• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun sekolah efektif

Dalam dokumen Supervisi Evaluasi dan Efektifitas Sekol (Halaman 25-39)

Pertama-tama perlu dipahami bahwa membangun sekolah efektif di Indonesia mesti dilihat dalam skala nasional, paling tidak karena tiga alasan fundamental berikut. Pertama, Indonesia dibangun berdasarkan unity in diversity (persatuan dalam keanekaragaman suku, bahasa, agama, dan ras) bukan dibangun atas unity in uniform (persatuan dalam keseragaman agama, misalnya). Kedua, pembangunan di sektor pendidikan selama lebih

kurang 35 tahun pada era Suharto belum bisa dikatakan berhasil dengan memuaskan, terbukti dengan temuan United Nations Development Programme (UNDP) bahwa mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia sampai tahun 2000 berada pada tingkat 109. Mutu SDM ini didukung oleh hasil survai The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) bahwa sistem pendidikan Indonesia (sebelum menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah-MBS) berada pada tingkat ke-12 dari 12 negara. Karena itu, pemerintah segera membentuk Komisi Nasional Pendidikan (KNP) tahun 2001 untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai model manajemen pendidikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas SDM termasuk perbaikan sekolah. Inilah cerita awal mengenai kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia dan diterapkannya MBS secara wajib di Indonesia. Ketiga, konsep sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh dilihat secara terpisah, tetapi dilihat dalam rentangan waktu yang sama. Di belahan dunia mana pun, tidak ada yang menerapkan 100% sentralisasi dan 100% desentralisasi karena bisa menyebabkan disintegrasi bangsa dan sikap-sikap anarki dan ketergantungan yang tinggi.

Berhubungan dengan ketiga hal di atas, efektivitas dan perbaikan sekolah bukan semata-mata persoalan sekolah, orangtua, dan peserta didik semata, melainkan persoalan nasional. Karena itu, mengembangkan sekolah yang efektif tidak pernah terpisahkan dari peran pemerintah pusat untuk menyediakan tujuan pendidikan nasional yang nyata lewat

dengan pelimpahan kuasa, wewenang, dan tanggung jawab ke sekolah sesuai dengan standardisasi pendidikan yang ditentukan; dan dukungan pemerintah berkaitan dengan waktu yang disediakan untuk mengadakan perbaikan, dukungan finansial, dan sumber daya manusia.

Lalu, dengan school resources (sumber daya sekolah: sumber daya manusia, dana, fasilitas sekolah, kurikulum sekolah, manajemen sekolah, dan hal-hal lain yang mendukung kualitas sekolah) yang ada, misalnya block grants, sebut saja dana Bantuan Operasional Sekolah yang dimulai sejak tahun 2001 sampai 2005, dana dekonsentrasi untuk rehabilitasi gedung sekolah tahun 2006, dewan sekolah diberi wewenang sungguh-sungguh untuk mengambil keputusan mengenai: pemilihan buku teks; anggaran dan pelaksanaan pembangunan dan renovasi gedung sekolah. Lebih bagus lagi kalau perekrutan guru dan kepala sekolah menjadi wewenang sekolah, bukan lagi pemerintah. Selain itu, beriringan dengan program-program pelatihan kepemimpinan dan manajemen sekolah yang diinisiatif pemerintah dan/atau kerja sama pemerintah dengan lembaga internasional, sekolah mesti benar-benar diberi kuasa, otoritas, dan tanggung jawab untuk menyusun misi, visi, tujuan, dan program-program sekolah yang lebih nyata dalam upaya peningkatan prestasi siswa.

Beriringan dengan itu, pemerintah daerah (Pemda) baik propinsi maupun kabupaten jangan sampai mengintimidasi kemandirian sekolah dalam menentukan, melaksanakan, dan mengevaluasi segala otoritas dan

tanggung jawab yang sudah dimiliknya dengan cara apapun. Sebaliknya, tetap setia pada tugasnya untuk menjadi fasilitator sekolah, misalnya dalam konteks pengalokasian block grant dari dana dekonsentrasi yang secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi dalam konteks administratif. Sejalan dengan pemda, pemerintah pusat perlu lebih konsentrasi lagi mengurus tujuan pendidikan nasional, standardisasi dan evaluasi nasional, sistem akreditasi, dan yang paling penting soal alokasi dana dan sumber daya lainnya yang merata.16

Model Sekolah Efektif dalam Konteks Pendidikan di Indonesia Sejenak melihat realitas manajemen sekolah di Indonesia sampai akhir tahun 1990-an, pernyataan Anda mungkin sama seperti Coleman bahwa sekolah-sekolah yang ada hanya memberikan sedikit sumbangan terhadap peningkatan prestasi siswa karena berbagai alasan. Misalnya para kepala sekolah hanyalah perpanjangan tangan birokrat. Mereka hanya bertanggung jawab terhadap birokrat yang membebaninya dengan berbagai tugas administratif dengan imbalan insentif yang minim. Para kepala sekolah cenderung otoriter dalam mengambil keputusan di sekolah. Jangankan menggugah orangtua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan di sekolah, melibatkan mereka saja tidak pernah. Guru-guru juga tidak profesional dalam mengajar, tapi ngotot

mendesak pemerintah agar gajinya naik.

16Agustinus Bandur , http://www.indomedia.com/poskup/2007/12/12/edisi12//opini.htm 4/15/2009 11:31:18 AM

Pemerintah sangat adil dan benar mewajibkan para guru untuk lulus sertifikasi dulu baru diberi imbalan setimpal. Betulkah demikian? Kalau betul, mengapa demikian dan siapa yang paling bertanggung jawab? Tak dapat disangkal bahwa orangtua, lingkungan keluarga, aspek-aspek kehidupan sosial, sistem pendidikan yang efektif, dan lingkungan belajar-mengajar di sekolah sungguh berpengaruh besar terhadap peningkatan prestasi peserta didik. Secara khusus, rumah dan sekolah merupakan dua mata rantai yang tak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi siswa. Persoalannya, dalam konteks pendidikan kita di Indonesia, sejauhmana pemerintah dengan sungguh mendukung kemitraan (partnership) rumah dan sekolah? Bagaimana terciptanya kolaborasi antara rumah dan sekolah melalui konsep partnership dapat menciptakan lingkungan belajar-mengajar yang lebih sehat sehingga prestasi anak didik pun meningkat?

Berkaitan dengan persoalan pertama, kita boleh berbesar hati karena sesuai Undang- Undang Pendidikan 20/2003 dan panduan Menteri Pendidikan Nasional yang dikeluarkan tahun 2002 dan 2004 untuk Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah di level sekolah, Pemerintah pusat sudah menyerahkan kuasa, wewenang, dan tanggung jawab ke tingkat sekolah dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan di sekolah. Diyakini bahwa sekolahlah yang lebih tahu mengenai kebutuhan sekolah itu sendiri dan sekolahlah yang paling dekat dengan peserta didik. Merekalah orang yang tepat dalam mengambil berbagai keputusan penting di sekolah. Untuk itu, pemerintah pusat harus

mengalokasikan dana hibah block grant langsung ke sekolah untuk tujuan efisiensi dan efektivitas.

Langkah ini seiring sejalan dengan banyak hasil penelitian di banyak negara bahwa pelimpahan wewenang ke sekolah dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah (ownership) pada seluruh komunitas sekolah dan masyarakat, partisipasi orangtua dan masyarakat perlahan-lahan meningkat, dan komitmen guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat terhadap perbaikan di sekolah lebih tinggi. Pada gilirannya, lingkungan belajar-mengajar di sekolah dapat diperbaiki untuk mendorong terciptanya semangat dan prestasi belajar anak didik. Realitas inilah yang disebut dengan reformasi sekolah. Sagal juga memeberikan gambaran model organisasi sekolah yang efektif dalam sajian table berikut:

Model Organisasi Sekolah Efektif17

No. Indikator Keefektifan sekolah ( Effective School)

1 Definisi Sekolah yang siswanya mencapai hasil

belajar dengan baik sebagaimana dibuktikan dengan angka hasil tes yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya dalam bidang kecakapan dasar seperti, bahasa, matematika, ilmu pengethauan alam dan ilmu pengetahuan social

2 Dasar riset Penelitian tentang keefektifan sekolah

secara tipikal telah dilakukan di sekolah-sekolah dasar perkotaan oleh para ahli di Amerika. Misalnya, Weber ( 1971) dan

Emdon ( 1979) telah meneliti bahwa sekolah yang efektif dapat dilihat dari tes pencapaian siswa secara tipikal pada pelajaran membaca dan matematika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah yang efektif diidentifikasikan dalam lima hal yaitu: (1) pengelolaan manajemen belajar dengan baik (2) metode dan perilaku mengajar yang fun (3) penerapan kurikulum pengajaran yang tepat (4) perilaku kepala sekolah yang mendukung dan 95) sikap guru yang mendukung penuuh program sekolah.

3 Filosofi Riset keefektifan sekolah, baik di perkotaan

maupun di pedesaan, sangat diperlukan untuk memperluas dan memperkuat komitmen dalam memberi kesempatan pendidikan yang baik kepada masyarakat miskin dan pedesaan. Secara filosofi, diasumsikan bahwa seluruh siswa dapat mempelajari dasar- dasarnya jika modelnya didimplementasikan secara tepat.

4 Tujuan- tujuan Tujuan sekolah efektif difokuskan pada sasaran pengajaran yang rinci. Dasarnya menekankan pada belajar kognitif yang mencakup permasalahan disiplin belajar siswa.

5 Susunan pendidikan Susunan pendidikan yang efektif diterima di sekolah adalah aliran kerja mengajar secara ketat yang menggabungkan sasaran dengan kurikulum dan model pengajaran dengan pengujian.

6 Ajaran Gabungan yang standar dan kuat dari tujuan

dan sasaran, kurikulum, pengajaran dan pengujian akan menghasilkan pengajaran yang disukai dan paling baik

7 Supervisi dan evaluasi Supervisi dan evaluasi pelaksanaan tugas mengajar dilaksanakan untuk menjawab dua pertanyaan mendasar, yaitu pada batasan

mana sebaiknya guru

model pengajaran dan bagaimana siswa mencapai hasl belajar.

8 Kepemimpinan Kepemimpinan instruksional kepala sekolah

merupakan pemimpin pengajaran yang memiliki pandangan kuat terhadap pengajaran.

9 Hasil- hasil Indikator sekolah yang efektif khususnya lingkungan perkotaan antara lain: (1) kemampuan dasar dan belajar siswa dapat dibuktikan dengan angka yang tinggi dari hasil tes pencapaian kecakapan dasar (2) terhindar dari pola ajran yang sangat birokratis (3) mendefinisikan secara cermat program belajar dengan aturan yang lebiih luwes tetapi konsisten.

Namun demikian, reformasi sekolah ini bukan tanpa tantangan. Pertama, kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer sekolah mesti paham dengan situasi baru ini. Agar ia tidak sendirian memikul tanggung jawab yang dilimpahkan pemerintah pusat, ia perlu memupuk sebuah proses pengambilan keputusan partisipatif dan partnership dengan berbagai komponen di sekolah dan masyarakat luas. Untuk itu, Komite sekolah yang merupakan lembaga perwakilan komunitas sekolah (kepala sekolah, staf sekolah baik staf pengajar maupun staf administrasi, orangtua murid, dan siswa ) serta masyarakat luas termasuk tokoh masyarakat, aktivis pendidikan, ahli pendidikan, aktivis LSM, dan bahkan alumni. Sampai di sini, jelaslah bahwa kejelasan peran pemerintah dan partnership di sekolah melalui pengembangan Komite sekolah didukung peran kepem

Sejalan dengan otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001, pendidikan dasar dan menengah juga diserahkan pengelolaannya kepada daerah. Pemerintah daerah memang belum memiliki pengalaman mengelola sekolah secara komprehensif. Ada daerah yang mencerminkan sikap pesimisme dan juga ada yang mencerminkan sikap yang amat optimistik dalam menyambut otonomi dalam bidang pendidikan. Bagi daerah yang pesimistik, hal ini terjadi sebagai akibat Dana Alokasi Umum kecil dibandingkan dengan kebutuhan daerah untuk menggaji guru pegawai negeri lain yang sudah didaerahkan. Karena pesimisnya bahkan ada Bupati yang dengan lugas “bercita-cita” untuk meng-embalikan sebagian guru ke pemerintah pusat. Hal ini terjadi kebanyakan di daerah dalam Jawa. Sebaliknya, Pemerintah Daerah yang optimistik saat ini telah mampu membuat rancangan anggaran untuk meningkatkan pendidikan di daerahnya masing-masing melalui Pendapatan Asli Daerah yang amat signifikan jumlahnya. Keadaan ini dapat terjadi karena daerah yang bersangkutan memiliki cukup sumber alam berupa komoditas primer yang dapat dijual untuk kepentingan itu. Apapun sikap daerah, the show must go on. Artinya, pendidikan memang harus segera ditangani dengan berbagai kendala yang mungkin ada di daerah masing-masing secara otonom.

Dalam otonomi pendidikan, sebenarnya terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Bupati Kepala Daerah saat ini memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya masing-masing

melalui sistem rekrutmen guru, rekrutmen siswa, pembinaan profesionalisme guru, rekrutmen kepala sekolah, penentuan sistem evaluasi, dan sebagainya. Jadi dalam era otonomi, berbicara tentang kualitas pendidikan dasar dan menengah tinggal tergantung pada maunya daerah. Jika kita meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih tergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang baik, dan dengan demikian kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan.

Sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dan dengan demikian tidak dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid, mudah ditebak bahwa pendidikan di daerah itu akan tidak baik. Jika hal ini terjadi, praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Sekolah-sekolah akan dikelola secara tidak efektif. Akhirnya berbicara visi dan misi di sekolah-sekolah berubah menjadi sesuatu yang

pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional.

Membangun budaya sekolah agar suatu sekolah menjadi sekolah efektif merupakan tantangan bagi daerah dalam menangani otonomi pendidikan. Semasa sentralisasi pendi-dikan, sekolah-sekolah dikelola tanpa memperhatikan efektivitas suatu sekolah. Bahkan ada tolok ukur yang amat trivial, dan sebenarnya misleading bagi proses pendidikan di sekolah, yaitu pencapaian prestasi sekolah yang selalu dikaitkan dengan NEM. Akibatnya segala daya yang dimiliki sekolah dikerahkan sedemikian rupa agar di sekolah-sekolah di bawah daerah kekuasaan kantor wilayah dapat mencapai NEM yang tinggi. Proyek-proyek perbaikan kualitas sekolah juga memiliki parameter peningkatan NEM. Masyarakat juga sangat menikmati kebijakan itu, sehingga jika seorang anak memiliki NEM yang tinggi orangtua anak yang bersangkutan sangat bangga tanpa mempedulikan kerusakan aspek afektif pada diri anak. Pendek kata NEM telah dituhankan di republik ini dalam kurun waktu yang cukup lama.

Dalam era otonomi pendidikan, keadaan ini harus diubah. Sekarang ini telah lahir paradigma baru mengenai keberhasilan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang nyata. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa IQ – perolehan aspek kognitif (yang dicerminkan dengan perolehan NEM) tidak lagi merupakan parameter yang signifikan bagi keberhasilan seseorang. Sebaliknya, ada faktor lain yang lebih signifikan sebagai

indikator keberhasilan, yaitu: aspek afektif – emotional intelligence (EQ). Dengan demikian, kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, memiliki ketahanan menghadapi kegagalan, bersikap sabar, memiliki kesadaran diri, bermotivasi tinggi, bersikap kreatif, memiliki empati, bersikap toleransi, dan sebagainya merupakan karakteristik yang jauh lebih penting untuk dimiliki siswa dari pada sekedar pencapaian NEM itu sendiri.

Jika demikian halnya, dalam paradigma baru itu secara implisit kita perlu mengelola sekolah secara efektif di era otonomi pendidikan ini. Rumusan sekolah yang efektif dapat kita ikuti dari konsepnya Mortimore (1991), yaitu: “one in which students progress further than might be expected from a consideration of intake” Jadi nampak dari rumusan ini bahwa tugas penting sekolah bukannya pencapaian NEM, akan tetapi menjaga agar semua siswa dapat berkembang sejauh mungkin jika dibandingkan dengan kondisi awal ketika mereka baru memasuki sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah yang efektif, semua siswa dijamin dapat berkembang. Sebaliknya, pada sekolah yang tidak efektif hanya siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam belajar (fast learners) yang dapat berkem-bang.

Dalam Utomo, di dalam sekolah yang efektif terdapat proses belajar yang efektif, yang ciri-cirinya menurut Mortimore adalah sebagai berikut: (1) aktif, bukannya pasif; (2) tidak kasat mata; (3) rumit, bukannya sederhana; (4) dipengaruhi oleh adanya perbedaan individual di antara para peserta

didik; (5) dipengaruhi oleh berbagai konteks. Selanjutnya, ada beberapa ciri penting bagi sekolah yang efektif (Sackney, 1986), yaitu: (1) Adanya visi dan misi yang dipahami bersama oleh komunitas sekolah, yang dari sini dapat dirinci lagi menjadi: (a) adanya sistem nilai dan keyakinan yang saling dimengerti oleh komunitas sekolah; (b) adanya tujuan sekolah yang jelas; (c) adanya kepemimpinan instruksional. (2) Iklim belajar yang kondusif di sekolah, yang meliputi: (a) adanya keterlibatan dan tanggung jawab siswa; (b) lingkungan fisik yang mendukung; (c) perilaku siswa yang positif; (d) adanya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap sekolah. (3) Ada penekanan pada proses belajar, yang terdiri dari: (a) memusatkan diri pada kurikulum dan instruksional; (b) ada pengembangan dan kolegialitas para guru; (c) adanya harapan yang tinggi dari komunitas sekolah; dan (d) adanya pemantauan yang berulang-ulang terhadap kemajuan belajar siswa.18

Era otonomi pendidikan baru saja kita masuki. Inilah saat yang menentukan bagi para ahli, praktisi, dan juga pengamat pendidikan untuk secara bersama memberdayakan pendidikan nasional, meskipun secara politis pendidikan nasional kita saat ini kurang, dan bahkan juga layak untuk dikatakan tidak mendapatkan perhatian yang serius. Oleh karena itu di sela-sela kesibukan dan kebosanan menyaksikan gejolak politik di republik ini, marilah kita juga memanfaatkan sisa energi yang ada pada diri kita untuk

18

Utomo, http://utomokendal.blogspot.com/2006/11 /membangun-sekolah-yang-efektif-di-era.html, Akses tanggal4/15/200911:33:37

merenungkan, dan juga memikirkan bagaimana nasib para generasi penerus bangsa ini melalui sentuhan pendidikan di sekolah-sekolah yang mampu menawarkan transfer of learning, transfer of training, dan transfer of principles secara efektif. Jika demikian halnya, konsekuensinya kita memang perlu membangun budaya sekolah yang efektif.

C. Penutup

Berdasarkan ujraian panjang di atas, maka penulis menyimpyulkan bahwa:

1. Efektivitas sekolah” adalah kemampuan sekolah sebagai institusi pengelola pelayanan pendidikan dalam mengoptimalkan fungsi seluruh sumber daya sekolah yang ada secara efektif untuk mencapai tujuan dan efisien terhadap penggunaan sumber daya tersebut.

2. sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki standar pengelolaan yang baik, transparan, responsibel dan akuntabel, serta mampu memberdayakan setiap komponen penting sekolah, baik secara internal maupun eksternal, dalam rangka pencapaian visi-misi-tujuan sekolah secara efektif dan efesien.

3. konsep perbaikan input, proses, dan output yang berkualitas adalah TQM. TQM diartikan sebagai manajemen kualitas secara total dimana merupakan pendekatan yang sistematis, prktis, dan strategis bagi penyelenggaraan pendidikan yang mengutamakan kepuasan pelanggan yang bertujuan meningkatkan mutu

4. efektivitas dan perbaikan sekolah bukan semata-mata persoalan sekolah, orangtua, dan peserta didik semata, melainkan persoalan nasional. Oleh karena itu, mengembangkan sekolah yang efektif tidak pernah terpisahkan dari peran pemerintah pusat

Dalam dokumen Supervisi Evaluasi dan Efektifitas Sekol (Halaman 25-39)

Dokumen terkait