• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUKARNO UJUNG TOMBAK REVOLUSI INDONESIA STUDI PERAN POLITIK SUKARNO 1926-1966.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SUKARNO UJUNG TOMBAK REVOLUSI INDONESIA STUDI PERAN POLITIK SUKARNO 1926-1966."

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

SUKARNO UJUNG TOMBAK REVOLUSI INDONESIA

STUDI PERAN POLITIK SUKARNO 1926-1966

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

Achmad Ruston Ngatik NIM: E34212042

JURUSAN FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Tulisan ini membahas bagaimana kiprah politik seorang Sukarno, sosok

yang penuh kontroversi dan begitu gandrung pada Revolusi. Selama pra dan pasca

dirinya menjabat menjadi Presiden pertama RI. Hal pokok yang digali dalam

tulisan ini adalah mengapa seorang Sukarno dengan berbagai kelebihan dan

kontroversi yang terdapat pada dirinya, ditahbiskan oleh sejarah sebagai ujung

tombak atau Goal Getter Revolusi Indonesia. Sosok lain yang diperbandingkan

dengan Sukarno dalam penentuan posisi pimpinan Revolusi Indonesia dalam

tulisan ini adalah Tan Malaka, Hatta, dan Natsir.

Dengan pengamatan menggunakan kaca mata politik, tulisan ini

merupakan hasil sebuah penelitian pustaka yang dilakukan penulis. Data yang

diperoleh untuk melahirkan tulisan ini diperoleh melalui sumber pustaka, baik itu

tulisan yang ditulis sendiri oleh Sukarno yang penulis gunakan sebagai sumber

primer. Maupun tulisan peneliti lain yang membahas tentang Sukarno yang

penulis gunakan sebagai sumber sekunder. Hasil akhir yang di dapat dari

penelitian ini adalah jawaban bahwa sosok Sukarno yang begitu berkharisma,

dengan nasionalisme yang menggelegak, patriotisme yang menggelora, serta

kefasihan lidah yang luar biasa. Menjadikannya sebagai satu-satunya tokoh

nasional pada masa pergerakan nasional mampu mempersatukan Bangsa, yang

kemudian turut mengantarkannya sebagai Ujung Tombak Revolusi Indonesia.

Sekaligus Presiden Pertama dari Republik yang didirikannya.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

PENGESAHAN SKRIPSI...iv

PERNYATAAN KEASLIAN...v

ABSTRAK...vi

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xi

BAB I Pendahuluan...1

A. Latar Belakang...1

B. Identifikasi & Batasan Masalah...8

C. Rumusan Masalah...10

D. Tujuan Penelitian...11

E. Kegunaan Penelitian...11

F. Kerangka Teoritik...12

G. Telaah Pustaka...14

H. Metode Penelitian...19

I. Sistematika Pembahasan...21

BAB II Biografi Sukarno 1926-1945...23

A. Definisi Revolusi...23

B. Lahirnya Putra Sang Fajar...25

C. Pergaulan dengan Sang Mentor Politik...28

D. Bandung Arena Perjuangan Mengikis Imperialisme...37

E. Marhaenisme...40

F. Peta Politik Nasional di Tahun 20-an...41

G. PNI Kematangan Politik Putra Sang Fajar...43

H. Penangkapan dan Pengadilan...49

(9)

J. Pembuangan...63

K. Kedatangan Jepang...70

L. Perundingan Kalijati...73

M. Sang Fajar Kembali ke Jawa...77

N. Kooperator atau Kolaborator...82

O. Diundang Kaisar Hirohito...85

P. Lahirnya Pancasila...87

Q. Perjalanan Rahasia ke Saigon...89

R. Proklamasi Bukan Paksaan Kemerdekaan Bukan Hadiah...93

BAB III Sukarno 1945-1966 Peran Politik Semasa Menjadi Presiden...109

A. Kebijakan Pertama Sang Presiden Pertama RI...109

B. Membubarkan Rapat Raksasa...112

C. Perjuangan Melalui Jalur Diplomasi...117

D. Menumpas Pemberontakan PKI di Madiun 1948...127

E. Demokrasi Terpimpin Pintu Masuk ke Ambang Kejatuhan...131

F. Tenggelamnya Putra Sang Fajar...136

G. Sukarno diantara Tan Malaka, Hatta, dan Natsir...141

BAB IV Pembahasan Hasil Penelitian...172

A. Sukarno Berjalannya Post Behaviralisme...172

B. Kesuksesan Sukarno Menjalankan Teori Hukum Revolusi Pada Masa Pergerakan Nasional...174

BAB V Penutup...177

A. Kesimpulan...177

B. Rekomendasi & Saran...178

(10)

(11)

BAB I

Pendahuluan

A.

Latar Belakang

Dewasa ini banyak anak muda yang lupa atau bahkan tidak mengerti akan sejarah bangsanya, termasuk sejarah perjuangan para Bapak bangsa dalam mendirikan republik ini. Hironisnya lagi banyak dari kalangan anak muda yang lupa tersebut adalah para mahasiswa.Hasil survey Harian Sindo yang dilakukan pada saat peringatan Sumpah Pemuda tahun lalu, atau tapatnya bulan Oktober tahun 2015 lalu. Setidaknya dapat menjadi bukti konkrit bahwa para pemuda dewasa ini telah lupa atau bahkan tidak mengerti akan sejarah bangsanya.

(12)

Dan hanya 4% saja yang mengetahui secara detail isi dari sumpah pemuda.1

Melihat fenomena yang demikian “memprihatinkan”, menurut

hemat penulis, menjadi sebuah hal yang penting dan menarik ketika kita kembali belajar dan mendiskusikan sejarah bangsa kita. Maka atas dasar fenomena ini pula, penulis berkeinginan untuk menghasilkan sebuah karya akhir studi yang berbicara tentang sejarah bangsa. Sejarah perjuangan salah satu bapak bangsa kita atau lebih tepatnya sang pendiri bangsa kita yaitu Sukarno. Agar kita mengerti dan paham akan bagaimana sejarah bangsa kita, dan perjuangan sang pendiri bangsa dalam mendirikan republik ini. Selain itu pengerjaan karya ini dapat menjadi sarana untuk nostalgia sejarah bagi penulis pribadi maupun bagi pembacanya

Sukarno adalah anak dari pasangan Raden Soekemi Sosrodiharjo, seorang keturunan Sultan Kediri dan Ida Ayu Nyoman Rai, seorang penganut Hindu yang taat.2 Ibunya menyebut dirinya sebagai Putra Sang Fajar dan sudah meyakini bahwa anaknya kelak akan menjadi pemimpin besar, dia dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1901 ketika fajar baru menyingsing dan bertepatan pula dengan dimulainya abad yang baru. 3

Sejak usia remaja Sukarno sudah menjadi seorang pelahap buku ketika dia pada saat itu masih mondok di tempatnya H.O.S Cokroaminoto

1

http://nasional.sindonews.com/read/1056760/15/banyak-generasi-bangsa-tak-hafal-isi-sumpah-pemuda-1445980239 (diakses 23 Maret 2016)

2 Walentina Waluyanti De Jonge, Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan (Yogyakarta: Galang Pustaka, 2015),5-6

(13)

di Surabaya. Kehidupannya yang serba susah dan bahkan kelewat melarat membuat dirinya lari kepada buku. Ayahnya yang seorang Teosofi turut mempermudah dirinya dalam mengakses buku-buku melalui perpustakaan kumpulan Teosofi.4

Satu fakta lain, yang menarik tentang Sukarno, Sukarno ternyata sudah bermimpi dan “melibatkan” dirinya dalam upaya membuat

Indonesia Merdeka sejak usia remaja. Pada usia 16 tahun Sukarno sudah aktif di perkumpulan Jong Java dan Tri Koro Darmo.5 Di saat yang sama pula ketika dia masih berstatus siswa HBS (Holland Burgere School) di Surabaya, Sukarno seolah sudah terlihat bakatnya kelak bahwa dirinya akan menjadi Pemimpin Bangsa. Di HBS kala itu Sukarno sudah berhasil mengakomodir siswa lain untuk membentuk sebuah forum diskusi. Dan topik utama yang dijadikan bahan diskusi dalam forum diskusi tersebut tidak tanggung-tanggung, dan bahkan sangat sensitif. Topik yang kerap dibahas dalam forum diskusi tersebut adalah Bagaimana mencapai Indonesia Merdeka suatu saat nanti.6

Memanglah demikian sosok Sukarno, orang yang sudah mengabdikan dirinya guna lahirnya Indonesia Merdeka sejak usia masih sangat muda, bahkan remaja. Namun demikian Sukarno bukanlah sosok agung yang tanpa cela, Sukarno jugalah tepat bila dikatakan sebagai sosok yang penuh kontroversi. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional,

4Ibid…, 47 5Ibid…,5

6

(14)

Sukarno juga dikenal sebagai seorang Diktator yang haus kekuasaan. Ketika dirinya terperangkap dalam godaan kekuasaan yang dibuatnya sendiri,melalui konsep Demokrasi Terpimpinnya.

Mengenai sosoknya yang penuh kontroversi ini, kepada Cindy Adams selaku penulis Otobiografinya Sukarno mengamini hal ini. Kata Sukarno mengenai hal ini.

“Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk

seperti Bandit dan dipuja bagai dewa.” 7

Sukarno sendiri juga dikenal sebagai seorang pecinta seni dan pecinta wanita, selama hidupnya Sukarno diketahui telah menikah Sembilan kali dengan Sembilan orang wanita berbeda. Pertama dengan Siti Oetari (masa menikah 1920-1923), kedua dengan Inggit Ganarsih (1923-1943), ketiga dengan Fatmawati (1943-1956), keempat dengan Hartini (1953-1970), kelima dengan Kartini Manoppo (1959-1968), keenam dengan Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi (1962-1970), ketujuh dengan Hariyatie (1963-1966), kedelapan dengan Yurike Sanger (1964-1968), dan terakhir dengan Heldi Djafar (1966-1969).8 Dengan reputasinya sebagai seorang pecinta wanita tak salah memang jika Sukarno dijuluki “Don Juan yang Mahir Mencinta”. Tentang sifat Sukarno yang “Gila Wanita” ini majalah Tempo dalam Seri Buku Tempo yang

membahas mengenai Sukarno menulis.

7Adams…,4

(15)

“Kecantikan perempuan adalah besi berani yang tak pernah berhenti memikat Sukarno hingga masa senja hidupnya.”9

Begitulah Sukarno sosok yang penuh kontroversi selain dikenal sebagai sosok yang begitu gandrung pada Revolusi, dirinya juga dikenal sebagai seorang Pecinta Wanita. Menurut Cindy Adams ketika melihat sosok Sukarno, cara termudah untuk mendefinisikan Sukarno adalah menyebutnya sebagai seorang Mahapecinta.

“Cara yang mudah menggambarkan sosok Sukarno adalah dengan

menyebutnya seorang mahapecinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan diatas segala-galanya dia mencintai dirnya sendiri.”10

Tepat ketika tanggal 17 Agustus 2015 yang bertepatan dengan HUT RI yang ke 70. Seorang analis sepakbola bernama Zen RS, melalui tulisannya di situs panditfootball.com yang berjudul “Sejarah Indonesia dalam Formasi 3-5-2”, turut menggugah keingintahuan dan keinginan penulis guna berkenalan lebih jauh dengan sosok Sukarno. Tulisan ini dimaksudkan sebagai persembahan sang penulis selaku analis sepakbola guna memperingati HUT ke 70 RI. Dalam tulisannya ini Zen RS mengandaikan para Bapak Bangsa kita sebagai pemain sepakbola, yang bermain dengan formasi 3-5-2 untuk melawan kolonialisme yang selama 3,5 abad menduduki negeri ini. Dalam susunan formasi 3-5-2 tersebut, Zen RS menempatkan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo sebagai kiper. Tiga bek tengah dihuni oleh H.O.S Cokroaminoto, E.F.E Douwes Dekker, dan Tjiptomangunkusumo. Gelandang bertahan diemban perannya oleh

9 Seri Buku Tempo, Sukarno Paradoks Revolusi Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015), 31

(16)

Panglima Sudirman, Wingbeck kanan diisi oleh H. Agus Salim, Wingbeck kiri diisi oleh Musso. Peran Gelandang serang kanan diemban oleh Sutan Syahrir, sedangkan Gelandang serang kiri diemban oleh Tan Malaka. Second Striker ditempati Moch. Hatta, dan Ujung Tombak utama sang

penyelesai serangan diperankan oleh Sukarno.11

Dari artikel ini, penulis memunculkan sebuah pertanyaan baru mengenai kiprah para Bapak Bangsa kita semasa Pergerakan nasional, terutama kiprah Sukarno. Dari artikel Zen RS ada sebuah hal yang harus dipertanyakan dan ditelusuri lebih mendalam mengenai kiprah Sukarno, yakni kenapa harus Sukarno yang harus menjadi Striker disana? Kenapa harus Sukarno yang menjadi tokoh yang menyelesaikan perjuangan kemerdekaan ? Kenapa harus Sukarno yang menjadi Ujung Tombak Revolusi Indonesia ? Mengapa bukan sosok lain saja yang menjadi ujung tombak Revolusi Indonesia? Seperti Tan Malaka yang sudah menggagas lebih dulu bagaimana konsep Negara Indonesia nantinya jika Indonesia merdeka, melalui karyanya yang berjudul Naar De Republic Indonesia. Dan bahkan karya Tan Malaka ini juga yang menjadi referensi Sukarno dalam menjalankan klub studi yang didirikannya di Bandung tahun 1926 yang bernama Algemeen Studi Club.12

11

Untuk lebih jelasnya silahkan lihat artikel di panditfootball.com Zen RS,

http://panditfootball.com/editorial/sejarah-indonesia-dalam-formasi-3-5-2/ (diakses 14

Maret 2016) 12

(17)

Banyak karya Tan Malaka mengenai bagaimana cara dan konsep Indonesia Merdeka nantinya yang lebih dulu beredar dibandingkan gagasan Sukarno. Diantaranya seperti Parlemen atau Soviet yang terbit di tahun 1921, Naar De Republic Indonesia (1925), Massa Actie (1926). Karya dan Gagasan Tan Malaka ini jelas lebih dulu hadir dibandingkan gagasannya Sukarno seperti Nasionalisme Islamisme & Marxisme (1926), Indonesia Menggugat (1930), dan Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Selain Tan Malaka ada juga tokoh lain yang dapat diperbandingkan dengan Sukarno untuk menempati posisi Ujung Tombak Revolusi. Seperti Moch. Hatta dan M. Natsir. Moch. Hatta yang dikenal begitu teguh dalam memegang prinsip dan religius, serta juga dikenal pengkritik rezim kolonialisme melalui tulisan di majalah Indonesia Merdeka13 justru ditakdirkan oleh sejarah sebagai pendamping Sukarno bukan sebagai pucuk pimpinan Pergerakan Nasional. Ada apa sebenarnya ? Selain Hatta dan Tan Malaka, tokoh lain yang patut diperbandingkan dengan Sukarno adalah M. Natsir. Mengapa bukan Natsir padahal Natsir adalah simbol dan pemimpin dari umat Islam Indonesia. Golongan mayoritas di Indonesia, namun Natsir juga tidak ditakdirkan oleh Sejarah sebagai Pemimpin Pergerakan Nasional, Ujung Tombak Revolusi.

Riset ini akan berusaha menjawab segala “kegelisahan” dan

pertanyaan tersebut. Siapa sebenarnya Sukarno ? Bagaimana kiprah politik

13

Majalah Indonesia Merdeka adalah majalah yang diterbitkan oleh organisasi

(18)

Sukarno ? Dan tentunya Mengapa dirinya ditakdirkan oleh Sejarah sebagai Penyelesai akhir, Goal Getter, atau Ujung Tombak Revolusi Indonesia ? Meneliti tentang Sukarno sama artinya dengan meneliti Bapak Pendiri Bangsa, dan ketika kita meneliti Sang Pendiri Bangsa maka sama artinya dengan meneliti Sejarah politik Bangsa. Dan itulah yang menjadi daya tarik sekaligus tantangan tersendiri bagi penulis pribadi yang ingin meneliti sosok Sukarno. Tentang Siapa dirinya ? Bagaimana kiprah politiknya ? Dan mengapa dia bisa menjadi “Tokoh Utama” dalam drama

Sejarah berdirinya Bangsa Indonesia?

Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode penelitian Literatur dimana bahan dan data yang dipakai akan diambil dari hasil bacaan penulis pribadi selaku peneliti.

B. Identifikasi & Batasan Masalah

(19)

Dengan membandingkan kiprah politik Sukarno dengan tiga Bapak Bangsa lain yang penulis sebutkan di atas. Maka nanti akan ditemukan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti, yakni keunggulan Sukarno yang tidak dimiliki oleh tiga Bapak Bangsa lainnya sebagaimana yang penulis sebut diatas.

Lalu pastinya akan muncul pertanyaan selanjutnya, yaitu mengapa harus Tan Malaka, Moch. Hatta, dan M. Natsir yang dibandingkan dengan Sukarno? Jawabannnya adalah karena ketiga tokoh ini adalah sosok yang paling pas dan paling layak untuk dibandingkan dengan Sukarno. Tan Malaka masuk dalam golongan orang kiri yang tentunya juga Revolusioner, serta tentunya gagasan bagaimana Indonesia Merdeka sebagaimana saya tuliskan sebelumnya sudah digagas lebih dulu Tan Malaka dibanding Sukarno.

(20)

Belanda yang dipimpin oleh Hatta.14 Sehingga pas jika Hatta dibandingkan dengan Sukarno, dan dipertanyakan mengapa Hatta “sebatas” menjadi

pendamping Sukarno?

Lalu M. Natsir adalah sosok yang dianggap sebagai simbol dari kelompok Islam. Dirinya adalah pemimpin dari kelompok Islam, kelompok mayoritas di Republik ini. M. Natsir dalam catatan sejarah juga turut aktif dalam dunia visi dan dunia aksi. Dunia akademisi dan dunia politik praktis, M. Natsir dikenal sebagai sosok yang produktif melahirkan gagasan dan pemikiran terutama di bidang keislaman. Selain itu dirinya juga aktif di Parlemen menyuarakan Ideologi kelompok Islam. Sehingga tepat pula jika dalam hal ini M. Natsir dibandingkan dengan Sukarno. Mengapa M. Natsir dalam catatan sejarah tidak menjadi Pucuk Pimpinan Bangsa?

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Kiprah Politik Sukarno ?

2. Mengapa dirinya ditahbiskan oleh Sejarah sebagai Ujung Tombak Revolusi Indonesia ?

14

(21)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Lebih mengetahui dan mengerti bagaimana kiprah politik seorang

Sukarno

2. Mengetahui dan memahami apa yang menyebabkan seorang Sukarno menjadi Ujung Tombak Revolusi.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang hendak didapat dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah:

 Penelitian ini dimaksudkan untuk menambah dan wawasan Sejarah

dan Politik Bapak pendiri Bangsa yakni Sukarno. Mengenai siapa dirinya ? Bagaimana kiprah politiknya ? dan mengapa dirinya ditakdirkan sejarah sebagai Ujung Tombak Revolusi, Pucuk Pimpinan Bangsa sekaligus Presiden Pertama RI ?

 Sebagai sarana nostalgia sejarah dimana kita dulunya sebenarnya

punya seorang Bapak Pendri Bangsa, seorang aktor politik yang terlalu sia-sia jika kisahnya harus dilupakan.

(22)

Sebelum menelusuri lorong waktu sejarah, menapaki jejak perjalanan Sukarno dalam mengobarkan revolusi sekaligus mengusir imperialisme yang telah mengakar selama 3,5 abad di ibu pertiwi. Penulis paparkan terlebih dahulu definisi teori revolusi dari seorang teoritisi sekaligus praktisi revolusi asal Russia Leon Trotsky, sebagai tolak ukur untuk menilai apakah yang dijalankan oleh Sukarno adalah memang sebuah revolusi. Menurut Trotsky Revolusi adalah pertarungan terbuka antara kekuatan-kekuatan sosial dalam sebuah perjuangan untuk memperebutkan kekuasaan. Negara bukanlah sebuah tujuan akhir di dalam dirinya sendiri. Ia hanya sebuah alat di tangan kekuatan sosial yang mendominasi. Seperti setiap mesin ia memiliki motornya, mekanisme transmisi dan eksekusi. Kekuatan pendorong negara adalah kepentingan kelas; mekanisme motornya adalah agitasi, media, gereja, sekolah, partai-partai, pertemuan-pertemuan jalanan, petisi, dan pemberontakan. Mekanisme transmisinya adalah organisasi legislatif kasta, dinasti, estate, atau kepentingan-kepentingan kelas yang dipresentasikan sebagai kehendak Tuhan (absolutisme) atau kehendak bangsa (parlementerisme). Dan paling akhir, mekanisme eksekusinya adalah administrasi negara, dengan polisi-polisinya, pengadilan-pengadilannya, dengan penjara-penjaranya dan tentara.15

Negara bukanlah sebuah tujuan akhir di dalam dirinya sendiri, tetapi ia merupakan alat untuk mengorganisir, dis-organisir, dan

15

(23)

reorganisir relasi-relasi sosial. Ia dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar bagi revolusi atau menjadi sebuah alat penghenti revolusi yang terorganisir, ini tergantung pada tangan yang mengontrolnya.16

Jika melihat definisi Leon Trotsky tentang revolusi yang demikian, tepatlah kiranya revolusi yang dijalankan dan diimpikan Sukarno. Sebagaimana yang dikatakannya dalam berbagai pidatonya. Dalam pidato peringatan HUT RI Ke 14 pada 17 Agustus 1959 yang diberi judul Rediscovery of Our Revolution atau Penemuan Kembali Revolusi Kita.

Sukarno dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan revolusi Indonesia adalah menciptakan keadilan sosial yang berujung pada kesejahteraan semua rakyat Indonesia. Sukarno menginginkan tanah Indonesia menjadi tanah yang subur kang sarwa tinandur, dan barang kebutuhan pokok menjadi murah kang sarwa tinuku.17

Karena yang diteliti di sini adalah seorang aktor politik maka pendekatan yang akan digunakan untuk menganalisis data yang ditemukan adalah Pendekatan Post Behavioralis. Ketika berbicara tentang Pendekatan Post Behavioralis tentu kita tidak bisa melepaskan dua pendekatan pendahulunya yakni, Tradisionalis dan Behavioralis. Karena pendekatan Post Behavioralis merupakan “pengkritik” dari dua pendekatan

sebelumnya. Pertama pendekatan Behavioralis mengkritik pendekatan Tradisionalis yang bergerak di tataran etik, dan berpandangan bahwa

16

Ibid..,50

17

(24)

sebuah fenomena politik lahir karena dipengaruhi oleh Institusi dan lembaga politik yang ada. Seiring berjalannya waktu muncul “ketidaksesuaian” pendekatan dengan fenomena politik yang ada. Karena

seiring berjalannya waktu dalam sebuah negara yang mempunyai sistem dan lembaga politik yang sama dengan satu negara lainnya, memunculkan fenomena politik yang berbeda.18

Atas dasar munculnya realitas politik yang demikian maka muncullah pendekatan Behavioralis yang berfokus pada aktor politk dan berpandangan sangat empirik. Dalam pandangan kaum Behavioral sebuah fenomena politik lahir karena dipengaruhi oleh perilaku seorang aktor politik, yang mereka anggap bebas nilai. Karena pandangannya yang empirik dalam mengkaji sebuah fenomena politik yang muncul, mereka meneliti seberapa besar penagaruh perilaku aktor politik dengan cara mengkuantitatifkannya.19

Namun seiring berjalannya waktu, pun demikian halnya dengan Tradisionalis, Behavioralis juga mengalami kelemahan dalam mengkaji sebuah fenomena politik. Pandangan kaum Behavioralis yang sangat empiris, dan segala hal tentang perilaku aktor dapat dikuantitatifkan seolah membuat kajian ilmu politik menjadi sempit dan seolah membuat Ilmu Politik seperti Ilmu Eksak. Serta pandangan mereka yang menganggap aktor politik bebas nilai adalah sebuah hal yang terlalu naif.

18

John T. Ishiyama & Marijke Breuning, Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu (Jakarta: Prenada Media, 2013), 4-5

19

(25)

Maka berangkat dari kondisi yang demikian maka lahirlah pendekatan Post Behavioralis yang menggabungkan tataran etik dan empirik. Dalam pandangan kaum Post Behavioralis kajian dan penelitian tentang seberapa besar peran aktor dalam lahirnya sebuah fenomena politik tidak perlu untuk dikuantitatifkan. Dan dalam kacamata Post Behavioralis, aktor politik tidaklah bebas nilai karena sebagaimana apa yang dikatakan David Easton, Politik adalah kekuasaan untuk mengalokasikan nilai di masyarakat, bagaimana mungkin seorang yang bebas nilai mampu mengalokasikan nilai.20

G. Telaah Pustaka

Hasil penelitian terdahulu yang bisa digunakan sebagai rujukan diantaranya....

Cindy Adams. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Buku ini adalah hasil terjemahan dari Buku Otobiografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams dengan judul asli Sukarno as told to Cindy Adams. Buku yang pertama kali diterbitkan oleh The Bobbs Merril Company, Inc, New York, pada tahun 1965 ini diterbitkan pertama kali

terjemahan Bahasa Indonesia nya pada tahun 1966 oleh Gunung Agung. Kemudian mengalami cetak ulang berkali-kali pada 1984, 1986 dan 1988. Meski bukan Otobiografi yang ditulis sendiri oleh Sukarno, buku ini

20

(26)

adalah salah satu referensi wajib yang mutlak diperlukan bagi siapapun yang ingin menulis tentang Sukarno. Karena sang Penulis disini bertatap muka langsung dengan Sang Tokoh, dalam proses penulisan karya ini. Pada tahun 2007 atas kerjasama Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo buku ini diterbitkan kembali dengan berbagai perbaikan. Seperti penghilangan alenia yang mengdeskreditkan Bung Hatta. Pada tahun 2011 dan 2014 buku ini diterbitkan kembali oleh Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo.

Walentina Waluyanti De Jonge. Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen Sukarno Undercover.

Buku ini adalah Buku pertama yang ditulis oleh seorang sejarawan Otodidak Walentina Waluyanti De Jonge tentang Sukarno. Buku yang diterbitkan Galang Pustaka. Yogyakarta pada 2014 ini. Mengungkap kisah-kisah dan anekdot dari Putra Sang Fajar yang belum terungkap. Seperti kisah remaja Sukarno yang sudah menampakkan bakatnya sebagai calon pemimpin Bangsa, dengan membentuk klub debat yang membicarakan Hindia Belanda Merdeka di sekolahnya. Serta permusuhannya dengan Pemimpin Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Paul Pierre Emerick Westerling.

(27)

Ini adalah buku kedua dari Sang Sejarawan Otodidak, Walentina Waluyanti De Jonge yang membicarakan tentang Sukarno. Buku yang sama-sama diterbitkan oleh Galang Pustaka, Yogyakarta pada 2014 ini mencoba mengayam sejarah perjodohan Bapak Bangsa. Perjodohan antara Sukarno & Hatta, yang seolah ditakdirkan oleh sejarah untuk berpasangan memimpin perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Peter Kasenda. Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (1942-1945). Buku ini adalah buku terbitan Kompas tahun 2015. Hasil riset dari Peter Kasenda yang berbicara tentang kiprah politik Sukarno selama masa pendudukan Jepang. Sukarno yang pada saat masa Pemerintahan Kolonial Belanda berjuang untuk Kemerdekaan Republik melalui jalur non-Cooperation. Pada masa pendudukan Jepang Sukarno menerapkan strategi

berjuang yang berbeda 180o, Sukarno lebih memilih bekerjasama dengan Jepang dalam usahanya memerdekakan Republik.

Ramadhan KH. Sukarno Kuantar Ke Gerbang.

(28)

kemudian keduanya memilih pisah jalan karena keputusan Sukarno yang ingin menikah lagi.

Haris Priyatna. Bunga-bunga di Taman Hati Sukarno Kisah Cinta Bung Karno dengan 9 Istrinya. Buku yang diterbitkan Literati Book tahun

2015 ini bercerita tentang bagaimana kisah Cinta Sukarno dengan Sembilan istrinya. Mulai dari Siti Oetari, Inggit Canarsih, Fatmawati, Hartini, Katini Manoppo, Ratna Sari Devi, Hariyatie, Yurike Sanger, dan Heldi Djafar.

Seri Buku Tempo. Sukarno Paradoks Revolusi Indonesia. Buku ini adalah salah satu Seri Buku Tempo yang membahas kiprah politik empat Bapak Bangsa. Mulai dari Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Buku yang diterbitkan atas kerjasama Tempo dan Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2015 ini mengulas bagaimana sosok Sukarno, seorang yang penuh kontroversi dan perayu wanita yang ulung.

Iwan Siswo. Panca Azimat Revolusi Tulisan, Risalah, Pembelaan, dan Pidato Sukarno 1926-1966 Jilid I & II. Buku ini diterbitkan oleh

(29)

Menggugat di hadapan Pengadilan Kolonial di Landraad Bandung. Serta Risalahnya yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka termuat dalam buku ini.

Sukarno. Islam Sontoloyo. Buku yang diterbitkan Sega Arsy, Bandung 2014 ini. Berisi berbagai tulisan Sukarno, selama masa pembuangan di Ende dan Bengkulu, yang berbicara tentang dunia Keislaman. Dalam buku ini juga tertulis korespondensi antara Sukarno dan A. Hasan seorang tokoh Persatuan Islam di Bandung. Dalam korespondensi itu terungkap bagaimana Sukarno meminta dikirimi bahan bacaan yang berbicara tentang Studi Islam kepada A. Hasan.

Sukarno. Membangun Dunia Kembali. Buku ini diterbitkan Media Pressindo, Yogyakarta pada 2015. Buku ini berisi dua buah Pidato Sukarno di kancah dunia. Pidato pertama berjudul Let New Asia and New Africa be Born, yang disampaikan Sukarno ketika membuka Konferensi

Asia Afrika 18 April 1955 di Bandung. Pidato kedua berjudul To Build The World a New, yang disampaikan Sukarno pada Sidang Umum ke XV

Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1960.

(30)

2015 atas kerjasama Media Pressindo dan Yayasan Bung Karno buku ini telah diterbitkan kembali. Buku ini berisi berbagai tulisan, risalah, dan pidato Sukarno mulai dari tahu 1926-1966. Karyanya yang berjudul Nasionalisme Islamisme & Marxisme (1926), Risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933), serta Pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita Rediscovery of Our Revoluiton (1959), dan berbagai tulisan dan pidato

Sukarno lainnya terdapat dalam dua jilid buku ini.

Sekian banyak penelitian terdahulu serta karya dari Sukarno sendiri tersebut dapat dijadikan rujukan nantinya dalam penelitian ini. Perbedaan yang terdapat antara penelitian ini dan penelitian terdahulu adalah penelitian ini berusaha mengungkap hal yang menjadikan Sukarno Ujung Tombak Revolusi Indonesia

H. Metode Penelitian

(31)

data penelitiannya. Intinya penelitian pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi Perpustakaan saja tanpa memerlukan Penelitian Lapangan.21

Metode Penelitian pustaka digunakan dikarenakan tiga alasan. Pertama, dikarenakan masalah dalam penelitian tersebut, hanya bisa

dijawab melalui studi pustaka dikarenakan memang tidak memungkinkan untuk dijawab melalui penelitian lapangan. Seperti contohnya, Studi sejarah yang memerlukan penelitian pustaka. Kedua, Penelitian Pustaka diperlukan sebagai penelitian pendahuluan untuk memahami permasalahan baru yang berkembang di masyarakat. Misalnya ketika para Intelektual Muslim kembali mempelajari berbagai sekte dalam Islam, saat melihat fenomena kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Ketiga, data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitiannya.22

Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian sejarah, maka alasan agar dilakukannya penelitian pustaka telah terpenuhi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah hasil bacaan peneliti mengenai Sukarno melalui Pendekatan Historis. Baik itu hasil bacaan peneliti tentang Sukarno hasil penelitian terdahulu yang telah ditulis oleh orang lain, maupun hasil bacaan penulis tentang pemikiran Sukarno yang ditulis oleh Sukarno sendiri.

21

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003). 1-2

(32)

Penulisan Sejarah adalah bentuk pengkisahan dari peristiwa-peristiwa manusia yang telah terjadi di masa lalu. Pengkisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan yang subyektif, karena setiap orang dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, dan orientasinya.23

Oleh sebab itu memang dibutuhkan sikap kritis dan selektif dalam memilih bahan bacaan sebagai referensi yang akan digunakan untuk penelitian ini. Sejarah bukanlah ilmu eksperimen melainkan sejarah adalah ilmu kritik dan identifikasi.24 Dikarenakan sifat ilmu sejarah yang demikian maka dalam membaca sumber sejarah yang didapat. Maka penulis akan semaksimal mungkin bersikap kritis, serta akan menggunakan kacamata penyidik dalam membaca sumber sejarah tersebut. Bukan menggunakan kacamata wisatawan, penulis mengumpulkan berbagai sumber sejarah sebanyak mungkin kemudian mengidentifikasinya satu-satu berdasarkan tahun terbit sumber sejarah tersebut. Sumber yang terbit sebelum era reformasi memang hampir sama sekali tidak penulis gunakan. Karena menurut hemat penulis sumber yang terbit sebelum reformasi ada atau bahkan banyak yang bersifat mendiskreditkan peran Sukarno dalam sejarah perjuangan bangsa di dalamnya.

23

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999), 5

24

(33)

I. Sistematika Pembahasan

Hasil akhir yang ingin dicapai dalam Penelitian ini adalah dapat menjawab masalah yang sedang diteliti. Yaitu mengenai siapa sebenarnya Sukarno ? Bagaimana kiprah politiknya semasa pergerakan dan pasca pergerakan Nasional ? Serta yang terpenting dapat mengungkap mengapa harus seorang Sukarno yang menjadi Goal Getter, dan Ujung Tombak Revolusi Indonesia ?

Dalam Bab Pertama penelitian ini nanti akan membahas Latar Belakang persoalan dan “kegelisahan akademik” mengapa penelitian ini

(34)

lainnya yaitu Tan Malaka, Moch. Hatta, dan M. Natsir. Setelah itu di Bab Keempat berisi analisis teori mengenai materi yang telah dibahas, atau

(35)

BAB II

Biografi Sukarno

1926-1945

A. Lahirnya Putra Sang Fajar

(36)

Ketika Sang Fajar mulai hadir menampakkan diri, ketika awal zaman baru bagi dunia pergerakan nasional tiba. Zaman ketika kaum pergerakan menemukan bentuk ampuh perjuangan mengusir Imperialisme yang telah mengakar selama 3,5 abad di Ibu Pertiwi. Disaat yang demikianlah Sukarno dilahirkan, tepatnya ketika sang Fajar mulai menyingsing pada tanggal 6 Juni 1901 bertempat di Lawang Seketeng, Surabaya.1 Ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai adalah seorang penganut Hindu yang berasal dari Bali. Ayahnya Raden Soekemi Sosrodiharjo adalah seorang keturunan Sultan Kediri yang berprofesi sebagai Guru. Seorang yang juga penggemar Wayang Kulit dan penganut

teosofi.

Sejak kecil sang Ibu senantiasa menceritakan kisah kepahlawanan kepada Koesno (nama kecil Sukarno). Serta tidak henti-hentinya mensugesti dirinya, bahwa dirinya adalah putra Sang Fajar yang kelak ditakdirkan untuk menjadi Pemimpin Bangsanya.

“....Engkau anakku, kelak akan menjadi orang yang mulia, pemimpin besar dari rakyatmu, karena Ibu melahirkanmu di saat fajar sedang menyingsing. Kita orang Jawa memiliki suatu kepercayaan, bahwa seorang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah digariskan sebelumnya. Jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra sang fajar.”2

Sedangkan sang Ayah yang seorang penggemar wayang kulit sering mengajak Sukarno menonton wayang kulit. Ajaran filsafat dari kisah pewayangan telah diserapnya sejak kecil, mempengaruhi

1

Walentina Waluyanti De Jonge, Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan (Yogyakarta: Galang Pustaka, 2015),5

2

(37)

pertumbuhan jiwa Sukarno. Bahkan nama Sukarno pun diberikan sang Ayah diambil dari nama seorang Tokoh pewayangan dalam Epik

Mahabharata yang bernama Karna. Ketika itu Koesno di usia 11 tahun terkena sakit Tifus, selama dua setengah bulan dirinya berada di ambang pintu kematian. Kemudian sang Ayah dengan keyakinan sucinya, setiap hari dan setiap malam tidur di kamarnya. Dan berbaring diatas lantai semen yang lembab dengan beralaskan tikar tipis, tepat dibawah tempat tidur Sukarno. Untuk berdoa menyelamatkan sang Anak dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar sang Anak diberikan kekuatan.

Setelah sembuh sang Ayah berpikir namanya harus diganti agar putra sang fajar tidak sakit-sakitan. Oleh sebab itulah sang Ayah memberinya nama Karna, seorang pahlawan dalam Epik Mahabharata. Seorang panglima perang yang dikenal setia kepada kawan-kawannya dan negara yang dibelanya. Sehingga kemudian namanya yang awalnya Koesno dirubah menjadi Sukarno. Dalam bahasa jawa huruf “A” dibaca

“O”, sedangkan awalan “Su” berarti baik maka jadilah namanya menjadi

Sukarno.3 Sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia modern pula Sukarno meminta namanya ditulis dengan ejaan modern. Huruf “OE” untuk menyebut Soekarno diganti dengan huruf “U” menjadi Sukarno.4

3 Ibid..., 32

(38)

Dalam keluarga Sukarno juga ada Sarinah,5 seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga sekaligus ibu asuh bagi Sukarno di masa kecil. Sarinah hidup bersama keluarga Sukarno, dia tidak digaji dan dianggap bagian dari keluarga sendiri. Sarinah juga turut mempengaruhi kepribadian Sukarno di kemudian hari, dialah yang mengajarkan Sukarno kasih sayang dan mencintai rakyatnya. Kata Sarinah

“Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau harus mencintai umat manusia.”6

Sukarno kecil adalah seorang anak yang hidup ditengah keluarga yang melarat kelewat melarat. Gaji sang Ayah sebagai seorang Guru hanya 25 rupiah sebulan, dipotong ongkos sewa rumah menjadi 15 rupiah sebulan. Dengan nilai kurs dollar ketika itu 1 dollar dihargai 45 rupiah. Sang ibu pun bahkan tak sanggup membeli beras untuk kebutuhan sehari-hari, untuk penghematan sang ibu terpaksa membeli padi yang harus ditumbuk terlebih dahulu. Dengan begini sang ibu bisa menghemat 1 sen yang dapat dibelikan sayur untuk Sukarno kecil. Meskipun demikian keluarga Sukarno hidup dalam balutan kasih sayang yang senantiasa merekatkan mereka. Dalam kehidupan yang demikian kepribadian Sukarno terbentuk. Dan kelak di kemudian hari turut berpengaruh pada pilihan politik Sukarno untuk turut terjun ke dunia pergerakan guna memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air yang dicintainya.

5

Kelak di tahun 1947 nama Sarinah dijadikan judul buku tentang Feminisme Wanita yang ditulis oleh Sukarno

6

(39)

B. Pergaulan dengan Sang Mentor Politik

Pada usia 15 tahun pasca lulus dari ELS (Europe Large School)

sang ayah sudah merencanakan jenjang pendidikan Sukarno untuk masa depannya. Sang ayah berencana mengirimkan Sukarno ke Surabaya7 untuk bersekolah di HBS (Hogere Burger School), sebuah sekolah menengah yang nantinya menjadi pintu masuk bagi Sukarno untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Serta yang utama tentunya tujuan sang Ayah untuk mengirimkan Sukarno remaja ke Surabaya adalah untuk mondok di tempat H.O.S Cokroaminoto. Kawan dari ayah Sukarno, seorang pemimpin Sarekat Islam. Sebuah Organisasi dengan 2,5 juta pengikut, dan berstatus sebagai organisasi terbesar dan terdepan dalam menantang kolonialisme Belanda saat itu.

Dengan reputasinya yang sedemikian rupa, oleh Belanda H.O.S Cokroaminoto dijuluki sebagai “Raja Jawa yang tidak bermahkota”. Sosok

inilah yang mengubah seluruh kehidupan Sukarno, disinilah Sukarno sebagaimana harapan ayahnya dicetak menjadi “Karna yang kedua.” Di titik inilah Sukarno menempa diri mematangkan bakat politiknya, dan mematangkan pemikirannya. Ketika mondok di rumah Pak Cokro ini, Sukarno mendapatkan jatah kamar yang paling buruk diantara semua murid-murid Pak Cokro. Dikisahkan oleh Sukarno kamarnya tidak

7

(40)

mempunyai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Kamar itu sangat gelap, sehingga terpaksa Sukarno remaja harus terus menyalakan lampu terus-menerus, meskipun di siang hari. Kamar itu kecil seperti kandang pemikiran, disini dirinya mulai bergelut dengan buku-buku. Tujuannya tidak lain untuk melupakan kehidupannya yang memprihatinkan yang senantiasa berada di bawah garis kemelaratan. Disini dia mulai berkenalan dengan Thomas Jefferson selaku konseptor Declaration of Independence

Amerika. Dia menelusuri perjalanan Abraham Lincoln dan berdikusi dengannnya.8 Tentang pelariannya ke dunia bacaan ini pernah dikisahkan oleh Sukarno sendiri, ketika dirinya berpidato di Universitas Indonesia saat sudah menjadi Presiden.

“Oleh karena Bapak waktu itu miskin, tidak dikelilingi oleh Comfort of life, tidak seperti kamu sekarang yang sebentar pergi ke Bioskop, sebentar pergi ke Karang Seta dan lain sebagainya. Ya, ada juga yang miskin-miskin seperti Bapak. Oleh karena Bapak waktu itu miskin, tidak dikelilingi oleh Comfort of life, Bapak mencari Consolation, hiburan hidup dari buku-buku. Bapak membaca buku-buku. Bapak meninggalkan alam ini, alam jasmani, Bapak punya pikiran, Bapak punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam world of the mind, masuk ke dalam alam ilmu cita, alam ilmu pengetahuan ini, in this world of mind kataku, aku berjumpa dengan

8

(41)

orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar.”9

Di Surabaya tepatnya di Peneleh Gang 7 di rumah Pak Cokro merupakan dapur nasionalisme bagi Sukarno. Di tempat ini Sukarno mematangkan pemikiran dan mentalitas politiknya. Setiap malam di dalam kamarnya yang seperti kandang ayam, Sukarno larut dalam dunia pemikiran. Terkadang diatas meja reyot tempatnya menyimpan buku-bukunya. Dirinya berlagak seolah sebagai pemimpin dunia, dan berlatih orasi di sana. Teman-teman sebayanya yang mondok di tempat Pak Cokro awalnya heran melihat tingkah Sukarno yang demikian, namun lama kelamaan mereka terbiasa dengan aktivitas Sukarno semacam itu. “Ah si

No mau menyelamatkan dunia lagi” kata teman satu pondok nya saat

mendengar Sukarno melatih orasinya di malam hari.

Di Surabaya inilah Sukarno mulai meniti karir politiknya. Pada usia 16 tahun Sukarno telah aktif di organisasi Tri Koro Darmo dan Jong Java. Bagi Sukarno Tri Koro Darmo yang berarti “Tiga Tujuan Suci”

merupakan organisasi pertama yang diikutinya, yang melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi, sosial yang dicita-citakannya. Sedangkan

Jong Java adalah perkumpulan politik berikutnya, yang memiliki dasar lebih luas. Jong Java banyak melakukan kerja sosial, seperti mengumpulkan dana bantuan untuk pembangunan sekolah dan korban bencana alam.

9

(42)

Ketika di Surabaya ini pulalah Sukarno menemukan pilihan dan strategi politik yang akan digunakannya di kemudian hari saat terjun ke dunia Pergerakan Nasional. Ketika itu Sukarno sering berjalan-jalan seorang diri untuk merenungkan apa yang sedang bergejolak di otaknya. Satu jam lamanya dia berdiri tidak bergerak di atas jembatan yang melintasi sungai kecil dan memandang iring-iringan manusia tiada habisnya. Dia melihat pak tani dengan kaki telanjang berjalan lesu menuju gubuknya yang kumuh, dan dia melihat Belanda si penjajah duduk kaku di atas kereta terbuka yang ditarik dua ekor kuda gagah berwarna abu-abu. Sebuah kondisi yang ironis dimana kaum pribumi, yang mempunyai jumlah masa lebih besar dari si penjajah harus menjadi kaum kelas bawah di negerinya sendiri.10 Melihat kondisi yang demikian dari jembatan itu Sukarno memejamkan mata ke arah kerumunan masa dan dia menyadari inilah kekuatan bangsanya dan dia sangat tahu bagaimana penderitaan mereka. Kelak di kemudian hari masa rakyat pribumi yang miskin dan besar itu menjadi senjata bagi Sukarno guna menghantam Imperialisme yang telah mengcengkeram tanah airnya selama 3,5 abad ini. Sukarno menyebut strateginya ini sebagai machtsvorming (penyusunan kekuatan masa) dan machtsaanwending (penggunaan kekuatan masa).

Ketika sekolah di HBS (Hogere Burgere School) bakat Sukarno sebagai seorang pemimpin dan pemberontak yang akan menyelamatkan bangsanya dari cengkeraman Imperialisme sudah mulai terlihat. Hal ini

10

(43)

diutarakan oleh Dr. M. Soetjahjo (Dr. Joop), seorang dokter ahli paru-paru yang berdinas di ALRI Surabaya. Pada masa kolonial, Dr. Joop adalah eks teman sekelas Sukarno di HBS. Dr. Joop sendiri meninggal di usia 83 tahun. 11 Dikisahkan oleh Dr. Joop, Sukarno remaja saat duduk di HBS, dia sudah membentuk klub debat tersendiri di sekolahnya dengan anggota kira-kira berjumlah 25 orang. Klub debat ini dibuat sedemikian rupa sehingga ada kelompok yang pro dan yang anti. Debat antara yang pro dan anti dibuat seekstrem mungkin, demi menghidupkan diskusi. Topik yang paling sering dibicarakan dalam klub debat tersebut adalah “utopi”

kemerdekaan Insulinde atau Indonesia. Jika sudah berdebat maka Sukarno akan kontan berbicara lancar, berapi-api, dengan argumentasi kuat dan bahasa Belanda yang lancar.

Para pelajar itu biasanya suka berdebat di Panti Harsojo. Namun akhirnya disadari, tempat umum bukanlah tempat yang tepat untuk mendiskusikan topik kemerdekaan Insulinde topik panas dan terlarang pada masa itu. Akhirnya klub debat itu pindah lokasi ke dalam kompleks sekolah. Topik diskusi yang diadakan Sukarno dengan teman-temannya pada masa itu, adalah topik yang terlarang yaitu tentang kemerdekaan. Meskipun demikian pihak sekolah tetap mengapresiasi dan mengakomodasi antusiasme siswa untuk berdebat. Direktur sekolah, Meneer Booth, dinilai siswa sangat mendukung klub debat mereka. Bahkan, Meneer Booth sendiri tak segan untuk turut ikut berdiskusi dalam

11

(44)

klub debat siswanya.12 Dari sini seolah terlihat sisi lain dari wajah kaum kolonial Belanda yang tidak semuanya pro dengan Imperialisme yang dilancarkan negeri mereka terhadap kaum pribumi.

Menjelang masa akhir studinya di HBS Surabaya, Sukarno mendapatkan sebuah realita yang penuh dengan rasa duka. Bu Cokroaminoto, istri Pak Cokroaminoto meninggal dunia. Keluarga Pak Cokroaminoto beserta anak-anak kos pindah ke rumah baru. Sukarno begitu sedih melihat sang Guru sekaligus pemimpin yang begitu dipujanya itu tampak begitu tertekan, anak-anaknya masih kecil, dia seorang diri rumah baru itu terasa asing.

Ketika belum lama menempati rumah baru dengan kondisi dan suasana yang sedemikian rupa. Saudara Pak Cokro menemui Sukarno guna meminta tolong agar Sukarno bersedia mengurangi beban kesedihan Pak Cokro. Caranya yaitu dengan Sukarno bersedia menjadi menantunya, alias menjadi suami dari Siti Utari anak sulung dari Cokroaminoto. Karena menurut saudara Pak Cokro, Pak Cokro sangat khawatir terhadap anak perempuannya itu siapa yang akan menjaga dan menyayanginya.

Singkat cerita meskipun awalnya Sukarno diliputi keraguan, dalam menerima tawaran ini. Pada akhirnya Sukarno bersedia menerima saran dari Saudara Pak Cokro ini, dan menjadi menantu dari Pak Cokroaminoto suami dari Siti Utari. Mereka berdua menikah di usia yang sangat muda

12

(45)

Sukarno 20 tahun, sedangkan Utari 16 tahun.13 Dengan kondisi yang demikian mereka mengambil keputusan untuk melakukan “Kawin

Gantung”. Pasca menjadi menantu Pak Cokro, Sukarno kemudian beralih

statusnya dari murid biasa menjadi anak emas dari Pak Cokro. Sukarno dan Utari dipindahkan ke kamar yang lebih besar dengan perabotan yang lebih banyak. Sukarno kemudian seolah menjadi buntut dari Cokroaminoto. Kemanapun Pak Cokro pergi, selalu Sukarnolah yang menemaninya ke acara-acara pidatonya, bukan anak-anaknya. Di saat mengikuti Pak Cokro berpidato, Sukarno senantiasa memperhatikannya. Disadarinya Pak Cokro mempunyai wibawa yang besar di mata rakyat. Namun sayang Pak Cokro tidak pernah menaik turunkan suaranya saaat berpidato, Pak Cokro tidak pernah membuat lelucon dan pidatonya menjemukan. 14

Sukarno kemudian menjadikan pak Cokro sebagai cerminnya, dalam berpidato di kemudian hari. Sukarno memperhatikan bagaimana sang guru menjatuhkan suaranya, melihat gerak tubuhnya, saat sang guru berpidato. Sukarno kemudian berlatih bagaimana menarik dan menyandera perhatian pendengarnya. Pada akhirnya tiba juga saat bagi Sukarno berpidato di tengah kerumunan. Ketika itu pada satu malam ada sebuah rapat kecil, namun Pak Cokro berhalangan untuk menghadirinya. Pak

13

Pernikahan keduanya tidak berlangsung lama, di tahun 1921 ketika Sukarno melanjutkan Studinya ke Bandung. Sukarno menceraikan Utari karena dianggapnya masih terlalu muda untuk menikah, dan pernikahan mereka juga sebenarnya tidak didasari rasa saling Cinta. Di Bandung ini kemudian Sukarno tertambat hatinya pada Inggit Canarsih yang kelak menemaninya sampai pintu gerbang kemerdekaan.

14

(46)

Cokro lalu meminta Sukarno untuk menggantikannya, dan Sukarno memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Di hadapan hadirin Sukarno berpidato.

“Negeri kita begitu suburnya, sehingga kalau kita menancapkan sebuah tongkat ke dalam tanah, maka tongkat itu akan tumbuh dan menjadi sebatang pohon. Sekalipun demikian rakyat menderita kekurangan dan kemelaratan merupakan beban sehari-hari. Puncak gunung menghisap awan di langit sehingga turun ke bumi dan negeri kita diberi rahmat dengan hujan berlimpah-limpah. Tetapi kita kekurangan makan dan perut kita menjerit-jerit kelaparan.”

“....Mengapa hal itu terjadi, saudara-saudara? Penyebabnya, penjajah kita tidak mau menanamkan uang kembali untuk memperkaya tanah yang telah mereka kuras. Mereka hanya mau memetik hasilnya. Ya, memang mereka menyuburkan tanah kita ini. Tetapi tahukah saudara dengan apa? Dengan mayat-mayat rakyat kita kurus kering, yang mati karena kelaparan, dan kerja keras.”15

Pidato Sukarno di rapat kecil tersebut begitu memukau para hadirin yang hadir disana. Mereka menatap Sukarno dengan tatapan yang seolah memuja. Mereka meneguk semua kata-kata Sukarno, dengan penuh kepercayaan dan harapan. Sejak saat itu, keterampilan Sukarno dalam berorasi semakin matang. Di rumah Pak Cokro memang benar-benar mematangkan pemikiran politiknya. Sukarno menyebut rumah Pak Cokro adalah “Dapur Nasionalisme” bagi dirinya. Setelah berpidato di forum

kecil tersebut, Sukarno semakin sering berpidato di perkumpulan politiknya sendiri Jong Java. Setelah mendengar orasi dari Sukarno, teman-temannya di Jong Java semakin terpukau dengan Sukarno. Sukarno kemudian ditunjuk sebagai sekretaris Jong Java, dan tak lama kemudian kedudukannya meningkat sebagai ketua dari Jong Java.

15

(47)

Di rumah Pak Cokro ini Sukarno juga aktif menulis di surat kabar asuhan Pak Cokro, Oetosan Hindia. Disini Sukarno menulis lebih dari 500 artikel yang isinya mayoritas menentang Imperialisme Belanda. Tetapi, Sukarno menulis artikel-artikel tersebut menggunakan nama samaran yang diambil dari tokoh pahlawan dalam epik Mahabharata, yakni Bima, Karena tidak mungkin bagi seorang yang masih berstatus sebagai pelajar di sebuah sekolah Belanda seperti HBS diketahui identitasnya sebagai pengkritik pemerintah kolonial.16

Surabaya dan rumah Pak Cokro memang benar-benar mematangkan pendirian dan pemikiran politik Sukarno. Sampai pada tenggal 10 Juni 1921 Sukarno lulus dari HBS, dan tak lagi tinggal di Surabaya karena takdir membawanya ke Bandung guna melanjutkan studinya di THS (Technische Hoge School)17 mengambil jurusan Teknik Sipil untuk mengejar gelar Insinyur. Meskipun pada awalnya Sukarno bercita-cita untuk melanjutkan studinya ke Luar negeri. Tetapi karena beberapa hal seperti keterbatasan dana, akhirnya Sukarno memilih menuruti saran sang Ibu untuk melanjutkan studi di negeri sendiri.

C. Bandung Arena Perjuangan Mengikis Imperialisme

16

Ibid...,59 17

(48)

Sukarno berkisah “Akibat dari Imperialisme benar-benar dahsyat.

Orang-orang lelaki direnggut dari rumahnya dan dipaksa menjadi budak di pulau-pulau seberang, yang kekurangan tenaga manusia. Kaum perempuan dipaksa bekerja di kebun nila dan mereka harus terus bekerja keras, sekalipun mereka melahirkan selagi penanaman berlangsung.”18 Imperialisme adalah musuh utama, lintah darat yang menghisap kekayaan alam dan tenaga rakyat pribumi. Bagi kaum pergerakan di awal abad 20 kala itu, Imperialisme adalah setan besar yang harus segera dienyahkan dari Ibu Pertiwi. Kekejaman dari Imperialisme yang sedemikianlah yang membuat Sukarno menemui takdirnya untuk turut terjun ke dunia Pergerakan Nasional saat masih menjadi mahasiswa di THS Bandung. Di Bandung posisi Sukano bukan lagi seorang “Santri” Pak Cokro yang baru

belajar. Tetapi dirinya sudah menjadi aktor politik yang sudah matang dengan gagasannya sendiri, seorang tokoh pergerakan yang sudah diperhitungkan diantara kaum pergerakan sendiri.

Sesaat sebelum menuju Bandung Sukarno pada saat berpidato di rapat Jong Java, dirinya memperkenalkan seragam nasiornal, dan panggilan keakraban bagi sesama kaum pergerakan. Sukarno memperkenalkan “Peci” sebagai pengganti Blangkon, serta

memperkenalkan panggilan “Bung” sebagai panggilan keakraban antara

sesama kaum Pergerakan Nasional guna memperkuat Identitas Nasional Bangsanya. Kata Sukarno dalam pidatonya saat itu.

18

(49)

“Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat. Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi istilahnya berasal dari penjajah kita. Dalam bahasa Belanda “pet” berarti kupiah, “je” akhiran untuk menunjukkan ‘kecil’, dan kata itu sebenarnya “petje”. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”19

Bandung kemudian benar-benar menjadi arena pembuktian, dan perjuangan politik Sukarno guna mengikis Imperialisme. Pada saat menjadi mahasiswa di THS Bandung Sukarno benar-benar sudah menjadi tokoh pergerakan yang kian matang berpolitik. Sejak usia muda tepatnya menginjak usia 20 an Sukarno sudah berorasi dari satu tempat ke tempat lain, mempropagandakan Indonesia Merdeka.

“Indonesia Merdeka Sekarang...!” satu kalimat pendek yang

senantiasa didengungkan Sukarno saat berorasi. Satu kalimat pendek yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu. Karena di awal abad 20 menyebut nama Indonesia adalah sesuatu yang haram, dan apalagi slogan kemerdekaan. Karena orasi dan slogan-slogan kemerdekaannya, membuat Sukarno masuk kedalam daftar hitam Polisi Kolonial Belanda sejak usia muda. Karena aktivitas politiknya di dunia Pergerakan Nasional dan orasinya yang berapi-api menentang Imperialisme Belanda, membuat Sukarno dipanggil oleh Rektor THS Bandung Professor Klopper. “Bila engkau ingin kuliah disini, engkau

harus menekuni kuliahmu. Aku tidak keberatan jika seorang pemuda memiliki cita-cita politik, tetapi haruslah diingat yang pertama dan paling

19

(50)

utama engkau harus memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Engkau harus berjanji, bahwa mulai hari ini engkau tidak terlibat lagi dalam gerakan politik.”20

Namun peringatan sang Rektor tak membuat Sukarno menyurutkan niatnya guna terjun ke dunia pergerakan, guna turut berjuang mencita-citakan Indonesia Merdeka. Bagi Sukarno memperjuangkan Indonesia Merdeka adalah takdirnya, Indonesia Merdeka harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Sebagaimana slogan yang selalu didengungkannya pada masa pergerakan “Indonesia Merdeka Sekarang....!”

D. Marhaenisme

Sejak remaja ketika mondok di tempat H.O.S Cokroaminoto, Sukarno telah menyadari bahwa kekuatan Bangsanya terletak pada massa rakyat yang sedemikian besar, yang hidup melarat kelewat melarat. Mereka adalah kaum tani yang hanya memiliki ladang yang sempit, dan hasil produksinya hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri. Mereka adalah kuisir dokar yang memiliki kuda dan keretanya sendiri, dan tidak memiliki pegawai. Para nelayan yang memiliki alat kerjanya sendiri, yang hasil tangkapannya pas-pas an. Mereka inilah yang nantinya digalakkan oleh Sukarno untuk melakukan Massa Aksi mengikis Imperialisme Belanda.

20

(51)

Sukarno menyebut strateginya ini sebagai machtsvorming (penyusunan kekuatan masa) dan machtsaanwending (penggunaan kekuatan masa). Namun sayang, Sukarno masih belum memiliki nama yang cocok bagi kekuatan utama Bangsa ini yang sedemikian besarnya tersebut.

Sampai kemudian pada suatu ketika, saat Sukarno membolos kuliah bersepeda berkeliling kota Bandung. Sukarno kemudian sampai di bagian selatan kota Bandung. Di sana dirinya bertemu dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya yang sempit. Disitu kemudian Sukarno bercakap-cakap dengan sang petani, mengenai kepemilikan lahannya yang sempit yang hasil produksinya hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri. Dirinya juga tidak memiliki pegawai, karena tak sanggup membayar upahnya. Diakhir percakapan Sukarno bertanya siapa nama petani itu, sang petani kemudian menyebut namanya adalah Marhaen. Dari percakapan dengan sang petani miskin tersebut, Sukarno kemudian memperoleh sebuah inspirasi untuk memberikan nama bagi massa rakyat yang sedemikian besarnya. Massa rakyat yang menjadi kekuatan utama bangsanya dalam mengikis Imperialisme Belanda. Nama itu adalah Marhaen.21

E. Peta Politik Nasional Tahun 20-an

21

(52)

Awal abad 20 adalah masa awal model baru pergerakan nasional melawan imperialisme yang mencengkeram ibu pertiwi selama 3,5 abad. Kini kaum pergerakan nasional sadar perlawanan bersenjata yang bersifat kedaerahan kini tak efektif lagi untuk dilakukan. Awal abad 20 adalah masa awal lahirnya kaum terpelajar pribumi yang sadar bahwa bangsanya saat ini sedang dihisap dijadikan sapi perah oleh kaum imperialis. Kaum terpelajar itupun sadar perlawanan bersenjata sebagaimana dilakukan pendahulu sebelumnya tak akan mampu mengusir imperialisme. Perlawanan yang mereka lakukan adalah dengan mendirikan berbagai organisasi dan media dengan bersenjatakan ide serta gagasan yang tersimpan di kepala mereka. Dimulai dari seorang Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang menyuarakan idenya melalui berbagai media yang didirikannya seperti Soenda Berita (1903-1906) ,Poetri Hindia (1908-1909), Medan Prijaji (1909-19012).22 Dilanjutkan dengan dr. Wahidin Sudiro Husodo yang mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, KH. Samanhudi yang mendirikan Serikat Dagang Islam pada 5 April 1909.

Serikat Dagang Islam kelak dalam perjalanan sejarah namanya berubah menjadi Serikat Islam. Sebuah organisasi yang awalnya semangatnya adalah memenangkan persaingan dagang para pedagang muslim melawan pedagang tionghoa. Dalam perjalanan sejarah berubah menjadi sebuah organisasi politik islam yang menentang imperialisme. SI

22

(53)

kemudian menjadi organisasi besar dengan 2,5 juta pengikut ketika dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto. Namun sayang sejak Kongres SI Cabang Semarang pada 6 Mei 1917 yang menempatkan Semaun sebagai ketua muncullah bibit perpecahan di tubuh SI. Sejak masuknya Semaun di tubuh SI inilah, terjadi infiltrasi kelompok kiri di tubuh SI. Puncaknya adalah SI terpecah menjadi dua yakni SI Merah dan SI Hijau, dimana SI Merah dikemudian hari tepatnya pada 20 Mei 1920 berafiliasi dengan PKI. Sehingga membuat pamor SI di mata masyarakat menjadi merosot.

PKI sendiri di tahun 1926 justru melakukan sebuah blunder politik dengan melakukan sebuah pemberontakan yang gagal pasca disepakatinya keputusan Prambanan Desember 1925.23 Peta politik nasional ditahun 1920 an menggambarkan perpecahan di tubuh kelompok utama yang paling kuat dalam pergerakan nasional yakni SI, yang kemudian bermuara pada munculnya PKI sebagai kekuatan baru. Namun justru melakukan sebuah blunder politik dengan pemberontakan gagal di tahun 1926. Di tengah momentum yang demikianlah Sukarno muncul ke arena politik diantara kaum pergerakan nasional.

F. PNI Kematangan Politik Putra Sang Fajar

23

(54)

Pada tanggal 25 Mei 1926 Sukarno telah lulus dari THS Bandung dan menyandang gelar sebagai seorang insinyur Teknik Sipil.24 Dan dirinya kini juga mempunyai gelar baru di belakang namanya yakni Raden Ir. Sukarno. Pasca lulus sebagai sarjana dari THS Bandung ini, Sukarno kini benar-benar memfokuskan hidupnya untuk Bangsanya. Dia fokus penuh untuk terjun ke dunia Pergerakan Nasional, terjun sebagai pejuang dan bahkan sebagai pemimpin pergerakan. Ide dan gagasannya yang revolusioner, slogan kemerdekaan dan anti Imperialis-Kolonialis-Kapitalis yang senantiasa didengungkannya saat berorasi dari satu tempat ke tempat lain. Telah menjadi senjata utama yang begitu ditakuti pemerintah kolonial Belanda saat itu. Pada tahun 1926 ini pula Sukarno mendirikan sebuah klub studi yang menjadi laboratorium politik guna mematangkan pemikiran, falsafah, dan konsep politiknya bagi negara yang dicita-citakannya. Sukarno mendirikan Algemeen Studieclub sebagai Laboratorium politik guna mematangkan gagasannya. Dalam Algemeen Studieclub ini disebutkan Sukarno turut menjadikan Buku Massa Aksi dan

Naar De Republik Indonesia karya Tan Malaka yang diselundupkan dari Kanton, China, sebagai salah satu referensi utama dalam diskusi politik yang dilakukannya di Studie Club ini.25

Dari sini terlihat adanya suatu konsolidasi yang terorganisir antara sesama kaum pergerakan. Dalam berjuang mengikis Imperialisme Belanda

24

Meski sering disebut Sukarno adalah seorang Insinyur Asrsitektur, namun sejatinya dirinya adalah seorang Insinyur Teknik Sipil.

25

(55)

meskipun jarak ribuan kilometer memisahkan mereka. Selain dengan Tan Malaka, Sukarno juga menjalin konsolidasi politik dengan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda pimpinan Muhammad Hatta. Setiap bulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang tergabung di PI, menyelundupkan majalah Indonesia Merdeka ke tanah air melalui ABK yang turut berlayar dari Belanda ke Indonesia. Dari sinilah Sukarno melakukan perkenalan jarak jauh dengan Hatta yang kelak menjadi pasangannya memimpin perjuangan kebangsaan, sampai kemudian mendampinginya sebagai Wakil Presiden saat Sukarno menjadi Presiden RI. Hatta sendiri sejak tahun 1926 ketika di Belanda juga tertarik dan kagum pada sosok Sukarno yang reputasinya sebagai “Singa Podium” dan penggerak massa sudah terdengar

sampai ke Belanda. Hatta mendengar sosok Sukarno yang pandai menarik massa dari para mahasiswa Indonesia yang baru datang ke Belanda.26

Pada rapat Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1926 di Belanda. Hatta sendiri selaku ketua PI saat itu, menginginkan agar PI mendirikan partai berhaluan nasionalis yang berorientasi non-cooperation sebagai sayap organisasi PI.27 Pada akhirnya sejarah mencatat PNI yang didirikan Sukarno pada 4 Juni 1927, dinilai Hatta sebagai Partai Politik yang pas untuk dijadikan mitra koalisi dalam perjuangan PI.

Pada tahun 1926 dengan kematangan politiknya dalam melihat peta kekuatan politik kaum pergerakan. Dia melihat ada satu kelemahan politik

26

Walentina Waluyanti De Jonge, Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan...,15 27

(56)

dalam perjuangan kaum pergerakan nasional, yakni tidak adanya persatuan diantara kaum pergerakan. Setiap golongan berjuang sendiri-sendiri dan tidak ada kebersamaan diantara semuanya. Melihat kenyataan yang demikian Sukarno kejelian politiknya menulis artikel di harian Soeloeh Indonesia Moeda28 yang berjudul Nasionalisme, Islamisme & Marxisme. Dalam artikel ini Sukarno menyerukan pentingnya persatuan diantara tiga poros utama pergerakan nasional yakni, poros Nasionalis, Islamis, dan Marxis. Serta menekankan bahaya Imperialisme yang menjadi musuh bersama kaum pergerakan. Dalam tulisannya Sukarno mengatakan.

“...Keinsafan akan tragis inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistislah adanya.

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam satu negeri jajahan tak guna berseturuan satu sama lain, membuktikan pula bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat, satu ombak topan yang tak dapat diterjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

“...Kita tidak boleh berputus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka !”29

Sukarno kali ini benar-benar sudah menjadi anak muda yang matang dalam berpolitik, dia sudah menjadi pemimpin pergerakan yang mempunyai massa tersendiri. Dia sudah tidak lagi menjadi “santri” dari

Pak Cokro yang turut menjadi eksponen Sarekat Islam. Pada 4 Juni 1927 pasca mendirikan Algemeen Studieclub, Sukarno mendirikan PNI

28

Soeloeh Indonesia Muda adalah harian yang didirikan dan dipimpin oleh Sukarno sendiri mulai tahun 1926

29

(57)

(Partai Nasional Indonesia) sebagai kendaraan politik guna mempercepat perjuangannya mencapai Indonesia Merdeka. Sukarno dengan PNI nya kemudian menjadi poros utama Pergerakan Nasional dalam perjuangan mengikis Imperialisme dari Ibu Pertiwi. Setelah partai politik lain, yang sebelumnya menjadi garda perjuangan mengalami kemunduran politik. SI yang tadinya menjadi garda terdepan perjuangan mengikis Imperialisme yang mempunyai 2,5 juta pengikut. Kini menjadi partai yang miskin simpatisan, selain karena faktor Sukarno yang mempunyai daya pikat luar biasa dalam menarik massa. SI sendiri telah terpecah menjadi dua, sejak infiltrasi “kaum kiri” masuk ke tubuh SI ketika Semaun terpilih sebagai

Ketua SI Cabang Semarang pada Kongres tanggal 6 Mei 1917.30

Sejarah kemudian mencatat SI terbelah menjadi dua yakni, antara Sarekat Islam yang Islamistis dan Sarekat Rakyat yang Marxistis. Konflik perpecahan di tubuh SI ini kemudian dikenal dengan SI Hijau dan SI Merah. Karena perpecahan ini, ditambah sosok Sukarno yang punya daya pikat luar biasa dalam memikat massa. SI menjadi partai miskin simpatisan dan luntur pamornya. Kongres SI di Cilacap, tanggal 2-9 Agustus 1929, tak lagi banyak dihadiri orang. Kongres di Garut, 16-19 Agustus, agak lebih baik karena Sukarno hadir berpidato disana.31

Selain SI yang terpecah, poros lain yang menjadi salah satu garda Pergerakan Nasional, yakni PKI justru tenggelam riwayatnya. PKI yang

30

Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999),6

31

(58)

isinya orang-orang uring-uringan dan tempramental justru melakukan “bunuh diri politik” pasca disepakatinya keputusan Prambanan pada

Desember 1925. Inti dari isi keputusan hasil dari rapat Prambanan adalah menerima usulan Sardjono selaku pimpinan PKI guna

“mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan dismbung aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini...”32

Keputusan Prambanan yang isinya adalah melakukan pemberontakan itu, pada akhirnya terlaksana. Pemberontakan PKI meletus pada 12 November 1926 di Jawa Barat dan pada Januari 1927 di Sumatera Barat. Pemberontakan ini pada akhirnya gagal dan menjadi sebuah tindakan “bunuh diri politik” bagi PKI. Akibat pemberontakan PKI 1926,

amat parah. PKI kemudian dibubarkan dan semua aktivisnya dibuang. Nasib tokoh-tokoh komunis Indonesia juga tidak terlalu baik. Musso kemudian sekolah lagi di Russia sebagai “petugas” Komintern. Semaoen

dibuang ke Asia Tengah. Alimin mengembara sebagai petugas komintern. Beberapa tahun ia ditempatkan bersama-sama kaum komunis China di Yenan, kemudian Chungking. Darsono kemudian “bertobat” setelah

melihat praktik Stalinis. Ia hidup dalam pengasingan di Jerman (sampai 1933), setelah itu di Belanda.33

Setelah dua poros pergerakan nasional luntur pamornya, melemah, atau justru hilang kekuatan politiknya. Sukarno bersama PNI nya dengan

32

Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Yogyakarta: Bentang, 2005),10

33

Referensi

Dokumen terkait

Untuk peneliti selanjutnya dapat lebih detail dalam memaparkan apa saja identitas Yogyakarta dan menganalisis elemen artistik program Angkringan dan Wedang Ronde

KOMPUTER 2 CICT, BERSEBELAHAN DEWAN BESAR. BLOK Q-03

Berdasarkan hal itu, hasil yang ditemukan dari lansia yang menjadi informan dalam penelitian ini memungkinkan adanya perasaan serupa yang dirasakan oleh

Hasil dari angket ada 3 aspek yaitu aspek pertama yang berjudul Aspek Karakter Novel Dilan 54.6%, hal ini menandakan bahwa para pembaca aspek karakter novel

Proses pembangunan yang dimaksud yaitu proses perubahan kearah yang sesuai dengan tujuan awal yaitu mensejahterakan masyarakat dari segi pelestarian kebudayaan sehingga budaya yang

Sedangkan margarin, biasanya terbuat dari lemak nabati dan kandungan lemak jenuhnya Sedangkan margarin, biasanya terbuat dari lemak nabati dan kandungan lemak

Hal ini bukanlah kasus untuk algoritma perkiraan pada bab 2.2, dimana urutan simpul-simpul di R sesuai dengan warnanya, sehingga algoritma MaxClique di setiap

Sehubungan dengan Pelaporan Laporan Keuangan Semester I DIPA BUA (005 01) Tahun Anggaran 2017 , bersama ini dengan hormat diminta kepada Saudara untuk.. menugaskan