• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membentuk Gelar-gelar Pada Masyarakat Nagari Ulakan

BAB V ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN

5.2 Nilai-nilai Kepahlawanan Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin

5.2.7 Membentuk Gelar-gelar Pada Masyarakat Nagari Ulakan

Syekh Burhanuddin memulai perjuangannya menegakan Islam melalui pendekatan persuasif dengan menggunakan lembaga surau yang didirikan oleh sahabatnya Idris Khatib Majolelo di Tanjung Medan. Perjuangan Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan Islam melalui surau dibantu oleh empat orang teman dekatnya yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh. Keempat orang inipun dibuatkan pula surau untuk mempercepat proses pendidikan dan penyebaran Islam bagi masyarakat sekitarnya. Keempat orang ini disamping menambah pelajaran dengan Syekh Burhanuddin juga sekaligus menjadi da’i ditengah-tengah masyarakat dan mengajari masyarakat dalam bidang ilmu tidak hanya sebatas agama. Mereka ini lalu dinobatkan oleh Syekh Burhanuddin dengan kesepakan maka menjadi tuanku. Tuanku adalah gelar

33

kehormatan yang diberikan pada orang-orang yang dipandang mampu dan bijak dalam menyampaikan agama. Kata tuanku berasal dari kata “Tengku” gelar kebangsawanan Aceh yang alim, arif, memiliki wawasan keagamaan dan intelektual di masanya. Hal ini didasarkan karena pengaruh budaya Aceh terhadap Syekh Burhanuddin di masa itu.

Disamping gelar tuanku, Syekh Burhanuddin juga menobatkan tiga gelar ulama yang punya kaitan erat dengan adat, khususnya didaerah rantau, gelar itu adalah Imam, Khatib dan Labai. Imam sebagai sebuah istilah yang biasanya diartikan dengan pemmimpin muslim taat dan punya ilmu pengetahuan mumpuni tentang tentang Islam. Akan tetapi, dalam gelar yang dipakaikan oleh Syekh burhanuddin terhadap Imam adalah merupakan orang yang menjadikan perantara antara Ulama (Tuanku) dengan Raja dan Penghulu dalam mengembangkan Islam di Pariaman, khususnya di daerah Ulakan sekitarnya. Untuk mendukung perjuangannya menegakan Islam melalui kekuasaan Raja dan Penghulu dengan menggunakan instrumen Imam ini maka Syekh Burhanuddin mengangkat empat orang Imam di Ulakan sesuai dengan Raja yang berdaulat atau memiliki wilayah Ulakan sekitarnya.

Imam-imam tersebut memiliki kewenangan dalam bidang agama, khususnya diwilayah kekuasaan Raja atau Penghulu masing-masing Imam tersebut dinobatkan dan diangkat oleh Syekh Burhanuddin melalui kesepakatan dengan pemimpin suku dan kemudian gelar itu diturunkan secara turun-temurun kepada kemenakan yang bersangkutan, karena sifatnya gelar adat. Kekuasaan dan fungsi yang dijalankan oleh Imam adat ini antara lain: (1). Memberikan izin Nikah kepada anggota suku baik yang akan kawin dalam Nagari Ulakan maupun diluar dari daerah Ulakan. (2). Menetapkan petugas keagamaan di mesjid, pegawai mesjid dan petugas lainnya. (3). Menjadi tempat bertanya dan mengadukan masalah-masalah agama yang dihadapi oleh anak kemenakan

dalam sukunya. Imamlah yang akan meminta fatwa kepada Syekh Burhanuddin jika ada masalah yang tidak dapat dijawab atau dijelaskannya. (4). Sebagai medai (penghubung) antara raja dengan Syekh Burhanuddin dalam menggerakan kehidupan keagamaan masyarakat. Maka dalam adat Imam dikenal dengan sebutan “Tepian Adat Halaman

Syarak”.

Perangkat kedua yang dinobatkan oleh Syekh Burhanuddin adalah Khatib adalah satu ulama adat yang dinobatkan Syekh Burhanuddin dengan dukungan oleh pemuka adat untuk memberikan dukungan perjuangannya dalam mengislamisasikan masyarakat di masa itu. Khatib pertama yang dinobatkan Syekh Burhanuddin adalah Idris Majolelo teman seperjuangannya ketika belajar dengan Tuanku Madinah sebelum beliau ke Aceh dulunya. Tugas dan fungsi Khatib tersebut antara lain: (1). Sebagai pelindung dalam menyebarkan dakwah ditengah-tengah masyarakat. (2). Sebagai orang yang dituakan dan tempat bertanya bagi anggota sukunya dalam urusan agama dan sekaligus sebagai pelaksanan masalah keagamaan misalnya kematian, pesta, dan acara adat lainnya. (4). Sekaligus juga salah satu mediator (perantara) antara Raja dengan Syekh.

Perangkat keagamaan yang ketiga yang dinobatkan Syekh Burhanuddin sebagai salah satu strategi perjuangannya adalah Labai. Dalam bahasa Melayu “labai” berasal darikata labbai dan lebai yang berarti orang yang ahli dalam ilmu agama. Lebai berasal dari kata Illapai dari bahasa Tamil karena memang orang-orang (saudagar-saudagar) Tamil inilah yang pertama kali menyebarkan Islam kepantai Sumatera dan Melayu. Mereka datang atau berlayar Kemalaya dan Sumatera sebagai pedagang permata dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Labai diangkat oleh Syekh Burhanuddin pada setiap surau, mereka memiliki tanggung jawab penuh untuk memakmurkan dan menjalankan kegiatan keagamaan di surau yang dipimpinnya. Kemudain labai juga

meluas kepada perangkat penghulu yang menjadi jembatan antara penghulu dengan kalangan pemuka agama, sehingga labai juga ada yang masuk dalam struktur adat di Ulakan. Labai-labai baik yang diangkat oleh nagari sebagai pemimpin surau maupun yang dinobatkan oleh penghulu sebagai perpanjangan tangannya memiliki fungsi yang sama.

Ketiga jabatan diatas dipikul oleh orang-orang yang terpilih disukunya dan oleh Syekh Burhanuddin dulunya jabatan fungsionaris keagamaan itu diemban oleh orang- orang yang benar siap untuk itu, sehingga perjuangannya berjalan dengan cepat dan mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat. Misalnya peran yang dimainkan oleh teman denkatnya Idris Khatib Majolelo disamping menjadi guru bicara beliau dengan pihak penghulu dan juga Idris Majolelo lah yang mensponsori pertemuan Syekh Burhanuddin dengan Basa Ampek Balai dipusat kekuasaan Raja pada masa itu. Lebih dari itu Khatib Majolelo memberikan dukungan material yang tidak sedikit bagi suksesnya perjuangan Syekh Burhanuddin, seperti mendirikan surau di tanah Ulayatnya di Tanjung Medan Ulakan. Melalui penobatan gelar tuanku, imam, khatib dan labai sebagai pemegang ahli agama, Syekh Burhanuddin bahu-membahu bersama mudridnya mengajak masyarakat dengan cara-cara yang akomodatif dan persuasif. Kebiasaan dan tradisi masyarakat yang masih jahiliyah dan tidak sesuai dengan agama Islam dirubahnya dengan cara bijaksana. Pemuka agama dan adat di Ulakan menceritakan bahwa di Ulakan ada makanan lemang ketika memperingati hari besar Islam, khususnya dalam perayaan Maulid Nabi, sebuah tradisi yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin. Pada saat itu Syekh Burhanuddin tidak mau makan dengan bejana (piring dan peralatan makan) masyrakat yang belum Islam karena bercampur dengan makan babi dan anjing. Lalu Ia menganjurkan agar masyarakat memasak pada seruas bambu

dan makanan itulah yang dimakannya, sebab sudah dijamin tidak terkena pengaruh bejana lain yang belum dicuci menurut cara dalam Islam.

Kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang masih buta agama menjadi buah bibir buah bibir dan catatan sejarah bagi pengikutnya kemudian hari. Ada beberapa cara yang ditempuh Syekh Burhanuddin dalam meneruskan perjuangan agama bagi masyarakat, yaitu:

Pertama, mengislamkan anak-anak dan remaja melalui permainan anak nagari yang masyhur dikala itu, antara lain main kelereng, gundu, main patuk lele (terbuat dari kayu yang dipukul dalam sebuah lubang, kemudian dilempar lagi untuk masuk ke lubang tesebut), dan mainan layang-layang. Setiap kali main Syekh Burhanuddin menang, akhirnya pemuda bertanya bagaimana cara beliaumain sehingga selalu menang. Syekh Burhanuddin menjelaskan dengan membaca Bismillah setiap akan main. Melalui permainan ini Ia diterima oleh anak-anak dan remaja atau pemuda dan pada gilirannya mereka inilah yang mengajak orang tuanya masing-masing untuk belajar ke surau, karena memang surau dalam tradisi di Ulakan, bahkan sampai saat ini masih berfungsi utuh sebagai pusat pembinanaan pemuda sekaligus tempat tidur mereka

Kedua, mengikuti permainan anak nagari, seperti main layang-layang dan lainnya dengan tidak merusak nilai-nilai agama yang dimilikinya. Melalui permainan itu ia dapat memasuki semua lapisan masyarakat tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Banyak kisah menarik yang dituturkan oleh pengikutnya tentang kemampuan beliau berinteraksi dalam suatu pergaulan yang memuaskan semua lapisan masyarakat tanpa canggung. Pendekatan sosial yang diterapkan sosial yang diterapkan beliau sangat efektif bagi masyarakat yang memang sudah mengalami kemajuan berfikis yang baik dan memadai dengan adat dan budaya yang dimiliki setiap orang pada masa itu.

Ketiga, menyampaikan Islam secara perlahan-lahan dan mencari persesuaian antara norma-norma agama dan kultur masyarakat. Gerakannnya dalam penobatan gelar setiap pemegang kekuasaan agama dalam masyarakat adalah bentuk nyata dari usaha beliau kearah harmonisasi hubungan didalam masyarakat, bahkan sampai sekarang kesan positifnya masih dirasakan. Hasil dari gerakan tersebut terlihat dari tumbuhnya ratusan ulama (tuanku, imam, khatib dan labai) yang akhirnya memberikan corak tersendiri bagi struktur budaya dan kultural serta nuansa Islam di Ulakan dan sekitarnya. Gerakan ini sekaligus mendorng timbulnya beratus-ratus surau, mesjid dan rumah ibadah. Dan kemudain istitusi ini menjadi cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam dan kajian-kajian keislaman lainnya dibawah pimpinan ulama.hampir setiap Jorong (sekarang dusun), Korong, dan Nagari memiliki surau berikut dengan ulama yang memimpinnya. Perjuangan Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin sangat dirasakan oleh masyarakat pendukungnya tidak hanya dalam menegakan agama tetapi ajaran beliau merubah kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Beliau telah menyatukan agama dan adat pada masyarakat di Nagari Ulakan. Nilai-nilai kepaahlawanan cerita ini dapat dilihat dari pemakaiannya dalam kehidupan masyarakat Nagari Ulakan sehari-hari. Mereka sangat menghormati nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung dalam cerita tersebut sampai saat ini. Bagi masyarakat Nagari Ulakan, cerita ini bukan hanya sekedar peninggalan nenek moyang yang harus diwariskan kepada generasi mudanya, melainkan sudah merupakan sikap dan pegangan hidup mereka. Bukan pula hanya sekedar cerita yang tidak memiliki arti dalam kehidupan mereka, melainkan sudah menjadi bagian dalam kehidupan sosial keagamaan mereka sehari-hari.

Dokumen terkait