahwa ia tidak mengetahui perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Berarti hakim harus membuktikan sifat terlarang dari perbuatan tersebut, dan harus dapat menginsyafkan kepada terdakwa bahwa perbuatan itu adalah terlarang. Akibatnya, ada kemungkinan hakim akan melepaskan (ontslag van rechts vervolging) terdakwa, yang berarti berlakunya KUHP diperlunak karenanya. Atau kemungkinan hakim akan menciptakan undang-undang atau mengadakan penafsiran sendiri yang tidak terlepas dari pengaruh subjektifitasnya, sehingga akan terdapat bermacam-macam penafsiran yang berbeda-beda yang akan mengakibatkan ketidak pastian hukum.
2) Penganut bersifat melawan hukum material
Para penganut bersifat melawan hukum yang material mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur bersifat melawan hukum dan harus dibuktikan. Tetapi sehubungan dengan pembuktian, jika bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas sebagai unsur delik, atau bersifat melawan hukum tidak dinyatakan dengan tegas akan timbul keragu-raguan apakah menurut masyarakat tindakan itu bersifat melawan hukum, maka dalam dua hal tersebut harus ada usaha pembuktian.
Penganut bersifat melawan hukum material memberikan alasan-alasan, bahwa delik itu tidak hanya mempersoalkan tindakan-tindakan yang terlarang saja, tetapi juga mempersoalkan, apakah pelaku dapat dicela karena melakukan suatu tindakan yang tercela. Pelaku harus dapat dipersalahkan
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xxxix
karena ia tidak menghindari melakukan tindakan yang tercela, yang bersifat melawan hukum. Penyamaan arti bersifat melawan hukum dengan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum harus disandarkan dengan paham kemasyarakatan, yaitu kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat.
Hakim adalah juga merupakan sumber hukum. Dalam praktek, suatu putusan hakim jika diikuti oleh hakim-hakim yang lainnya dalam perkara/persoalan yang sama berfungsi sebagai hukum juga. Sehubungan dengan peranan hakim sebagai sumber hukum, bahwa hakim wajib mengikuti perkembangan kesadaran masyarakat. Hakim tidak boleh menolak untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara dengan alasan tidak terang hukumnya.
d. Peniadaan sifat melawan hukum
Dalam undang-undang hukum pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang meniadakan sifat melawan hukum dari suatu tindakan. Ketentuan tersebut adalah :
1. Mengenai orang cacad atau sakit jiwa/ingatan
Seseorang yang jiwanya cacad pertumbuhannya atau terganggu oleh penyakit, jika melakukan suatu tindak pidana, dalam keadaan seperti itu, dihapuskan pemidanaan kepadanya. Berarti dapat disimpulkan bahwa disamping kesalahannya ditiadakan, juga sifat melawan hukum ditiadakan.
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
2. Seseorang yang melakukan tindakan karena terpaksa
Dari Pasal 48 KUHP, setelah diinterpretasikan secara luas, seseorang telah memilih untuk melakukan salah satu tindakan dari :
a. dua atau lebih kewajiban hukum yang bertentangan
b. dua atau lebih kepentingan hukum yang bertentangan, atau c. kewajiban hukum dan kepentingan hukum yang bertentangan Berarti ia tidak melakuakan tindakan yang lainnya, dalam hal ini yang diutamakannya adalah yang lebih penting. Maka terhadap tindakan untuk tidak melakukan yang lainnya itu, dapat disimpulkan sebagai tidak bersifat melawan hukum atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan.
3. Seseorang yang melakukan perlawanan-terpaksa 4. Seseorang yang melakukan ketentuan undang-undang 5. Seseorang yang melakukan perintah jabatan
6. Seseorang yang membunuh musuh
Dalam undang-undang pidana lainnya, seperti misalnya Pasal 32 KUHP Militer, seorang militer yang membunuh dalam pertempuran sesuai dengan ketentuan Internasional, tidak bersifat melawan hukum
atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan. 7. Seseorang yang menolak jadi saksi.
2. Kesalahan (Schuld)
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xli
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi delik dalam undang-undangdan tidak dibenarkan (an objective breach of penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjetive guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan atas atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut.
Disini berlaku apa yang disebut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” (Keine strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld atau Nulla poena sine
culpa). Asa ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain,
numun berlakunya asas tersebut tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apa bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 24 Tahun 2004) berbunyi : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat dikenal juga dari pepatah jawa “sing salah, seleh” (yang bersalah pasti salah).
Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada sipembuat. Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan mempunyai sejarah sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan hukum pidana yang menitik
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
beratkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau
Erfolgstrafrecht) kearah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan
tindak pidana (taterstrafrecht),tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari
Taterstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang dewasa ini dapat disebut
sebagai “Tat-Taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut sebagai
Schuldstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana disyaratkan adanya
kesalahan sipembuat. Ternyata bahwa asas kesalahan itu pada masa dahulu tidak diakui secara umum. Pidana dijatuhkan hanya melihat kepada perbuatan yang merugikan atau yang tidak dikehendaki, tanpa memperhatikan sikap batin sipembuat. Kemudian keadaan ini berubah, sehingga pertanggungan jawab seseorang atas perbuatannya didasarkan pula atas sikap batin orang yang berupa kesalahan.
Peranan unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di negara-negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit
reum, nisi mens sit rea” atau diingkat asas “mens rea”. Arti aslinya adalah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Mens rea merupakan subhective guilt
yang melekat pada sipembuat. Subjective guilt ini berupa intent (kesengajaan) atau setidak-tidaknya negligence (keapaan). Di Uni Soviet, dalam Fundamental of
criminal Legislation for the U.S.S.R and the Union Republics (yang disetujui oleh
Soviet Tertinggi tanggal 25 Desember 1958) tercantum dalam Pasal 3 : “Only a
person guilty of the commission of the crime that is who has, either deliberately or by negligence, committed any of the socially dangerous acts defined by the
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xliii
criminals laws, deemed liable to criminal responsibility and to punishment”. Dari
pasal ini dapat juga disimpulkan ketentuan “tiada pertanggung jawaban atau pemidanaan tanpa adanya kesalahan”, baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan.
Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan lebih dulu pada sipembuat. Soal kesalahan ada hubungannya dengan kebebabasan kehendak. Mengenai hunbungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidaknya adanya kesalahan ada 3 (tiga) pendapat dari :
a) Kaum indeterminis (penganut determinisme), yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan.
b) Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak mempunyai kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatannya dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat, dan
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
bukannya pidana dalam arti “penderitaan sebagai buah hasil dari kesalahanoleh sipembuat”.
c) Golongan ketiga mengatakan : ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada tidak adanya kehendak bebas.
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dibawah ini disebutkan pendapat-pendapat para ahli mengenai kesalahan sebagai pengertian hukum.
a. Merger mengatakan : Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya pencelaan pribadi terhadap sipembuat tindak pidana.
b. Simons mengertikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal-ethisch” dan mengatakan antara lain : Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan pcychisch dari sipembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatan dapat dicelakan kepada sipembuat.
c. Van Hamel mengatakan, bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian pcychologis, hubungan antara keadaan jiwa sipembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah tanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de verantwoordelijkheid rechtens). d. Van Hattum berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat psikis yang terdapat pada keseluruhan yang berupa strafbaarfeit
Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas) Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek (Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe), 2008.
USU Repository © 2009
xlv
termasuk sipembuatnya.
e. Pompe mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak sipembuat adalah kesalahan.
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 (dua) sudut :
- menurut akibatnya adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) - menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid)
perbuatan yang melawan hukum.
Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld” melainkan verantwoordelijkheid
rechtens seperti dikatakan oleh Van Hamel. Namun demikian untuk adanya
kesalahan harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass recht ist das ethisce minimum”. Setidak-tidaknya sipembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat dalam hidupnya yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.
Pernyataan kesalahan itu mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak senantiasa orang yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati