HIKMAH HAJI:
A. MEMAKNA IBADAH HAJI SECARA KONTEKSTUAL
Ibadah haji adalah termasuk ibadah fisik, serta suatu simbol dari puncak “ketangguhan pribadi” sekaligus puncak “ketangguhan sosial” seorang muslim. Ibadah haji merupakan sublimasi dari totalitas rukun iman; lambang perwujudan akhir dari langkah-langkah penyelarasan nyata antara suara hati dan aplikasi. Ibadah haji juga merupakan simbol langkah sempurna; transformasi dari suatu pemikiran yang ideal (fitrah) ke alam nyata secara sempurna. Dengan kata lain ibadah haji suatu manifestasi keselarasan antara idealisme dan langkah nyata, keselarasan antara Iman dan Islam. Inilah simbol dari impian ideal menjadi kenyataan/kegiatan ideal, serta simbol keberhasilan dari impian manusia. Dorongan suara hati yang sempurna untuk menjadi tindakan dan langkah (karya) yang nyata dan paripurna.
Secara prinsip, ibadah haji merupakan langkah yang berpusat kepada Allah Swt karena segala tujuan tidak lagi berprinsip kepada yang lain, selain kepada Allah. Prinsip yang semacam ini akan melahirkan ketangguhan pada diri seseorang mentalitas (jiwa) yang luar biasa.
Secara sosial ibadah haji nerupakan simbol dari kolaborasi tertinggi, yaitu pertemuan umat manusia pada skala tertinggi, dimana seluruh umat Islam sedunia berkumpul dalam tempat yang sama, dengan niat yang sama, dasar yang sama, pakaian sama, dan tujuan sama yaitu beribadah kepada Allah Swt, serta untuk memperoleh ridha-Nya. Inilah syarat sinergi terdahsyatnya kesamaan langkah dan gerak yang dilandasi dengan kesamaan prinsip dalam suatu pertemuan akbar, juga dapat dimafaatkan untuk bershilaturrahim antara
bangsa-bangsa yang akan dapat melahirkan ketangguhan sosial yang sebenarnya. Hal ini tidak hanya sinergi antara manusia dengan manusia (hablum minannaas), atau antara negara dengan negara (bangsa-bangsa), akan tetapi juga antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah). Inilah kolaborasi yang amat fondamental yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw pada haji Wada’, dan dibuktikan kehebatannya pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, ketika zaman kejayaan (keemasan) Islam. Pada saat itulah Islam melahirkan generasi peretas terbaik (khaira ummah) bagi seluruh umat manusia, yaitu lahirnya manusia-manusia berhati emas dan bermental baja.
Semua langkah saat ibadah haji merupakan perwujudan suara hati manusia yang fitrah. Setiap gerak, tindakan/perbuatan, nafas serta detak jantung yang berdenyut hanya berpusat kepada Allah Swt, inilah perwujudan kedekatan (taqarrub) antara manusia dan Penciptanya. Hasil akhir dari ini semua adalah haji yang “mabrur” sebuah potret yang jelas serta konkret tentang impian manusia yang sesungguhnya, idealisme nilai dan idealisme tujuan terpampang jelas pada bingkai hati dan pemikiran bagi orang- orang yang telah melaksanakannya. Hal ini sangat memudahkan bagi seseorang untuk menjalani hidup, ketika ia telah memiliki “peta penunjuk arah” kehidupan yang akan datang. Karena potret tersebut merupakan pedoman serta konsep yang jelas tentang rencana hidup, rencana pemikiran, dan rencana pelaksanaan kehidupan seseorang di masa yang akan datang.
Di samping itu ibadah haji adalah pembangunan paradigma (New Paradigm Shift), atau lebih pada upaya mengubah paradigma dasar yang fitri sebelumnya sudah dimiliki, yang mungkin telah terkontaminasi dengan pola kehidupan yang menyimpang (negatif), dengan sebuah paradigma baru, yaitu: “Paradigma Haji”.
Paradigma haji adalah sebuah visi yang terbentuk melalui pengalaman dalam pelaksanaan ibadah haji. Paradigma ini adalah suatu langkah/modal yang pertama dalam alam pikiran (hakekat dakhiliyyah). Apabila kita telah memiliki visi, maka langkah/modal yang pertama ini akan berlanjut kepada langkah yang kedua, yaitu perbuatan fisik yang nyata (hakekat kharijiyyah). Jadi, paradigma ibadah haji akan dapat melahirkan langkah/modal pertama berupa mental dan pikiran, sedangkan langkah yang keduanya adalah berupa perbuatan yang nyata yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harai, hal ini akan dapat diperoleh setelah menunaikan ibadah haji. Hanya sayangnya tidak banyak orang yang mau dan mampu menggali dan mengkaji secara mendalam makna filosofi dari ibadah haji, sehingga masih banyak seorang muslim yang menjalankan ibadah hanya sekedar gugur kewajiban, bahkan hanya terjebak formalitas, dan hanya titel haji yang didapatkan, karena ibadah haji yang telah dilaksanakan tidak membuat perubahan ke arah perbaikan yaitu “akhlakul karimah”.
ججقفع لجمكك نيمم نعييتمايجع رقمماضع لجمكك ىلعععوع اللاجعرم كعويتكايع ججمحعليابم سمانجعلا ىفم نيذجماعوع ققييممعع.
Artinya: “Dan umumkanlah kepada seluruh umat manusia agar mereka menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang ke tempat itu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta yang kurus, dari segenap pelosok penjuru dunia dan dari tempat-tempat yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” (Qs. Al-Hajj : 27)
Ibadah haji adalah termasuk salah satu dari Rukun Islam, oleh karena itu bagi siapa saja yang telah memiliki kemampuan (istitha’ah) maka mereka wajib menunaiakn ibadah hajji seumur hidup satu kali. Inilah sublimasi dari keseluruhan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) berdasarkan Rukun Iman, Rukun Islam, dan Ihsan. Ibadah haji merupakan puncak training, sekaligus ibadah utama untuk membangun ketangguhan pribadi, dan ketangguhan sosial. Ibadah haji
termasuk ibadah fisik, karena seluruh kegiatan ibadah dilakukan melalui gerakan-gerakan yang kongkret dan jelas. Seluruh prinsip dalam Rukun Iman, Rukun Islam dan Ihsan dilaksanakan secara total dan menyuluruh. Disinilah latak “transformasi puncak” dari keyakinan dan prinsip yang abstrak ke aplikasi gerak realitas yang jelas. Seluruh prinsip bisa dilihat secara kasat mata, seluruh langkah mengarah pada prinsip yang tunggal yaitu komitmen kepada Allah Yang Maha Esa. Semua ini dilakukan secara bersama-sama dengan prinsip yang satu (al-Jama’i). Sebelum melakukan ibadah haji, pelajari dulu ma’nanya secara mendalam, agar dapat memperolah ibadah haji yang maksimal dan mabrur.
Di samping itu ibadah hajji dapat dijadikan sarana forum shilaturrahim antar bangsa-bangsa yang bersifat global, forum shilaturrahim seperti ini Islam telah memberikan sarana lengkap, dimulai dari lingkup yang kecil 5 kali dalam satu hari satu malam, yaitu “shalat berjamaah” lima waktu, kemudian meningkat lingkup yang agak luas dalam 1 minggu satu kali, yaitu “shalat Jum’at”, meningkat lagi ke lingkup yang lebih luas dalam 1 tahun dua kali, yaitu shalat hari raya “Idul Fithri” dan “Idul Adhha”, dan yang terakhir lingkup yang bersifat internasional/global, tentunya bagi yang memiliki kemampuan (istitho’ah) seumur hidup 1 kali, yaitu “ibadah hajii, ke Baitullah di Makkah, inilah kurang lebih bagian dari ma’na filosofi ibadah hajji, tentunya masih banyak lagi apabila mau menggali makna filosofi haji.
Kaifiyat (tata cara) ibadah haji dan umrah yang diperagakan adalah:
1. Ihram (langkah zero mind
process), di Miqat Makani.
2. Wuquf (evaluasi, instruspeksi, dan visualisasi), di Padang Arafah.
3. Melontar Jumrah (menghadapi tantangan dan rintangan) dalam perjuangan, di 3 buah tugu (jamaraat) di Mina.
4. Thawaf (komitmen dan
integritas kepada Allah Swt), Ka’bah.
5. Sa’i (sebuah perjuangan), di Shafa dan Marwah.
6. Bacaan-bacaan dzikir dan do’a
yang telah dicontohkan Rasulullah Saw. HAJI MABRUR KETAT:
Antara Ibadah Berat dan Pahala Hebat
A. Muqaddimah
Ibadah haji termasuk ibadah ةعاطلا لضفا ,bentuk ketaatan yang paling utama. Ibadah haji pun sering disebut تابرقلا لجأ bentuk pendekatan yang hebat. Karena ibadah haji adalah bentuk totalitas ekspresi ketaatan dan pendekatan seorang hamba kepa Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dari proses seruan Allah SWT untuk melaksanakan haji melalui Nabi Ibrahim as, kemudian manusia menjawab dengan jawaban كيبل مهللا كيبل, kami datang untuk memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Allah ingin bukti dari jawaban kita semua.
Allah menguji ketaatan dan pendekatan kita dengan memerintahkan untuk mengenakan pakaian ihram, pakaian yang terdiri dari dua helai kain yang tidak dijahit, pakaian yang mengingatkan akan kematian, pakaian yang menjunjung persamaan derajat, pakaian yang tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam, pimpinan dan bawahan. Tersirat dari perintah itu, seolah-olah Allah ingin menguji, coba kamu akan mentaati perintah-Ku atau tidak dengan mengenakan pakaian ihram?
Allah menguji pula jawaban kita, dengan diperintah untuk mengelilingi sebuah bangunan batu tua yaitu Ka’bah sebanyak tujuh kali, apakah kamu akan mentaati perintah-Ku? Lalu Sa’i, wuquf di Arafah, melontar jumrah, dan lain-lain, Apakah kamu akan mentaati perintah-Ku?
Akhirnya kita melakukan perintah Allah dengan segenap totalitas ketaatan, ketundukan, keikhlasan tanpa protes sedikit pun. Ibadah haji dengan segenap totalitas ketaatan dan ketundukan seperti ini yang akan membawa kepada haji yang mabrur, haji yang akan berpengaruh dalam hidup dan kehidupan pelakunya setelah haji.