• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangkitkan daya saing industri

Dalam dokumen Juni Tangguh berkat reformasi (Halaman 40-50)

C. INDONESIA 2018 DAN SELANJUTNYA: TINJAUAN PILIHAN

1.  Membangkitkan daya saing industri

a. Perjalanan manufaktur Indonesia: keluar jalur akibat krisis tahun 1997

Kinerja manufaktur Indonesia merosot pasca krisis keuangan Asia…

Pertumbuhan manufaktur Indonesia mengalami kemunduran struktural setelah krisis keuangan Asia tahun 1997/98. Pertumbuhan manufaktur riil merosot dari 11 persen per tahun pada periode 1990-96 menjadi 4,8 persen pada periode 2001-14. Rendahnya kinerja manufaktur pasca tahun 2000 ini tampaknya menurunkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan (Gambar 26). Kuatnya korelasi antara pertumbuhan manufaktur dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi tidaklah mengejutkan karena manufaktur masih mencakup hampir seperlima dari jumlah produksi (output) dan 13 persen dari keseluruhan lapangan kerja di Indonesia.

… dan Indonesia mengalami “de-industrialisasi prematur”

Setelah mengalami kenaikan kuat pada tahun 1990an, proporsi manufaktur dalam total output mengalami penurunan tajam sejak tahun 2005, membuka jalan bagi pesatnya pertumbuhan jasa-jasa rendah keterampilan yang menyerap tenaga kerja yang keluar dari kegiatan pedesaan34 Saat perekonomian mencapai tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi, sektor jasa diharapkan melampaui manufaktur. Hal ini disebabkan oleh jauh lebih tingginya peningkatan permintaan untuk jasa dibandingkan untuk manufaktur, sejalan dengan kenaikan pendapatan rumah tangga.35 Namun untuk Indonesia, perubahan struktural ini terjadi pada tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan sebelum industrialisasi mencapai kematangan, yang mencerminkan “de-industrialisasi” yang prematur (Gambar 27).36

34 Lihat World Bank, 2014, “Indonesia development policy review: Avoiding the trap.”

35 Lihat Chenery, H., S. Robinson, and M. Syrquin, eds., 1986, “Industrialization and growth: A comparative study,” Oxford, U.S.: Oxford University Press untuk Bank Dunia.

36 Rodrik D. (2015) menghubungkan fenomena ini, yang juga terlihat pada banyak negara berkembang, dengan globalisasi dan kemajuan teknologi hemat tenaga kerja pada bidang manufaktur. Lihat Rodrik,

Gambar 26: Pertumbuhan manufaktur Indonesia tidak seperti sebelumnya…

(pertumbuhan dalam PDB dan output manufaktur riil, persen)

Gambar 27: …dan ekonomi mengalami de-industrialisasi prematur

(manufaktur sebagai bagian dari PDB, persen)

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia Sumber: UN-COMTRADE; perhitungan staf Bank Dunia

Pangsa manufaktur Indonesia di dunia tertahan pada tingkat yang rendah

Rendahnya kinerja manufaktur juga terlihat pada data ekspor. Setelah pernah menjadi salah satu pemain besar bidang manufaktur di dunia, pangsa manufaktur Indonesia di pasar dunia kini tertahan di kisaran 0,6 persen selama 15 tahun terakhir (Gambar 28). Ekspor juga tidak berkembang di Malaysia, namun pangsanya dua kali lipat dibanding Indonesia. Tren pada kedua negara ini sangat berlawanan dengan Tiongkok di mana pangsa pasarnya meningkat dari

2,5 persen ke 17 persen dari permintaan dunia. Yang lebih mengejutkan adalah kini Indonesia berada di belakang Vietnam, satu negara yang bahkan belum terdengar di pasar manufaktur dunia pada awal tahun 1990an.

Gambar 28: Pangsa pasar manufaktur Indonesia di dunia tertahan pada tingkat yang rendah

(bagian pasar manufaktur dunia, persen)

Sumber: UN-COMTRADE; perhitungan staf Bank Dunia

Komoditas telah melampaui manufaktur sebagai ekspor terbesar Indonesia sejak tahun 2006

Lemahnya kinerja ekspor manufaktur merupakan sisi lain dari lonjakan ekspor komoditas pada periode tahun 2003-12. Dari tahun 2000 hingga 2010, harga rujukan internasional untuk batubara, CPO, karet, dan minyak mentah masing-masing meningkat tiga kali lipat dalam dolar AS riil. Akibatnya, sektor komoditas

melampaui manufaktur sebagai ekspor terbesar Indonesia pada tahun 2006. Saat ini, tujuh dari sepuluh produk ekspor teratas Indonesia merupakan produk komoditas dan sekitar 60 persen dari ekspor Indonesia merupakan komoditas atau terkait dengan komoditas. Sebagian besar komoditas tersebut diekspor dalam bentuk 0 2 4 6 8 10 12 14 16 199 0 199 1 199 2 199 3 199 4 199 5 199 6 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 200 8 200 9 201 0 201 1 201 2 201 3 201 4 GDP Manufacturing growth Pasca krisis 1997/98 Sebelum krisis 1997/98 Tiongkok 1990 Tiongkok 2005 Tiongkok 2014 Indonesia 1990 Indonesia 2005 Indonesia 2014 Malaysia 1990 Malaysia 2005 Malaysia 2014 Thai 1990 Thailand 2005 Thailand 2014 10 15 20 25 30 35 40 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 PDB per kapita, PPP (konstan 2011 int USD)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 1990 1995 2000 2005 2010 2015 Indonesia Malaysia Vietnam China (RHS)

mentah, yang menunjukkan keterkaitan yang lemah antara sektor manufaktur dan komoditas.

b. Ekspor manufaktur: Menelusuri lebih dari sekadar angka agregat

Bagaimana sektor manufaktur Indonesia berubah sejak krisis tahun 1997/98?

Dengan tajamnya penurunan penerimaan ekspor komoditas sejak tahun 2012, upaya mendorong ekspor non-komoditas menjadi prioritas utama bagi Indonesia. Agar kebijakan-kebijakan industri terinformasikan secara memadai, sangatlah penting untuk mencermati lebih dari sekadar angka-angka agregat serta meneliti dinamika ekspor pada tingkat cabang industri. Jenis industri mana yang mendorong ekspor manufaktur selama 25 tahun terakhir? Bagaimana perubahan komposisi ekspor manufaktur? Apa saja kontribusi sektor teknologi rendah, menengah, dan tinggi terhadap kinerja ekspor?

Sayangnya ekspor manufaktur teknologi tinggi mengalami penurunan tajam

Dengan didasari laporan Diop dan Ghali (2012), 37

berikut kami petakan produk-produk ekspor Indonesia berdasarkan tingkat teknologi.38

Komposisi ekspor Indonesia sangat didominasi oleh produk-produk berteknologi rendah (sepertiga dari ekspor manufaktur pada tahun 2014), walau telah menurun dari puncaknya sebesar 43 persen pada tahun 1993 (Gambar 29). Penurunan ini membuka jalan bagi

kenaikan berkelanjutan dalam ekspor teknologi

menengah yang pada tahun 2014 mencapai 28 persen dari keseluruhan ekspor, meningkat dari 10 persen pada tahun 2000. Namun tren paling tajam adalah pada industri teknologi tinggi yang, setelah kenaikan awal pada tahun 1990an (dari 1 persen pada tahun 1990 ke 12 persen pada tahun 2000), mencatat penurunan tajam pada tahun-tahun berikutnya ke 4 persen pada tahun 2014.

Gambar 29: Produk teknologi rendah mendominasi ekspor Indonesia

(bagian dari jumlah ekspor, persen)

Sumber: UN-COMTRADE, digit HS4 dan kode industri OECD; perhitungan staf Bank Dunia

Di dalam industri teknologi rendah dan menengah, minyak sawit, ban karet, dan mobil yang dibuat seluruhnya mencatat

Kenaikan berkelanjutan dalam ekspor teknologi menengah mencerminkan kuatnya kinerja minyak sawit, ban karet (teknologi rendah-menengah), mobil yang dibuat seluruhnya (completely built), suku cadang otomotif, dan serat kabel terisolasi (teknologi menengah-tinggi) (Gambar 30). Ekspor ban karet bertumbuh rata-rata

37 N. Diop dan S. Ghali, 2012, “Are Jordan and Tunisia's exports becoming more technologically sophisticated? Analisis menggunakan database ekspor yang sangat terpilah,” MNA Working Paper No. 56, Bank Dunia.

38 Produk-produk dicatat pada tingkat digit HS-6 dengan sektor asalnya, menggunakan kode industri ISIC REV2. Klasifikasi lanjutan menurut tingkat teknologi (teknologi rendah, rendah-menengah, menengah-tinggi dan tinggi dari OECD) memungkinkan penelitian produk-produk tertentu yang

0 9 18 27 36 45

High technology Medium-high technology Medium-low technology Low-technology

prestasi ekspor

terbaik Indonesia sebesar 24,8 persen per tahun selama periode tahun 2002-11.

39 Ekspor mobil meningkat dari 1.258 unit pada tahun 2002 ke 207.691 unit pada tahun 2015. Peningkatan ini mengagumkan, namun tertinggal dibanding Thailand yang mengekspor mobil enam kali lebih banyak dibanding Indonesia dan merupakan pusat ekspor mobil regional.

Gambar 30: Sejumlah ekspor teknologi menengah meningkat tajam …

(bagian dari jumlah ekspor, persen)

Gambar 31: …sementara ekspor teknologi tinggi telah menyusut belakangan ini

(bagian dari jumlah ekspor, persen)

Sumber: UN-COMTRADE, digit HS4 dan kode industri OECD;

perhitungan staf Bank Dunia Sumber: UN-COMTRADE, digit HS4 dan kode industri OECD; perhitungan staf Bank Dunia

Ekspor teknologi tinggi keluar jalur setelah krisis 1997

Ekspor peralatan kantor dan komputer, radio dan TV, serta peralatan komunikasi menurun setelah krisis tahun 1997 (Gambar 31). Satu-satunya titik terang dalam sektor teknologi tinggi adalah kenaikan ekspor obat-obatan yang tumbuh dari tingkat yang sangat rendah.

c. Mengembalikan daya saing manufaktur

i. Menjaga inflasi agar tetap rendah dan menghindari apresiasi kurs

tukar valuta riil yang terlalu besar

Apresiasi kurs tukar valuta riil berperan penting dalam lemahnya kinerja manufaktur pada tahun 2003-2014

Salah satu faktor utama pendorong penurunan relatif sektor manufaktur Indonesia adalah apresiasi kurs tukar valuta efektif (real effective exchange rate, REER). REER adalah kurs tukar valuta nominal efektif (nilai suatu mata uang dibanding rata-rata tertimbang dari sejumlah valuta asing) yang dibagi suatu deflator harga relatif atau indeks biaya. Kenaikan tajam harga komoditas pada tahun 2003-2012 menciptakan banjir pendapatan, mendukung aliran masuk modal asing, dan mendorong kenaikan permintaan akan jasa-jasa yang bukan diperdagangkan secara internasional (seperti transportasi, logistik, dan real estate) serta kenaikan harga jasa-jasa tersebut. Hal itu mendorong apresiasi REER (Gambar 32).

Sektor manufaktur menerima dampak terbesar ketika harga meningkat

Perusahaan-perusahaan pada sektor-sektor yang bukan diperdagangkan secara internasional (seperti hotel, restoran, dan perdagangan ritel) dapat mengakomodasi kenaikan harga dengan meneruskannya kepada pelanggan. Namun perusahaan-perusahaan dalam sektor yang dapat diperdagangkan, seperti manufaktur,

39 Investasi asing langsung yang terjadi belakangan ini dapat membantu pertumbuhan lebih lanjut sektor ini. Pada tahun 2013, Hankook Tire dari Rep. Korea dan Pirelli Tyre S.p.A dari Italia membuka pabrik produksi dunia mereka di Indonesia (bekerja sama dengan PT. Astra Indonesia).

0 2 4 6 8 10 12 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008 2011 2014 Rubber tyres Cars Automotive spareparts Palm oil prod (RHS) Insulated cable fiber

0 1 2 3 4 5 6 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2008 2011 2014 Office & computer equipment

merupakan penerima harga dan tidak dapat meneruskan kenaikan itu kepada harga-harga bukan diperdagangkan. Karenanya, kenaikan dalam harga-harga barang-barang bukan diperdagangkan relatif terhadap barang-barang yang dapat diperdagangkan merupakan rintangan bagi industri manufaktur, karena membuat sektor-sektor itu menjadi kurang menguntungkan dibanding sektor jasa atau sektor-sektor sumber daya yang sedang meningkat.40

Ke depannya, REER dapat mendukung ekspor, bila inflasi terjaga tetap rendah

Terutama akibat faktor-faktor global (seperti kekuatan dolar AS dan rendahnya harga komoditas), Rupiah tidak lagi tertekan menuju apresiasi berkelanjutan. Sebagai contoh, Rupiah terdepresiasi sebesar 16 persen secara perdagangan tertimbang nominal sejak bulan Desember 2012. Selain itu, dengan rendahnya harga komoditas, daya tarik relatif kegiatan-kegiatan manufaktur bagi para investor yang mencari tingkat pengembalian yang tinggi dapat dipulihkan. Ke depannya, REER dapat mendukung ekspor, bila inflasi dijaga tetap rendah. Walau inflasi diproyeksikan akan lebih rendah dibanding tiga tahun terakhir (3,9 persen pada tahun 2016 dibanding rata-rata 6,5 persen pada tahun 2013-15), terdapat bukti bahwa pembatasan perdagangan (batasan tarif dan bukan tarif) mendorong peningkatan harga dalam negeri, baik bagi konsumen maupun produsen (lihat Bagian B.2). Karenanya sangat penting untuk menurunkan batasan-batasan itu guna mendukung daya saing. Gambar 32: REER mencatat apresiasi yang kuat pada

tahun 2000-2011… (indeks, 2000=100)

Gambar 33: …dengan depresiasi belakangan ini yang terkait kenaikan pertumbuhan ekspor manufaktur (pertumbuhan ekspor bukan komoditas yoy, kiri; perubahan REER yoy, kanan; persen)

Catatan: Penurunan dalam REER menunjukkan apresiasi. Sumber: BIS; perhitungan staf Bank Dunia

Catatan: Penurunan dalam REER menunjukkan apresiasi. Sumber: BIS; perhitungan staf Bank Dunia

40 Untuk pengembangan teoritis, lihat Corden, W. M., 1984, “Booming sector and Dutch disease economics: Consolidation and survey,” Oxford Economic Papers 36, 359–80; dan Corden, W. M. and J. P. Neary, Desember 1982, “Booming sector and de-industrialisation in a small open economy,” Economic Journal, 92(368), 825–48. Untuk uji empiris dari konsep-konsep tersebut, lihat Rodrik, D., 2008, “The real exchange rate and economic growth,” Brookings Papers on Economic Activity 2008(2); and Havrylyshyn, O., 2010, “Does the global crisis mean the end of export-led

open-60 70 80 90 100 110 120 -15 -10 -5 0 5 10 15 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6

Feb-12 Aug-12 Mar-13 Sep-13 Apr-14 Oct-14

Non-commodity exports

ii. Kenaikan produktivitas tenaga kerja Walau Indonesia memiliki biaya tenaga kerja terendah di Asia, keunggulan itu hilang akibat rendahnya produktivitas

Pola biaya tenaga kerja Indonesia sangat menarik. Walaupun Indonesia memiliki biaya tenaga kerja terendah dalam dolar AS di Asia, keunggulan ini hilang ketika disandingkan dengan produktivitas tenaga kerja (Gambar 34 dan Gambar 35). Pada tahun 2014, biaya tenaga kerja-unit—rasio antara upah pekerja dibanding jumlah yang mereka hasilkan—lebih tinggi dibanding Filipina, Vietnam, dan Malaysia, bukan karena upah yang dibayar namun karena kecilnya jumlah yang dihasilkan (kenaikan biaya tenaga kerja unit di Thailand mencerminkan masalah yang sama). Malaysia menunjukkan bagaimana produktivitas tenaga kerja yang tinggi sangat penting bagi daya saing biaya. Walau dengan tingginya upah manufaktur, tenaga kerja Malaysia masih tetap berdaya saing karena memiliki produktivitas yang tinggi. Biaya tenaga kerja unit mereka sedikit lebih tinggi dibanding Indonesia, walau upahnya lebih tinggi 7 hingga 8 kali lipat. Upah di Tiongkok meningkat tiga kali lipat sejak tahun 2005, namun tidak tersedianya data menghalangi upaya penghitungan biaya tenaga kerja unit mereka. Karenanya, belum jelas apakah Tiongkok mengalami penurunan daya saing biaya, karena kenaikan upah dapat diimbangi dengan kenaikan produktivitas.

Gambar 34: Rendahnya rata-rata upah bulanan manufaktur di Indonesia…

(dalam dolar AS riil tahun 2012)

Gambar 35: … namun biaya tenaga kerja unit relatif tinggi

(2012 = 100)

Sumber: CEIC; perhitungan staf Bank Dunia Sumber: CEIC; perhitungan staf Bank Dunia

Lonjakan komoditas membalik kenaikan Indonesia pada rantai nilai manufaktur

Produktivitas tenaga kerja bergantung kepada jenis produksi (misalnya, produksi bernilai tambah rendah dibanding tinggi), tingkat teknologi yang digunakan, tingkat keterampilan pekerja, dan gangguan pekerjaan. Indonesia secara bertahap mendaki rantai nilai manufaktur pada tahun 1990an, namun tren itu berbalik arah ketika harga komoditas melonjak naik dan terjadi penurunan ekspor teknologi tinggi sebagai bagian dari ekspor manufaktur keseluruhan. Yang kini dibutuhkan adalah kembali menarik FDI ke manufaktur, namun dalam konteks strategi industri yang dirancang dengan baik dengan fokus pada peningkatan nilai tambah untuk meningkatkan produktivitas sektor manufaktur secara keseluruhan. 100 200 300 400 500 600 700 800 900 2005 2007 2009 2011 2013

China Indonesia Malaysia

Philippines Thailand Vietnam

80 90 100 110 120 130 140 150 2011 2012 2013 2014

Indonesia Malaysia Thailand

iii. Menurunkan biaya logistik dan operasi usaha

Indonesia memiliki biaya tidak langsung yang lebih tinggi dari negara-negara pembandingnya

Selain itu, survei menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia mengeluarkan biaya-biaya tidak langsung yang besar akibat buruknya logistik, kesenjangan dalam infrastruktur, dan prosedur izin dan lisensi yang membatasi. Hal ini melemahkan perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Indonesia dibanding negara-negara pembandingnya yang beroperasi dengan biaya lebih rendah.

Perubahan kebijakan untuk menurunkan biaya lgoistik serta mempermudah fasilitasi perdagangan dan pengurangan hambatan non tarif (non-tariff measures), sangat penting seiring dengan berkembangnya rantai nilai dunia dimana efisiensi impor sangat penting untuk keberhasilan ekspor.

Buruknya logistik adalah salah satu alasan utama dari tingginya biaya

Logistik yang baik merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan pasokan pasar dalam negeri yang efisien dan berdaya saing internasional. Dengan kisaran 24 persen dari PDB, biaya logistik—pengiriman barang-barang dalam suatu negara, serta ke dan dari negara tersebut--merupakan biaya yang tinggi di Indonesia, sementara Thailand mencatat kisaran 16 persen dari PDB.41 Bagi Indonesia, perbedaan itu bernilai sekitar 70 miliar dolar AS dalam tambahan biaya per tahun.

Biaya transportasi dan penanganan peti kemas merupakan kontributor utama tingginya biaya logistik

Survei terbaru Bank Dunia terhadap manufaktur pada aglomerasi utama Indonesia menunjukkan rincian biaya logistik. Jumlah biaya logistik rata-rata mencerminkan biaya transportasi dan penanganan peti kemas (45 persen dari jumlah), biaya persediaan (26 persen), pergudangan (17 persen) dan administrasi logistik (17 persen). Biaya persediaan jauh lebih tinggi dibanding sejumlah pesaing Indonesia: hanya 13 persen dari jumlah biaya di Malaysia dan 16 persen di Thailand.

Perusahaan menyimpan persediaan yang tinggi untuk berjaga-jaga atas

ketidakpastian hubungan dengan daerah pedalaman

Tingginya biaya persediaan mencerminkan ketidakpastian dalam mata rantai pasokan. Sumber ketidakpastian utama terletak pada hubungan dengan daerah pedalaman. Biaya membawa peti kemas ke pelabuhan utama Jakarta, Tanjung Priok, dua kali lipat dibanding Malaysia, walau jaraknya sama. Survei terhadap 83

perusahaan pengiriman darat yang beroperasi di Jabotabek mengungkapkan penyebabnya: waktu tunggu dan diam yang berkepanjangan akibat kemacetan; antrian panjang di pelabuhan; dan rendahnya efisiensi dalam sinkronisasi pengiriman dan pengambilan kargo.

Sulitnya memperoleh izin, membayar pajak dan melaksanakan kontrak

Prosedur-prosedur peraturan, perizinan, dan lisensi pada tingkat pusat juga sangat rumit, sehingga menambah biaya dan waktu. Selain izin konstruksi, secara global, pembayaran pajak dan pelaksanaan kontrak merupakan prosedur-prosedur yang paling menyulitkan (Bank Dunia, Survei Doing Business 2016).42

iv. Menyusun strategi industri yang kuat dan menyeluruh

Pengalaman Indonesia

menunjukkan tidak adanya strategi

Kenyataan bahwa ekspor teknologi tinggi (terutama elektronik) secara semu menghilang setelah krisis tahun 1997 menunjukkan tidak adanya strategi industri yang kuat dan berbasis dalam negeri di Indonesia. Indonesia menerima penanaman modal asing langsung (foreign direct investment, FDI) dari Jepang, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura pada awal tahun 1990an. Namun alih teknologi

41 Lihat Bagian C.1 pada Triwulanan edisi bulan Maret 2016 untuk rincian dari tantangan yang dihadapi oleh sistem logistik pengiriman Indonesia.

42 Kinerja terburuk Indonesia adalah: memulai usaha (peringkat 173), pelaksanaan kontrak (170) dan membayar pajak (148). Dalam izin konstruksi, peringkat Indonesia adalah 107, di bawah rata-rata Asia

industri yang kuat

dan menyeluruh maupun pengembangan kapasitas dari sisi rancangan, rekayasa, dan pengembangan produk, yang membutuhkan keterlibatan pemerintah, belum signifikan. Kegiatan operasional manufaktur terutama terfokus pada pencampuran dan perakitan, yang membuat Indonesia rawan terhadap perubahan dalam strategi lokasi multinasional, karena tidak ada negara yang dapat terus menjaga daya saingnya dalam bidang perakitan dan manufaktur ringan selamanya. Suatu pembelajaran utama dari pengalaman Indonesia adalah untuk meningkatkan industri dan mendaki tangga teknologi, dibutuhkan keterlibatan pemerintah dan kemitraan dengan sektor swasta.

Pengalaman di Asia Timur dan dunia dapat menjadi masukan berharga bagi strategi industri baru Indonesia

Negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan

memberikan contoh yang jelas tentang keberhasilan pelaksanaan kebijakan industri. Banyak negara berkembang yang mencoba meniru pengalaman tersebut namun gagal, karena dukungan pemerintah terperangkap oleh kepentingan pribadi. Indonesia kini dapat menarik pembelajaran dari keberhasilan dan kegagalan dari seluruh dunia untuk menyusun kebijakan industri yang kuat dan menyeluruh. Yang terutama dibutuhkan adalah fokus kebijakan dan dukungan yang pragmatis, akuntabel, dan transparan untuk industri-industri yang menjanjikan, seperti industri yang telah berjalan baik selama 25 tahun dan berhasil melewati berbagai rintangan. Pengalaman global menunjukkan bahwa kunci utama keberhasilan kebijakan industri adalah: menghubungkan dukungan dengan kriteria keberhasilan, daya saing di pasar dunia dan mempertahankan daya saing.

KEK dapat menjadi perangkat strategis untuk mendukung industrialisasi dengan kondisi tertentu

Pemerintah telah mengumumkan penetapan sejumlah kawasan ekonomi khusus (KEK), yang dapat membantu menurunkan beban peraturan untuk sektor-sektor yang menjanjikan dengan cepat dan memberikan lingkungan yang bersahabat untuk membangun basis pasokan bagi investor-investor besar. Tiongkok adalah contoh penerapan KEK untuk mendukung pembangunan industri di daerah pesisir. Namun efektivitas KEK akan bergantung pada kepatutan perencanaan dan perancangannya. Menimbang apa yang menjadi rintangan daya saing di Indonesia (lihat di bawah), KEK perlu dirancang sebagai iklim mikro yang mendukung pertumbuhan produktivitas perusahaan dengan penekanan pada sejumlah kecil sektor yang menunjukkan kinerja kuat dan bukan sekadar tempat perusahaan menikmati insentif pajak.43 Selain itu, dengan hanya menekankan pada sejumlah kecil sektor,

Pemerintah dapat mempertimbangkan mendorong kerjasama pemerintah-swasta guna mempersempit kesenjangan keterampilan melalui pusat-pusat pelatihan dan sekolah-sekolah khusus. Investasi yang terfokus pada penelitian dan pengembangan yang menyasar sektor-sektor menjanjikan tersebut juga merupakan kunci untuk bergerak menjadi yang terdepan dalam teknologi dunia.

d. Bagaimana membuat manufaktur kembali menjadi mesin pendorong pertumbuhan Empat rangkaian kebijakan akan membantu Indonesia menjawab tantangan tersebut

Berakhirnya lonjakan harga komoditas membuka peluang bagi Indonesia untuk kembali membangkitkan daya saing manufakturnya. Pembelajaran dari pengalaman Indonesia sendiri, sejumlah keberhasilan global, serta berbagai kegagalan dari seluruh dunia dapat memberi informasi yang berharga untuk strategi industri Indonesia yang baru. Berikut sejumlah langkah nyata yang dapat membantu keberhasilan Indonesia.

43Kawasan ekonomi umumnya ditetapkan untuk bertindak sebagai katalis bagi perdagangan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih luas. Tujuan khususnya pada masing-masing negara beragam, dari menarik FDI hingga menciptakan lapangan kerja dan bereksperimen dengan reformasi.

Pertama, kemitraan strategis dan transparan dengan sektor swasta adalah hal yang penting

KEK dapat menjadi perangkat strategis bagi keterlibatan Pemerintah, bila mereka dirancang sebagai iklim mikro yang mendukung pertumbuhan produktivitas perusahaan, dengan fokus pada sejumlah kecil sektor yang menunjukkan kinerja yang kuat dan tidak sekadar menjadi tempat bagi perusahaan untuk menikmati insentif pajak. Dengan fokus pada sektor-sektor tersebut, kerjasama pemerintah-swasta dapat dirancang untuk membantu menurunkan kesenjangan keterampilan (melalui pemberian pelatihan terfokus) dan melaksanakan investasi terfokus pada penelitian dan pengembangan yang menargetkan sektor-sektor yang menjanjikan untuk mendukung pengembangan produk dalam negeri.

Kedua, menjaga rendahnya inflasi akan membantu membatasi apresiasi REER

Menjaga inflasi yang rendah dengan berinvestasi dalam produktivitas pertanian dan menurunkan batasan perdagangan akan mendukung pertumbuhan ekspor melalui penurunan tekanan apresiasi REER. Kenyataannya, serangkaian apresiasi

berkepanjangan REER pada tahun 2003-2012 memang telah menghambat daya saing manufaktur. Apresiasi tersebut utamanya didorong oleh inflasi di Indonesia yang lebih tinggi dibanding dengan para mitra dagangnya.

Ketiga, belanja infrastruktur yang lebih tinggi dan reformasi peraturan dapat mendorong daya saing

Selain itu, Pemerintah Indonesia memiliki rencana ambisius untuk menutup kesenjangan infrastruktur pada tahun-tahun mendatang. Pemerintah, sejak bulan September 2015, juga telah mulai menurunkan pembatasan peraturan melalui serangkaian “paket kebijakan”. Untuk menekan biaya logistik, kuncinya adalah memperkuat koordinasi antar lembaga negara untuk pelaksanaan kebijakan logistik yang lebih baik, memangkas peraturan yang menghambat dalam rantai pasokan, dan memperkecil kesenjangan dalam infrastruktur logistik. Jika dilaksanakan dengan baik, kebijakan-kebijakan tersebut dapat menurunkan biaya logistik dan biaya pelaksanaan usaha di Indonesia secara signifikan, sehingga mendukung daya saing Indonesia secara keseluruhan.

Keempat, kebijakan perlu terfokus pada sektor-sektor yang menjanjikan

Tidak semua sektor dapat mendukung strategi industri yang berhasil, dan memfokuskan pada kekuatan suatu negara adalah hal yang penting. Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan fokus pada upaya-upaya mendukung industri yang tumbuh dengan sangat cepat walau menghadapi banyak rintangan dan telah

Dalam dokumen Juni Tangguh berkat reformasi (Halaman 40-50)

Dokumen terkait