• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membebaskan dari qadha'

Membebaskan dari qadha' puasa bagi orang yang makan atau minum karena lupa, dan bahwasanya Allahlah yang memberinya makan dan minum. Sudah maklum bahwa makan dan minum dalam rentang antara terbit fajar hingga sebelum terbenamnya matahari adalah salah satu hal yang dapat membatalkan puasa. Namun, batalnya puasa dengan makan dan minum hanya ketika seseorang memang sengaja melakukannya dan mengetahui tentang hukum tersebut. Berbeda ketika makan dan minum dilakukan oleh orang yang belum mengetahui bahwa makan dan minum saat puasa adalah hal yang membatalkan, misalnya karena ia baru masuk Islam atau jauh dari jangkauan ulama yang mengajarinya, maka puasa yang dilakukannya tidak dihukumi batal.

Makan dan minum juga tidak membatalkan puasa ketika dilakukan oleh seseorang dalam keadaan lupa. Hal ini secara tegas disampaikan dalam hadits:

“Barangsiapa makan karena lupa sementara ia sedang berpuasa, hendaklah ia menyempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR Bukhari Muslim)

Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa orang yang makan dalam keadaan lupa tidak ada kewajiban mengqadha puasanya atau membayar denda kafarat, berikut teks hadits tersebut:

“Barangsiapa yang ifthar pada bulan Ramadhan karena lupa maka tidak ada (kewajiban) qadha baginya, tidak juga kafarat.” (HR Hakim).

Sedangkan makna lupa (an-nisyan) yang dimaksud dalam permasalahan ini adalah melakukan suatu hal tanpa disertai

pengetahuan yang ia miliki. Lebih jelasnya, simak penjelasan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah berikut:

“Lupa adalah absennya seseorang dari apa yang ia tahu, tanpa merenungkan dan memikirkan (terlebih dahulu), padahal ia memiliki pengetahuan yang luas”57

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak dikategorikan sebagai “lupa” bagi orang yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Misalnya seperti orang yang makan karena menyangka sudah maghrib berdasarkan informasi yang keliru, maka puasanya dihukumi batal, sebab dalam hal ini ia tidak tepat jika dikatakan sebagai “orang yang lupa” tapi lebih karena keteledorannya dalam menggali informasi tentang waktu maghrib hingga memunculkan prasangka yang salah.

Namun, makan dan minum dalam keadaan lupa akan menyebabkan batalnya puasa ketika makanan atau minuman yang dikonsumsi telah mencapai jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan, makan dalam keadaan lupa dalam jumlah banyak saat puasa adalah hal yang sangat jarang terjadi, bahkan bisa disebut hal yang langka. Sebab pada umumnya, orang yang berpuasa ketika makan dalam keadaan lupa, tidak berselang lama ingatannya bahwa “dia sedang puasa” akan muncul. Ketentuan ini misalnya dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:

“Jika seseorang makan dalam keadaan lupa, maka puasanya tidak batal, kecuali ketika yang dimakan banyak (maka dapat membatalkan) menurut qaul ashah,

karena lupa sampai makan dalam jumlah banyak adalah hal yang langka”58

Dalam referensi lain dijelaskan bahwa alasan batalnya puasa bagi orang yang makan dalam keadaan lupa adalah karena hal demikian mudah untuk dijaga agar tidak terjadi. Sedangkan makanan yang

57Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, Mausu’ah Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 14, hal. 229.

dianggap hitungan “banyak” menurut sebagian ulama dibatasi dengan mengonsumsi makanan sebanyak tiga suapan atau lebih. Hal ini seperti penjelasan Syekh Zakariya al-Anshari:

“Puasa menjadi batal sebab makan dengan jumlah yang banyak dalam keadaan lupa, misalnya tiga kali suapan atau lebih. Batalnya puasa ini dikarenakan mudahnya menjaga atas kejadian demikian secara umum, sama seperti batalnya shalat sebab berbicara dengan perkataan yang banyak. Pendapat ini merupakan pendapat yang dishahihkan oleh Imam ar-Rafi’i, sedangkan Imam a-An-Nawawi berpandangan sebaliknya (tidak batal), berdasarkan keumuman hadits

yang menjelaskan orang yang lupa (puasa) yang telah dijelaskan terdahulu”59

Namun batasan tersebut sempat disangsikan oleh sebagian ulama, karena tiga suapan menurut mereka masih dalam jumlah yang sedikit. Meski akhirnya terjawab kembali bahwa alasan membatasi dengan tiga suapan karena mengunyah tiga suapan membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga sangat memungkinkan orang untuk mengingat bahwa dirinya sedang berpuasa. Simak ulasan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj berikut:

“Dalam kitab al-Anwar ulama membatasi ‘jumlah banyak’ dengan tiga kali suapan. Namun hal demikian perlu ditinjau ulang, sebab para ulama membatasi ‘sedikit’ dalam pembahasan berbicara ketika shalat dengan tiga sampai empat kalimat. Namun bisa juga dibedakan (antara permasalahan makan karena lupa saat puasa dan berbicara ketika shalat) bahwa tiga suapan membutuhkan waktu

yang cukup lama dalam mengunyahnya”60

Ketika permasalahan ini kita tarik dalam membatasi “minuman yang banyak” maka dapat di-ilhaq-kan (disamakan) sekiranya minuman yang diminum dalam keadaan lupa telah terlewat waktu yang cukup

lama, seperti waktu yang dibutuhkan dalam mengunyah tiga suap makanan.

Meski para ulama menghukumi batal bagi orang yang lupa makan dalam jumlah banyak, tapi tetap tidak bisa dipungkiri bahwa dalam permasalahan ini terdapat ulama yang berpandangan bahwa makan dalam jumlah banyak dalam keadaan lupa tidak sampai membatalkan puasa, dengan berpijak pada makna umum dari nash hadits.

Pendapat ini misalnya seperti yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa tidak sampai membatalkan puasa, ketika makanan dan minuman yang dikonsumsi hanya sedikit. Sedangkan ketika jumlah makanan dan minuman yang telah dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, seperti tiga suapan misalnya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagian berpandangan tetap sahnya puasa, sedangkan ulama lain menghukumi batal puasanya.

Dua pendapat ini sama-sama bisa kita amalkan selaku penganut mazhab Syafi’i. Maka sebaiknya bagi orang yang menjalankan puasa

agar menata niat dalam menjalankan ibadah puasa dan

melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Jika ia tidak sengaja melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum misalnya, maka ketika telah ingat kembali, agar secepatnya beristighfar dan membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman yang terselip dalam mulut, agar tidak ada bagian dari makanan dan minuman yang tertelan, hingga dapat membatalkan puasanya. Wallahu a’lam.

BAB XII

ADAB DALAM MENCAPAI KESEMPURNAAN

BERPUASA

uasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan tidak juga lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi dua bagian; adab-adab yang bersifat wajib, yang harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. Dan adab-adab yang bersifat sunnah yang juga harus dipelihara dan dijaga oleh-nya.

Karena itu, orang yang benar-benar berpuasa adalah orang yang puasa segenap anggota badannya dari melakukan dosa-dosa; lisannya berpuasa dari dusta, kekejian dan mengada-ada; perutnya berpuasa dari makan dan minum; kemaluannya berpuasa dari bersenggama.

Puasa yang disyari'atkan adalah puasanya anggota badan dari dosa-dosa, dan puasanya perut dari makan dan mimum. Sebagaimana makan dan minum membatalkan dan merusak puasa, demikian pula halnya dengan dosa-dosa, ia memangkas pahala puasa dan merusak buahnya, sehingga memposisikannya pada kedudukan orang yang tidak berpuasa.