• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Strategis oleh Para Pendukung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Interaksi Strategis oleh Para Pendukung"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Interaksi Strategis oleh Para Pendukung Negosiasi Lanjutan Perlucutan Senjata Nuklir 2017

Mata Kuliah Analisis Hubungan Internasional

Dosen Pengampu: Dr. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ayu Diasti Rahmawati, MA

Disusun sebagai persyaratan mengikuti Ujian Akhir Semester 5

Oleh:

Nadia Fausta Azhara

14/363708/SP/26060

Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN... 2

A. Latar Belakang... 2

B. Rumusan Masalah... 5

C. Landasan Konseptual... 5

D. Argumen Utama... 7

E. Metode Riset... 7

F. Jangka Waktu Penelitian... 8

BAB II PEMBAHASAN... 8

A. Perdebatan Kepemilikan Senjata Nuklir... 9

A.1 Argumen-Argumen yang Mendukung Kepemilikan Senjata Nuklir... 11

A.2 Argumen-Argumen yang Mendukung Perlucutan Senjata Nuklir... 14

B. Kepemilikan Senjata Nuklir sebagai Bagian dari Aksi Strategis... 17

B.1 Negative Framing terhadap Isu Perlucutan Senjata Nuklir... 18

B.2 Posisi NWS dalam Domain of Gain... 22

B.3 Sunk-cost... 25

BAB III ANALISIS... 27

A. Focus Framing dalam Membangun Compliance Anggota Rezim... 31

B. Membangun Kesadaran NWS untuk Melakukan Strategic Self-Censorship... 32

C. Pelaksanaan Perundingan Lanjutan Perlucutan Senjata Nuklir 2017... 35

BAB IV PENUTUP... 37

(3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Selama ini berbagai perundingan mengenai upaya perlucutan senjata nuklir berujung pada

deadlocks tanpa adanya kesepakatan bersama untuk merumuskan solusi yang dapat diterapkan, namun hanya membentuk norma yang menyebutkan bahwa senjata nuklir adalah ilegal. Perdebatan panjang berputar pada anggapan bahwa nuklir masih relevan disebut sebagai alat deterrence yang efektif di dalam sistem internasional yang anarkis. Kontestasi isu tersebut masih didominasi oleh perspektif realisme. Negara-negara merasa perlu memiliki senjata nuklir untuk memenuhi prinsip self-help di dalam struktur dunia internasional yang anarkis.

Senjata nuklir masih dibutuhkan dan masih berguna untuk menjaga keamanan dunia. Anggapan bahwa second-strike capability perlu dimiliki oleh negara-negara untuk menjaga

balance of powerjuga mendukung argumen negara-negara untuk tetap menjaga kepemilikan

senjata nuklir mereka. Selain itu, negara-negara pemilik senjata nuklir berargumen bahwa senjata tersebut dapat membantu melindungi negara-negara dan mencapai perdamaian dunia. Sebagaimana tercantum di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) bahwa

negara-negara pemilik senjata nuklir akan menyediakan pelayanan yang menjaga keamanan negara-negara lain dengan mengoptimalkan penggunaan senjata nuklir secara damai.

Menanggapi argumen-argumen mengenai pentingnya keberadaan senjata nuklir untuk memenuhi kebutuhan penyediaan keamanan bagi negara-negara di dunia, pendekatan kemanusiaan coba dihadirkan di dalam kontestasi yang ada. Bersama dengan negara-negara yang ingin menghapuskan keberadaan senjata nuklir dari dunia internasional, banyak organisasi internasional non-pemerintah (NGO) yang kemudian mempromosikan

evidence-based approach dan juga kemanusiaan. Meskipun sepanjang sejarah hanya terjadi dua kali penggunaan bom nuklir secara langsung, yakni pada saat Perang Dunia Kedua di kota Hiroshima dan Nagasaki, namun bisa kita lihat dampak yang disebabkan dari serangan tersebut. Setidaknya 150.000 korban tewas seketika dan 240.000 penduduk mengalami luka berat serta tidak lagi memiliki lingkungan yang dapat ditinggali.1

1

(4)

Selama tujuh dekade terakhir memang senjata nuklir tidak digunakan lagi dalam perang. Namun dengan jumlah senjata nuklir di dunia yang masih berada di sekitar angka 17.000 unit, risiko dari ledakan yang dapat terjadi mampu menyebabkan dua miliar orang tewas seketika.2 Jumlah yang meskipun telah berkurang seiring berjalannya waktu namun tetap memiliki potensi yang dapat mencelakai kehidupan manusia. Terlebih ketika masih ada negara yang melakukan uji coba senjata nuklir. Radiasi yang ditimbulkan dari percobaan tersebut dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan. Risiko akan terkena kanker sangat tinggi ketika radiasi nuklir merebak di suatu daerah dengan jangkauan yang cukup luas. Meskipun dalam suatu ledakan nuklir terdapat korban yang selamat, namun kehidupan akan sulit dilanjutkan karena daerah yang terpapar radiasi nuklir berubah menjadi inhabitant— temperatur menjadi sangat panas, adanya krisis makanan, dan sebagainya. Bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan manusia itulah yang coba disampaikan oleh berbagai NGO antinuklir, seperti ICAN, Reaching Critical Will, Campaign for Nuclear Disarmament, dan sebagainya, untuk menggerakkan negara-negara agar mau untuk berproses bersama dalam penghapusan senjata nuklir.

Pada Oktober 2016 lalu, dengan semangat untuk mengurangi ancaman terhadap keamanan manusia, negara-negara yang tergabung di dalam open-ended working group (OEWG) on

nuclear disarmament berhasil membawa draf resolusi untuk mengadakan negosiasi lanjutan

perlucutan senjata nuklir lolos di sidang umum PBB. Resolusi PBB L.41 ini berbeda dengan upaya-upaya perundingan terdahulu. Jika sebelumnya terdapat NPT yang keputusannya masih bergantung pada negara-negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States atau

NWS), resolusi L.41 ini menempatkan mayoritas negara memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri masa depan perlucutan senjata nuklir tanpa ada negara yang mampu memblokir hasil negosiasi nantinya.3 Perundingan inklusif dengan mekanisme voting untuk mencapai kesepakatan akhir membuat perundingan pembentukan rezim antinuklir akan tetap berjalan meski tanpa persetujuan negara-negara yang mendukung penggunaan senjata nuklir.4

Meski mayoritas negara mendukung resolusi L.41 untuk dilaksanakan dan memulai perundingan perlucutan senjata pada pertengahan 2017—sebanyak 123 negara,5 namun

2B. Fihn, p. 14. 3

R. Acheson, First Committee Briefing Booklet, Reaching Critical Will, New York, 2016, p. 8.

4

‘Australia’s Opposition to a Nuclear Weapon Ban,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons

(daring), 18 Oktober 2016, < http://www.icanw.org/campaign-news/australias-opposition-to-a-nuclear-weapon-ban/>, diakses pada 21 November 2016.

5

(5)

bukan berarti upaya ini bebas dari tantangan. Puluhan negara yang influential—karena status

kepemilikan senjata nuklir mereka maupun karena memiliki aliansi yang besar— memposisikan diri mereka untuk menolak draf resolusi tersebut dan beberapa lainnya masih meragukan pelaksanaan resolusi tersebut sehingga memilih untuk abstain. Meskipun mereka

mengaku telah menyadari apa yang disampaikan oleh OEWG dan NGO lainnya bahwa senjata nuklir memiliki risiko yang berbahaya yang dapat mengancam kehidupan manusia, namun mereka memiliki alasan lain mengapa mereka menolak resolusi tersebut. Dalam transkrip laporan mengenai alasan mengapa negara-negara menolak resolusi tersebut, Rusia, Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Jerman, Australia dan beberapa negara lainnya, menyatakan bahwa negosiasi yang akan dilaksanakan pada tahun 2017 akan merusak kesepakatan yang telah berhasil dicapai dalam NPT. Sementara negara lain seperti Jepang menganggap bahwa upaya ini tidak akan efektif tanpa keikutsertaan NWS di dalamnya.6

Sementara untuk benar-benar dapat mencapai tujuan pemusnahan senjata nuklir, mau tidak mau negara-negara pendukung resolusi harus mengupayakan agar NWS mau bekerjasama. Karena meskipun negosiasi tetap berjalan dan tidak lagi mencapai deadlocks, implementasi

dari hasil negosiasi tetap membutuhkan aksi kooperatif dari semua negara yang bersangkutan. Salah satu tantangan yang harus diperhatikan dan dilalui oleh mayoritas negara tersebut adalah keberadaan dominasi pandangan realisme dalam hubungan internasional, terutama dalam isu keamanan, yang menghambat kemauan NWS untuk melepaskan kepemilikan senjata nuklir mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya strategi untuk membuat keputusan atau preferensi NWS sejalan dengan apa yang dicita-citakan mayoritas negara. Mengingat bahwa suatu fenomena terjadi bukan hanya karena keputusan yang diambil oleh satu pihak saja, tetapi juga keputusan yang diambil oleh aktor lain (stimultaneous).

Paper ini akan menelaah lebih lanjut bagaimana NWS sebagai aktor strategis mengambil langkah rasional dan strategis berdasarkan pertimbangan realita yang ada di bidang keamanan internasional yang mereka hadapi maupun pertimbangan lainnya. Berangkat dari pemahaman mengenai perspektif tersebut, paper ini akan menganalisa langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh para pendukung perlucutan senjata nuklir untuk membuat NWS bertindak kooperatif.

6

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penulis akan berusaha menjawab rumusan masalah, “Bagaimana langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan oleh negara-negara pendukung resolusi L.41 untuk mencapai kesuksesan negosiasi perlucutan senjata nuklir 2017?”

C. Landasan Konseptual

Teori Prospek – Kahneman dan Tversky7

Suatu aktor strategis selalu memiliki pandangan awal mereka terhadap suatu isu, terutama jika isu tersebut akan dirundingkan. Pandangan suatu aktor terhadap suatu isu di dalam teori prospek lebih dikenal dengan sebutan framing. Namun seringkali framing dalam negosiasi dianggap sebagai penghambat dalam pengambilan keputusan yang objektif. Hal ini dikarenakan framing bisa menuntun aktor dalam bias-bias kognitif yang mempersulit tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak berunding. Dengan framing awal yang dimiliki oleh masing-masing aktor strategis dalam memandang suatu isu, hal tersebut membawa mereka untuk bertindak dan mengambil keputusan secara rasional—rational behavior. Suatu

aktor strategis akan cenderung memahami suatu situasi atau isu baru sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka peroleh di waktu-waktu yang lalu. Penjelasan tersebut yang dimaksud dapat menjurus pada bias-bias kognitif, memandang situasi dan isu baru hanya berdasarkan pertimbangan pengetahuan yang mereka miliki dari waktu sebelumnya.

Beberapa perundingan perlucutan senjata nuklir dapat dengan mudahnya ditemukan bias-bias kognitif, terutama yang berkaitan dengan framing tersebut. Mengambil contoh bagaimana

negara-negara yang menolak perlucutan senjata nuklir memandang bahwa nuklir masih efektif digunakan sebagai instrumen deterrence. Rujukan yang mereka ambil setidaknya telah melampaui 6 dekade yang lalu, yakni ketika senjata nuklir digunakan saat Perang Dunia Kedua di Jepang oleh AS. Perlombaan pengembangan senjata nuklir antara AS dan Uni Soviet pada saat Perang Dingin juga menjadi rujukan framing mereka dimana hal tersebut dapat menahan pecahnya perang terbuka. Namun mereka tidak memperhatikan pertimbangan lain yang muncul di masa kini. Sehingga ketika diadakan perundingan perlucutan senjata nuklir, bias-bias kognitif hampir selalu muncul dan menghambat tercapainya kesepakatan

7

(7)

karena framing yang dipegang teguh oleh mereka. Begitu pula dengan framing yang dimiliki

oleh negara-negara pendukung perlucutan senjata nuklir, bahwa nuklir merupakan ancaman terbesar bagi kehidupan manusia tanpa mengindahkan aspek-aspek strategi keamanan sedikit pun.

Terdapat dua jenis framing yang dijelaskan oleh Michele Gefand dan Jeanne Brett, yakni

positive framing dan negative framing. Mereka yang memiliki positive framing di awal, yakni mereka yang memandang suatu isu dengan positif, akan cenderung cepat dalam mencapai kesepakatan. Namun hasil yang ia setujui merupakan hal yang less favorable, karena mereka pada dasarnya tidak menuntut banyak dalam perundingan suatu isu tersebut. Sebaliknya, aktor yang memiliki negative framing di awal ia memandang suatu isu, dianggap oleh Gefand dan Brett akan mendapatkan lebih. Jika dalam suatu perundingan ia menuntut banyak hal yang ia pandang buruk sebelumnya dan untuk mencapai kesepakatan, pihak lawan mengabulkan tuntutannya tersebut, maka perundingan itu bersifat menguntungkan untuk aktor tersebut. Dalam kasus perundingan perlucutan senjata nuklir ini, sebagian besar NWS (kecuali Korea Utara yang vote ‘Yes’) beserta aliansinya yang menolak resolusi L.41

memiliki negative framing di awal terhadap isu tersebut. Mereka menolak resolusi L.41

karena keinginan mereka tidak diakomodasi di dalamnya, salah satunya mengenai keinginan untuk menerapkan mekanisme konsensus.

Framing aktor terhadap suatu isu tidak inherently ada dan selalu terikat dengan aktor tertentu,

namun dapat dibentuk. Aktor lain atau pihak lawan berunding merupakan salah satu agen yang dapat merubah framing suatu aktor. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara

membentuk framing baru (reframing) yang mampu meyakinkan suatu aktor untuk sepakat dengan bagaimana mereka memandang suatu isu dan mencapai kesepakatan bersama. Agar aksi reframing dapat diterapkan dengan baik, maka suatu aktor harus mengetahui bagaimana lawannya memandang suatu isu tersebut melalui pertukaran informasi. Penting untuk mengetahui bagaimana suatu aktor memandang prospek reference points mereka, apakah pada domain of gain atau domain of loss. Aktor pada domain of gain akan cenderung bertindak risk-aversing, cenderung memilih suatu hal yang pasti. Sedangkan mereka pada

domain of loss akan bertindak risk-taking. Beda domain yang dipikirkan oleh suatu aktor, berbeda pula cara aktor lainnya untuk merespon dan menentukan bentuk reframing seperti

(8)

D. Argumen Utama

NWS dan aliansi mereka bersikeras untuk mempertahankan kepemilikan senjata nuklir karena berbagai alasan seperti untuk deterrence, mempertahankan posisi—dan powermereka

di dunia internasioal, tanggapan atas anarkisme sistem internasional, serta adanya security

dilemma. Meski memiliki negative framing, dalam perundingan mengenai perlucutan senjata

nuklir ini menempatkan mereka dalam domain of gain. Mereka adalah aktor penting yang menjadi kunci keberhasilan dari penerapan instrumen hukum yang sedang coba dibuat dalam negosiasi 2017 mendatang. Menjaga kepemilikan senjata nuklir mereka merupakan keputusan yang pasti menguntungkan bagi mereka saat ini—menjadi nuclear power, memiliki second-strike capability dalam menghadapi anarkisme sistem internasional, dan hal lainnya. Bagi mereka, menyetujui untuk menghapuskan keberadaan senjata nuklir dari dunia ini adalah suatu hal yang tidak pasti. Mereka tidak bisa memastikan akan jadi apa dunia tanpa senjata nuklir—benarkah menjadi lebih stabil dan damai? Untuk itu, mereka lebih memilih tindakan risk-aversingdan menjaga status quo yang ada.

Pembentukan rezim anti nuklir adalah suatu interaksi strategis yang dapat diwujudkan tidak hanya karena keputusan satu aktor namun juga pengaruh dari keputusan aktor lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan keputusan yang mendukung perlucutan senjata nuklir dari NWS untuk membuat upaya ini berhasil diimplementasikan. Tindakan strategis yang dapat diambil oleh negara-negara pendukung perlucutan senjata nuklir adalah melakukan reframing untuk

membuat NWS berpikir bahwa mereka sedang dalam domain of loss dalam perundingan ini.

Sehingga, sebagaimana dicantumkan dalam Teori Prospek, mereka akan cenderung bertaruh untuk mencapai sesuatu yang lebih baik—dunia yang damai tanpa perlombaan senjata nuklir beserta berbagai ancaman yang ada—meski hal tersebut belum dapat dipastikan. Salah satu cara untuk dapat menempatkan NWS ke dalam domain of loss misalnya dengan membentuk norma sosial bahwa senjata nuklir ilegal. Negara-negara yang masih menyimpan alutsista nuklir akan diberi sanksi dan membuatnya merasa bersalah dan malu. Atau dapat juga dengan mengadakan kerjasama bersyarat agar NWS cenderung bertindak comply atau patuh terhadap kesepakatan yang hendak dicapai bersama.

E. Metode Riset

(9)

situs-situs yang terkait dengan isu perlucutan nuklir seperti situs-situs ICAN dan Reaching Critical Will, serta situs resmi PBB terkait resolusi L.41. Selanjutnya data-data yang telah diperoleh akan diolah secara kualitatif bersama dengan permasalahan dan landasan konseptual yang kemudian akan ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

F. Jangkauan Penelitian

(10)

BAB II PEMBAHASAN A. Perdebatan Kepemilikan Senjata Nuklir

Awal mula senjata nuklir dikembangkan untuk tujuan memenuhi kebutuhan strategi keamanan negara adalah pada tahun 1942. Amerika Serikat (AS) memulai suatu proyek besar pengembangan potensi nuklir untuk menjadi senjata strategis bagi keamanan nasionalnya. Manhattan Project yang memiliki 130.000 pekerja dan menghabiskan dana sebesar US$ 2 miliar pada tahun itu (atau setara dengan US$ 25 miliar di tahun 2012) berhasil menciptakan senjata nuklir pertama di dunia.8 Bahkan sejak sebelum pengembangan proyek tersebut perdebatan mengenai penggunaan senjata nuklir sudah diperdebatkan di antara para ilmuwan atau ahli nuklir.

Setelah penggunaan senjata nuklir yang berhasil dikembangkan oleh AS tersebut terhadap Jepang pada tahun 1945 saat Perang Dunia Kedua, kurang dari satu tahun setelahnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera membahas mengenai apa yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk menanggapi temuan atau pengembangan baru teknologi senjata nuklir ini. Melalui pertemuan Majelis Umum PBB, negara-negara anggota berhasil menyepakati resolusi pertama mereka yang berisi seruan untuk segera memusnahkan senjata nuklir. Tidak hanya itu, mereka menginginkan pembentukan komisi khusus yang memantau dan mengatasi berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan senjata nuklir.9

Meskipun pada saat itu baru didapati satu negara saja yang mengembangkan senjata nuklir dan telah muncul seruan untuk menghapuskan senjata nuklir oleh PBB, hingga saat ini masih saja terdapat 9 negara yang menyimpan puluhan ribu senjata nuklir mereka. Bahkan setelah berlalu 6 dekade resolusi pertama Majelis Umum PBB tersebut dikeluarkan, pada 2006 Korea Utara masih melangsungkan uji coba senjata nuklir mereka.10 Sebelum Nuclear

Non-Proliferation Treaty (NPT) disepakati oleh negara-negara, fenomena yang terjadi di dunia internasional selalu berputar pada adanya seruan untuk mengehentikan pengembangan senjata nuklir kemudian pada tahun-tahun berikutnya muncul negara baru yang mulai

8 ‘Nuclear Weapons Timeline,’

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), <

http://www.icanw.org/the-facts/the-nuclear-age/>, diakses pada 7 Desember 2016.

9

‘Resolutions Adopted by the General Assembly during its First Session,’ UN General Assembly (daring), <

http://www.un.org/documents/ga/res/1/ares1.htm>, diakses pada 7 Desember 2016.

10 ‘Nuclear Weapons Timeline,’

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), <

(11)

mengembangkan senjata nuklir. Misalnya ketika di Inggris telah dibentuk suatu kelompok yang mengkampanyekan perlucutan senjata nuklir di tahun 1958, dua tahun berikutnya Perancis justru memulai mengembangkan senjata nuklirnya. Besarnya kekacauan yang ditimbulkan dan telah diperlihatkan pada saat penggunaan senjata nuklir di Hiroshima dan Nagasaki ternyata tidak bisa merubah pemikiran negara-negara untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Akibatnya perdebatan terus berlangsung sejak saat itu, mengenai bahaya akan senjata nuklir dan juga pentingnya menjaga negara mereka dengan mengembangkan senjata mutakhir.

Ketika NPT berhasil ditandatangani oleh 191 negara anggotanya dan diterapkan pada tahun 1970,11 perjanjian tersebut dianggap sebagai keberhasilan besar dalam sejarah panjang kontestasi kepemilikan nuklir. NPT memiliki negara anggota yang banyak, berhasil mempertemukan Nuclear Weapon States (NWS) dan Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dalam satu kerangka perjanjian internasional, serta mampu menawarkan konsep ‘The Grand

Bargain’ yang tercantum dalam tiga pilar utamanya. Tiga konsep atau aturan utama tersebut

berisi tentang NNWS tidak boleh menginginkan pengembangan senjata nuklir, NWS akan berupaya dalam penghapusan senjata nuklir yang mereka miliki, serta teknologi nuklir hanya digunakan untuk tujuan-tujuan damai dan upaya menciptakan keamanan saja. Poin-poin tersebut serta mekanisme yang terdapat di dalam NPT cukup berhasil untuk membuat NWS tidak lagi mengembangkan senjata nuklir dan berangsur-angsur mengurangi jumlah senjata nuklir yang mereka miliki.

11‘Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT),’

(12)

A.1 Argumen-Argumen yang Mendukung Kepemilikan Senjata Nuklir

Keberhasilan tersebut tidak dapat digeneralisir dengan kesimpulan bahwa perdebatan dalam isu kepemilikan senjata nuklir sudah tidak ada lagi. Karena meskipun telah disepakati di antara negara-negara anggota untuk tidak lagi mengembangkan senjata nuklir dan berangsur mengurangi kepemilikan senjata yang ada, NWS yang tergabung di dalam NPT tidak segera memusnahkan semua senjata yang mereka miliki. Terlebih lagi tidak semua negara yang memiliki senjata nuklir tergabung di dalam NPT, seperti India, Israel, Pakistan dan Sudan Selatan. Belum lagi Korea Utara yang sempat bergabung namun juga menarik dirinya dari perjanjian tersebut karena perseteruannya dengan AS.12 Selain itu, dalam review conference

NPT sendiri yang diadakan tiap lima tahun sekali, sering terjadi perbedaan pendapat yang berujung pada perdebatan terutama di antara NWS dan NNWS terhadap suatu dokumen hasil

review yang hendak mereka sepakati. Seiring dengan berbagai kebuntuan yang ditemui di dalam NPT sendiri dan tantangan lainnya, perdebatan terus berlanjut antara pihak yang berkepentingan dengan kepemilikan senjata nuklir dan mereka yang ingin hidup bebas dari potensi ancaman yang membahayakan dari senjata tersebut.

12

‘North Korea Withdraws from Nuclear Treaty,’ The Guardian (daring), 10 Januari 2003, <https://www.theguardian.com/world/2003/jan/10/northkorea1>, diakses pada 7 Desember 2016.

Gambar 1: Salah satu contoh gambaran mengenai berkurangnya kepemilikan senjata nuklir oleh AS dan Uni Soviet—sekarang Rusia.

(13)

Meskipun sebagian besar non-NWS telah menaati norma non-proliferasi yang telah dibentuk oleh NPT, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, namun alasan yang mendorong mereka untuk berlaku demikian bukan sekedar karena mereka menginginkan dunia yang bebas senjata nuklir. Sebagaimana dijelaskan oleh Andrew O’Neill dalam jurnalnya yang berjudul ‘Nuclear Weapons and Non-Proliferation: Is Restrain Sustainable,’13 mereka mau membentuk dan bergabung pada NPT karena hal tersebut merupakan implementasi dari opsi

extended deterrent yang mereka pilih. Opsi yang dimaksud tersebut adalah membuat negara-negara di dunia, terutama NNWS, untuk mempercayakan keamanan dunia kepada NWS atau dengan membentuk aliansi bersama dengan mereka, seperti NATO. Sesuai dengan apa yang dikandung dalam perjanjian NPT bahwa NNWS tidak perlu berkeinginan untuk memiliki dan mengembangkan senjata nuklir, dan sebagai gantinya akan mendapatkan jaminan perlindungan akan keamanan dan perdamaian dunia dari NWS atas kepemilikan senjata nuklir mereka untuk mencapai tujuan-tujuan damai.

O’Neill, dalam jurnalnya, banyak menyampaikan argumen-argumen yang dimiliki oleh NWS dalam kaitannya dengan kepentingan mempertahankan kepemilikan senjata nuklir mereka. Dunia internasional masih dipandang oleh negara-negara sebagai suatu sistem yang anarkis dan penuh dengan ketidakpastian, sehingga memiliki senjata nuklir merupakan pilihan yang strategis. Senjata nuklir dipandang memiliki peran sebagai alat untuk deterrence. NWS

merasa perlu untuk mempertahankan keberadaan senjata nuklir di dunia, karena menurut mereka kekuatan akan penggunaan senjata nuklir terbutkti telah mampu mencegah perang dunia dalam kurun waktu 6 dekade terakhir.

Selain itu alasan negara-negara masih memandang bahwa proliferasi nuklir sah-sah saja untuk dilakukan adalah adanya perasaan insecurity yang mereka miliki yang merupakan pengaruh dari kondisi keamanan eksternal yang menurut mereka tidak dapat diprediksi. Kedua alasan tersebut mencerminkan historical dominance dari perspektif realisme dalam studi Hubungan Internasional. Menteri Pertahanan AS yang ke-22, Robert Gates, mengatakan bahwa senjata nuklir penting untuk melindungi negara dari ketidakpastian dan rendahnya tingkat keterdugaan di dunia internasional.14 Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, ditambah dengan anggapan bahwa nature manusia adalah selalu ingin memperoleh keuntungan untuk diri mereka sendiri.

13A. O’Neill, ‘Nuclear Weapons and Non-Proliferation: Is Restrain Sustainable,’

Security Challenges, vol. 5, no. 4, 2009, pp. 39-57.

14

(14)

Terlepas dari argumen-argumen yang mengindikasikan kepentingan nasional mereka sendiri adalah fokus utama dari perjuangan mereka mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, isu utama yang menjadi fokus perdebatan mulai berubah arah. Terutama akhir-akhir ini semenjak OEWG mengajukan draf resolusi L.41 untuk mengadakan negosiasi lanjutan dan pembentukan instrumen hukum terkait perlucutan senjata nuklir pada Sidang Umum PBB Oktober 2016 lalu. Argumen-argumen yang dengan tegas mengatakan bahwa nuklir penting sebagai alat pertahanan nasional mulai bergeser dan digantikan dengan argumen bahwa isu tentang nuklir bukan karena adanya legal gap.

NWS dan beberapa negara lainnya yang memposisikan mereka menolak resolusi L.41 tersebut dalam pernyataan resmi mereka mengaku bahwa nuklir memang berbahaya bagi kehidupan manusia. Namun mereka berargumen, sebagaimana yang disampaikan oleh delegasi Rusia, bahwa dunia belum cukup siap untuk benar-benar melakukan pemusnahan senjata nuklir.15 Negosiasi 2017 menurut mereka tidak akan berujung pada suatu pencapaian tujuan yang dicita-citakan karena tidak pembentukan instrumen hukum dianggap tidak efektif serta bukan merupakan langkah yang pragmatis tanpa persetujuan langsung dari NWS untuk mau turut ambil bagian di dalamnya. Pembentukan instrumen hukum tidak menjamin proses eliminasi senjata nuklir dapat tercapai segera. Sebagaimana perwakilan AS dan Jerman sampaikan pada sidang tersebut bahwa dibutuhkan adanya mekanisme verifikasi yang jelas untuk memantau upaya-upaya yang telah dilakukan oleh NWS demi memenuhi aturan yang telah disepakati bersama.

Berbicara mengenai mekanisme, hampir semua negara yang memilih untuk vote ‘No’waktu

itu juga mempermasalahkan mengenai mekanisme voting yang akan diterapkan dalam negosiasi tersebut. Menurut mereka mekanisme tersebut menciderai perjanjian internasional yang telah disepakati bersama sebelumnya, yakni NPT. Di dalam NPT, mekanisme yang digunakan dalam pengambilan keputusan adalah konsensus. Sementara dalam negosiasi 2017 jika tidak menerapkan konsensus, maka akan mengabaikan hal-hal yang menjadi concern dari NWS, padahal untuk membuat konferensi itu berhasil diperlukan peran serta dari seluruh NWS. Oleh karena itu, mereka beristegas untuk mengajak negara-negara lain mengupayakan perlucutan senjata nuklir secara bertahap dan pelan-pelan saja, alih-alih mengambil tindakan yang tergesa namun belum ada kesiapan dari semua pihak yang dibutuhkan. Perdebatan

15

(15)

terakhir tersebut menunjukkan bahwa tidak semua negara yang vote ‘No’ terhadap resolusi

L.41 tersebut adalah mereka yang menginginkan senjata nuklir tetap ada.

A.2 Argumen-Argumen yang Mendukung Perlucutan Senjata Nuklir

Semenjak senjata nuklir digunakan pada tahun 1945 dan telah memperlihatkan kepada dunia bagaimana kekuatan yang dimilikinya dapat membahayakan kehidupan manusia, mereka yang menginginkan senjata nuklir dimusnahkan hampir selalu menggunakan pendekatan kemanusiaan sebagai pendukung argumen mereka untuk menyerukan kepada seluruh dunia bahwa senjata nuklir berbahaya dan harus segera dihapuskan. Meski saat ini senjata nuklir tidak lagi digunakan secara langsung dalam peperangan, namun akumulasi dari jumlah senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara dunia masih berada di angka puluhan ribu, yakni 17.000 alutsista. Jumlah tersebut dapat menimbulkan risiko ledakan yang mampu mematikan dua miliar manusia sekaligus. Mereka terus mengingatkan warga dunia bahwa bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki telah mengorbankan nyawa lebih dari 150.000 seketika.16 Bagaimana jika dengan senjata-senjata yang masih dimiliki sekarang yang lebih canggih dan memiliki daya ledak lebih kuat dari sebelumnya dan dapat diluncurkan dari berbagai area (darat, dasar laut, maupun udara).

Daya ledak yang demikian besarnya membuat senjata nuklir dapat dikategorikan ke dalam kelompok senjata pemusnah masal. Sementara di dalam hukum internasional sendiri, senjata pemusnah masal dilarang digunakan dalam perang karena tidak memiliki kemampuan untuk membedakan mana target militer dan warga biasa. Oleh karenanya, penggunaan senjata pemusnah masal seringkali memakan korban warga sipil lebih banyak. Kuat keinginan yang dimiliki oleh berbagai pihak yang mengkampanyekan perlucutan senjata nuklir untuk segera membentuk instrumen hukum yang mengatakan bahwa senjata nuklir adalah senjata yang ilegal dan harus segera dihilangkan dari muka bumi.

Meski sudah tidak digunakan lagi, namun negara-negara masih melakukan uji coba terhadap senjata nuklir. Hal tersebut mungkin tidak sekaligus membunuh ratusan ribu nyawa manusia, namun tetap memiliki dampak yang berbahaya. Radiasi dari uji coba nuklir dapat berbahaya bagi kesehatan manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan yang ditulis oleh NGO Reaching Critical Will, radiasi dari ledakan nuklir dapat merusak sel-sel dalam tubuh manusia yang terpapar dan membuat risiko terkena kanker makin tinggi. Bidang pertanian

16

(16)

akan mengalami kerusakan berat dimana tanah di kawasan yang terpapar radiasi nuklir tidak dapat lagi ditanami. Lebih jauh lagi, kerusakan ini akan berakibat pada krisis makanan yang juga mengancam kelangsungan hidup manusia. Lapisan ozon juga akan mengalami kerusakan berat karenanya dan dengan suhu yang amat panas menjadikan kawasan yang terkena ledakan nuklir menjadi tidak dapat ditinggali. Sehingga, meskipun ada penyintas yang selamat atau tidak langsung meninggal karena ledakan nuklir secara langsung, kehidupan akan lebih sulit dijalani karena pada dasarnya nuklir merusak lingkungan dan kebutuhan lain yang diperlukan manusia untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari.

Pendekatan kemanusiaan masih gencar digunakan bagi negara-negara yang menginginkan pemusnahan senjata nuklir. Penggunaan terhadap pendekatan ini yang terbaru adalah saat dilaksanakannya tiga rangkaian konverensi Humanitarian Initiative.17 Konverensi tersebut menunjukkan meningkatnya dukungan dari berbagai negara dunia, khususnya NNWS, untuk memusnahkan senjata nuklir. Pertemuan yang pertama merupakan pertama kalinya berbagai aktor internasional, dari pemerintah, NGO, maupun pihak swasta lainnya menyampaikan atau mendiskusikan tentang berbagai konsekuensi dari penggunaan senjata nuklir terhadap kehidupan manusia. Berbagai bukti kerusakan dipresentasikan di dalam forum yang diselenggarakan di Oslo, Norwegia pada Maret 2013 lalu.

Konverensi dilanjutkan pada pertemuan kedua di Nayarit, Mexico pada Februari 2014 yang menghasilkan kesepakatan dari negara-negara yang hadir untuk menyerukan pembentukan insturmen hukum internasional yang menyebutkan senjata nuklir adalah ilegal secepatnya. Sedangkan pertemuan terakhirnya di Vienna, Austria pada Desember di tahun yang sama, muncul gagasan untuk membentuk ban nuclear weapons treaty. Rencana pembentukan traktat tersebut merupakan suatu terobosan untuk menyegerakan pencapaian tujuan perlucutan senjata nuklir. Meski sebelumnya telah ada comprehensive nuclear weapons

convention, namun hanya mengatur tentang limitasi penggunaan dan kepemilikan senjata nuklir yang mana masih membutuhkan peran dominan dari NWS. Sementara ban treaty yang dicanangkan ingin mencakup langkah pragmatis tidak harus menunggu concerndari NWS.

Pertemuan Humanitarian Initiative tersebut didasari oleh review conference NPT di tahun 2010 dimana negara-negara mulai menaruh perhatian mereka untuk membicarakan mengenai konsekuensi penggunaan senjata nuklir terhadap kemanusiaan. NPT memang memiliki

17

(17)

pertemuan tiap lima tahunnya untuk mengkaji ulang apa saja yang telah berhasil mereka capai. Namun tidak setiap pertemuan tersebut mampu menghasilkan kesepakatan di antara negara-negara anggotanya. Selain karena berbagai perbedaan pendapat antara NWS dan NNWS, menurut O’Neill NNWS menganggap bahwa keberadaan NPT selama ini hanya digunakan oleh NWS sebagai alat yang melegitimasi kepemilikan nuklir oleh lima negara. Argumen ini disampaikan dengan justifikasi bahwa tidak ada limitasi dan tenggat waktu yang ditentukan secara tegas di dalam NPT untuk mengatur bagaimana NWS harus melucuti senjata nuklirnya. Belum lagi di luar NPT masih terdapat negara-negara berkembang yang memiliki potensi untuk mengembangkan senjata nuklir namun tidak terikat kewajiban untuk terikat pada norma non-proliferasi.18 Hal tersebut yang kemudian mendorong mayoritas dari NNWS untuk membentuk suatu aturan baru yang tidak harus menunggu kesepakatan dari NWS.

Membentuk suatu aturan baru selain NPT yang tidak harus menunggu persetujuan dari NWS bukan berarti menciderai hal-hal yang telah disepakati di dalam NPT. Ketika NWS berargumen bahwa negosiasi 2017 akan merusak pencapaian NPT, salah satunya tidak menerapkan mekanisme konsensus, NNWS berargumen bahwa justru negosiasi NWS ini merupakan bentuk rekomitmen dan memfasilitasi penerapan article VI dari NPT. Disebutkan

bahwa NPT bukanlah suatu traktat yang statis dan membiarkan kepemilikan senjata nuklir tanpa batas bagi NWS,19 maka negosiasi 2017 memiliki prinsip yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh perwakilan Indonesia untuk PBB, Ina Krisnamurthi, bahwa resolusi L.41 untuk menyelenggarakan konverensi pada tahun 2017 tidak akan merusak kesepakatan dalam NPT namun justru memperkuat apa yang telah berhasil disepakati.20

Perdebatan yang masih terus berlanjut hingga saat ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang kita hadapi bersama. Argumen-argumen dari kedua belah pihak memiliki bukti-bukti pendukung yang cukup mampu membuatnya kredibel dan dirasa benar. Namun, apa yang mendasari negara-negara pemilik senjata nuklir beserta aliansinya memutuskan untuk tidak menyetujui resolusi L.41 dan bagaimana argumen-argumen NNWS

18

A. O’Neill, p. 46.

19

R. Acheson, First Committee Monitor 2016 No. 3, Reaching Critical Will, New York, 2016, p. 5.

20I. Krisnamurthi, ‘Report: Statement from Republic Indonesia at the General Debate of the First Committee

71st session of the UN General Assembly,’

Reaching Critical Will (daring), <

(18)

beserta sejumlah NGO belum mampu mempersuasi negara lain untuk akhirnya mau bekerjasama dalam resolusi tersebut akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya.

B. Kepemilikan Senjata Nuklir sebagai Bagian dari Aksi Strategis

Argumen-argumen yang ada dalam perdebatan mengenai kepemilikan senjata nuklir telah banyak dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Bagaimana NWS, yang diwakilkan oleh Rusia, mengatakan bahwa dunia belum cukup siap untuk benar-benar melakukan pemusnahan senjata nuklir21 karena upaya perlucutan senjata nuklir seharusnya dilakukan secara bertahap dengan partisipasi dari semua pihak yang bersangkutan, baik NNWS maupun NWS itu sendiri. Keputusan untuk membuat instrumen hukum yang mengharuskan pemusnahan senjata nuklir bagi mereka merupakan sesuatu hal yang terlalu ambisius dan tergesa-gesa. Alasan lain yang sering digunakan oleh hampir semua NWS dan para aliansinya, yakni pihak yang ingin mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, adalah bahwa sistem internasional yang mereka hadapi anarkis dan penuh dengan ketidakterdugaan. Oleh karena itu, seperti yang disampaikan oleh Robert Gates22, lebih baik untuk melakukan persiapan untuk mempertahankan diri dari segala kemungkinan yang dapat mengancam keamanan mereka. Lebih jauh lagi, juga terdapat argumen yang menyatakan bahwa kepemilikan senjata masih signifikan guna melaksankan peace-keeping.

Beragam argumen yang disampaikan oleh NWS beserta negara-negara lain yang mendukung mereka mengindikasikan bahwa mereka tidak ingin kepemilikan terhadap senjata nuklir menjadi berstatus ilegal, terlebih lagi apabila terdapat keharusan untuk memusnahkan senjata nuklir. Namun di balik berbagai macam argumen yang mereka lontarkan tersebut, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang pendorong tindakan mereka? Pada bagian pembahasan ini, penulis akan mencoba menjelaskan lebih lanjut alasan mengapa mereka melakukan tindakan yang mereka pilih. Mengingat bahwa NWS beserta aliansi maupun pendukungnya merupakan aktor strategis, sehingga pilihan tindakan yang mereka ambil merupakan tindakan yang rasional dan strategis bagi mereka.

21‘Full Voting Result on UN Resolution L.41,’

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), 27 Oktober 2016, < http://www.icanw.org/campaign-news/results/>, diakses pada 8 Desember 2016.

22

(19)

B.1 Negative Framingterhadap Isu Perlucutan Senjata Nuklir

Negara-negara yang memiliki senjata nuklir telah merasakan berbagai pengaruh atas status kepemilikan tersebut terhadap posisi mereka di dunia internasional selama puluhan tahun. Senjata nuklir mampu menyumbangkan kestabilan yang efektif di dalam sistem internasional yang penuh dengan ketidakterdugaan. Hal ini disebabkan karena senjata nuklir dapat menjadi instrumen deterrence yang baik dalam menjaga hubungan antarnegara. Maksud dari pernyataan tersebut mengenai deterrence adalah kemampuan (yang dimiliki oleh suatu negara yang memiliki senjata nuklir) untuk menghalangi kemungkinan serangan yang akan didapatkan dari pihak yang berpotensi menjadi musuh. Tindakan buruk oleh musuh yang ditujukan kepada suatu negara dapat dihalangi dengan cara memberikan gambaran kepada mereka jika mereka memilih untuk menyerang, maka akan ada risiko dan biaya besar yang harus ditanggung.23

Memiliki senjata nuklir dengan kemampuan untuk menghancurkan suatu area luas sekaligus memusnahkan ratusan ribu manusia dengan ledakannya dalam satu waktu membuat negara yang memilikinya dapat mengancam musuh dengan kemampuan yang ia miliki tersebut untuk memusnahkannya. Mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh senjata nuklir, maka negara lain cenderung mengambil langkah untuk mengurungkan niatnya untuk menyerang dan mencegah kehancuran yang bisa ia dapatkan. Prinsip ini juga berlaku kepada sesama NWS, karena meskipun sama-sama memiliki kemampuan untuk menghancurkan lawan namun perang nuklir sama berarti dengan kehancuran dunia. Oleh karena itu, senjata nuklir dianggap sebagai instrumen deterrence yang efektif. Disebut efektif bersamaan dengan bukti

yang mereka sampaikan bahwa semenjak senjata nuklir dikembangkan, telah berkurang jumlah perang terbuka secara drastis. Sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut, meski beberapa peperangan masih terjadi di dunia namun jumlahnya menurun secara drastis terutama setelah era nuklir berlangsung pada sekitar tahun 1940-an.24

23C. J. Lamb,

How to Think About Arms Control, Disarmament, and Defense, Prentice-Hall Inc., New Jersey, p. 63.

24

J. Aziz, ‘Against Unilateral Nuclear Disarmament,’ Pieria (daring), 3 Oktober 2015, <

(20)

Senjata nuklir mampu membatasi cakupan konflik dan meredam konfrontasi antarnegara, misalnya ketika terjadi konflik antara Rusia dan AS tidak terjadi perang terbuka antarkeduanya meski sama-sama mengembangkan senjata nuklir pada saat itu. Hal tersebut yang menyebabkan NWS dan beberapa aktor lainnya mempertanyakan apakah ada instrumen lain sebagai alternatif dari kemampuan deterrence yang dimiliki oleh senjata nuklir bila

akhirnya akan dimusnahkan?25

Alasan yang menghambat norma non-proliferasi diperketat menjadi wajib dilakukan oleh semua negara dan berusaha mencapai tujuan yang lebih besar, yakni untuk melucuti senjata nuklir, adalah keberadaan security dilemma di antara negara-negara. Security dilemma

berangkat dari anggapan pentingnya mengupayakan self-help dalam mempertahankan keamanan negara. Namun seringkali upaya self-help tersebut dianggap menjadi ancaman bagi negara lainnya karena adanya ketakutan dan rasa saling tidak percaya.26 Anarkisme dan ketidakterdugaan dunia internasional membuat negara-negara khawatir akan ancaman terhadap keamanan mereka, terlebih ketika melihat negara lain memiliki kemampuan senjata yang lebih hebat dibanding mereka. Terdapat kecenderungan bagi negara-negara tersebut menginginkan untuk memiliki senjata yang lebih banyak dan lebih hebat, salah satunya senjata nuklir, daripada negara lain dengan alasan “persiapan” untuk menjaga keamanan mereka—si vis pacem para bellum.

25

S. Ülgen, ‘The Case Against Total Nuclear Disarmament,’ Bulletin of the Atomic Scientist (daring), 25 Agustus 2014, < http://thebulletin.org/zero-correct-goal/case-against-total-nuclear-disarmament>, diakses pada 13 Desember 2016.

26

J. Baylis & S. Smith,The Gobalization of World Politic,Oxford University Press Inc., New York, 2001, p. 257.

Gambar 2: Grafik yang menunjukkan menurunnya jumlah perang yang terjadi, terutama setelah berkembangnya senjata nuklir.

(21)

Sedangkan kebijakan non-proliferasi didasari pada anggapan bahwa negara seharusnya sudah cukup percaya diri dengan kemampuan militer mereka karena sudah memiliki senjata konvensional, sehingga tidak perlu mengembangkan senjata nuklir.27 Anggapan tersebut kemudian dibantah dengan alasan bahwa hal tersebut justru mengakibatkan arms race yang

terus berlanjut—tidak ada hentinya—demi menanggulangi security dilemma yang dimiliki negara-negara.28 Hal ini terjadi karena tidak ada senjata konvensional yang memiliki daya hancur sebesar senjata nuklir. Sehingga sebanyak apa pun senjata konvensional yang mereka miliki tidak cukup untuk melepaskan mereka dari ketakutan akan ancaman dari negara lain dan persaingan kemampuan militer antarnegara.

Argumen-argumen yang mereka sampaikan beserta bukti-bukti yang mendasarinya tersebut membawa pada suatu inferensi bahwa senjata nuklir diperlukan untuk menjaga keamanan dunia. Berangkat dari hal tersebut, ide untuk melakukan extended deterrence di dalam rezim NPT diaplikasikan oleh NWS.29 Ide tersebut merupakan salah satu upaya re-framing yang dilakukan oleh NWS terhadap negara-negara lain, terutama anggota NPT, bahwa senjata nuklir dapat menjaga kestabilan dan keamanan dunia. Oleh karenanya, di dalam NPT disebutkan bahwa senjata nuklir digunakan untuk tujuan perdamaian. Selain itu meski NNWS tidak boleh menginginkan kepemilikan senjata nuklir serta NWS secara bertahap akan melakukan mengurangi senjata nuklir, namun NWS disebut akan memberikan kondisi dunia internasional yang stabil karena adanya senjata nuklir.

Framing atau pembingkaian merupakan bagaimana suatu aktor mendefinisikan dan

memandang sesuatu maupun suatu situasi dan menentukan apa yang akan menjadi fokusnya.30 Bagi NWS, telah mengakar di dalam pemahaman mereka mengenai bagaimana mereka membingkai kepemilikan senjata nuklir memang suatu hal yang esensial bagi kehidupan bernegara di level internasional. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai bagaimana argumen yang disampaikan oleh NWS dalam rangka mempertahankan kepemilikan senjata mereka, hal tersebut merupakan bagian dari framing yang berpengaruh terhadap keyakinan mereka sendiri akan pentingnya senjata nuklir dan re-framing ketika

27B. H. Weston,

Toward Nuclear Disarmament and Global Security, Westview Press, Colorado, 1984, p. 429.

28

S. Ülgen, ‘The Case Against Total Nuclear Disarmament,’ Bulletin of the Atomic Scientist (daring), 25 Agustus 2014, < http://thebulletin.org/zero-correct-goal/case-against-total-nuclear-disarmament>, diakses pada 13 Desember 2016.

29A. O’Neill, p. 46. 30

(22)

mereka berusaha mempersuasi negara lain untuk mengubah dan menyamakan bingkai mereka sebagaimana bingkai yang diyakini oleh NWS.

Jika dilihat berdasarkan jenis-jenis bingkai,31 NWS telah melakukan beberapa macam pembingkaian. Substantive framing dilakukan ketika dalam perdebatan NWS menyampaikan isu pokok yang menjadi perhatian mereka, yakni mempertahankan kepemilikan senjata nuklir untuk berbagai macam kepentingan. Identity framing ditunjukkan ketika pembentukan NPT dan kesempatan-kesempatan lain ketika mereka membahas mengenai NPT. Karena di dalam NPT mereka mengkonstruksikan sebutan NWS dan NNWS yang membedakan status di antara negara-negara. Di dalam perundingan untuk voting draf resolusi L.41, NWS juga menggunakan process framing dalam menyampaikan argumen penolakan mereka. Pembingkaian tersebut membawa mereka pada posisi menolak mekanisme voting yang digunakan dalam perundingan perlucutan senjata nuklir. Sebaliknya, mereka menginginkan proses perundingan yang mengambil keputusan berdasarkan konsensus sebagaimana diterapkan dalam NPT.32

Pembingkaian memang tidak dapat dihindari ketika memahami suatu isu yang dibicarakan. Namun pembingkaian juga bisa mengarahkan pada bias-bias kognitif yang menghalangi tercapainya kesepakatan dalam perundingan. Suatu aktor strategis akan cenderung memahami suatu situasi atau isu baru sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka peroleh di waktu-waktu yang lalu.33 Dalam perundingan baru—dengan mekanisme voting dan menggunakan

pendekatan kemanusiaan—mengenai perlucutan senjata nuklir, NWS menolak dengan argumennya yang didukung dengan bukti-bukti yang terjadi di masa lampau, misalnya mengenai kemampuan deterrence pada masa Perang Dingin. Oleh karena itu di dalam perundingan NWS cenderung bersikeras mempertahankan argumennya dan tidak terbuka dengan argumen yang coba disampaikan oleh negara lain yang menginginkan perlucutan senjata dalam perundingan tersebut karena bukti-bukti di masa lalu yang mendukung argumen mereka begitu kuatnya mereka yakini. Bukan sesuatu hal yang mengejutkan ketika akhirnya dalam perundingan mengenai perlucutan senjata nuklir NWS dan pendukungnya memiliki negative framing dari awal, yakni tidak setuju dengan framing yang ditawarkan oleh pihak pengusul (OEWG) untuk dirundingkan dan bersikeras untuk menolak keputusan perundingan tersebut bagaimana pun juga.

31R. J. Lewicki, D. M. Saunders & B. Barry, pp. 116-7. 32‘Full Voting Result on UN Resolution L.41,’

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), 27 Oktober 2016, < http://www.icanw.org/campaign-news/results/>, diakses pada 21 November 2016.

33

(23)

B.2 Posisi NWS di dalam Domain of Gain

Suatu aktor strategis ketika telah memiliki framing terhadap suatu isu, besar kemungkinan ia

juga telah memiliki atau membangun imagination capitalnya yakni gambaran mengenai apa

yang akan ia lakukan dan dapatkan di masa depan. Bagaimana suatu aktor strategis memandang suatu isu dan kepercayaannya akan bayangan di masa depan berpengaruh terhadap reference pointatau nilai yang mereka percaya telah mereka miliki pada saat itu. Di dalam teori prospek, bagaimana suatu aktor memandang reference point mereka akan sangat berpengaruh pada tindakan dan pilihan yang akan diambilnya di masa depan. Berbicara mengenai nilai yang menjadi dasar reference point, hal ini berkaitan erat dengan untung dan rugi.

Sementara itu para aktor strategis cenderung memiliki penilaian yang berbeda akan suatu keuntungan dan kerugian. Hal ini berarti, meski aktor satu dan lainnya sama-sama mengalami untung atau rugi dalam jumlah yang sama namun mereka merasakan dan mengartikannya dengan cara yang berbeda. Ketika telah memahami dengan seksama bagaimana reference

point yang ia miliki, hal tersebut menjadi bahan pertimbangan akan outcome di masa depan

ketika aktor tersebut mengambil suatu keputusan. Reference point berupa penilaian akan

keadaan untung maupun rugi yang sedang mereka hadapi saat ini akan berpengaruh pada penilaian terhadap outcome yang akan ia dapatkan berupa suatu keuntungan atau kerugian.

Atas pengertian dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa suatu aktor cenderung mengambil keputusan atas dasar untung-rugi—rational choice. Namun konsep mengenai teori prospek

yang ditawarkan oleh Kahneman dan Tversky34 tidak semudah menilai bahwa aktor akan selalu mengambil keputusan yang membawanya kepada keuntungan lebih. Rational choice

yang diambil oleh suatu aktor strategis didasarkan pada reference point aktor tersebut pada saat itu, apakah ia berada di dalam domain of gain atau domain of loss. Asumsi dasar yang dijelaskan oleh dua tokoh tersebut yang melakukan pendekatan psikologis dalam menilai bagaimana suatu aktor bertindak adalah bahwa aktor yang berada di dalam domain of loss

akan cenderung lebih berani untuk mengambil risiko. Dalam konteks ini mengambil risiko berarti menggunakan kesempatan yang mereka miliki untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau banyak, meski tidak dapat dipastikan bahwa mereka akan benar-benar mendapatkan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hal ini mereka lakukan karena di dalam

34

(24)

pertimbangannya, mereka memiliki imagination capital bahwa mereka berkesempatan untuk

memiliki sesuatu yang lebih dari apa yang mereka miliki sekarang yang dikonsiderasikan sebagai suatu kerugian. Sebaliknya, aktor yang berada di dalam domain of gain akan lebih

memilih untuk sebisa mungkin menghindari risiko. Mereka telah memiliki nilai yang mereka anggap merupakan suatu keuntungan yang sudah cukup bagi mereka, sehingga dalam mengambil keputusan akan lebih mempertimbangkan apakah langkah yang akan mereka ambil memiliki potensi yang memungkinkan mereka kehilangan keuntungan yang telah dimiliki saat ini.

Posisi NWS di dalam perdebatan mengenai kepemilikan senjata nuklir ini adalah berada pada

domain of gain. Senjata nuklir yang mereka miliki menempatkan mereka pada posisi

reference point yang menguntungkan saat ini. Keberadaan senjata nuklir, sebagaimana yang telah disebutkan berulang kali pada pembahasan sebelumnya, menurut mereka mampu menjaga kestabilan hubungan antarnegara di dalam dunia internasional. Kestabilan yang tercipta merupakan hasil dari kemampuan deterrence yang dimiliki oleh senjata nuklir

sebagai senjata strategis. Keberadaannya mampu membatasi negara-negara, terutama NWS, yang sedang berkonflik untuk melakukan penyerangan langsung kepada satu dan yang lain. Suatu riset menemukan bahwa military budget negara NWS dapat dikurangi karena

keberadaan kemampuan deterrence yang dimiliki oleh senjata nuklir,35 sehingga negara lebih

dapat menahan keinginan untuk berperang menggunakan senjata ketika suatu konflik muncul.

Selain itu, berkaitan dengan masalah keamanan, bagaimana negara-negara mengalami

security dilemma yang mendorong mereka untuk melakukan persaingan dalam kepemilikan

alutsista juga lebih dapat dikontrol dengan keberadaan senjata nuklir. NWS dpt mengurangi pengeluaran uang negara mereka untuk memperbarui persenjataan konvensional mereka dan dapat menanggulangi rasa insecurity yang mereka miliki ketika telah memiliki senjata nuklir dengan second-strike capability untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan yang diluncurkan oleh pihak lawan. Meski tidak setiap saat terdapat pihak yang ingin melawan atau menyerang suatu negara, namun di dalam sistem internasional yang anarkis dan penuh dengan ketidakpastian ini bersiap diri merupakan suatu hal yang penting, sedangkan kemampuan untuk membalas serangan (second-strike capability) juga tidak kalah pentingnya. Bukan sekedar digunakan untuk benar-benar membalas serangan, tetapi juga untuk

35 S. Ülgen, ‘The Case Against Total Nuclear Disarmament,’

(25)

ditunjukkan kepada pihak luar bahwa negara tersebut memiliki kemampuan membalas serangan yang lebih kuat, maka jika ada pihak yang berani melawannya, ia harus memperhitungkan dan menanggung sendiri risikonya—hal ini yang juga disebut dengan

deterrence.

Segala kemampuan yang dimiliki oleh negara pemilik senjata nuklir tersebut tentu memberikan banyak keuntungan terutama di bidang keamanan negara tersebut. Selain itu, berbagai keuntungan tersebut juga mampu menempatkan mereka sebagai negara yang kuat secara persenjataan di dunia internasional. Sebagian besar NWS yang memiliki kemampuan militer yang kuat tersebut membuat mereka menjadi negara nuclear power yang mampu membawa mereka pada posisi khusus di dunia internasional. Dalam sistem internasional, terutama dalam perundingan terkait dengan isu keamanan, tentu NWS memiliki status dan posisi yang berbeda dibanding dengan negara lainnya. Misalnya dalam setiap perundingan NPT, penyebutan NWS dan NNWS merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahwa status mereka berbeda. Status dan posisi mereka lebih tinggi juga ditunjukkan di dalam pilar-pilar NPT yang telah disepakati, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa NWS bertanggung jawab atas penggunaan senjata nuklir untuk tujuan damai dan juga melindungi negara anggota lainnya. Keuntungan akan power dan status tersebut membuat mereka

cenderung ingin untuk selalu mempertahankan posisi mereka. Sebagaimana mereka mengkonstruksikan suatu konsep extended-deterrence di dalam NPT yang menempatkan

NWS memiliki peran dominan di dalamnya untuk mengontrol keberadaan dan menentukan pembatasan senjata nuklir.

Berbagai macam keuntungan yang telah didapatkan oleh NWS dengan memiliki senjata nuklir menempatkan mereka di dalam domain of gain pada perundingan mengenai rencana perlucutan senjata nuklir. Selain keadaan menguntungkan yang telah mereka miliki, mereka juga berada pada posisi yang menguntungkan ketika mereka menggunakan negative framing

dalam merundingkan isu perlucutan senjata nuklir. Secara teori, aktor yang memiliki negative

framing terhadap suatu isu akan lebih mendapatkan lebih dalam suatu perundingan.36 Hal ini dapat terjadi ketika mereka melakukan tuntutan kepada pihak affirmative dalam perundingan beberapa syarat agar mereka akhirnya mau menyetujui hasil perundingan dan tuntutan tersebut dipenuhi.

36

(26)

Ketika NWS telah memiliki keuntungan yang banyak dari awal dengan kepemilikan senjata nuklirnya, maka ketika diminta untuk menyetujui rencana pemusnahan total senjata nuklir mereka menolak. Mereka telah mendapat keuntungan banyak sejak awal namun tiba-tiba di tengah jalan diminta oleh pihak lain untuk bekerjasama dengan menyerahkan status kepemilikan senjata nuklir mereka, tentu mereka menolak karena hal tersebut dianggapnya sebagai outcome yang membawa kerugian. Meski pihak lawan berunding telah mengkomunikasikan keuntungan-keuntungan yang lebih besar yang bisa didapatkan dengan terciptanya dunia tanpa senjata nuklir, misalnya kehidupan manusia yang lebih aman dan sehat tanpa adanya ancaman dari bahaya ledakan nuklir, namun mereka tetap menolak karena emosi yang dihasilkan dari kehilangan sesuatu yang telah lama dimilikinya lebih besar dibandingkan emosi ketika mendapatkan keuntungan baru.37

Meski pihak lawan berunding telah memberikan imagination capital yang bersifat menguntungkan setelah NWS mau menyerahkan keuntungan mereka—yang dalam kasus ini disimbolkan dengan senjata nuklir, namun hal tersebut masih belum pasti. Tidak ada jaminan bahwa setelah senjata nuklir dimusnahkan akan tercapai tingkat kestabilan yang sama seperti

deterrence yang telah berhasil dilakukan oleh senjata nuklir. Oleh karena itu, aktor strategis

akan mengambil pilihan rasional yakni memilih mempertahankan suatu hal yang sudah pasti dan menjaga status quo daripada mengambil risiko yang berpotensi akan mengalami

kehilangan. Losing something after gaining it for a long time is painful.Jika dikaitkan dengan

antisipasi—look forward and reason back—maka pilihan yang diambil oleh NWS saat ini sudah cukup strategis. Untuk menghindari ketidakpastian di masa depan, maka saat ini mereka memilih untuk mengambil pilihan yang sudah pasti saja. Karena pilihan yang diambil masa kini akan berpengaruh pada masa depan.

B.3 Sunk-cost

Kepemilikan senjata nuklir selama puluhan tahun dan menjaga beberapa alutsista yang masih tersisa merupakan suatu bentuk komitmen yang dijalankan oleh NWS. Ketika dalam sidang

First Committee PBB yang merundingkan mengenai rencana perlucutan senjata nuklir, NWS diminta untuk melakukan dekomitmen atas kepemilikan senjata nuklir mereka. Terdapat beberapa hal yang menjadi penghambat aksi dekomitmen oleh NWS dan membuat mereka pada akhirnya vote ‘No’ terhadap draf resolusi L.41. Alasan yang paling mendasar adalah

37

(27)

adanya pertimbangan beban dan kerugian yang harus ditanggung oleh NWS ketika mereka harus melepaskan senjata nuklir yang selama ini menjadi aset berharga bagi keamanan dan kemampuan militer negara mereka.

Beban atau kerugian yang menjadi pertimbangan suatu aktor ketika akan melakukan dekomitmen biasa disebut dengan sunk-cost. Pemikiran mengenai sunk-cost yang harus

mereka tanggung menjadi pertimbangan mereka dan membuat mereka bertindak dengan

irrational escalation of commitment. Bagaimana tidak, telah banyak hal yang dilakukan oleh NWS sebagai investasi dan bentuk komitmen untuk mempertahankan kepemilikan senjata nuklir mereka. Namun ketika harus melakukan dekomitmen, maka biaya yang telah dikorbankan untuk menjalankan komitmen sebelumnya dan sebagai bentuk investasi akan hilang begitu saja. NWS beranggapan bahwa dengan dekomitmen untuk melakukan perlucutan senjata nuklir, maka mereka akan kehilangan banyak hal yang telah mereka investasikan dalam pengembangan senjata nuklir selama bertahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kehilangan akan sesuatu yang telah lama dimiliki oleh suatu aktor akan sangat merugikan dan menyakitkan.

Pertimbangan mengenai sunk-cost yang harus ditanggung sangatlah berarti bagi NWS.

Mereka akan cenderung tetap menjaga komitmen mereka dalam aksi yang telah mereka lakukan sebelumnya, yakni menjaga kepemilikan senjata nuklir mereka meskipun alasan mereka irasional. Meskipun senjata nuklir bukan merupakan senjata konvensional dan kecil kemungkinan negara-negara akan menggunakannya secara reguler dalam menjalin hubungan dengan negara lain maupun saat peperangan, mereka akan tetap mempertahankannya. Hal tersebut yang dinamakan dengan irrational escalation of commitment.38 Eskalasi komitmen yang didasari dengan alasan-alasan irasional merupakan salah satu bentuk dari bias kognitif. Adanya bias kognitif dalam perundingan mengenai perlucutan senjata nuklir akan menghambat jalannya negosiasi untuk mencapai sebuah kesepakatan. Pertimbangan ini dan beberapa poin yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya telah menjelaskan mengapa NWS sebagai aktor strategis pada akhirnya vote ‘No’ pada draf resolusi L.41 bulan Oktober 2016 lalu.

38

(28)

BAB III ANALISIS

Upaya untuk melucuti senjata nuklir sebenarnya sudah dimulai segera setelah AS mampu mengembangkan senjata nuklir untuk pertahanan keamanan nasionalnya. Kala itu PBB mengadakan pertemuan dengan Majelis Umum untuk pertama kali pada tahun 1946, kurang dari satu tahun semenjak AS menggunakan senjata nuklir untuk menyerang dan menghancurkan dua kota penting di Jepang pada saat Perang Dunia Kedua. Pertemuan pertama PBB tersebut membahas mengenai pengembangan penemuan energi atom, yang berhasil digunakan oleh AS sebagai salah satu senjata pemusnah masal, serta bagaimana implikasinya dalam hubungan antarnegara di dunia setelah adanya perkembangan tersebut.39

Pertemuan pertama tersebut berhasil mengeluarkan resolusi pertama Majelis Umum PBB berjudul ‘Establishment of a Commission to Deal with the Problems Raised by the Discovery

of Atomic Energy.’ Resolusi tersebut berhasil diadopsi oleh PBB pada Januari 1946 setelah

direkomendasikan oleh First Committee. Resolusi tersebut berisi mengenai menciptakan standar ukur sejauh mana energi atom, yang di dalamnya termasuk nuklir, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan damai. Selain itu, lebih lanjut lagi, melalui resolusi tersebut PBB menyerukan untuk segera dilakukan penghapusan senjata atom—nuklir serta senjata lainnya yang dikategorikan ke dalam senjata pemusnah masal.40

Selain resolusi pertama tersebut, PBB telah beberapa kali menyediakan framework untuk

berbagai macam perjanjian internasional yang membatasi pengembangan senjata nuklir. Sebelum NPT, yang telah banyak dibahas di bagian lain paper ini, diterapkan, telah ada

berbagai legal instruments41 pembatasan pengembangan serta penggunaan senjata nuklir. Di antaranya terdapat Partial Test Ban Treaty (PTBT) yang mengatur mengenai pelarangan uji coba senjata nuklir oleh suatu negara yang daya ledaknya mencapai batas luar negara yang melakukan hal tersebut. Cakupan yang lebih luas lagi diatur dalam perjanjian Outer Space

Treaty yang berisi tentang larangan membawa senjata nuklir ke dalam orbit di ruang angkasa. Ketika darat, udara, serta ruang angkasa telah memiliki aturan yang melarang uji coba nuklir terhadapnya, kemudian dibentuk pula perjanjian yang melarang peletakan senjata nuklir di

39

‘This Day in History,’ History (daring), < http://www.history.com/this-day-in-history/first-meeting-of-the-united-nations>, diakses pada 20 Desember 2016.

40 ‘First Committee,’

United Nations (daring), < http://www.un.org/en/ga/first/ >, diakses pada 20 Desember 2016.

41

‘Indonesia: Treaties,’ Nuclear Threat Initiative (daring), <

(29)

dasar laut untuk menghindari underwater arms race dan mendorong eksplorasi wilayah

perairan untuk tujuan damai saja. Perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan Seabed Treaty.

Selain ketiga perjanjian tersebut, masih terdapat kurang lebih sepuluh perjanjian lainnya yang telah diterapkan dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB, maupun yang sedang dalam tahap perundingan, seperti Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT).

Keberadaan legal instruments tersebut yang mengatur berbagai macam pembatasan pengembangan dan uji coba senjata nuklir, serta perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya mengarahkan pada suatu dampak dimana norma non-use yang coba diperkuat oleh berbagai perjanjian tersebut sudah mampu dipenuhi atau dipatuhi oleh negara-negara dunia. Terbukti bahwa semenjak tahun 1945 tidak ada negara yang menggunakan senjata nuklir dalam perang terbuka. Namun, norma non-proliferasi masih beberapakali dilanggar, terutama pada periode pasca tahun 1970-an dimana mulai banyak negara selain AS yang turut mengembangkan senjata nuklir.42 Terlebih lagi Korea Utara masih mengembangkan senjata nuklirnya hingga masih melakukan uji coba terhadap senjata nuklir yang mereka kembangkan pada tahun 2006.43

Selain melalui PBB, negara-negara juga melakukan berbagai upaya untuk membatasi penggunaan serta pengembangan senjata nuklir baik dengan mengadakan perundingan secara bilateral maupun multilateral dalam suatu regional. Misalnya AS dengan Uni Soviet dengan serangkaian perundingan SALT mereka. Contoh lain misalnya Indonesia ketika menjadi Direktur Jendral ASEAN pada tahun 2011 juga memfasilitasi penerapan dari hasil revisi perundingan Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (SEANWFZ) Protocol antara negara-negara anggota ASEAN dengan NWS. Indonesia mendorong pengadaan konsultasi antara negara-negara anggota ASEAN dengan NWS untuk menyetujui zona bebas nuklir di Asia Tenggara dan meratifikasi protokol SEANWFZ44 yang mengindikasikan bahwa NWS tidak akan pernah menggunakan atau menaruh senjata nuklir mereka di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong aksi untuk mencapai tujuan utama yakni perlucutan senjata nuklir tidak hanya datang dari framework PBB, namun juga inisiatif dari negara-negara baik secara bilateral maupun multilateral.

42

A. O’Neill, p. 50.

43

‘Nuclear Weapons Timeline,’ International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (daring), <

http://www.icanw.org/the-facts/the-nuclear-age/>, diakses pada 7 Desember 2016.

44 ‘National Progress Report: Indonesia,’

Nuclear Security Summit (daring), 31 Maret 2016, <

(30)

Aktor lain selain negara, misalnya organisasi internasional non-profit (NGOs) juga memiliki peran yang besar dalam mengkampanyekan upaya perlucutan senjata nuklir. Upaya yang dilakukan oleh berbagai macam NGOs yang bergerak di bidang eliminasi senjata nuklir tidak hanya berhenti pada seruan yang mereka lontarkan mengenai bahaya nuklir saja. Kegiatan

yang mereka lakukan beragam dan perannya cukup signifikan di dalam politik global terutama untuk melakukan lobi-lobi kepada pemerintah tiap negara dan juga PBB untuk menyegerakan agenda eliminasi senjata nuklir. Meski terdapat berbagai macam nama NGOs anti-nuklir, namun sebagian besar dari mereka memiliki basis kegiatan yang terintegrasi antara satu dengan yang lain.

Di antara berbagai NGOs yang menentang keberadaan senjata nuklir adalah gerakan massa

Campaign for Nuclear Disarmament yang dibentuk di Inggris pada tahun 1958.45 Kegiatan

yang mereka lakukan adalah untuk melobi pemerintah agar mau melakukan eliminasi terhadap senjata nuklir yang mereka miliki untuk mencapai tujuan masa depan yang bebas dari ancaman senjata nuklir. Namun basis gerakan ini hanya fokus di Inggris saja. Sedangkan pada tahun 1999, Women’s International League for Peace and Freedom (WILPF) membentuk NGO yang dikenal dengan nama Reaching Critical Will. NGO tersebut memiliki berbagai macam kegiatan seperti melakukan analisis, monitoring, mengirimkan berbagai laporan hasil analisis kepada PBB atau organisasi internasional lainnya mengenai perkembangan upaya perlucutan senjata nuklir, serta mengadvokasi upaya perlucutan senjata

nuklir.46Reaching Critical Will memiliki dua markas utama yakni di Jenewa dan New York. Namun NGO tersebut mampu mengorganisasi pergerakan kampanye global dalam perlucutan

senjata nuklir, dengan kata lain basis kegiatannya memiliki cakupan yang lebih luas jika dibandingkan dengan CND.

Reaching Critical Will bekerjasama dengan berbagai macam NGOs serupa, seperti

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN). Keduanya sering mengikuti

berbagai sidang PBB yang terbuka bagi NGOs, terutama sidang yang diadakan oleh First Committee yang membahas mengenai senjata nuklir. Seperti pada sidang PBB bulan Oktober lalu untuk melakukan voting terhadap draf resolusi L.41. ICAN dan Reaching Critical Will sering mengeluarkan bahan publikasi gabungan terkait perkembangan terkini atau pengetahuan umum mengenai bahaya senjata nuklir, sebagaimana dicantumkan dalam

45‘The History of CND,’

Campaign for Nuclear Disarmament (daring), < http://www.cnduk.org/about/history >, diakses pada 20 Desember 2016.

46

‘Who We Are,’ Reaching Critical Will (daring), < http://www.reachingcriticalwill.org/about-us/who-we-are

Gambar

Gambar 1:
Gambar 2:

Referensi

Dokumen terkait

Winarno Surachman, Perkembangan Pribadi dan Keseimbangan Mental, IKIP, Bandung, 1965, hlm.7... 1) Pengayoman Polri kepada masyarakat, harus menyentuh setiap lapisan

Berikut ini perhitungan Workload untuk mesin pada packaging primer (Groover, 2001). Apakah perusahaan akan menggunakan 1 mesin atau menambah jumlah mesin menjadi 2

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah keluarga harus ada yang menjadi pimpinan, sejak awal kepemimpinan keluarga itu telah di amanahkan kepada

Hasil uji identifikasi cemaran bakteri Escherichia coli pada sampel ikan layang (Decapterus sp.) diperoleh hasil negatif mengandung bakteri Escherichia coli

Pada konteks tindakan berdasarkan Hermeneutik Kritis Jurgen Habermas dalam buku The Theory of Communication Action, ada empat tindakan yang dibagi oleh Habermas

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Penanggung Jawab Kegiatan melakukan kegiatan berupa pembuatan atau menjawab surat permohonan untuk mengadakan bimtek, melakukan koordinasi, pelaksanaan bimbingan teknis, sampai

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan