• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempertahankan Homeostasis Tubuh dari Dinginnya Suhu Bromo

~ Haslinda Yasti Agustin ~

Sehari sebelum berangkat pada hari Kamis pagi 12 Maret 2020 hidup saya diwarnai dengan drama mencuci baju, karena maklum Sabtu Minggu kemarin tidak di rumah sehingga cucian sudah menggunung di kamar. Malam harinya baru menyetrika baju untuk berangkat keesokan hari. Pada akhirnya saya kelelahan dan tidur sekitar pukul 00.00 WIB.

Hari Jum’at pagi pukul 07.00 WIB tanggal 13 Maret 2020, saya berangkat dari rumah menaiki Selena (motor kesayangan yang selalu menemani ke kampus) dengan bawaan 3 tas bak orang pulang kampung. Sekitar setengah jam kemudian saya sampai kampus IAIN Tulungagung tepatnya di depan rektorat. Di sana sudah banyak berkumpul teman-teman yang sudah siap dengan barang bawaan masing-masing untuk ditata dalam Hiace. Ada 4 Hiace yang parkir di sini, dan ternyata masih satu lagi Hiace 5 di gedung Arief Mustaqim untuk mengangkut perlengkapan raker. Dari hasil pembagian kemarin, saya kebagian di Hiace 5 bersama Bang Jay (sopir), Irpan, Ndan Rori, Pak Anam, Mbak Mike, Pak Nangim, Pak Toriy, serta Mbak Rini yang belum bisa ikut Raker kali ini.

Akhirnya pada pukul 07.30 WIB kendaraan berangkat menuju tempat tujuan kami melewati Blitar, Malang, Pasuruan, dan Probolinggo. Lah, tau gini saya ndak bawa motor ke kampus tadi, lha wong melewati rumah saya, huftt... Perjalanan menuju Lava View Lodge Hotel ditemani dengan jalanan yang menanjak dan kabut khas Bromo sampai pemandangan kanan kiri hanya nampak warna putih serta jarak pandang yang terbatas. Sampai di depan hotel kami disambut dengan rintik hujan, tapi pengelola hotel sudah tanggap dan langsung mendatangi kami sambil membawakan payung warna warni. Kondisi ini benar-benar menguji ketahanan diri saya terhadap suhu dingin. Dulu ketika saya masih di Malang mungkin rasa dinginnya tidak akan sedingin ini, karena tempat kos saya dulu juga sangat dingin. Lha sekarang, saya sudah terbiasa tinggal di Tulungagung dengan suhu rata-rata 300C kemudian datang ke Bromo yang suhunya 120C, waoowww bisa dibayangkan betapa kerasnya upaya yang dilakukan otot lurik di tubuh untuk berkontraksi dan relaksasi secara terus menerus alias menggigil agar bisa tetap menjaga panas tubuh sehingga tubuh saya tetap dalam kondisi homeostasisnya. Brrrbrrrrrr....

Sambil berlarian menghindari serangan H2O dari langit, kami diarahkan menuju ruang pertemuan tempat kami rapat nanti. Di sana sudah disiapkan teh dan kopi panas serta camilan ringan seperti cup cake dan kacang untuk menyuplai bahan bagi mitokondria agar dapat menghasilkan ATP (Adenosine Triphosphate) yang dapat membantu menghangatkan tubuh kami. Kami pun menunggu sebentar di ruang pertemuan sambil menyiapkan keperluan untuk rapat nanti sore. Kemudian pak Anam membagikan kunci kamar kami masing-masing,

yang ternyata saya sekamar dengan Bu Eni, Bu Ummu, Bu Indah Khomsiyah, dan Mbak Rini (tapi sayangnya belum bisa ikutan). Kamarnya besaaarr banget, dengan 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu, TV, dan kulkas pun ada. Pemandangan depan kamar pun sangat indah, terlihat jajaran pegunungan yang diselimuti kabut tipis dan tak kalah indah dengan Gunung Bromo ataupun Gunung Bathok yang jadi ikon daerah ini.

Setelah semua Hiace yang mengangkut peserta raker sampai di hotel, kami pun segera masuk ke kamar kami masing-masing untuk beristirahat dan membersihkan diri. Sebenarnya saya sudah awang-awangen sekali mandi, gara-gara dingiiiiiin banget. Tapi apalah daya, Bu Eni, Bu Ummu, dan Bu Indah saja berani mandi, ya saya malu dong kalau sampe ndak berani, hehee....dan anda tahu sensasinya pemirrsaaaaa...badan serasa beku, otot dan tulang bergerak dengan tidak terkendali, panas tubuh naik ke bagian kepala, dan bibir bergetar sambil menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Demi menghalau semua rasa dingin itu saya sampai menggunakan baju lapis tiga, masih ditambah aksesoris berupa penutup kepala, penutup telinga, penutup tangan, dan penutup kaki. Jika anda penasaran dengan penampilan saya saat itu, bisa dibayangkan seperti fashionnya orang eskimo yang terdampar di Gunung Bromo, hahaaaa...

Setelah sholat maghrib, kami pun makan malam di restoran hotel. Pemandangan makanan yang bermacam-macam dan enak terhidang di meja langsung memberikan stimulus yang diterima oleh reseptor di mata dan hidung saya, kemudian diubah menjadi impuls yang dikirim di sepanjang saraf sensoris untuk dibawa menuju ke otak, sehingga muncul sensasi dan keinginan untuk makan

sebanyak-banyaknya, serta pikiran ayo segera habiskan semua makanan itu. Otak juga mengirimkan pesan berupa impuls yang dibawa di sepanjang saraf motoris menuju ke efektor berupa otot dan kelenjar. Ketika impuls sampai di kelenjar, terutama kelenjar ludah, akan mengaktifkan kerja sel di kelenjar tersebut untuk menghasilkan enzim pencernaan, sehingga air liur saya langsung mengucur deras alias ngiler, hahaaaa.... Ketika impuls sampai di otot lurik, langsung terjadi serangkaian proses kimiawi sel yang dimotori oleh transduksi sinyal. Proses ini seperti efek domino/cascade, ketika ada satu komponen aktif, akan mengaktifkan/menonaktifkan komponen yang lainnya, yang berakibat pada kontraksi dan relaksasi otot. Wujud nyata dari peristiwa ini adalah gerakan saya yang sangat cepat ke meja saji untuk mengambil piring serta seluruh sajian pada malam itu, kemudian melahapnya sampai habis tak bersisa, alhamdulillaah yaaa...

Setelah makan malam, akhirnya pembukaan raker dilaksanakan yang dihadiri oleh Warek I, Warek II, Warek III, Kabiro, Dekan FTIK, dan seluruh pengelola FTIK. Pada acara FTIK kali ini, saya bertugas kembali menjadi dirigen. Ini adalah tugas yang sangat berat menurut saya, karena saya tidak memiliki keahlian sama sekali dalam mengarahkan suara khalayak dalam tempo yang tepat dan senada. Alhasil saya tetap maju sembari diiringi suara jantung saya yang berdetak kian cepat. Dalam kondisi tertekan akibat tidak memiliki kompetensi tersebut, sepertinya otak saya menginstruksikan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon adrenalin dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Akibatnya adalah jantung saya berdetak lebih cepat, aliran darah juga lebih cepat, suplai nutrisi ke seluruh sel dan jaringan lebih cepat, penglihatan

pendengaran dan posisi tubuh saya lebih waspada, suhu dingin sudah tidak terasa lagi, dan saya lebih berenergi daripada kondisi biasa. Ternyata hal ini berefek pada ritme komando tangan saya yang lebih cepat daripada musiknya, dan akhirnya Lagu Indonesia Raya hari itu dinyanyikan dengan tempo yang lebih cepat daripada aslinya. Ma’apkan saya para hadirin sekalian (sambil membungkuk 900), semoga kesalahan saya ini tidak mengurangi kekhidmatan acara hari itu.

Kegiatan raker terus berlanjut sampai pukul 11.40 WIB. Hal-hal yang menurut saya penting, saya catat di buku catatan, terutama yang berkaitan dengan laboratorium. Sejak pukul 10.30 WIB saya selalu melihat jam yang tergantung di dinding sebelah kiri, sambil berharap acara untuk hari ini bisa segera diakhiri. Tapi ternyata Ndan Rori masih tetap semangat mengarahkan jalannya acara, dan belum terlihat tanda-tanda untuk menutupnya. Otak saya masih menginginkan untuk terus semangat tapi tidak didukung oleh alat indra dan alat gerak tubuh. Kelopak mata seperti kehilangan separuh penopangnya yang menyebabkan pandangan saya terhalang oleh garis-garis hitam yang ternyata adalah bulu mata saya sendiri. Reseptor pendengaran di telinga saya seolah tidak bisa menerima stimulus, sehingga suasananya hening dan syahdu. Hanya sayup-sayup suara peserta raker yang dapat saya dengar menjelang tengah malam. Mungkin efek dari hormon adrenalin hanya bertahan sebentar, karena semakin malam semakin tidak ada energi untuk menopang tubuh tetap tegak.

Tahu-tahu sudah pagi saja, apakah saya ketiduran di ruang rapat kemarin? Tentu saja tidak, tapi entahlah ingatan saya langsung tertuju pada outbond yang

dilaksanakan keesokan harinya. Hari itu saya sangat bersemangat, karena outbond adalah salah satu kegiatan yang saya nantikan ketika raker. Sambil memakai celana training dan sepatu pinjam dari ibuk tercinta, kaos bertuliskan “Jakarta” oleh-oleh dari adik kedua (Si Irpan), kerudung dari Heaven Lights (yang ini beli sendiri yaa), dan penutup kepala khas Bromo (hasil memaksa pak Beni buat bantu beli dengan harga yang murah dari penjual di sana). Dengan penampilan yang menurut saya kece badai ini, saya siap menaklukkan tantangan outbond kali ini.

Seluruh peserta raker sudah berkumpul di samping restoran, setelah kami selesai melahap sajian pagi itu. Kegiatan dimulai dengan senam ringan untuk meregangkan tubuh agar tidak kaku kemudian dilanjutkan dengan permainan lainnya. Ketika kegiatan ini berlangsung, di bawah hangatnya sinar matahari saat itu, tubuh saya mulai bisa menghalau hawa dingin khas Bromo. Adanya panas dari luar tubuh membantu menghangatkan suhu di dalam tubuh melalui vasodilatasi pembuluh darah. Adanya berbagai gerakan otot juga menghasilkan panas tubuh, sehingga rasa dingin sudah tidak terasa lagi. Masuknya makanan ketika sarapan memberikan suplai nutrisi berupa asam amino, glukosa, fruktosa, asam lemak, gliserol, air, vitamin, dan mineral yang diserap oleh usus halus untuk ditransfer ke darah yang akan diedarkan ke seluruh sel di dalam tubuh. Setiap sel yang menerima nutrisi tersebut akan menggunakannya untuk metabolisme sel itu sendiri. Salah satu organel sel yang berperan dalam metabolisme ini adalah mitokondria. Glukosa yang masuk ke dalam sel akan dimanfaatkan oleh mitokondria untuk menghasilkan ATP melalui serangkaian proses yaitu glikolisis, dekarboksilasi oksidatif, siklus

krebs, dan transpor elektron. Serangkaian proses ini mampu menghasilkan panas tubuh yang signifikan, sehingga homeostasis tubuh manusia tetap terjaga, salah satunya suhu tubuh yang normal berkisar antara 36,5 sampai 37,50C. Akibat aktivitas ini saya dapat menyelesaikan seluruh permainan bersama kelompok Cendol Dawet yang tetap bahagia mendapatkan juara 3, yeaayyyy....

Selesai Outbond, kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, dan bersiap untuk kegiatan raker selanjutnya. Pada kegiatan ini, saya masuk dalam kelompok 3 yang membahas renstra terkait manajemen dan sarana yang diketuai oleh pak Anam. Rapat berlangsung dengan lancar sampai akhir acara.

Akhirnya sampai juga pada penutupan raker, dan dilanjutkan dengan perjalanan pulang kembali ke IAIN Tulungagung. Ketika perjalanan turun dari hotel, tiba-tiba kepala saya pusing dan semua terasa berputar, reseptor keseimbangan di kokhlea sepertinya tidak bekerjasama dengan saya, yang akibatnya otot-otot di perut saya berkontraksi kuat meremas lambung beserta isinya dan mengeluarkan seluruh chyme yang ada di dalamnya menuju lingkungan eksternal melewati esofagus dan mulut, alias mabuk pemirsaaa... Kalo cerita ke Mbak Rini saya pasti diejek habis-habisan ini. Mungkin karena lelah dan perut kosong, serta tidak ada energi akhirnya saya tertidur sepanjang perjalanan.

Ternyata rute yang diambil ketika pulang berbeda dengan rute ketika berangkat. Perjalanan pulang melewati tol Surabaya sehingga saya langsung teringat pada kata-kata saya ketika berangkat kemarin (Lah, tau gini saya

ndak bawa motor ke kampus tadi, lha wong melewati rumah saya, huftt...). Saya langsung istighfar dan mengucap syukur alhamdulillaah saya membawa motor ke kampus. Ternyata Allah sudah menyiapkan rencana terbaik untuk saya, mungkin ini berlaku juga untuk jodoh saya, eaaaaa...

Haslinda Yasti Agustin dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 19 Agustus 1987. Putri kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Ichsan dan Ibu Nur Anisiyah. Pendidikan dasar ditempuh di SDN Banjarejo dilanjutkan ke MTsN Aryojeding, keduanya diselesaikan di Tulungagung. Kemudian penulis melanjutkan ke jenjang berikutnya di SMAN 1 Blitar. Jenjang kuliah S1 Biologi dan S2 Pendidikan Biologi penulis selesaikan di Universitas Negeri Malang. Penulis pernah bekerja sebagai Laboran Biologi di SMAN 3 Malang, dan saat ini masih aktif sebagai Dosen Tadris Biologi IAIN Tulungagung.