• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Sukarno 1945-1966 Peran Politik Semasa Menjadi Presiden

B. Membubarkan Rapat Raksasa

Sudah hampir satu bulan Indonesia Merdeka, sudah hampir satu bulan pula usia Proklamasi dan Republik yang baru berdiri ini. Tapi sama sekali belum ada tanda-tanda bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaan, kepada Republik yang baru berdiri. Malah Jepang membuat pengumuman yang membuat Rakyat menjadi semakin gelisah dan semakin marah. Pada tanggal 10 September 1945 Jepang manyatakan, Pemerintahan akan diserahkan kepada sekutu, bukan kepada Indonesia.4 Rakyat yang mendengar pernyataan ini kemudian melakukan perlawanan yang lebih

sengit terhadap tentara Jepang. Rakyat berusaha dengan gigih untuk melucuti tentara Jepang, yang mentalnya sudah jatuh karena kalah dalam Perang Dunia II. Jepang sendiri hanya dapat membela diri menghadapi perlawanan rakyat ini. Sebagai pihak yang kalah perang Jepang memang diperintahkan oleh sekutu untuk mengembalikan Indonesia sebagaimana

keadaaan semula (Status Quo). Sebelum kedatangan sekutu yang

bermaksud kembali menguasai Indonesia.

Pengumuman Jepang yang bermaksud mempertahankan keadaan

Status Quo Indonesia. Membuat rakyat semakin gelisah dan marah, para pemuda pun juga tak sabar terhadap pemerintah yang dinilainya lamban. Pemerintah dituntut melakukan aksi cepat dan nyata guna merebut kekuasaan dari Jepang. Sukarno-Hatta mengatakan kepada para pemuda, bahwa perebutan kekuasaan akan dilakukan melalui jalur Diplomasi. Karena jalur Diplomasi adalah jalur legal guna mendapat pengakuan Internasional akan kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu terjadi pertentangan diantara kelompok yang Pro Perjuangan Diplomasi dan Kontra terhadap Perjuangan Diplomasi. Kelompok utama yang anti terhadap perjuangan Diplomasi ini adalah kelompok Persatuan Perjuangan yang digawangi oleh Tan Malaka. Dengan alasan agar rakyat dapat memperoleh kejelasan langsung dari para pemimpinnya, maka kelompok pemuda dari Komite van Aksi di Menteng 31 berinisiatif menggerakkan rakyat. Seminggu sebelumnya sudah diumumkan agar rakyat meghadiri

rapat raksasa di Lapangan Ikada.5 Lapangan Ikada adalah nama Jepang untuk mengganti Lapangan Gambir yang sekarang terletak di kawasan Monas.

Jepang berusaha menghalang-halangi dilaksanakannya Rapat Raksasa ini. Barikade tank dikerahkan, jalan-jalan yang akan dilalui rakyat menuju Lapangan Ikada dijaga ketat. Bahkan Jepang berusaha membohongi rakyat, dengan mengumumkan bahwa rapat tersebut tak jadi dilaksanakan dan diundurkan. Namun semua usaha ini tidak berhasil,

Gunseikanbu lalu memanggil para pemimpin Indonesia guna mencari solusi akan persoalan ini. Setelah berdiskusi selama berjam-jam dengan pihak Gunseikanbu, guna membicarakan persoalan ini. Akhirnya dalam rapat tengah malam tanggal 18/19 September 1945 Presiden dan kabinetnya mengeluarkan anacaman akan meletakkan jabatannya, jika para pemuda yang tergabung dalam Komite van Aksi Menteng 31 tidak dapat membatalkan rencana rapat raksasa tersebut. Pernyataan meletakkan jabatan ini disampaikan denga surat ke Menteng 31 dan diterima jam 2 siang.6

Menanggapi ancaman ini, Komite van Aksi tetap tidak akan

membatalkan rencana rapat raksasa tersebut. Kepada Gunseikanbu

diberitahukan segala akibat dari Rapat Akbar ini akan sepenuhnya ditanggung oleh Republik. Karena ingin memenuhi keinginan rakyat untuk

5

Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta), pada zaman Belanda disebut Koningsplein, sekarang terletak sebelah selatan Lapangan Monas

6

melihat sosok pemimpinnya, Sukarno berdampingan dengan Hatta bersedia menghadiri rapat raksasa ini. Rapat Raksasa yang digelar tanggal 19 September 1945 bertempat di Lapangan Ikada. Diperkirakan sekitar 200.000 orang meghadiri Rapat Raksasa tersebut. Dalam rapat ini, hadir pula Tan Malaka yang muncul diantara kerumunan massa. Selain Tan, hadir pula Sjahrir yang berdiri di atas truk memperhatikan situasi sekeliling.

Sukarno dan Hatta datang dengan dielu-elukan oleh lautan massa yang menyemut. Pasukan Jepang siap siaga di lokasi dengan sangkur terhunus. Tapi rakyat sama sekali tidak gentar, dan terus berdatangan. Sukarno dan Hatta sampai ke tempat tersebut dengan kendaraan masing- masing. Sukarno berangkat dari kediamannya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dengan menggunakan mobil Buick. Sedangkan Hatta berangkat dari rumahnya di Jalan Diponegoro, dengan menumpang mobil buatan Amerika berwarna putih, merek De Soto. Kepad Cindy Adams, Sukarno mengisahkan kedatangannya ke Rapat Raksasa kala itu.

“….Sang Presiden tiba. Tidak ada pengawalan berkendaraan sepeda

motor. Hanya akulah yang berada di dalam mobil dipagari para pemuda yang duduk diatas atap dan kap mobil. Ketika aku melangkah ke mimbar, aku dibentengi oleh tubuh mereka yang membentuk tameng dari darah dan daging. Siapa pun yang ingin mendekatiku, terlebih dulu harus menembus beberapa lapisan manusia. Massa menjadi liar ketika melihatku. Meski dilengkapi dengan senapan mesin dan tank-tank, tentara Jepang tidak berani melaksanakan perintah

atasannya untuk melarangku berpidato.”7

Di tengah lautan massa yang sedemikian besar, Sukarno hanya berpidato singkat.

“Saudara-saudara, Kita akan terus mempertahankan Proklamasi kita. Tidak ada satu kata pun yang ditelan kembali. Aku tahu, engkau berkumpul disini untuk melihat Presidenmu dan untuk mendengarkan perintahnya yang pertama. Baiklah, apabila engkau masih setia dan percaya kepada Presidenmu, patuhilah perintahnya yang pertama. Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga dengan tertib dan teratur dan tunggulah berita dari para pemimpin ditempatmu masing-masing. Sekarang… bubarlah…pulanglah…dengan tenang.”8

Sukarno sadar, saat itu bukanlah saat yang tepat untuk berpidato selama berjam-jam. Satu kekeliruan dari kalimat yang diucapkannya saja, dapat menimbulkan kekisruhan saat itu. Yang diperlukan saat itu adalah menenangkan lautan massa, yang siap meledak. Mendengar arahan dari Sang Presiden, ratusan ribu rakyat yang memenuhi Lapangan Ikada pergi meninggalkan tempat, mengikuti perintah dari Presiden mereka. Tentara Jepang tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali tertegun dan respek terhadap apa yang dilakukan Sukarno. Dari Rapat Raksasa ini terlihat bagaimana kekuatan magis dari seorang Sukarno yang mampu mengendalikan ratusan ribu rakyat. Rapat Raksasa yang dipersiapkan selama berhari-hari, dengan dihadiri 200.000 rakyat tersebut dapat dibubarkan oleh Sukarno hanya dalam tempo kurang dari lima menit.

Keberhasilan Sukarno dalam menguasaui keadaan, dan

mengendalikan ratusan ribu rakyat ini. Memberikan nilai yang sangat penting bagi legitimasi pemerintahan Republik yang baru berdiri. Keberhasilan Sukarno untuk membuat rakyat taat, dan patuh kepada pemimpinnya memberikan nilai tersendiri. Sukarno berhasil menunjukkan ke dunia Internasional bahwa kepemimpinannya bersama Hatta mendapat

kepercayaan penuh dari rakyat. Legitimasi pemerintahan yang masih muda, saat itu sangat berarti, sebagai langkah awal untuk memperoleh pengakuan Internasional atas kedaulatan Republik Indonesia.

Dokumen terkait