• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperbaharui database kompetensi pegawai; dan

Dalam dokumen 2013, No.646 4 (Halaman 26-34)

B. PELAKSANAAN PENGUATAN LINGKUNGAN PENGENDALIAN

2) Memperbaharui database kompetensi pegawai; dan

3) Melakukan pelatihan dan pendidikan yang dapat meningkatkan kompetensi pegawai.

3. Pelaksanaan Peningkatan Pemahaman Kepemimpinan yang Kondusif

Kepemimpinan yang kondusif adalah kepemimpinan yang efektif dalam mengarahkan seluruh sumber daya dan potensi organisasi, termasuk melakukan perubahan dalam rangka mencapai kinerja yang lebih baik. a. Prinsip dan Tujuan

Prinsip pelaksanaan Peningkatan Pemahaman Kepemimpinan yang Kondusif didasarkan pada pertimbangan risiko dalam pengambilan keputusan, penerapan manajemen berbasis kinerja, dan pengendalian dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Sedangkan tujuannya adalah untuk menciptakan iklim yang positif dan manajemen yang sehat dalam pelaksanaan kegiatan.

b. Output

Output kegiatan ini adalah adanya sejumlah standar operating prosedur terhadap pemahaman pimpinan atas pencapaian kinerja yang berbasis risiko.

c. Langkah Kerja

Langkah kerja utama untuk menghasilkan output ini adalah:

1) menganalisis hasil Diagnostic Assessment (DA) atas sub unsur kepemimpinan yang kondusif;

2) mengidentifikasi hasil penilaian risiko yang terkait; 3) menginventarisasi tugas dan fungsi pada unit kerja;

4) mengidentifikasi target kinerja pada masing-masing unit organisasi; 5) menentukan kelemahan lingkungan pengendalian yang terkait

dengan kepemimpinan yang kondusif; dan

6) menyusun rencana aksi pemberian pemahaman tentang manajemen berbasis kinerja dan risiko dalam unit kerja kepada pimpinan dan pegawai.

4. Pelaksanaan Pembentukan Organisasi sesuai Kebutuhan

Struktur organisasi sangat penting karena merupakan infrastruktur dasar bagi instansi pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan diharapkan dapat memberikan kepastian ruang gerak bagi seluruh Sumber Daya Manusia yang dimiliki instansi dalam mencapai kinerja yang diharapkan, serta sebagai sarana pendistribusian sumber daya lainnya seperti: peralatan, keuangan, dan informasi.

a. Prinsip dan Tujuan

Prinsip pelaksanaan Pembentukan Organisasi sesuai Kebutuhan didasarkan pada:

1) adanya struktur organisasi yang tepat sesuai dengan ukuran dan sifat kegiatan instansi pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan;

2) adanya kejelasan wewenang dan tanggung jawab;

3) adanya kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern;

4) adanya evaluasi dan penyesuaian secara periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis; dan

5) penetapan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi pimpinan.

Adapun tujuannya adalah untuk mendukung tugas dan fungsi dalam rangka mengemban amanah visi dan misi sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra).

b. Output

Output kegiatan ini adalah adanya penetapan struktur organisasi kementerian sosial oleh Menteri sosial yang sesuai dengan kebutuhan. c. Langkah Kerja

Langkah kerja utama untuk menghasilkan output ini adalah:

1) menganalisis hasil Diagnostic Assessment (DA) atas sub unsur pembentukan organisasi sesuai kebutuhan dan menentukan ruang lingkup yang sesuai;

2) mengidentifikasi hasil penilaian risiko yang terkait;

3) mengidentifikasi unit atau kegiatan yang belum mempunyai struktur yang sesuai atau memadai;

4) menentukan kelemahan lingkungan pengendalian yang terkait dengan pembentukan organisasi yang sesuai kebutuhan; dan

5) menyusun rencana aksi pembentukan organisasi sesuai dengan kebutuhan.

5. Pelaksanaan Pendelegasian Wewenang dan Tanggung Jawab

Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat oleh setiap unsur manajemen dan pegawai dalam organisasi, akan membuat pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi menjadi lebih lancar dan cepat. Kejelasan delegasi wewenang dan tanggung jawab akan mendorong tercapainya keputusan yang lebih baik dan menghindarkan terjadinya konflik dalam organisasi. Pada akhirnya, hal ini diharapkan akan menimbulkan suasana yang kondusif bagi berjalannya SPIP sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab hendaknya ditata secara berjenjang dengan mempertimbangkan tingkatan risiko dari masing-masing pendelegasian dan kapasitas staf yang menerima pendelegasian tersebut. Kewenangan dapat didelegasikan kepada staf di tingkat yang lebih rendah, namun akuntabilitasnya harus terdefinisikan dengan jelas karena tanggung jawab akhir tetap ada pada tangan pimpinan organisasi.

a. Prinsip dan Tujuan

Prinsip dari pelaksanaan Pendelegasian Wewenang dan Tanggung Jawab didasarkan pada:

1) wewenang diberikan kepada pejabat/pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan;

2) pejabat/pegawai yang mendapat wewenang dan tanggung jawab harus memahami bahwa wewenang dan tanggungjawab yang diberikan terkait dengan pihak lain; dan

3) pejabat/pegawai yang mendapat wewenang dan tanggung jawab harus memahami pelaksanaan tanggung jawab dan wewenangnya terkait dengan penerapan sistem pengendalian intern.

Adapun tujuannya adalah untuk penyebaran dan pelimpahan tanggung jawab penugasan dalam rangka kemudahan pengendalian mengingat beban dan cakupan kegiatan yang cukup banyak atau luas.

b. Output

Output kegiatan ini adalah adanya sejumlah standar operating prosedur tentang pendelegasian kewenangan yang sesuai dengan kebutuhan.

c. Langkah Kerja

Langkah kerja utama untuk menghasilkan output ini adalah:

1) menganalisis hasil Diagnostic Assessment (DA) atas sub unsur pendelegasian wewenang dan ruang lingkup yang sesuai;

2) mengidentifikasi hasil penilaian risiko yang terkait;

3) menyusun/merevisi peraturan untuk pendelegasian wewenang dan tanggung jawab;

4) melakukan penilaian apakah peraturan/kebijakan tersebut telah dijabarkan lebih lanjut ke dalam Standar Operasional Prosedur atau petunjuk pelaksanaan untuk dapat melaksanakan peraturan tersebut;

5) melakukan observasi terhadap pelaksanaan delegasi wewenang dan tanggung jawab;

6) menentukan kelemahan lingkungan pengendalian yang terkait dengan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab; dan

7) membuat rencana aksi perbaikan/penguatan pendelegasian wewenang.

6. Pelaksanaan Penyusunan dan Penerapan Kebijakan yang Sehat Tentang Pembinaan Sumber Daya Manusia

Penerapan Kebijakan yang Sehat tentang Pembinaan Sumber Daya Manusia ditujukan bagi terwujudnya penerapan kebijakan manajemen dan praktik pembinaan Sumber Daya Manusia yang sehat, sejak tahap rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai, serta terwujudnya penerapan sistem supervisi kepegawaian yang memadai, yang memungkinkan memperoleh pegawai dengan pengetahuan dan kompetensi, serta memiliki integritas dan etika yang dipersyaratkan untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi, pada saat kini maupun pada masa yang akan datang. a. Prinsip dan Tujuan

Prinsip dari pelaksanaan Penyusunan dan Penerapan Kebijakan yang Sehat tentang pembinaan Sumber Daya Manusia adalah:

1) kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian dan pemensiunan pegawai;

2) penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen; dan

3) supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai.

Adapun tujuannya adalah terwujudnya penerapan kebijakan manajemen dan praktik pembinaan Sumber Daya Manusia yang sehat, sejak tahap rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai, serta terwujudnya penerapan sistem supervisi kepegawaian yang memadai, yang memungkinkan memperoleh pegawai dengan pengetahuan dan kompetensi yang sesuai.

b. Output

Output kegiatan ini adalah adanya sejumlah Kebijakan Pembinaan Sumber Daya Manusia yang sehat.

c. Langkah Kerja

Langkah kerja utama untuk menghasilkan output ini adalah:

1) menganalisis hasil Diagnostic Assessment (DA) atas sub unsur Kebijakan yang Sehat Tentang Pembinaan Sumber Daya Manusia dan menentukan ruang lingkup yang sesuai;

2) mengidentifikasi hasil penilaian risiko yang terkait; 3) menilai adanya Peraturan atau kebijakan rekrutmen;

4) menyusun mekanisme pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam suatu Standar Operasional Prosedur yang tertulis;

5) mendapatkan informasi adanya pengomunikasian tentang kebijakan dan kompetensi baru dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia;

6) mengidentifikasi tahapan proses pembinaan yang belum dilaksanakan yang terdiri dari tahapan pengomunikasian adanya kompetensi baru, standar dan kriteria rekrutmen, uraian dan persyaratan jabatan, program orientasi bagi pegawai baru, penghargaan atas dasar prestasi kerja serta integritas dan etika, umpan balik, sanksi disiplin, dan pemberhentian yang sesuai dengan ketentuan;

7) melakukan penelusuran terhadap latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen;

8) adanya supervisi periodik yang memadai kepada para pegawai dalam unit kerja;

9) menentukan kelemahan lingkungan pengendalian yang terkait dengan Penyusunan dan Penerapan Kebijakan yang Sehat Tentang Pembinaan Sumber Daya Manusia; dan

10) menyusun rencana aksi untuk memperbaiki Kebijakan Pembinaan Sumber Daya Manusia.

7. Pelaksanaan Perwujudan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang Efektif

Berfungsinya peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam mengevaluasi penerapan SPIP secara terpisah di Kementerian Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif akan sangat mendukung penerapan SPIP yang efektif. Selain melakukan evaluasi, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) juga harus berfungsi sebagai mitra unit kerja dalam membenahi penerapan SPIP. Dalam menjalankan tugasnya tersebut Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memerlukan dukungan yang memadai atas akses informasi/ data/sumber daya, persamaan persepsi dalam penentuan fokus/bidang/sektor ruang lingkup pengawasan, rekomendasi tindak lanjut, dan penilaian kinerja atas pelaksanaannya. a. Prinsip dan Tujuan

Prinsip dari pelaksanaan Perwujudan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang efektif didasarkan pada fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai penguatan efektivitas penerapan SPIP. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengefektifkan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam memberikan sistem peringatan dini (early warning system) atas adanya kemungkinan penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.

b. Output

Output kegiatan ini adalah adanya peran APIP dalam meningkatkan opini WTP terahadap Laporan Keuangan Kementerian Sosial, menciptakan lingkungan kerja yang bebas KKN dan memberikan assurance/konsultansi bagi unit kerja di lingkungan Kementerian Sosial yang memerlukan.

c. Langkah Kerja

Langkah kerja utama untuk menghasilkan output ini adalah:

1) menganalisis hasil Diagnostic Assessment (DA) atas sub unsur peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang efektif dan menentukan ruang lingkup yang sesuai;

2) mengidentifikasi hasil penilaian risiko yang terkait;

3) menganalisis permasalahan efektivitas peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang ditemukan di Kementerian baik yang diperoleh dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP);

4) menentukan ruang lingkup perbaikan yang harus dilakukan;

5) menentukan kelemahan lingkungan pengendalian yang terkait dengan Perwujudan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang Efektif; dan

6) menyusun rencana aksi penguatan efektivitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

8. Pelaksanaan Penguatan Hubungan Kerja yang Baik dengan Instansi Pemerintah Terkait

Hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait merupakan hubungan antar instansi pemerintah dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan program dan kegiatan

melalui koordinasi dan kerja sama yang konstruktif dan berkesinambungan di antara Instansi Pemerintah.

a. Prinsip dan Tujuan

Prinsip dari pelaksanaan Penguatan Hubungan Kerja yang Baik dengan Instansi Pemerintah terkait didasarkan atas pentingnya hubungan kerja yang konstruktif dengan instansi terkait. Sedangkan tujuannya adalah untuk memastikan adanya langkah kerja yang dapat menjaga kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi.

b. Output

Output kegiatan ini adalah adanya sejumlah kebijakan atau Standar operating prosedur tentang interaksi organisasi dengan instansi terkait antara lain tentang:

1) proses rekonsiliasi data keuangan dan non keuangan; 2) musyawarah perencanaan pembangunan;

3) rapat koordinasi; atau

4) forum komunikasi antar instansi pemerintah terkait. c. Langkah Kerja

Langkah kerja utama untuk menghasilkan output ini adalah:

1) menganalisis hasil Diagnostic Assessment (DA) atas sub unsur hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait; 2) mengidentifikasi hasil penilaian risiko yang terkait;

3) menganalisis permasalahan hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait yang ditemukan di unit kerja, baik yang didapat dari hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) maupun penilaian efektivitas lingkungan pengendalian;

4) menentukan ruang lingkup perbaikan yang harus dilakukan unit kerja dalam efektivitas hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait;

5) menentukan kelemahan lingkungan pengendalian yang terkait dengan Penguatan Hubungan Kerja yang Baik dengan instansi pemerintah terkait; dan

6) membuat rencana aksi penyusunan/perbaikan atau mekanisme hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait. Pelaksanaan penguatan lingkungan pengendalian dituangkan dalam kertas kerja sesuai Format D butir A poin 1 sampai dengan poin 8. C. PELAKSANAAN PENILAIAN RISIKO

Penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Kementerian Sosial yang jelas dan konsisten baik pada unit kerja dan kegiatan. Penilain risiko terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu identifikasi risiko dan analisis risiko. Setiap unit kerja dapat mengidentifikasi secara efisien dan efektif risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan kementerian sosial baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Terhadap risiko yang telah

diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Setiap pimpinan unit kerja dapat merumuskan pendekatan manajemen risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan untuk memperkecil risiko.

1. Pelaksanaan Identifikasi Risiko

Sebagai salah satu unsur penilaian risiko, identifikasi risiko dilakukan untuk menggali kejadian-kejadian dalam pelaksanaan tindakan dan kegiatan dan kegiatan yang mungkin dapat menghambat pencapaian tujuan.

a. Prinsip dan Tujuan

Pelaksanaan identifikasi risiko di Kementerian Sosial pada prinsipnya menggunakan metodologi yang tepat dan melibatkan para pemilik risiko yang terkait dengan kegiatan yang dinilai risikonya. Sedangkan tujuannya adalah untuk mendapatkan daftar risiko atas suatu kegiatan yang akan menjadi dasar untuk merumuskan kegiatan pengendaliannya.

b. Output Kegiatan

Output yang dihasilkan dari langkah ini adalah daftar risiko yang memuat informasi tentang peristiwa risiko, pemilik risiko, penyebab risiko, kegiatan pengendalian risiko yang sudah ada dan sisa risiko setiap tindakan atau kegiatan yang dinilai risikonya.

c. Langkah Kerja Utama

Langkah kerja utama untuk mendapatkan output tersebut adalah sebagai berikut:

1) Libatkan para pihak yang melaksanakan dan terkait dengan jalannya kegiatan yang dinilai risikonya;

2) Pastikan bahwa orang-orang yang terlibat tersebut mempunyai pengetahuan mengenai tujuan kegiatan serta tugas dan fungsi unit kerjanya.

3) Berdasarkan pemahaman tentang tujuan kegiatan (KKPR 1.1), proses bisnis dan pengendaliannya (KKPR 1.2), dan AOI/Temuan audit (KPPR1.3), lakukan identifikasi risiko yang meliputi, peristiwa risiko, pemilik risiko, sumber dan uraian.

2. Pelaksanaan Analisis Risiko

Analisis risiko merupakan langkah untuk menentukan nilai dari suatu sisa risiko yang telah diidentifikasi dengan mengukur nilai kemungkinan dan dampaknya. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, suatu sisa risiko dapat ditentukan tingkat dan status risikonya sehingga dapat dihasilkan suatu informasi untuk menciptakan desain pengendaliannya.

a. Prinsip dan Tujuan

Pelaksanaan Analisis Risiko di Kementerian Sosial pada prinsipnya menggunakan metodologi yang tepat dan melibatkan para pemilik risiko yang terkait dengan kegiatan yang dinilai risikonya. Sedangkan tujuannya adalah untuk mendapatkan daftar risiko atas suatu kegiatan yang akan menjadi dasar untuk merumuskan kegiatan pengendaliannya.

b. Output Kegiatan

Output yang dihasilkan dari langkah ini adalah status dan peta risiko. Status risiko adalah suatu daftar yang memuat tentang sisa risiko, referensi dan nilai kemungkinan, referensi dan nilai dampaknya, serta tingkat dan penjelasannya sesuai dengan urutan mulai dari sisa risiko dengan tingkat risiko terbesar sampai dengan tingkat risiko terkecil. Peta risiko adalah suatu penggambaran dari masing-masing sisa risiko secara visual sesuai dengan nilainya dalam matrik peta risiko sehingga akan diperoleh informasi pada area mana sisa risiko tersebut berbeda. c. Langkah Kerja Utama

Langkah kerja utama untuk mendapatkan output tersebut adalah sebagai berikut:

1) Libatkan para pihak yang melaksanakan dan terkait denganjalannya kegiatan yang dinilai risikonya;

2) Pastikan bahwa orang-orang yang terlibat tersebut mempunyai pengetahuan mengenai tujuan kegiatan serta tugas dan fungsi unit kerjanya.

3) Berdasarkan pemahaman tentang tujuan kegiatan (KKPR 1.1), proses bisni dan pengendaliannya (KKPR 1.2), dan AOI/Temuan audit (KPPR1.3), lakukan identifikasi risiko yang meliputi, peristiwa risiko, pemilik risiko, sumber dan uraian

Dalam dokumen 2013, No.646 4 (Halaman 26-34)

Dokumen terkait