• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bukan Kawasan Hutan

P ENERAPAN T RANSHIPMENT :

D. Memperkuat Penegakan Hukum melalui:

(1) Mengawal dan menuntaskan perbaikan sistem dan kelembagaan penegakan hukum di tingkat penyidikan dan penuntutan;

(2) Mengawal dan menuntaskan komitmen penanganan kasus atau perkara yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya;

(3) Mengembangkan terobosan kelembagaan guna mempercepat upaya menjerat mafia SDA di semua sektor SDA (hutan, tambang, kebun, dan lingkungan), termasuk mengeluarkan keputusan tegas yang mengoreksi penegakan hukum akibat semburan lumpur Sidoarjo; dan (4) Mengembangkan perangkat perlindungan bagi masyarakat yang

memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup atau dikenal sebagai Anti-Strategic Law Againts Public Participation (Anti-SLAPP).

urnal Lingkungan Hidup Indonesia Volume 01 Issue 02, Desember 2014 ini mencoba mengulas diskursus mengenai sejauh mana demokrasi lingkungan tercermin dalam kebijakan-kebijakan hukum yang didorong oleh pemerintah, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif dan gerangan masyarakat sipil lainnya. Apakah demokrasi lingkungan yang secara populer dipahami sebagai perwujudan hak tiga akses atau Prinsip 10 Deklarasi Rio, yaitu akses terhadap informasi, partisipasi dan keadilan telah diakomodir dalam setiap Kebijakan Hukum di bidang lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Tulisan pertama dari Myrna Safitri mengulas bagaimana kebijakan hukum yang diambil pemerintah dalam melaksanakan kewenangan penguasaan Negara atas kawasan hutan. Tulisan ini menggambarkan kebijakan-kebijakan penetapan kawasan hutan terdahulu yang bersifat otoriter dan tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat di dalamnya, padahal penetapan kawasan hutan tersebut mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini adalah cermin dari kurangnya keberpihakan pada pengakuan hak dan perluasan akses rakyat pada kawasan hutan negara. Myrna berpendapat bahwa penetapan kawasan hutan bukan semata mengejar kepastian hukum atas status kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan kawasan hutan itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak. Dengan kata lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.

“Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk mendukung adanya kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Tulisan ini menegaskan bahwa upaya percepatan tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan terpenuhinya keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai negara dalam konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak dilakukan”

Kemudian Wahyu Nugroho dalam tulisannya mencoba menganalisa apakah kebijakan hukum yang diambil Indonesia dalam pengelolaan sumber daya hutan adat sudah sesuai dengan doktrin Welfare State. Dalam tulisan ini,

ix

Wahyu menekankan bahwa hak menguasai Negara sebagai konsekuensi peran penting Negara dalam mengusahakan kemakmuran bagi rakyat tidak boleh menegasikan eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat tradisional yang telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Negara hendaknya berfungsi sebagai fasilitator saja dengan memberi ruang gerak yang cukup bagi kesatuan masyarakat adat ini untuk mengelola hutan adatnya masing-masing. Tulisan ini menjelaskan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berusaha mengembalikan fungsi pemerintah sebagai fasilitator alih-alih pemilik yang otoriter terhadap hutan adat, putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 jelas sangat mempengaruhi arah kebijakan hukum bidang kehutanan kedepannya.

“Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka kesimpulan yang diperoleh adalah konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam konteks pengelolaan sumber daya alam hutan adat berpijak pada hak menguasai negara yang dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator. Kesatuan-kesatuan masyarakat tradisional/hukum adat (indigenous people) merupakan bagian dari ekosistem sumber daya alam hutan adat mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), sakral-spiritual, budaya lokal dan peraturan bersama (tidak tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya memiliki hak untuk mengelola hutan adat, tanpa adanya intervensi dari negara ataupun swasta.”

Mengambil topik berbeda namun masih berkenaan dengan partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam, Nisa Istiqomah mengangkat wacana pentingnya Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk melindungi hak masyarakat adat dalam usaha migas. FPIC merupakan salah satu mekanisme bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya, khususnya sektor migas. FPIC tidak hanya akan bermanfaat bagi masyarakat tapi juga bagi investor migas sendiri, dimana FPIC ini dapat meminimalisasi konflik dengan masyarakat serta salah satu jalan bagi perusahaan untuk mendapat social license. FPIC ini merupakan salah satu cara agar kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Pasal 33 UUD 1945 justru tidak membebani sebagian kelompok

x

minoritas yang juga merupakan bagian dari rakyat yang harus diberi kemakmuran tersebut.

“FPIC merupakan instrumen hukum strategis yang dapat menjadi jawaban atas permasalahan masyarakat adat akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat; FPIC juga dapat meningkatkan kepastian hukum bagi investasi di sektor migas karena dapat menciptakan social license bagi perusahaan dalam menjalankan operasinya dan mengurangi resiko konflik sosial”

Pada artikel lain, Savitri Nur Setyorini berbicara mengenai kebijakan hukum negara dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Savitri menyoroti kebijakan transhipment yang diperbolehkan oleh pemerintah justru merugikan Hak Bangsa Indonesia .

“Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa Indonesia atas komoditas perikanan maupun dengan elemen-elemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment

memperburuk illegal dan unreportedfishing yang marak terjadi di Indonesia, dan menimbulkan kerugian dimana ikan yang seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi

ataupun sebagai pemasukan negara, karena telah

dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu, maka hak bangsa Indonesia dan pembangunan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang pun

akan terancam. “

Dalam artikel terakhir jurnal ini, Rizkita Alamanda mengangkat topik mengenai gugatan warga negara sebagai sarana warga negara untuk mengakses keadilan (access to justice) dalam menuntut pemenuhan hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang dijamin dalam konstitusi Indonesia dan merupakan kewajiban pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan hak tersebut. Putusan Pengadilan Samarinda yang mengabulkan gugatan perubahan iklim warga Samarinda ini diproyeksikan akan mempengaruhi arah hukum lingkungan Indonesia kedepannya, pertama putusan ini akan menguatkan posisi prosedur gugatan warga negara yang sebenarnya belum diakomodir secara tegas dalam hukum acara di Indonesia, dan kedua gugatan ini adalah gugatan mengenai perubahan iklim pertama yang dikabulkan oleh pengadilan.

xi

“Sedangkan di Indonesia, adanya hak konstitusional untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat menjadi dasar hukum bagi upaya gugatan terkait dampak perubahan iklim. Sebagaimana upaya yang dilakukan oleh warga Samarinda yang mengajukan gugatan terhadap Negara melalui pemerintah dengan mekanisme Gugatan Warga Negara

(Citizen Lawsuit) atas dampak perubahan iklim yang diperparah dengan banyaknya pembukaan tambang batubara. Hal ini menunjukan adanya terobosan hukum serta meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim dinilai sebagai sebuah permasalahan global, namun tetap dibutuhkan upaya-upaya lokal yang mendukung upaya-upaya global dalam menghadapi perubahan iklim, salah satunya melalui terobosan hukum litigasi perubahan iklim.”

Menelaah rangkaian artikel dalam jurnal ini dapat dilihat bahwa Para Penulis banyak menekankan pada transparansi dan keterlibatan masyarakat merupakan komponen penting yang harus diakomodasi dalam setiap kebijakan hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Tidak hanya transparansi dan ruang partisipasi, masyarakat juga perlu diberi ruang untuk mengakses keadilan jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut. Komponen-komponen ini merupakan indikator

pengejawantahan demokrasi lingkungan dalam kebijakan hukum yang diterapkan di Indonesia.

xii

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia adalah media yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi,penyelenggara Negara, kalangan organisasi masyarakat sipil, serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan sumber daya alam.

Prosedur Pengiriman*

Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail maupun melalui pos. Pengiriman melalui pos disertai dengan tulisan “Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia” di sudut kiri atas, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

Sementara, pengiriman melalui e-mail ditujukan ke jurnal@icel.or.id. Untuk publikasi di Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Volume 02 Issue 01/ Juni/ 2015 diharapkan telah diterima Redaksi pada 1 April 2015.

Persyaratan Formil

1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan EYD dengan kalimat yang efektif.

2. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraf, dengan panjang naskah 4000-5000 kata.

3. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah daftar pustaka.

4. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki.

5. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring.

xiii

6. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

7. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote) mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan 8, Edisi ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208; c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der

Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15 Januari 2014;

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge: Cambridge University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd

Conference of the International Association for Water Law (AIDA). Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:

Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi. e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15

Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005. 8. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis); b. Nama dan alamat lembaga penulis;

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor telepon,

xiv

d. Nomor rekening bank yang masih aktif.

9. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang ditulis dalam satu alinea yang mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, maupun kesimpulan.

Pemilihan Tulisan*

Pemilihan tulisan dilakukan melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari peneliti senior ICEL, staff peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi 1 (satu) bulan sebelum penerbitan jurnal yaitu pada bulan Mei 2015 dan merupakan hak Penulis sepenuhnya.

*) Tidak berlaku bagi Penulis Artikel Utama atau Penulis dengan Undangan dari Sidang Redaksi.

xv

Myrna A. Safitri adalah staf pengajar hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta dan sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Epistema Institute. Ia memperoleh gelar doktor pada tahun 2010 dari Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda untuk disertasi berjudul

Forest Tenure in Indonesia; The socio-legal challenges of securing communities’ rights.

Selain mengajar, ia aktif dalam gerakan pembaruan hukum lingkungan dan sumber daya alam dan terlibat dalam proses perumusan dan pemantauan kebijakan yang ada di sejumlah kementerian dan lembaga negara seperti Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Penulis dapat dihubungi melalui alamat e-mail: myrna_safiri@yahoo.com.

Wahyu Nugroho, lahir di Wonogiri, 20 Juni 1986, menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum Islam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2009. Penulis terpilih sebagai penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan selesai tahun 2011. Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang ini semenjak mendalami ilmu hukum di almamater pascasarjananya aktif dalam forum diskusi komunitas Kaum Tjipian pemikiran Satjipto Rahardjo sampai menyentuh ke ranah filsafat hukum dan postmodernisme. Pengajar muda ini pernah memenangkan Hibah Penelitian Dosen Pemula oleh DIKTI tahun anggaran

2012 tentang “Konsistensi Political Will Pemerintah RI pasca Ratifikasi HAM

Internasional”. Pekerjaan penulis sekarang adalah staf peneliti Satjipto Rahardjo

Institute, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta dan Staf Ahli Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia.Penulis gemar berdiskusi seputar sosiologi hukum, teori hukum dan filsafat hukum dalam jagad penegakan hukum di Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email: nugie_hukum@yahoo.co.id

Nisa Istiqomah Nidasari menyelesaikan studi hukum di Universitas Indonesia pada tahun 2011. Semasa kuliah ia aktif di bidang sosial kemasyarakatan dengan menjadi guru bahasa inggris untuk anak-anak jalanan yang bersekolah di Yayasan Bina Insan Mandiri, Depok. Tidak hanya itu, dengan grant dari Program Wirausaha Mahasiswa UI Young and Smart Entrepreneur Program, ia mendirikan bisnis kreatif yang memberdayakan anak-anak dengan kondisi ekonomi yang kekurangan. Keinginannya untuk bermanfaat bagi masyarakat

xvi

(ICEL). Sejak bergabung di ICEL, ia banyak melakukan riset dan advokasi di bidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) antara lain: 1) menjadi fasilitator dalam berbagai training pengembangan kapasitas bagi masyarakat sipil dan pemerintah daerah; 2) co-writer dalam penulisan buku “Catatan Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Komisi Informasi Pusat (KIP) 2009-2013” dan “Roadmap

KIP 2013-2017”. Saat ini ia sedang mendalami isu tata kelola industry ekstraktif dan menjadi salah satu tim perumus revisi UU Migas versi masyarakat sipil bersama dengan koalisi Publish What You Pay Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email: nisaistiqomah@gmail.com

Savitri Nur Setyorini lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan mendapat gelar S.H., pada Agustus 2013. Saat ini sedang melanjutkan studi Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan Peminatan Hukum Sumber Daya Alam. Selain itu, ia juga aktif sebagai salah satu Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui email savitri.setyorini@yahoo.com.

Rizkita Alamanda lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada bulan Agustus 2012 dengan program kekhususan Hukum Internasional. Penulis sangat tertarik pada isu perubahan iklim. Komitmennya yang kuat dalam memperjuangkan lingkungan membuat ia tertarik bergabung menjadi salah satu pejuang lingkungan bersama ICEL. Sejak bergabung di ICEL ia mendapat kesempatan untuk terlibat dalam gugatan warganegara terhadap dampak perubahan iklim yang diajukan oleh warga Kota Samarinda dan warga Riau.Selain fokus pada isu perubahan iklim, ia juga aktif dalam isu industry ekstraktif yang saat ini memiliki agenda utama dalam Revisi UU Migas. Penulis dapat dihubungi melalui email rizkita_alamanda@yahoo.com .