warga negara sendiri. Dengan memberi perlindungan yang sama terhadap pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus berdasarkan asas timbal balik (asas resiprositas). Jika pemohon bukan dari
negara anggota peserta Paris Convention, kontor merek harus menolak
pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas resiprositas.
Salah satu contoh kasus perlindungan hukum terhadap merek terkenal yang telah terdaftar melalui hak prioritas adalah kasus pada merek Crocs di Indonesia. Merek Crocs telah terdaftar pada Ditjen HAKI melalui hak prioritas, pada tanggal 25 November 2005 dengan Nomor D002005026051,
dengan nama pemilik Crocs Inc, yang berkedudukan 6273 Monarch Park
Place, Niwot. Sebelumnya telah terdaftar di negara asal Amerika Serikat. Pada prakteknya di Indonesia banyak muncul produk sandal dari Cina yang terindikasi mirip dengan sandal Crocs. Perlindungan hukum terhadap merek terkenal Crocs yang berasa dari Amerika Serikat di wilayah yuridiksi Indonesia, hanya dapat dilakukan dengan pendaftaran melalui hak prioritas,
karena bergabungnya Indonesia dalam perjanjian internasional pada World
Intellectual Property Organization (WIPO).
3. Mencegah Persaingan Curang
Selain daripada diatas, bisa juga keistimewaannya untuk melindungi dalam mendukung persaingan usaha yang sehat, dikarenakan untuk mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad tidak baik yang bermaksud membonceng reputasinya. Dengan kata lain mencegah produsen melakukan perbuatan curang.
38
Dalam hal memberikan perlindungan terhadap merek terkenal, Australia
memberlakukan prinsip defensif yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan merek terkenal terhadap tindakan persaingan curang atau
passing off.55
Pasal 17 Undang-undang Merek Dagang Australia Tahun 1995 membuat
ketetapan bagi pendaftaran defensif merek dagang di Australia, pendaftaran
merek defensif berbeda dengan pendaftaran merek dagang biasa pada
umumnya dalam tiga hal yaitu:56
pertama, yang memenuhi pendaftaran merek defensif adalah
merek terkenal. Kedua, merek dagang defensif dapat didaftarkan
berkenaan dengan merek dagang barang atau jasa yang tidak
digunakan oleh pemiliknya. Ketiga, pendaftaran defensif tidak
dimaksudkan untuk penghapusan atau pembatasan pada pedagang
yang bukan pengguna, sebaliknya pendaftaran defensif
memfasilitasi para pemilik merek dengan jenis karakteristik produk yang sama dengan yang disediakan para pemilik pendaftaran biasa pada umumnya.
Passing off ini banyak diterapkan dalam negara yang menganut sistem
hukum common law, diantaranya adalah Australia dan Amerika. Dalam
sistem hukum comon law, pemboncengan merek (passing off) ini merupakan
suatu tindakan persaingan curang (unfair competition), dikenakan tindakan
ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau mendompleng merek miliknya untuk
mendapatkan keuntungan finansial.57Passing off tersebut dilandasi niat untuk
55
Julius Rizaldi, Op. Cit., h. 54. 56
Ibid., h. 54-55.
57 Nur Hidayat, “Perlindungan Hukum Bagi Merek yang Terdaftar”, Ragam Jurnal Pengembangan Humanivora, Vol. 11, No. 3, 2011, h. 180.
39
mendapatkan jalan pintas agar produk atau bidang usahanya tidak perlu memerlukan usaha membangun reputasi dan image dari awal lagi, selain itu juga sangat berpotensi untuk menipu konsumen dan menyebabkan
kebingungan public di masyarakat tentang asal-usul suatu produk.58
Dalam sistem common law. passing off dapat diartikan secara singkat
menjadi pemboncengan reputasi dan citra terhadap sebuah merek yang sudah dahulu dan atau lebih terkenal. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh dan membuat bingung masyarakat umum yang mengakibatkan publik salah
memilih barang yang seharusnya, bagi pihak pelaku passing off
mendatangkan keuntungan tetapi pihak yang diboncengi mengalami kerugian
yang tidak sedikit.59 Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena
terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma
kesusilaan maupun hukum.60
Pengertian passing off berdasarkan Black’s Law Dictionary adalah sebagai
berikut: “The act or an instance of falsely representing one’s own product as
that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diartikan bahwa passing off
adalah tindakan curang dengan cara membonceng reputasi merek lain untuk
58
Fajar Nurcahya, Op., Cit, h. 102. 59
Elvin Harifaningsih, Kasus Merek Dominasi Perkara HAKI, Bisnis Indonesia, 2009, h. 10. 60
Samariadi, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dari Tindakan Passing Off Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek”, JOM Fakultas Hukum, Vol. 1, No. 2, Oktober 2014, h. 4.
40
menipu calon konsumen. Pengaturan mengenai passing off tersebar ke dalam
pengaturan mengenai persaingan curang, perbuatan melawan hukum, dam pelanggaran merek.
Menurut salah satu ahli hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common law tort
to enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua
unsur dari passing off:61
1. Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW);
2. Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek terkenal yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan oleh pihak lain.
Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:62
1. Reputasi: yaitu apabila seseorang pelaku usaha selaku penggugat
memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah dikenal publik.
2. Misreprestasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku
usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.
61
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia dikunjungi pada tanggal 28 Oktober 2017pukul 20.31.
62 Ibid.
41
3. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek
pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang didompleng.
Passing off memang merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum
common law. Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau pemboncengan reputasi dimana perbuatan yang mencoba meraih keuntungan
dengan cara membonceng reputasi merek yang sudah terkenal atau beredar.63
Di dalam UU Merek, tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur
mengenai passing off karena passing off lebih dikenal di negara-negara
penganut common law. Namun, ada ketentuan dalam Undang-undang tersebut
yang mengakomodasi kepentingan pemilik merek terkenal untuk melindungi mereknya dari perbuatan curang pihak lain. Ketentuan tersebut terdapat
dalam Pasal 21 ayat (3), yang menyebutkan: “Permohonan ditolak jika
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.”
Selanjutnya penjelasan mengenai “Pemohon yang beritikad tidak baik”
dapat diketahui berdasarkan Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU Merek. Penjelasan tersebut sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “pemohon yang beritikad tidak baik” adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Contohnya permohonan merek berupa bentuk tulisan, lukisan, logo, atau susunan warna yang sama dengan merek milik pihak lain atau merek yang sudah dikenal masyarakat secara umum
63
Lis Julianti, “Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Usaha Akibat Tindakan Passing Off Terhadap Hak Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek di Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati, Denpasar, h. 89.
42
sejak bertahun-tahun. Ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah dikenal tersebut. Dari contoh tersebut sudah terjadi itikad tidak baik dari pemohon karena setidak-tidaknya patut diketahui adanya unsur kesengajaannya dalam meniru merek yang sudah dikenal tersebut.
Passing off muncul ketika suatu usaha yang memiliki reputasi tidak memiliki merek dagang atau tidak dapat mendaftarkan merek dagangnya namun memerlukan perlindungan hukum dari upaya pihak lain yang hendak
membonceng reputasi usaha tersebut dan passing off ini bertujuan melindungi
baik konsumen maupun pelaku usaha dari adanya praktek-prektek usaha yang dilakukan oleh pihak lain untuk meraih keuntungan dengan cara-cara yang
merugikan atau membahayakan reputasi pelaku yang asli. Passing off
mencegah pihak-pihak lain untuk melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang atau jasa tersebut
milik orang lain;
2. Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan
dengan barang atau jasa milik orang lain.
Di negara-negara common law, passing off berkembang sebagai bentuk
praktek persaingan curang (tidak jujur) dalam usaha perdagangan atau perniagaan. Tindakan ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau mendompleng merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Persaingan curang (unfar competition) dalam Black’s Law Dictionary
43
“A term which may be applied generally to all dishonest or
fraudulent rivalry in trade and commere, but is particulary
applied to the practice of endeavoring to substitute one’s own
goods or products in the markets for those of another, having an established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, title, size, shape or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package or those such simulations, the imitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unway purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or
trade name.”
Persaingan tidak jujur adalah peristiwa dimana seseorang untuk menarik para langganan orang lain kepada perusahaan dirinya sendiri atau demi perluasan penjualan omzet perusahaanya, menggunakan cara-cara yang
bertentangan denga itikad baik dan kejujuran di dalam perdagangan.64
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dianggap sebagai persaingan curang
khususnya adalah sebagai berikut:65
1. Semua perbuatan yang sifatnya demikian rupa hendak
menciptakan kekacauan (to create confusion) mengenai
perusahaan barang-barang atau usaha industri dan dagang dari seorang konkuren
2. Kenyataan palsu berkenaan dengan perdagangan yang
sifatnya demikian rupa untuk mendiskreditkan usaha pengusaha atau barang, industrial dan komersial daripada seorang pesaing
3. Indikasi atas kenyataan-kenyataan tentang pemakaian dalam
rangka perdagangan yang dapat mengelabuhi unsur khalayak ramai berkenaan dengan sifat, proses pembuatan, sifat-sifat karakteristik dan cocoknya untuk tujuan bersangkutan, berkenaan dengan kuantitas atau barang.
64
R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Tarsito, Bandung, 1981, h. 66. 65 Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT, Putusan Uruguay (1994), Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1994, h. 30.
44
Dalam persaingan tidak jujur tersebut yang dilakukan oleh pengusaha yang tidak beritikad baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat yang bukan merupakan haknya. Dengan kata lain pengusaha tersebut dengan itikad tidak baik telah membonceng reputasi merek yang sudah terkenal.
Salah satu contoh kasus dalam putusan yang berkaitan dengan tindakan
passing off di Indonesia adalah kasus Pierre Cardin, yang telah diputus dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 15/Pdt.Sus-HKI/2015/PN/Niaga.Jkt.Pst tanggal 9 Juni 2015,66
sebagaimana telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor
557/K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 30 November 2015.67 Dalam kasus
tersebut, pemilik merek terkenal Pierre Cardin (penggugat) mengajukan gugatan terhadap Alexander Satryo Wibowo (tergugat) yang telah mendaftarkan merek Pierre Cardin terlebih dahulu di Indonesia. Menurut penggugat, bahwa tergugat dalam mendaftarkan merek tersebut jelas-jelas
tidak didasarkan dengan itikad baik (baid faith) karena; kata Pierre Cardin
dan logo Pierre Cardin bukanlah kata dan logo yang lazim digunakan di Indonesia, sehingga sangat jelas apabila tergugat melakukan peniruan yang disengaja dan bertujuan untuk mendompleng keterkenalan penggugat, dan berniat untuk membonceng, meniru, menjiplak merek penggugat yang sudah terkenal secara jalan pintas untuk menyesatkan konsumen. Namun dalam putusannya, hakim menolak gugatan tersebut. Dengan pertimbangan hukum,
66
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b5058cfa7cb70012d026e8afbe5381f2, dikunjungi pada tanggal 29 Oktober 2017 pukul 11.30.
67 https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/8ee7a3e92afe0c49d9b033361785f1f7 , dikunjungi pada tanggal 29 Oktober 2017 pukul 13.00.
45
bahwa pada saat merek tergugat didaftarkan, merek penggugat dianggap belum sebagai merek terkenal walaupun merek Pierre Cardin milik penggugat
telah didaftarkan di negara-negara yang tergabung dalam Organisation
Mondiale de la Propriete Inteletuelle (Organisasi Dunia Hak Kekayaan Intelektual), walaupun ada merek dan logo Pierre Cardin tidak lazim digunakan di Indonesia tidak berarti bahwa pendaftaran merek tergugat
didasarkan pada itikad tidak baik (bad faith), dalam setiap produk tergugat
selalu mencantumkan kata-kata “product byPT Gudang Rejeki”.
Tidak terima gugatannya ditolak, Pierre Cardin mengajukan kasasi. Tetapi hakim Mahkamah Agung kembali menolak gugatan. Terdapat muncul
dissenting opinion oleh salah satu hakim pada kasus tersebut. Beberapa hakim menganggap bahwa penggunaan merek Pierre Cardin oleh tergugat bukan merupakan pemboncengan reputasi karena tergugat mencantumkan
kata-kata “product by PT Gudang Rejeki” dalam setiap produknya. Namun,
hakim lain menganggap penggunaan merek dengan susunan kata, huruf, dan pengucapan yang sama persis dengan bahasa yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk pemboncengan reputasi.
Dari kasus diatas tersebut, Passing off sebagai salah satu bentuk
pelanggaran hak atas merek mengakibatkan pelaku usaha yang menjadi korban tindakan ini sulit memperoleh perlindungan hukum. Adanya faktor-faktor yang memotivasi pelanggaran ini dan juga perilaku masyarakat yang
melakukan pembelian produk passing off menunjukkan bahwa masih
rendahnya pemahaman terhadap norma-norma hukum yang berlaku tentang merek dan HAKI.
46
Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika pengaturan passing off dalam
sistem hukum merek Amerika Serikat dapat ditemukan pada Bab 43 huruf a (1) Lanham Act. Lanham Act telah mengakomodasi passing off karena telah
menguraikan elemen-elemen passing off dan memberikan perlindungan
kepada merek serta segala sesuatu pembeda bisnis. Lanham Act memberikan
hak gugat bagi pemilik merek terkenal yang merasa dirugikan akibat tindakan
passing off yang dilakukan oleh pihak lain.
Kenapa merek terkenal mempunyai keistimewaan seperti diatas? Karena merek tersebut sudah menjadi terkenal dan menjadikannya berbeda secara umum dengan merek biasa. Terdapat perbedaan perlindungan hukum terhadap merek terkenal dengan merek biasa pada umunya, yaitu dalam pendaftaran. Negara-negara maju sangat berkepentingan dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal karena memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan warga negaranya di manapun berada. Dalam hal ini sudah sewajarnya jika merek terkenal mendapatkan perlindungan khusus. Walaupun di Indonesia masih kurang dalam hal memberikan perlindungan terhadap merek terkenal.