Dalam beberapa dokumentasi pemberitaan terlihat jelas bahwa kehidupan sosial ekonomi yang berat, merupakan faktor dominan dan kuat di belakang praktek-praktek ilegal perdagangan anak. Dari Hasil Penelitian di Bab II, keseluruhan contoh kasus yang terjadi dalam kurun waktu 2004 – 2008, sebagaimana diberitakan Kompas – 18 April 2008
dengan judul “Kasus-kasus Perdagangan Manusia 2004-2008”,
menunjukkan dengan jelas tentang faktor sosial – ekonomi ini.
Perdagangan anak ini bahkan sangat memprihatinkan, sebagai contoh pada Agustus 2006, 7 (tujuh) gadis asal Kecamatan Kutayasa dan Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dijual oleh sebuah jaringan perdagangan wanita yang beroperasi di Banyumas. Para korban awalnya dijanjikan akan dipekerjakan di kafe, namun sesampainya di Medan mereka dijual kepada mucikari dengan harga tiga jutaan. Sindikat perdagangan anak di Jakarta bahkan mematok dua ratus ribu rupiah sebagai harga sewa anak untuk mengemis.
Dalam contoh dokumentasi tersebut, masalah hukum perdagangan anak bertali-temali antara kebutuhan para perempuan muda tersebut untuk mendapatkan pekerjaan dan anak yang disewa untuk mengemis, dengan niat melakukan kejahatan karena kepentingan ekonomi juga, oleh pelaku
kejahatan. Dalam hal ini pemerintah dan negara bertanggungjawab secara hukum untuk memberikan informassi yang jelas dan terpercaya kepada para calon tenaga kera, Pada sisi sebaliknya pemerintah dan negara berkewajiban juga mengwasi berbagai potensi kejahatan di dunia ketenagakerjaan, yang mungkin menjebak para calon tenaga keraja, khususnya para perempuan yang masih berusia anak-anak. Mereka yang terindikasi hendak melakukan kejahatan terstruktur perlu ditangani secra hukum. Anak-anak yang mengemis juga harus dilindungi.Contoh lain yang tak kalah memprihatinkan ialah dokumentasi tentang“Kasus Perdagangan Manusia, 20 TKW Ditukar dengan Mobil”, sebagaimana diberitakan Kompas – 23 Agustus 2016. Dsebutkan, berdasarkan enam laporan yang masuk ke Kepolisian Resor Kupang, aparat Reserse dan Kriminal kemudian bergerak cepat dan menangkap sedikitnya 13 orang pelaku dari tujuh kelompok jaringan perdagangan manusia.
Dalam contoh kasus di atas, manusia dibarter dengan barang. Hal ini juga terjadi karena motif kebutuhan sosial ekonomi, bahkan tampak adanya sindikat dalam pemberitaan itu. Kenyataan sosial tentang hubungan antara tempat atau lapangan kerja yang terbatas dengan tingkat dan ragam kebutuhan hidup yang menekan, menyebabkan keluarga- keluarga tak terkecuali mengalami kesulitan hidup. Hal ini sudah seharusnya mendorong semua pihak terutama sektor-sektor pemerintahan negara untuk bekerja dan bertanggungjawab lebih serius dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Ketika barang
komoditas menjadi ditukar dengan manusia, maka patut dicermati lebih jauh tentang isu-isu hukum di seputar struktur hubungan sosial yang mungkin timpang, ataupun alokasi kesempatan berkembang yang tidak diadakan atau sengaja ditutup karena persaingan kehidupan yang tidak sehat
Menurut penulis, hal ini tidak boleh diabaikan juga karena salah satu tujuan nassional Indonesia di dalam Alinea Keempat dari Pembukaan UUD RI 1945 ialah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tugas negara untuk menciptakan kesejahteraan masih tetap relevan, mengingat beberapa alasan seperti anak adalah manusia dan bahwa anak adalah juga generasi penerus kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya daya saing Indonesia, bila hak-hak anak untuk hidup layak, mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang baik, tidak dirancang dan dikerjakan secara serius oleh pemerintah dan negara. Anak-anak, sebagaimana umum diketahui, masih sungguh amat sangat membutuhkan perhatian secara psikis maupun fisik. Bahkan anak-anak masih saja potensial dan terancam diperdagangkan. 4. Masih Tingginya Perdagangan Anak.
Faktor sosial ekonomi ini juga terjadi sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II khususnya tentang Hasil Peenelitian mengenai masih sangat tingginya angka perdagangan anak di Indonesia.Sebagaimana telah disebutkan, di Indonesia perdagangan perempuan di bawah usia 18 tahun kini mencapai dua pertiga dalam seluruh kasus perdagangan anak.
Perdagangan anak-anak, kebanyakan perempuan, kini sebesar 27 persen dari seluruh kasus perdagangan orang. Kantor Perserikatan Bangsa- bangsa untuk Narkotika dan Kriminalitas (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) dalam laporan tahunannya menyebut perdagangan perempuan di bawah 18 tahun kini mencapai dua pertiga dalam seluruh kasus perdagangan anak, dengan persentase sebesar 15 hingga 20 persen dari seluruh korban yang terdata Angka ini naik terus dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Laporan itu berbasis pada data resmi yang diserahkan oleh 132 negara antara 2007-2010. Mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan, yang angkanya sebesar 55 hingga 60 persen korban. Sementara total korban perdagangan perempuan dan anak mencapai 75 persen.
Berkaitan dengan kenyataan seperti ada dalam data di atas, amka yang perlu diperhatikan adalah faktor-faktor yang menyebabkan masih tingginya angka dan tigkat perdagangan anak. Seperti telah diuraikan dalam poin sebelumnya tentang alasan kebutuhan hidup, maka penulis berpandangan diperlukan kajian-kajian lain untuk memperkaya kajian hukum, misanya yang berkenaan dengan aspek kebudayaan, keagamaan, kependidikan dan pengaruh media sosial serta globalisasi.
Menurut penulis, aspek-aspek tersebut penting adanya mengingat adanya bentuk-bentuk perdagangan anak yang tampak seperti adanya kerja paksa seks dan eksploitasi seks, fakta tentang masih tingginya permintaan dan pengadaan tenaga kerja pembantu rumah tangga, adanya
bentuk-bentuk tertentu dari kerja migran misnya kerja musiman, adanya pekerjaan tertentu berbungkus misi kebudayaan, adanya pesanan tertentu bahkan perkawinan kontrak, dan masih tingginya jumlah buruh pekerja yang masih berusia anak-anak.Perhatian pemerintah dan negara terhadap semua hal tersebut menjadi sangat penting dan bermanfaat, karena bilamana perumusan kebijakan dan pertanggungjawaban publik di sektor ketenagakerjaan dan berbagai problemnya tidak segera ditangani, maka sikap diam atau kesalahan bersikap pemerintah dan negara akan semakin memperparah keadaan. Hal itu akan makin menambah tingginya tingkat perdagangan anak karena kebanyakan anak-anak hidup tanpa solusi praktis atas kebutuhan mereka, tanpa perlindungan nyata ataas hak hidup mereka dari terjangan berbagai keadaan buruk.