• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Kesadaran NWS untuk Melakukan Strategic Self-Censorship

Dalam dokumen Interaksi Strategis oleh Para Pendukung (Halaman 33-36)

BAB III ANALISIS

B. Membangun Kesadaran NWS untuk Melakukan Strategic Self-Censorship

Strategi lain yang dapat dilakukan untuk membuat NWS dan aliansinya mau bekerjasama adalah melakukan hal-hal yang mampu menumbuhkan kesadaran atas diri mereka sendiri bahwa bersikap kooperatif dengan menyetujui untuk memusnahkan senjata nuklir merupakan suatu hal yang lebih menguntungkan dibandingkan jika tetap menjaga kepemilikan senjata tersebut. Kesadaran diri untuk melakukan pembatasan atas suatu tindakan yang mungkin ia lakukan di masa mendatang dikenal dengan sebutan strategic self-censorship, atau ikatan yang membebaskan. Suatu aktor strategis akan cenderung mengambil aksi yang mengikat atau membatasi dirinya agar tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat berakibat buruk. Hal ini dilakukan atas kesadaran penuh dan rasionalitas dari aktor tersebut karena ia menyadari tingginya tingkat ketidakterdugaan di masa depan.

Meski strategic self-censorship merupakan bentuk kesadaran masing-masing negara, namun aktor lain dapat membantu negara tersebut untuk akhirnya melaksanakan strategic self-censorship. Kesadaran untuk melakukan strategic self-censorship perlu dibangun agar negara-negara berpikir bahwa lebih baik melucuti seluruh senjata nuklir mereka—sebagai bentuk dari sensor diri yang dilakukan untuk menghadapi tantangan atau godaan untuk menggunakan senjata nuklir di masa mendatang—agar dapat mencapai suatu hal yang lebih baik, yakni membebaskan diri dari dampak buruk yang mengancam akibat penggunaan senjata nuklir. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan cara contrast framing,

50‘Draft Resolutions, Voting Results, and Explanations of Vote First Committee 2015,’ Reaching Critical Will

(daring), < http://reachingcriticalwill.org/disarmament-fora/unga/2015/resolutions>, diakses pada 20 Desember 2016.

yakni membandingkan dua hal dan menunjukkan bahwa salah satu di antaranya merupakan pilihan yang lebih baik.

Jika selama ini NWS telah memegang teguh kepercayaan mereka terhadap pentingnya memiliki senjata nuklir dan melakukan berbagai komitmen untuk menjaga kepemilikan senjata nuklir, maka komitmen baru harus dapat dikonstruksi. Bentuk komitmen baru tersebut dapat berupa kerjasama damai dengan seluruh negara dunia yang mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan perasaan security dilemma di antara mereka karena setiap negara patuh terhadap aturan yang telah disepakati, yakni untuk sama-sama tidak memiliki senjata nuklir. Komitmen lama dan baru ini dibingkai ke dalam contrast framing, yaitu hubungan antarnegara yang konfliktual dengan adanya kecurigaan dan security dilemma v. perdamaian dan kebaikan bersama yang lebih besar. Jika aktor strategis melakukan perbandingan terhadap dua bentuk komitmen yang telah dibingkai tersebut, maka komitmen baru terlihat membawa keuntungan yang lebih besar bagi semuanya, dan cenderung menjadi pilihan bagi mereka. Sehingga mereka akan cenderung melakukan dekomitmen dari komitmen lama, yakni dengan menjalankan strategic self-censorship.

Salah satu contoh penerapan strategi ini adalah kebijakan Afrika Selatan yang melakukan pelucutan senjata nuklir pada masa Presiden F. W. De Klerk51 pada tahun 1989. Afrika Selatan mulai menunjukkan komitmen barunya secara bertahap dan suka rela untuk memusnahkan senjata nuklir yang ia miliki. Hal tersebut dilakukan oleh Afrika Selatan sebagai bentuk kontribusi Afrika Selatan terhadap komitmen baru untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian dunia, serta usaha untuk mengembalikan kredibilitasnya di mata dunia. Menyadari bahaya yang dapat disebabkan oleh senjata nuklir, Afrika Selatan melakukan dekomitmen dengan melucuti senjata nuklir miliknya sebagai bentuk ketidakpercayaan atas dirinya yang kemungkinan akan menggunakan nuklir di masa depan.

Sulit untuk benar-benar dapat menerapkan strategic self-censorship pada diri sendiri secara suka rela. Harus ada alasan yang kuat untuk mendorong suatu aktor melakukan strategi ini. Sebagai aktor eksternal, NNWS mampu mendorong NWS untuk melakukan strategic self-censorship. Menilik sedikit ke belakang pada pembahasan mengenai bagaimana NWS menempatkan diri mereka pada domain of gain di dalam perdebatan perlucutan senjata nuklir ini, maka sebagai bentuk counter dari framing tersebut pihak yang menginginkan perlucutan

51J. W. De Villiers, R. Jardine & M. Reiss, ‘Why South Africa Gave Up the Bomb,’ Foreign Affairs (daring), 1 Desember 1993, < https://www.foreignaffairs.com/articles/south-africa/1993-12-01/why-south-africa-gave-bomb>, diakses pada 20 Desember 2016.

senjata nuklir harus melakukan reframing sehingga membuat NWS berpikir bahwa memiliki senjata nuklir jauh lebih costly dan menempatkan mereka pada domain of loss dibandingkan tidak memiliki sama sekali.

Menempatkan pemilik senjata nuklir pada domain of loss berarti harus menunjukkan beban-beban apa saja yang harus mereka tanggung karena memiliki senjata nuklir. Hal pertama yang harus dilakukan untuk menuju tahap tersebut adalah menciptakan norma bahwa memiliki senjata nuklir merupakan suatu hal yang ilegal. Sebelumnya di dalam NPT telah disepakati norma non-proliferasi, namun belum ada perjanjian yang secara legal mengatakan bahwa kepemilikan senjata nuklir adalah ilegal. Oleh karena itu dalam proses perundingan lanjutan perlucutan senjata nuklir ke depannya, jika berhasil maka akan diadopsi ban treaty

yang menetapkan norma tersebut. Asumsi dari strategi kali ini NWS tidak harus bertindak kooperatif dari awal perundingan dicanangkan namun ketika rezim anti-nuklir sudah dibentuk dan siap diterapkan, dunia internasional sudah siap untuk mendesak NWS untuk juga mematuhi aturan yang telah disepakati bersama tersebut.

Jika norma telah terbentuk dan disepakati oleh mayoritas negara di dunia, tidak lupa untuk mempublikasikannya agar informasi mengenai norma yang telah disepakati tersebut semakin diketahui oleh banyak pihak. Sehingga, makin banyak aktor yang mengawasi aksi atau tindakan aktor lain yang mungkin melanggar norma yang telah diterapkan. Meski pada dasarnya norma memiliki konsekuensi seperti perasaan bersalah, malu,52 serta adanya sanksi sosial yang diberikan kepada pelanggarnya, namun agar lebih menjamin kepatuhan serta

compliance dari negara-negara terhadap kewajiban mereka dalam menjaga stabilitas rezim maka diperlukan suatu mekanisme yang lebih mengikat. Secara teoritis, rezim akan cenderung lebih bertahan lama dan stabil dengan adanya kepatuhan dari para anggotanya karena adanya aturan yang mengikat kuat. Aturan yang mengikat dalam hal ini berarti terdapat instrumen hukum yang mencantumkan aturan dan norma tersebut. Ketika terdapat suatu instrumen legal, berarti dibutuhkan mekanisme pemberian sanksi bagi para pelanggarnya. Hal ini perlu dilakukan agar membentuk framing bahwa mematuhi aturan akan lebih menguntungkan dibandingkan ketika melanggar—karena akan mendapatkan sanksi.

Mekanisme pemberian sanksi memiliki kaitan erat dengan dispute settlement mechanism di dalam suatu rezim, di mana semakin legalistik sifat suatu mekanisme penyelesaian masalah maka rezim tersebut semakin terjamin atas kepatuhan dari anggota-anggotanya. Namun suatu

52

mekanisme penyelesaian masalah dalam suatu rezim tidak harus bersifat legalistik. Hal ini juga mempertimbangkan komposisi power yang dimiliki oleh negara-negara anggota rezim tersebut. Apabila terdapat assymetrical power, maka lebih baik masalah diselesaikan dengan cara diplomatis. Sementara untuk menentukan pihak mana yang sudah memenuhi kewajibannya dan siapa yang bersalah serta perlu diberi sanksi, penting bagi suatu rezim untuk memiliki mekanisme monitoring dan verifikasi.

Verifikasi merupakan suatu proses pengumpulan dan interpretasi informasi dengan tujuan menilai pihak-pihak yang terlibat apakah sudah mematuhi aturan yang ada atau sebaliknya.53 Proses tersebut penting dilakukan di dalam suatu rezim untuk mengantisipasi tindakan ingkar yang dilakukan dengan bantuan transparansi dari sistem yang dijalankan oleh rezim tersebut. Transparansi dalam rezim memungkinkan terjadinya pertukaran informasi, misalnya tiap-tiap NWS sudah berhasil memusnahkan berapa senjata nuklir tahun ini dan apakah sudah memenuhi target yang ditetapkan bersama. Mekanisme verifikasi, monitoring, pemberian sanksi kepada pelanggar merupakan strategi yang perlu diterapkan untuk mencegah adanya anggota rezim yang ingkar meski telah menyepakati aturan di dalamnya, serta transparansi membuat para anggota dapat mengantisipasi langkah anggota lainnya.

Sanksi yang diberikan kepada pihak pelanggar atau ia yang tidak berhasil memenuhi kewajibannya sebagai anggota rezi harus diberlakukan sangat berat. Hal ini untuk memaksa agar negara-negara tersebut bertindak kooperatif sehingga rezim anti-nuklir yang telah dibentuk dapat bertahan dan berlangsung secara efektif serta mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan di awal. Selain penerapan sanksi, akan diadakan pertemuan untuk review

khusus perkembangan perlucutan senjata oleh NWS setiap tahunnya. Mengadakan pertemuan multilateral bukanlah sesuatu hal yang mudah, namun juga diperlukan biaya untuk mengadakannya. Hal ini akan menjadi beban tambahan yang harus ditanggung oleh NWS hingga mereka berhasil melakukan eliminasi terhadap alutsista nuklir yang mereka miliki. Segala hal ini dilakukan untuk membuat NWS berada di dalam domain of loss selama tetap mempertahankan kepemilikan senjata nuklirnya.

Dalam dokumen Interaksi Strategis oleh Para Pendukung (Halaman 33-36)

Dokumen terkait