• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM MEREK INDONESIA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM MEREK INDONESIA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia: Studi Kasus Putusan MA Nomor 264K/PDT.SUS-HKI/2015"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM

MEREK INDONESIA

A. Konsep Merek dan Merek Terkenal

1. Konsep Merek

Merek sebagai Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya ialah tanda untuk

membedakan asal barang dan/atau jasa dari suatu perusahaan dengan barang

dan/atau jasa perusahaan lain. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan

memberikan jaminan akan kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan

mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang

beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.1

Harsono Adisumarto memberikan pengertian merek adalah sebagai

berikut:2

Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemikiran ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap

seperti ini memang merupakan tanda pengenal untuk

menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan.

1 Rahmi Jened, Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di Indonesia, Yuridika, Surabaya, 2000 (selanjutnya disingkat Rahmi Jened I), h. 14.

2

(2)

9

Pengertian merek berdasarkan UU Merek, Merek adalah tanda yang dapat

ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,

susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi,

suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk

membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh barang atau badan

hukum dalam kegiatan barang dan/atau jasa.

Lalu tanda seperti apa yang mendapatkan perlindungan. Berdasarkan

pengertian merek tersebut di atas dapat diketahui elemen merek yang

memberikan kemampuan perlindungan sebagai merek, yaitu:

1. Tanda

2. Memiliki daya pembeda

3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

Apabila suatu tanda tidak memiliki daya pembeda, maka tanda itu tidak

dapat dijadikan sebagai suatu merek. Begitu juga jika merek itu tidak

digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa, maka

permohonan mereknya akan ditolak.

Merek sebagai tanda dengan daya pembeda yang digunakan untuk

perdagangan barang dan/atau jasa. Merek sebagai tanda dengan daya

pembeda, dengan kata lain merek tersebut harus memiliki penanda identitas

(3)

10

lainnya. Tanda dengan daya pembeda untuk dapat dilindungi sebagai merek

dapat dikategorikan menjadi:3

1. Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon

use. (Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda,

segera mendapat perlindungan melalui penggunaan);

2. Capable of becoming distinctive: eligible for protection only after development of consumer association (secondary meaning). (Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda, dapat dilindungi hanya setelah pengembangan asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua);

3. Incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark protection regardless of length of use. (Tanda yang tidak memiliki kemampuan untuk membedakan tidak dapat dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang panjang telah digunakan).

Berdasarkan pengkategorian diatas dapat diketahui tanda dalam

kaitannya dengan daya pembeda dikategorikan menjadi tiga yaitu,4

Pertama tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda (inherently distinctiveness) dan dapat segera memperoleh perlindungan. Tanda yang bagus sekali didaftarkan sebagai merek, karena setiap konsumen pada umumnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang tanda tersebut. Konsumen mengerti fungsi merek untuk pembeda, sehingga ini menyangkut

reaksi langsung dari konsumen terhadap tanda tersebut. Kedua,

tanda yang memiliki kemampuan untuk memiliki daya pembeda hanya setelah atas tanda tersebut ada pengembangan dari persepsi

atau asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua (capable

of becoming distinctive: eligible for protection only after development of consumer association (secondary meaning)).

Ketiga, tanda yang tidak akan pernah memiliki daya pembeda dan tidak akan pernah dapat didaftarkan artinya harus selamanya ditolak pendaftarannya sebagai merek dan tidak akan pernah

3

Eric Gastinel dan Mark Milford, The Legal aspects of Community Trade Mark, Kluwer Law. London, 2002, h. 177-178. Seperti dikutip dalam Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi, Kencana, Jakarta, 2015, h. 64-65.

(4)

11

menikmati perlindungan hukum sebagai merek (incapable of

becoming distinctive: not eligible for trademark protection regardless of length of use).

1. Tanda pembeda inheren meliputi:

a. Fanciful words (tanda khayalan)

Merek yang dibentuk dari kata khayalan yang unik

(fanciful). Kata ini dimulai dengan pertanyaan hukum “bagaimana orang merasakan merek berupa kata tersebut

sebagai indikasi asal sumber produk, lebih daripada

sekadar untuk fungsi merek yang lain.” Dalam hal ini

pengetahuan konsumen menyangkut latar belakang

persaingan di antara merek. Contohnya, kodak untuk

camera.5

b. Arbitrary (tanda yang berubah-ubah)

Kata berubah-ubah yang secara kasatmata (obvious) bagi

konsumen dan lawyer tidak memiliki kaitan dengan

produknya secara inheren memilki daya pembeda, contoh

apple untuk computer, golf dan jaguar untuk mobil.6

c. Suggestive (tanda yang memberi kesan)

Merek yang bermaksud memberikan kesan (suggestive)

dikaitkan dengan imajinasi konsumen untuk

menerjemahkan informasi yang disampaikan melalui

5

Ibid., h. 71-72.

(5)

12

merek dan kebutuhan pesaing untuk menggunakan kata

yang sama, contohnya, world book untuk encyclopediay.7

2. Tanda secondary meaning mencakup tanda yang bersifat:

a. Descriptive

Merek yang menggambarkan produknya (descriptive),

meski tidak secara inheren memilki daya pembeda dapat

menjadi memilki daya pembeda sebagai hasil penggunaan

dan perspektif konsumen akan terarah pada asal produsen

barang dan/atau jasa tersebut.8

b. Deceptive misdescriptive

Merek yang tidak akurat atau memberikan penggambaran

yang keliru (misdescriptive) tentang karakter, kualitas,

fungsi komposisi atau penggunaan produk atau bahkan

dengan tata bahasa yang salah, masih dapat didaftar

dengan membangun secondary meaning mengakibatkan

konsumen percaya bahwa merek tersebut menggambarkan

produknya.9

c. Personal names

Nama pribadi (personal name) meski dalam beberapa hal

daya pembedanya rendah, namun dapat didaftarkan jika

membangun secondary meaning melalui penggunaan.10

(6)

13

a. Generic term

Merek yang memakai istilah umum (generic term)

merupakan tanda yang menggambarkan genus dari

produknya.11

b. Deceptive

Adapula merek yang menyesatkan (deceptive) dalam

menggambarkan ciri, kualitas, fungsi, komposisi, atau

penggunaan dari produk.12

c. Geographically deceptively misdescriptive

Merek yang menyesatkan secara geografis, contohnya

produk buatan Indonesia yang diberikan labuhi label

negara lain.13

Kemampuan sebuah merek untuk membedakan dirinya dari barang

dan/atau jasa yang lain inilah, kemudian menjadi dasar untuk mendapatkan

perlindungan merek. Tanpa ada perlindungan atas karya intelektual, semangat

untuk menghasilkan karya intelektual akan memudar karena secara alamiah,

manusia membutuhkan pengakuan atas karya yang dihasilkan.14

Perlindungan merek akan diperoleh setelah merek didaftarkan. Di

Indonesia mengenal sistem konstitutif, penggunaan sistem tersebut

dimaksudkan agar lebih menjamin kepastian hukum. Sistem konstitutif

mengharuskan adanya pendaftaran merek agar suatu merek bisa mendapat

(7)

14

perlindungan, sistem ini juga dikenal dengan sistem first to file. Orang yang

terlebih dahulu mendaftarkan merek yang akan mendapatkan perlindungan

merek. Dengan demikian sistem konstitutif menunjukkan agar masyarakat

yang harus aktif untuk mendaftarkan mereknya.

Berkaitan dengan sistem pendaftaran merek setelah pemilik mendaftarkan

mereknya maka akan melahirkan suatu hak. Hak tersebut adalah hak atas

merek. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016

tentang Merek dan Indikasi Geografis, Hak atas merek adalah hak eksklusif

yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka

waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan

izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Pemilik merek yang sudah mendaftarkan mereknya tentu akan mendapat

perlindungan merek, lalu mengapa pemilik merek yang mempunyai

perlindungan merek memiliki pula ke eksklusifitas terhadap merek.

Munculnya hak atas merek tersebut yang akan membuat pemilik merek

mendapatkan hak yang sifatnya eksklusif (khusus) yang diberikan oleh

negara. Hak khusus tersebut cenderung bersifat monopoli, artinya hanya

pemilik merek yang dapat menggunakannya.15

Ke eksklusifitas yang nantinya akan digunakan oleh pemilik merek

terdaftar untuk mengeksploitasi mereknya, baik melalui penggunaan yang

dilakukannya sendiri, atau dilisensikan atau bahkan dialihkan kepada pihak

lain.

(8)

15

Kenapa perlindungan merek dibutuhkan. Seperti hal nya diuraikan diatas,

merek merupakan karya intelektual yang dihasilkan oleh manusia. Adanya

perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah dimaksudkan untuk

memberikan hak yang sifatnya eksklusif (khusus) bagi pemilik merek

(exclusive right) agar pihak lain tidak dapat menggunakan tanda yang sama atau mirip dengan yang dimilikinya baik untuk barang atau jasa yang sama

atau hampir sama.16

Perlindungan kekayaan intelektual atas sebuah merek dimaksudkan untuk

memberikan imbalan atas investasi yang telah dilakukan.17 Perlindungan

merek juga dapat menjauhkan seseorang dari penggunaan atau peniruan yang

dilakukan oleh pihak lain tanpa izin.

Penciptaan hak kekayaan intelektual membutuhkan banyak waktu

disamping pula bakat, dan juga uang untuk membiayainya.18 Apabila tidak

ada perlindungan atas kreativitas intelektual yang dibuat, tiap orang dapat

meniru dan mengkopi secara bebas hak milik orang lain tanpa batas.19

Kemampuan intelektual manusia dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan

biaya yang tidak sedikit untuk membangun sebuah reputasi. Serta tentu saja

perlindungan merek dibutuhkan agar pemilik merek mendapat hak eksklusif

dari mereknya.

16 Fajar Nurcahya, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan Pelanggaran Merek”, Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum, 2014, h. 97.

17

Indirani Wauran, Op., Cit, h. 8. 18

Dwi Rezki, Penghapusan Merek Terdaftar Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek Dihubungkan Dengan TRIPs-WTO, Alumni, Bandung, 2009, h. 2.

(9)

16

2. Merek Terkenal

Secara umum perlindungan hukum terhadap merek hanya diberikan

kepada merek yang telah didaftarkan. Dengan didaftarkannya suatu merek,

pemilik tersebut mendapat hak atas merek yang dilindungi oleh hukum.20

Perlindungan secara internasional dibutuhkan terhadap merek suatu produk

yang diperdagangkan melintasi batas-batas negara. Semakin banyak negara

yang menjual merek tersebut maka semakin banyak pula masyarakat yang

mengetahui tentang merek tersebut. Dengan kata lain merek tersebut telah

mendapatkan reputasi yang tinggi.

Reputasi merek mempengaruhi penjualan terhadap suatu barang dan/atau

jasa. Atas dasar reputasi merek banyak konsumen yang semakin mengenal

merek tersebut, akhirnya merek tersebut dapat dikategorikan sebagai merek

terkenal. Merek ini menjadi idaman dan pilihan utama semua lapisan

konsumen.

Seperti apa merek terkenal itu? Hingga saat ini sebenarnya tidak ada

definisi yang dapat diterima semua pihak tentang apa sebenarnya merek

terkenal tersebut. Kalaupun ada, hal itu dilakukan semata-mata karena adanya

kepentingan dari pemilik merek yang bersangkutan. Berhubung sampai saat

ini masih menjadi perdebatan mengenai merek terkenal, mengingat kriteria

atau batasan merek terkenal berbeda-beda baik dalam pendapat para ahli,

peraturan nasional maupun internasional.

20

(10)

17

Merek terkenal mengandung makna “terkenal” menurut pengetahuan

umum masyarakat.21 Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat yang

menyatakan bahwa: “merek dagang terkenal yang bersifat internasional

adalah merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat didasarkan pada

reputasi yang diperolehnya karena promosi yang terus menerus oleh

pemiliknya yang diikuti dengan bukti pendaftaran merek di berbagai

negara.”22

Merek terkenal biasa disebut juga sebagai well known mark, merek jenis

ini memiliki reputasi tinggi karena lambangnya memiliki kekuatan untuk

menarik perhatian.23 Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat yang

menyatakan bahwa: “merek terkenal (well known marks) memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik karena reputasinya yang tinggi,

sehingga jenis barang apapun yang berada di bawah naungan merek terkenal

langsung menimbulkan sentuhan keakraban dan ikatan mitos kepada

konsumen.”24

Merek terkenal dalam International Trademark Assosiation

(INTA) adalah “a trademark that, in view of its widespread reputation or

recognition, may enjoy broader protection that an ordinary mark.”

Pendapat lain menyatakan bahwa: “dalam menetapkan apakah suatu merek

well known, harus diperhitungkan pengetahuan akan merek terkenal di sekitar

21

Rahmi Jened II, Op. Cit., h. 241. 22

Imam Sjahputra, Heri Herjandono dan Parjio, Hukum Merek Baru Indonesia, Harvarindo, Jakarta, 1997, h. 20.

23

Dwi Rezki, Op., Cit, h. 45.

(11)

18

publik tertentu, termasuk pengetahuan di negara anggota sebagai akibat

promosi merek dagang tersebut.” 25

Pendapat tersebut diatas berbeda dengan pendapat yang menyatakan

merek terkenal sebagai berikut:26

1. Suatu merek yang akan didaftarkan tidak boleh

mengakibatkan timbulnya kebingungan dan penyesatan (confussion/verwarring) dengan suatu merek yang secara umum telah terkenal dan dimiliki oleh pihak ketiga; pendaftaran ini adalah batal demi hukum;

2. “Terkenal” dalam arti luas: dikenal dari radio, TV, Media Internet dan publikasi lain sekalipun belum digunakan dalam negara yang bersangkutan.

Lebih lanjut pendapat tentang kriteria merek terkenal, antara lain:27

1. Menjadi idaman atau pilihan berbagai lapisan konsumen

2. Lambangnya memiliki kekuatan pancaran yang menarik

3. Didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut;

a. Presentasi nilai pemasaran yang tinggi;

b. Presentasi tersebut harus dikaitkan dengan luasnya

wilayah pemasaran di seluruh dunia;

c. Kedudukannya stabil dalam waktu yang lama;

d. Tidak terlepas dari jenis dan tipe barang.

World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan

rekomendasi mengenai kriteria merek terkenal sebagai berikut:28

1. The degree of knowledge or recognition of the mark in the relevant sector of the public;

2. The duration, the extent and geographical area of any use of the mark;

25 Achmad Zen, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, h. 73. 26

O.C. Kaligis, Teori dan Praktik Hukum Merek Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, h. 182. 27

Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 86-88.

28

(12)

19

3. The duration, the extent and geographical area of any promotion of the mark, including advertising or publicity and the presentation, at fairs or exhibitions, of the goods and/or services to which the mark applies;

4. The duration and geographical area of any registration, and/or any applications for registration, of the mark, to the extent that they reflect use or recognition of the mark;

5. The record or succesful enforcement of rights in the mark, in particular, the extent to which the mark was recognized as well known by competent authorities;

6. The value associated with the mark.

Menurut Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement terdapat krieria sifat

keterkenalan suatu merek antara lain dengan memperhatikan faktor

pengetahuan tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk

pengetahuan negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan, yang

diperoleh dari hasil promosi merek tersebut.

Dalam Undang-undang Merek tidak disebutkan secara jelas definisi dari

merek terkenal. Di Undang-undang tersebut hanya menjelaskan kriteria

merek terkenal yang terdapat dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b,

bahwa penentuan keterkenalan suatu merek, harus dilakukan dengan

mempertimbangkan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut

di bidang usaha bersangkutan, dan memperhatikan pula reputasinya sebagai

merek terkenal yang diperoleh karena promosi besar-besaran, investasi di

beberapa negara di dunia yang dilakukan pemiliknya, dan disertai bukti

pendaftaran merek tersebut di beberapa negara di dunia. Apabila hal-hal

diatas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan

(13)

20

kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dsasar

penolakan.

Melihat atau mendasarkan pada perdebatan tersebut diatas penulis

berpendapat bahwa merek terkenal yaitu merek yang telah dikenal oleh

masyarakat luas, mempunyai reputasi yang tinggi karena promosi yang

besar-besaran.

Telah dikenal luas oleh masyarakat maksudnya produk dari suatu merek

telah menembus batas-batas nasional dan regional sehingga merek tersebut

sudah berwawasan globalisasi dan dapat disebut sebagai merek yang tidak

mengenal batas dunia. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor

1486K/Pdt/1991 tertanggal 28 November 1995 yang dengan tegas telah

memberikan kriteria hukum sebagai berikut:29

Suatu merek termasuk dalam pengertian Well Known Mark pada

prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar keluar

dari batas-batas regional malahan sampai batas-batas

transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek telah terdaftar di banyak negara di dunia, maka dikualifisir sebagai merek terkenal karena telah beredar sampai area batas-batas di luar negara asalnya.

Semakin banyak negara yang menjual merek tersebut maka semakin

banyak pula masyarakat yang mengetahui tentang merek tersebut.

Reputasi yang tinggi karena promosi yang besar-besaran. Reputasi melalui

usaha yang akan dilakukan produsen untuk membuat banyak konsumen yang

akan membeli suatu produk karena telah percaya pada produk tersebut.

29

(14)

21

Dalam kasus merek terkenal, pada hakikatnya merupakan suatu bentuk

goodwill yang berhasil diperoleh suatu merek karena kemampuan pemilik/pemegang hak atas merek untuk meyakinkan konsumen akan

jaminan kualitas dari produk yang dilekati oleh mereknya tersebut sehingga

konsumen kembali kepada produknya.30

Promosi seperti iklan dari suatu produk yang dilakukan melalui media

massa dan elektronik serta menghabiskan tidak sedikit biaya. Bersamaan

dengan berkembangnya industri, berkembang pula penggunaan iklan untuk

memperkenalkan produk.31 Lebih-lebih dengan perkembangan periklanan,

baik nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam rangka

pendistribusian barang dan/atau jasa membuat merek semakain tinggi

nilainya.32

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 022K/N/HAKI/2002 yang

membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta pada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat atas gugatan pembatalan merek Cornetto, dimana Mahkamah

Agung telah menegaskan sebagai berikut:

Bahwa untuk menentukan kriteria mengenai merek terkenal, Mahkamah

Agung berpedoman untuk Yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu selain

didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat, penentuannya juga

didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang telah diperoleh

karena promosi yang telah dilakukan oleh pemiliknya disertai dengan bukti

30

Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, 2011, h. 153.

31 Rahmi Jened II, Op. Cit., h. 2. 32

(15)

22

pendaftaran merek tersebut di beberapa negara jika hal ini ada, hal-hal

tersebut merupakan salah satu alat pembuktian yang ampuh.33

B. Perlindungan “Khusus” Terhadap Merek Terkenal

Bahwa merek terkenal memiliki keistimewaan sehingga berbeda dengan

merek biasa karena statusnya sebagai merek terkenal maka ada hal yang

dalam “perlindungan khusus” yang hanya dimiliki merek terkenal dengan

kata lain perlindungan ini tidak dimiliki oleh merek biasa, tetapi hanya

dimiliki oleh merek terkenal. Dalam bagian berikut akan dijelaskan.

1. Mencakup Barang Yang Tidak Sejenis

Perlindungan khusus terhadap merek terkenal menurut perjanjian

internasional salah satunya diatur dalam Agreement onTrade Related Aspects

of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). Perjanjian internasional ini sangat mempengaruhi Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum,

khususnya merek terkenal.

Indonesia telah menjadi negara pihak dari perjanjian tersebut, sehingga

memberikan konsekuensi kepada Indonesia bahwa ia harus menjalankan

kewajiban internasionalnya.

Pasal 16 ayat (3) mengatur bahwa:

Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis, to goods or services which are not similar to those in respect of which a trademark is registered, provided that use of that trademark in relation to those goods or services would

33

(16)

23

indicate a connection between those goods or services and the owner of the registered trademark and provided that the interest of the owner of the registered trademark are likely to be damaged by such use.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement, terdapat keistimewaan

terhadap merek terkenal yaitu, merupakan perluasan perlindungan hukum

merek terkenal yang mengatur mengenai barang atau jasa tidak sejenis (goods

or services which are not similar) dengan mendasarkan kriteria pada adanya kesan keterkaitan yang erat antara barang yang menggunakan merek tersebut

dengan produsennya, dan jika pemakaian atau pendaftaran oleh orang lain

untuk barang yang tidak sejenis dapat merugikan kepentingan pemilik merek

terkenal.

Dengan posisi Indonesia sebagai negara pihak TRIPs Agreement yang

memiliki kewajiban memberikan jaminan perlindungan terhadap merek

terkenal untuk barang tidak sejenis, perdagangan tidak akan berkembang

dengan baik jika merek terkenal untuk barang tidak sejenis tidak

mendapatkan perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Peniruan

merek terkenal untuk barang tidak sejenis merugikan pemilik merek terkenal

yang berdampak pada ketidakpercayaan pihak asing terhadap jaminan

perlindungan merek terkenal yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.

Perjanjian TRIPs Agreement dijadikan dasar oleh negara-negara anggota

Konvensi Paris dan World Trade Organization (WTO) untuk memberikan

perlindungan terhadap merek terkenal, sebagai perbandingan pengaturan di

negara Amerika. Berikut adalah perlindungan khusus yang diberikan untuk

(17)

24

Perlindungan merek terkenal di Amerika Serikat diatur dalam

undang-undang merek Amerika yang dikenal dengan nama Lanham Act. Ketentuan

ini secara khusus memberikan perlindungan merek terkenal terhadap tindakan

dilusi (dilution). Teori dilusi aslinya berasal dari Jerman, tepatnya 1924,

kemudian tahun 1927 teori dilusi ini dibawa ke Amerika melalui publikasi

artikel berjudul “ The Rational Basis of Trademark Protection”, yang ditulis

oleh Frank I. Schechter.34 Schechter merujuk artikelnya pada kasus yang

timbul lebih awal di Jerman dalam hal pemilik merek ODOL, merek terkenal

untuk penyegar mulut yang telah sukses membatalkan pendaftaran merek

yang serupa untuk produk baja. Pengadilan menyatakan,35

Such use of the mark ODOL on non competing goods was against

good morals (“gegen die guten Sitten”) and violated the

principles of fair trade. The protection was based on the lessening

of the mark’s selling power and on the impairment of the owner’s

ability to compete. Thus, dilution protection for famous marks was initially based on the general unfair competition law.

Dalam kasus ODOL, pemilik obat kumur terkenal menggugat untuk

menghentikan produsen produk baja dari menggunakan merek ODOL sebagai

merek dagangnya. Terlepas dari kenyataan bahwa obat kumur dan produk

baja adalah barang yang tidak sejenis atau barang yang tidak berkompetisi,

pengadilan Jerman menyimpulkan bahwa pemilik merek ODOL memiliki

kepentingan substansial dalam memastikan bahwa merek dagang mereka

tidak didilusi. Dari adanya kasus yang terjadi, pengadilan menegaskan bahwa

34

William T. Vuk, “Protecting Baywatch And Wagamama: Why The European Union Should Revise The 1989 Trademark Directive To Mandate Dilution Protection For Trademark”, Fordham Internasional Law Jurnal, Vol. 21, No. 3, 1997, h. 86.

35

(18)

25

ODOL akan kehilangan kekuatan daya jual jika semua orang memiliki

kesempatan untuk menggunakan merek tersebut. Hanya dalam kurun waktu

tiga tahun setelah keputusan dalam kasus ini, dilusi mencapai daratan

Amerika.36

Seorang pemilik merek terkenal mungkin akan mencegah pedagang lain

menggunakan merek miliknya, bahkan juga berlaku bagi produk yang bukan

merupakan persaingan (non competing).37 Selanjutnya, Lanham Act

mendefinisikan dilusi sebagai pudarnya reputasi merek terkenal, disebabkan

oleh peniruan merek terkenal oleh kompetitor terhadap jenis barang atau

produk yang berbeda dengan milik merek terkenal, sehingga memungkinkan

timbulnya kebingungan dan penipuan di masyarakat.38

Doktrin dilusi merek adalah prinsip dalam hukum merek yang

mengizinkan pemilik merek terkenal untuk melarang pihak lain menggunakan

merek mereka dengan cara-cara yang dapat mengancam keunikan merek

tersebut.39 Sebuah merek didilusi ketika suatu pihak menggunakan merek

yang sama atau identik dengan merek milik pihak lain dalam barang yang

tidak berkompetisi (barang yang tidak sejenis) yang dapat mengurangi

kekuatan merek tersebut sehingga dapat mengakibatkan kebingungan

konsumen mengenai sumber asal mereknya.40

36

Natalie J. McNeal, “Trademark: Victoria’s Dirty Little Secret; A Revealing Look At What The Federal Trademark Dilution Act Is Typing To Conceal”, Oklahoma Law Review, Vol. 56, No. 4, 2003, h. 977.

37

H.D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasacasarjana, Jakarta, 2003, h. 111.

38

Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 61. 39

Brajendu Bhaskar, “Trademark Dilution Doctrine: The scenario Post TDRA 2005”, NJUS L. Rev, Oct-December, 2008, h. 637.

(19)

26

Pengertian dilusi menurut Black’s Law Dictionary yaitu:

The act or an instance of diminishing a thing’s strength or lessing

its value; The impairment of a famous trademark’s strength,

effectivenesss, or distinctiveness through the use of the mark on

an unrelated product, usually blurring the trademark’s distinctive

character or tarnishing it with an unsavory association. Trademark dilution may occur even when the use is not competitive and creates no likelihood of confusion.

Dilusi menurut International Trademark Association (INTA) adalah:

Dilution is the unauthorized use of a highy distinctive mark by another in a manner which tends to blur its distinctiveness or tarnish its image even without any likehood of confusion. Dilution is when the unauthorized use of a famous mark reduces the

public’s perception that the mark signifies something unique,

singular, or particular.

Secara umum tindakan dilution terhadap suatu produk didasarkan pada

tiga hal yaitu:41

1. Favorability, daya tarik dari sebuah produk yang dapat memberikan kesan berkaitan antara produk yang satu dengan yang lain.

2. Streght, kekuatan merek yang dapat memberikan daya ingat kepada masyarakat konsumen.

3. Uniqueness, image sebuah merek yang mempunyai daya tarik bagi konsumen adalah merek-merek yang sangat unik seperti kata Volvo dan Qantas.

Dalam kasus dilution sebagai perlindungan merek terkenal ada tiga hal

yang harus ditunjukkan:42

1. Merek merupakan merek terkenal atau memiliki reputasi

(trademark is well-known or has reputation);

41

Joel H. Steckel, Robert Klein dan Shelley Schussheim, “Dillution Through The Looking Glass: A Marketing Look at The Trademark Dillution Revision Act of 2005”, The Trademark Reporter Vol. 96, INTA, USA, May-June 2006, h. 625-627. Seperti dikutip dalam Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 118.

(20)

27

2. Merek memiliki persamaan pada pokoknya khususnya untuk

barang yang tidak sejenis (similary of trademark but goods

and services are dissimilar);

3. Ada penggunaan yang bersifat penipisan, pemudaran, dan

pengaburan secara tanpa hak (there is dilution or

tarnishment or blurring reputation without due cause).

Lebih lanjut lagi terdapat pendapat yang menyatakan terkait dengan

perlindungan dari tindakan dilution:43 “Around the world, a trend is

developing towards greater protection in this area beyond the minimum

standard set by TRIPs Agreement, in the form of an “anti-dillution” right which is available in the absences of confusion or deception of the public.”

Dapat diambil kesimpulan bahwa dilusi adalah penurunan nilai suatu

merek (daya pebeda/keunikan) pada merek terkenal berupa pengaburan atau

pencemaran sebagai akibat dari penggunaan merek tanpa izin oleh pihak lain

pada produk yang berbeda kelas dan jenis, tanpa melihat adanya kebingungan

tentang asal usul suatu produk pada konsumen dan adanya persaingan atau

tidak pada pasar. Perlindungan atas dilusi merek terkenal berdasarkan

perlindungan kualitas daya pembeda merek terkenal dan perlindungan

reputasi dari pihak-pihak yang dapat menodai merek terkenal, tanpa

memperhatikan kebingungan konsumen atas sumber dari produk maupun

persaingan diantaranya kedunya.

Hal ini bertujuan untuk tidak merugikan kepentingan orang lain dalam hal

ini adalah pemilik merek terkenal, dan juga perlindungan terhadap merek

terkenal yang mencakup barang tidak sejenis dilatarbelakangi bahwa tidak

43

(21)

28

menyesatkan terhadap masyarakat. Faktor “confussion of bussiness

connection” sebagai pertimbangan untuk menentukan apakah merek yang

sama dengan merek terkenal akan tetapi didaftarkan untuk barang yang tidak

sejenis itu bisa ditolak atau dibatalkan.44

Hal senada juga ditegaskan, bahwa pemakaian daripada merek berkenaan

dengan benda-benda tersebut atau jasa bersangkutan akan memberikan

“indikasi adanya suatu hubungan” antara barang-barang dan jasa pemilik

daripada merek terdaftar dan kepentingan daripada pihak pemilik merek

terdaftar ini akan cenderung mendapat kerugian karena pemakaian itu.45

Terdapat dua jenis dilusi yang dikelompokkan berdasarkan

konsekuensinya terhadap persepsi konsumen. Dilusi pengaburan (Blurring)

dan dilusi pencemaran (Tarnishment). Dilusi karena pengaburan terjadi ketika

terdapat suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan merek terkenal dimana kedua merek tersebut

merupakan produk yang berbeda secara substansial sehingga tidak

menyebabkan kebingungan konsumen. Intinya, keunikan suatu merek

terkenal (daya pembeda) telah berkurang bahkan menghilang. Pemudaran

terjadi manakala kekuatan merek dilemahkan melalui identifikasinya untuk

produk yang tidak sejenis, meskipun persamaanan merek tersebut tidak

menyebabkan kebingungan di antara konsumen kedua produk tersebut,

namun masing-masing mengurangi kualitas pembeda dari merek yang

44

Suyud Margono, Hak Milik Industri, Pengaturan dan Praktik di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, h. 106.

45 Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata,

(22)

29

bersangkutan.46 Contoh kasus dilusi pengaburan yaitu terjadi pada peritel

pakaian dalam wanita (lingerie) Victoria’s Secret yang menuntut sebuah toko

alat-alat kebutuhan pria yang menggunakan nama yang mirip yaitu Victor’s

Secret.

Dilusi karena pencemaran terjadi karena ketika penggunaan suatu merek

terkenal oleh pihak lain yang penggunaannya bertentangan/tidak sesuai

dengan kesan yang telah dibentuk dan dipertahankan oleh pemilik merek

terkenal. Perusakan merek terkenal adalah akibat dari penggunaan merek

secara tanpa hak oleh tergugat untuk memudarkan, menurunkan, atau

menipiskan kualitas pembeda dari suatu merek.47 Contoh kasus dilusi

pencemaran yaitu ketika terdapat merek Polo di mana si penunggang kudanya

terjatuh dari kuda, sehingga hal tersebut dapat mencemarkan merek Polo yang

asli.

Sejak meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, Indonesia telah

melakukan beberapa perubahan terhadap Undang-undang Merek. Yang

terbaru adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU Merek). Perlindungan hukum

merek terkenal terhadap dilusi di Indonesia tidak memiliki pengaturan secara

tegas dan khusus. Namun diatur secara implisit dalam Pasal 21 ayat (1) huruf

c UU Merek.

Pasal 21 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa:

(1) Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai

persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: ...

46 Rahmi Jened II, Op., Cit, h. 246. 47

(23)

30

c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu;

Dari ketentuan tersebut terdapat keistimewaan yang dimiliki merek

terkenal yaitu merek tidak bisa didaftar meskipun persamaan pada pokoknya

untuk kelas barang atau jasa yang tidak sejenis, berbeda dengan pengaturan

dalam merek biasa hanya tidak boleh sama dengan merek yang sejenis tetapi

untuk merek terkenal kelas barang atau jasa yang tidak sejenis atau berbeda.

Dalam kaitannya dengan dilusi, Pasal 21 ayat (1) huruf c UU Merek,

sebenarnya sudah mengatur mengenai larangan pendaftaran merek yang

memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek

terkenal untuk produk tidak sejenis. Namun, larangan persamaan dengan

merek terkenal untuk produk tidak sejenis masih multitafsir karena Pasal 21

ayat (1) huruf c, mengatur mengenai “persyaratan tertentu” yang harus

dipenuhi. Sedangkan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang

dimaksud dengan “persyaratan tertentu” tersebut. Walaupun Pasal 21 ayat (4)

UU Merek, mengamanatkan adanya peraturan pelaksana untuk menjelaskan

hal tersebut, hingga sekarang Peraturan Menteri yang diamanatkan tersebut

belum diundangkan. Akibatnya, terjadi suatu kekosongan hukum terkait

dilusi. Keadaan tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia (civil law

atau eropa kontinental) yang tidak menganut asas precedent, sehingga

membuat hakim tidak diwajibkan mengikuti yurisprudensi. Oleh karena itu,

Indonesia tidak memiliki pedoman jelas dalam menyelesaikan sengketa

(24)

31

Tidak adanya pedoman jelas dalam menyelesaikan sengketa trekait dilusi

dapat dilihat pada kasus Philip Stein Holding, Inc, yang telah diputus dengan

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

62/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 10 September 2013,48

sebagaimana telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor

276K.Pdt.Sus-HKI/2014 tangal 27 Agustus 2014.49 Putusan tersebut memutus

bahwa yang berhak terhadap hak atas merek Philip Stein adalah orang

Indonesia, bukan pemilik merek terkenal Philip Stein.

Kasus tersebut berawal ketika produsen jam tangan asal Amerika Serikat,

Philip Stein Holding Inc (sebagai penggugat), hendak mendaftarkan merek

Philip Stein di Indonesia untuk jenis kelas barang 14. Yang mana penggugat

telah mendaftarkan merek Philip Stein di beberapa negara seperti; Amerika

Serikat, Arab Saudi, Hongkong, dll. Akan tetapi ternyata Kasim Halim

(tergugat) telah mendaftarkan merek Philip Stein untuk kelas barang 25

kepada Direktorat HAKI dengan Nomor IDM000174089 pada tanggal 1

Februari 2007 tanpa seizin penggugat. Dalam putusannya, hakim

memutuskan untuk menolak gugatan tersebut. Dengan pertimbangan hukum,

hakim menyebutkan walau telah didaftarkan di berbagai negara, merek milik

penggugat dianggap belum terkenal dan belum menggambarkan adanya

promosi besar-besaran dan tergugat tidak dianggap meniru atau menjiplak

merek penggugat karena berada pada kelas barang yang berbeda, dan oleh

karenanya pendaftaran merek tergugat sah secara hukum.

48

https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/3aa9a3282724dab30126e419e31a3be0, dikunjungi pada tanggal 30 Oktober 2017 pukul 10.00.

(25)

32

Merasa tidak terima dengan putusan tersebut, Philip Stein kemudian

mengajukan kasasi. Namun kali ini Philip Stein juga harus mengakui

kekalahannya. Sebab Mahkamah Agung menolak gugatannya. Dalam

pertimbangan hukum, pendaftaran merek pemohon kasai (Philip Stein) di

beberapa negara belum dapat menunjukkan bahwa merek pemohon kasasi

adalah merek terkenal yang layak ditiru atau dibonceng ketenarannya. Dalam

keberatannya, Philip Stein mengatakan bahwa penggunaan merek Philip Stein

(termohon kasasi) yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dengan cara

menggunakan nama badan hukum terkenal milik pemohon kasasi.

Tidak adanya pedoman yang jelas mengenai jumlah negara tempat

pendaftaran merek sebagai kriteria merek terkenal tentu membawa suatu

ketidakpastian hukum. Hal tersebut berdampak pada kasus Philip Stein

Holding, Inc. Merek Philip Stein telah didaftarkan di kurang lebih dari 50

negara, tetapi Majelis Hakim tetap beranggapan bahwa merek Philip Stein

tersebut belum dapat dikategorikan sebagai merek.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa dilusi atau

persamaan merek dengan merek terkenal untuk produk tidak sejenis sudah

diatur. Akan tetapi, pengaturannya masih tidak jelas karena peraturan

pelaksana sebagai penjelasan pengaturan dilusi tidak diundangkan.

Akibatnya, terjadi suatu kekosongan hukum.

Hal tersebut mengakibatkan ada hakim yang memutus bahwa persamaan

untuk produk tidak sejenis termasuk kategori pelanggaran merek dan ada pula

(26)

33

Dalam kasus Philip Stein Holding, Inc, penggugat tidak dapat

mempertahankan keunikan dan daya pembeda yang dimiliki merek

terkenalnya karena hakim memutus bahwa penggunaan merek untuk produk

tidak sejenis bukan termasuk pelanggaran merek.

Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika pengaturan perlindungan merek

terkenal dalam sistem hukum mereknya sudah cukup lengkap. Sistem hukum

merek di Amerika Serikat juga telah memiliki pengaturan dilusi secara jelas.

Terdapat pengaturan rinci mengenai dilusi, mulai dari definisi, tipe dilusi, dan

perlindungan pemilik merek terkenal dari dilusi.

Pengaturan dilusi di Amerika Serikat terdapat pada Pasal 43 huruf c

Lanham Act. Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan tersebut diubah

dengan ketentuan khusus, yaitu Federal Trademark Dilutin Act of 1995 yang

telah direvisi dengan United States Trademark Dilution Revision Act of 2006.

United States Trademark Dilution Revision Act of 2006 tersebut memuat beberapa pengaturan tentang dilusi antara lain mengenai definisi, beban

pembuktian, dan beberapa perlindungan tambahan.

Dalam hal beban pembuktian mengenai ada tidaknya dilusi, penggugat

yang mengajukan gugatan dilusi memiliki beban untuk membuktikan bahwa

merek tersebut memang merek terkenal dan reputasinya telah menjadi kabur

atau rusak akibat dilusi tersebut. Diatur juga bahwa pemilik merek terkenal

juga mendapat perlindungan berupa suatu pemulihan kembali apabila terjadi

(27)

34 2. Prinsip National Treatment

Prinsip national treatment menjadi salah satu dari keistimewaan merek

terkenal. Prinsip ini menjadi salah satu yang diatur dalam Konvensi Paris.

Prinsip ini disebut juga dengan perlakuan yang sama terhadap negara lain

dengan negaranya sendiri. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) TRIPs menyebutkan

bahwa: “Each member shall accord to the nationals of other members treatment no less favourable than it accords to its own nationals with regard to the protection of intellectual property...” mewajibkan negara anggota

memberikan perlindungan tanpa membedakan kepada warga negara sesama

negara anggota, seperti perlakuan yang diberikan kepada warga negaranya

sendiri. National treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta

Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan

sama dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan

merek.50 Dalam hal ini memberikan perlindungan terhadap merek terkenal

untuk warga negara asing dalam penegakan hukum.

Salah satu contoh dalam penerapan prinsip national treatment ialah dalam

pemberian hak prioritas. Hak prioritas merupakan wujud dari prinsip national

treatment dan most favoured nation yang diatur dalam TRIPs yang merujuk

Konvensi Paris. Dengan diratifikasinya Paris Convention yang salah satu

tujuannya adalah pemohon memperoleh hak untuk mengajukan permohonan

pendaftaran yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris

tersebut, memungkinkan pemohon memperoleh pengakuan bahwa tanggal

penerimaan (filling date) di negara asal merupakan tanggal prioritas (priority

50

(28)

35

date) di negara tujuan yang juga salah satu dari peserta Paris Convention.51

Hak prioritas ini berhubungan dengan permohonan pendaftaran merek. Setiap

orang yang mengajukan pendaftaran untuk perlindungan merek dalam salah

satu negara anggota Paris Convention atau mereka yang berhak untuk tujuan

pendaftarannya di negara lain, wajib menikmati hak prioritas untuk suatu

periode tertentu sesuai ketentuan yang berlaku.52

Permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas diatur dalam Pasal 9

UU Merek, yang menyatakan bahwa:

Permohonan dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris

tentang perlindungan kekayaan intelektual (Paris Convention For

The Protection Of Industrial Property) atau anggota Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement

Establishing The World Trade Organization).

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang

hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention for the Protection of

Industrial Property 1883 (sebagaimana telah beberapa kali diubah) atau

Agreement Establishing the World Trade Organization.53 Subjek hukum (perorangan maupun badan hukum) yang telah mendapatkan hak secara

prioritas akan dilindungi haknya di negara luar (negara di mana yang

bersangkutan mendaftarkan hak prioritasnya) seperti ia mendapatkan

perlindungan di negaranya sendiri.54

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 371.

54

(29)

36

Pendaftaran dengan hak prioritas ditujukan untuk melindungi merek asing

atau merek terkenal di luar negeri dari tindakan pelanggaran merek. Sebab,

pada keadaan tertentu pemilik luar negeri atau merek terkenal lalai dan belum

mendaftarkan mereknya di Indonesia, sehingga memiliki resiko mereknya

telah didaftarkan oleh pihak lain untuk produk yang sama. Melalui

pendaftaran merek terkenal akan memperoleh perlindungan hukum secara

maksimal. Adapun pendaftaran merek dengan cara biasa dan dengan hak

prioritas pada prinsipnya adalah sama. Permohonan pendaftaran diajukan

kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual secara tertulis dengan

mengisi formulir yang tersedia, dalam bahasa Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa hak prioritas adalah suatu upaya dari pemegang

hak atas merek yang merupakan anggota konvensi internasional perlindungan

merek, untuk mendaftarkan mereknya tersebut di Indonesia. Tujuan

pemberian hak prioritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran,

yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia dari pembajakan dan

pemboncengan.

Dengan demikian setiap negara wajib memberikan kesempatan yang sama

dan menghindarkan proteksi berlebihan terhadap produk lokal yang

dimilikinya. Melalui ketentuan prinsip ini batas-batas negara tidak lagi

menjadi halangan bagi lalu lintas perdagangan karena barang dan jasa akan

bebas diperjualbelikan dimana saja, keseluruhan negara anggota telah bersatu

menjadi satu pasar bebas dan terbuka. Hukum merek suatu negara harus

memberikan perlindungan yang sama terhadap pemilik merek orang asing,

(30)

37

warga negara sendiri. Dengan memberi perlindungan yang sama terhadap

pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus

berdasarkan asas timbal balik (asas resiprositas). Jika pemohon bukan dari

negara anggota peserta Paris Convention, kontor merek harus menolak

pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas resiprositas.

Salah satu contoh kasus perlindungan hukum terhadap merek terkenal

yang telah terdaftar melalui hak prioritas adalah kasus pada merek Crocs di

Indonesia. Merek Crocs telah terdaftar pada Ditjen HAKI melalui hak

prioritas, pada tanggal 25 November 2005 dengan Nomor D002005026051,

dengan nama pemilik Crocs Inc, yang berkedudukan 6273 Monarch Park

Place, Niwot. Sebelumnya telah terdaftar di negara asal Amerika Serikat.

Pada prakteknya di Indonesia banyak muncul produk sandal dari Cina yang

terindikasi mirip dengan sandal Crocs. Perlindungan hukum terhadap merek

terkenal Crocs yang berasa dari Amerika Serikat di wilayah yuridiksi

Indonesia, hanya dapat dilakukan dengan pendaftaran melalui hak prioritas,

karena bergabungnya Indonesia dalam perjanjian internasional pada World

Intellectual Property Organization (WIPO).

3. Mencegah Persaingan Curang

Selain daripada diatas, bisa juga keistimewaannya untuk melindungi dalam

mendukung persaingan usaha yang sehat, dikarenakan untuk mencegah

tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad tidak

baik yang bermaksud membonceng reputasinya. Dengan kata lain mencegah

(31)

38

Dalam hal memberikan perlindungan terhadap merek terkenal, Australia

memberlakukan prinsip defensif yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan merek terkenal terhadap tindakan persaingan curang atau

passing off.55

Pasal 17 Undang-undang Merek Dagang Australia Tahun 1995 membuat

ketetapan bagi pendaftaran defensif merek dagang di Australia, pendaftaran

merek defensif berbeda dengan pendaftaran merek dagang biasa pada

umumnya dalam tiga hal yaitu:56

pertama, yang memenuhi pendaftaran merek defensif adalah

merek terkenal. Kedua, merek dagang defensif dapat didaftarkan

berkenaan dengan merek dagang barang atau jasa yang tidak

digunakan oleh pemiliknya. Ketiga, pendaftaran defensif tidak

dimaksudkan untuk penghapusan atau pembatasan pada pedagang

yang bukan pengguna, sebaliknya pendaftaran defensif

memfasilitasi para pemilik merek dengan jenis karakteristik produk yang sama dengan yang disediakan para pemilik pendaftaran biasa pada umumnya.

Passing off ini banyak diterapkan dalam negara yang menganut sistem

hukum common law, diantaranya adalah Australia dan Amerika. Dalam

sistem hukum comon law, pemboncengan merek (passing off) ini merupakan

suatu tindakan persaingan curang (unfair competition), dikenakan tindakan

ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan

mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang

secara curang membonceng atau mendompleng merek miliknya untuk

mendapatkan keuntungan finansial.57Passing off tersebut dilandasi niat untuk

(32)

39

mendapatkan jalan pintas agar produk atau bidang usahanya tidak perlu

memerlukan usaha membangun reputasi dan image dari awal lagi, selain itu

juga sangat berpotensi untuk menipu konsumen dan menyebabkan

kebingungan public di masyarakat tentang asal-usul suatu produk.58

Dalam sistem common law. passing off dapat diartikan secara singkat

menjadi pemboncengan reputasi dan citra terhadap sebuah merek yang sudah

dahulu dan atau lebih terkenal. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh dan

membuat bingung masyarakat umum yang mengakibatkan publik salah

memilih barang yang seharusnya, bagi pihak pelaku passing off

mendatangkan keuntungan tetapi pihak yang diboncengi mengalami kerugian

yang tidak sedikit.59 Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena

terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga

seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk

membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma

kesusilaan maupun hukum.60

Pengertian passing off berdasarkan Black’s Law Dictionary adalah sebagai

berikut: “The act or an instance of falsely representing one’s own product as

that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement.”

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diartikan bahwa passing off

adalah tindakan curang dengan cara membonceng reputasi merek lain untuk

58

Fajar Nurcahya, Op., Cit, h. 102. 59

Elvin Harifaningsih, Kasus Merek Dominasi Perkara HAKI, Bisnis Indonesia, 2009, h. 10. 60

(33)

40

menipu calon konsumen. Pengaturan mengenai passing off tersebar ke dalam

pengaturan mengenai persaingan curang, perbuatan melawan hukum, dam

pelanggaran merek.

Menurut salah satu ahli hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual di

Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common law tort

to enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua

unsur dari passing off:61

1. Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW);

2. Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek terkenal yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari

digunakan oleh pihak lain.

Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:62

1. Reputasi: yaitu apabila seseorang pelaku usaha selaku penggugat

memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah

dikenal publik.

2. Misreprestasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku

usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng

merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut

dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.

61

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia dikunjungi pada tanggal 28 Oktober 2017pukul 20.31.

(34)

41

3. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek

pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang

didompleng.

Passing off memang merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum

common law. Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau pemboncengan reputasi dimana perbuatan yang mencoba meraih keuntungan

dengan cara membonceng reputasi merek yang sudah terkenal atau beredar.63

Di dalam UU Merek, tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur

mengenai passing off karena passing off lebih dikenal di negara-negara

penganut common law. Namun, ada ketentuan dalam Undang-undang tersebut

yang mengakomodasi kepentingan pemilik merek terkenal untuk melindungi

mereknya dari perbuatan curang pihak lain. Ketentuan tersebut terdapat

dalam Pasal 21 ayat (3), yang menyebutkan: “Permohonan ditolak jika

diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.”

Selanjutnya penjelasan mengenai “Pemohon yang beritikad tidak baik”

dapat diketahui berdasarkan Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU Merek.

Penjelasan tersebut sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “pemohon yang beritikad tidak baik” adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.

(35)

42

sejak bertahun-tahun. Ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah dikenal tersebut. Dari contoh tersebut sudah terjadi itikad tidak baik dari pemohon karena setidak-tidaknya patut diketahui adanya unsur kesengajaannya dalam meniru merek yang sudah dikenal tersebut.

Passing off muncul ketika suatu usaha yang memiliki reputasi tidak memiliki merek dagang atau tidak dapat mendaftarkan merek dagangnya

namun memerlukan perlindungan hukum dari upaya pihak lain yang hendak

membonceng reputasi usaha tersebut dan passing off ini bertujuan melindungi

baik konsumen maupun pelaku usaha dari adanya praktek-prektek usaha yang

dilakukan oleh pihak lain untuk meraih keuntungan dengan cara-cara yang

merugikan atau membahayakan reputasi pelaku yang asli. Passing off

mencegah pihak-pihak lain untuk melakukan beberapa hal, yaitu:

1. Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang atau jasa tersebut

milik orang lain;

2. Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan

dengan barang atau jasa milik orang lain.

Di negara-negara common law, passing off berkembang sebagai bentuk

praktek persaingan curang (tidak jujur) dalam usaha perdagangan atau

perniagaan. Tindakan ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek

yang telah mendaftarkan mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian

dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau mendompleng

merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Persaingan curang (unfar competition) dalam Black’s Law Dictionary

(36)

43

“A term which may be applied generally to all dishonest or

fraudulent rivalry in trade and commere, but is particulary

applied to the practice of endeavoring to substitute one’s own

goods or products in the markets for those of another, having an established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, title, size, shape or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package or those such simulations, the imitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unway purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or

trade name.”

Persaingan tidak jujur adalah peristiwa dimana seseorang untuk menarik

para langganan orang lain kepada perusahaan dirinya sendiri atau demi

perluasan penjualan omzet perusahaanya, menggunakan cara-cara yang

bertentangan denga itikad baik dan kejujuran di dalam perdagangan.64

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dianggap sebagai persaingan curang

khususnya adalah sebagai berikut:65

1. Semua perbuatan yang sifatnya demikian rupa hendak

menciptakan kekacauan (to create confusion) mengenai

perusahaan barang-barang atau usaha industri dan dagang dari seorang konkuren

2. Kenyataan palsu berkenaan dengan perdagangan yang

sifatnya demikian rupa untuk mendiskreditkan usaha pengusaha atau barang, industrial dan komersial daripada seorang pesaing

3. Indikasi atas kenyataan-kenyataan tentang pemakaian dalam

rangka perdagangan yang dapat mengelabuhi unsur khalayak ramai berkenaan dengan sifat, proses pembuatan, sifat-sifat karakteristik dan cocoknya untuk tujuan bersangkutan, berkenaan dengan kuantitas atau barang.

64

R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Tarsito, Bandung, 1981, h. 66. 65 Sudargo Gautama,

(37)

44

Dalam persaingan tidak jujur tersebut yang dilakukan oleh pengusaha yang

tidak beritikad baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan

mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat

yang bukan merupakan haknya. Dengan kata lain pengusaha tersebut dengan

itikad tidak baik telah membonceng reputasi merek yang sudah terkenal.

Salah satu contoh kasus dalam putusan yang berkaitan dengan tindakan

passing off di Indonesia adalah kasus Pierre Cardin, yang telah diputus dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Nomor 15/Pdt.Sus-HKI/2015/PN/Niaga.Jkt.Pst tanggal 9 Juni 2015,66

sebagaimana telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor

557/K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 30 November 2015.67 Dalam kasus

tersebut, pemilik merek terkenal Pierre Cardin (penggugat) mengajukan

gugatan terhadap Alexander Satryo Wibowo (tergugat) yang telah

mendaftarkan merek Pierre Cardin terlebih dahulu di Indonesia. Menurut

penggugat, bahwa tergugat dalam mendaftarkan merek tersebut jelas-jelas

tidak didasarkan dengan itikad baik (baid faith) karena; kata Pierre Cardin

dan logo Pierre Cardin bukanlah kata dan logo yang lazim digunakan di

Indonesia, sehingga sangat jelas apabila tergugat melakukan peniruan yang

disengaja dan bertujuan untuk mendompleng keterkenalan penggugat, dan

berniat untuk membonceng, meniru, menjiplak merek penggugat yang sudah

terkenal secara jalan pintas untuk menyesatkan konsumen. Namun dalam

putusannya, hakim menolak gugatan tersebut. Dengan pertimbangan hukum,

66

http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b5058cfa7cb70012d026e8afbe5381f2, dikunjungi pada tanggal 29 Oktober 2017 pukul 11.30.

(38)

45

bahwa pada saat merek tergugat didaftarkan, merek penggugat dianggap

belum sebagai merek terkenal walaupun merek Pierre Cardin milik penggugat

telah didaftarkan di negara-negara yang tergabung dalam Organisation

Mondiale de la Propriete Inteletuelle (Organisasi Dunia Hak Kekayaan Intelektual), walaupun ada merek dan logo Pierre Cardin tidak lazim

digunakan di Indonesia tidak berarti bahwa pendaftaran merek tergugat

didasarkan pada itikad tidak baik (bad faith), dalam setiap produk tergugat

selalu mencantumkan kata-kata “product byPT Gudang Rejeki”.

Tidak terima gugatannya ditolak, Pierre Cardin mengajukan kasasi. Tetapi

hakim Mahkamah Agung kembali menolak gugatan. Terdapat muncul

dissenting opinion oleh salah satu hakim pada kasus tersebut. Beberapa hakim menganggap bahwa penggunaan merek Pierre Cardin oleh tergugat

bukan merupakan pemboncengan reputasi karena tergugat mencantumkan

kata-kata “product by PT Gudang Rejeki” dalam setiap produknya. Namun,

hakim lain menganggap penggunaan merek dengan susunan kata, huruf, dan

pengucapan yang sama persis dengan bahasa yang tidak lazim digunakan

dalam bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk pemboncengan reputasi.

Dari kasus diatas tersebut, Passing off sebagai salah satu bentuk

pelanggaran hak atas merek mengakibatkan pelaku usaha yang menjadi

korban tindakan ini sulit memperoleh perlindungan hukum. Adanya

faktor-faktor yang memotivasi pelanggaran ini dan juga perilaku masyarakat yang

melakukan pembelian produk passing off menunjukkan bahwa masih

rendahnya pemahaman terhadap norma-norma hukum yang berlaku tentang

(39)

46

Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika pengaturan passing off dalam

sistem hukum merek Amerika Serikat dapat ditemukan pada Bab 43 huruf a

(1) Lanham Act. Lanham Act telah mengakomodasi passing off karena telah

menguraikan elemen-elemen passing off dan memberikan perlindungan

kepada merek serta segala sesuatu pembeda bisnis. Lanham Act memberikan

hak gugat bagi pemilik merek terkenal yang merasa dirugikan akibat tindakan

passing off yang dilakukan oleh pihak lain.

Kenapa merek terkenal mempunyai keistimewaan seperti diatas? Karena

merek tersebut sudah menjadi terkenal dan menjadikannya berbeda secara

umum dengan merek biasa. Terdapat perbedaan perlindungan hukum

terhadap merek terkenal dengan merek biasa pada umunya, yaitu dalam

pendaftaran. Negara-negara maju sangat berkepentingan dalam rangka

memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal karena memiliki

kewajiban untuk melindungi kepentingan warga negaranya di manapun

berada. Dalam hal ini sudah sewajarnya jika merek terkenal mendapatkan

perlindungan khusus. Walaupun di Indonesia masih kurang dalam hal

Referensi

Dokumen terkait

Integrasi rencana pembangunan permukiman berisikan arahan kebijakan pengembangan permukiman di kabupaten/kota tersebut, untuk selanjutnya diterjemahkan pada rencana

1) Umur bisnis ditentukan selama 10 tahun berdasarkan umur bangunan yang digunakan selama usaha, penentuan ini berdasarkan nilai investasi terbesar dalam usaha. 2)

The performance of dynamic evolution control under step load change and step input voltage change con- dition has been tested and compared with single-loop and double-loop

tahfidz al- Qur’an SD PTQ An -Nida, yaitu: Beberapa siswa yang belum bisa membaca al- Qur’an, beberapa siswa tidak mau bersuara ketika pembelajaran Tahfidz,

Persyaratan pelayanan Surat Pernyataan Miskin, yang selanjutnya disingkat SPM, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Walikota, yang didelegasikan kepada Kepala Dinas

Nilai F tabel yang diperoleh dibanding dengan nilai F hitung apabila F hitung lebih besar dari F tabel, maka ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan

Lyginant Egmonto projekto veikloje dalyvavusių ir ne­ dalyvavusitĮ įstaigtĮ darbą, analizuota ikimokyk­ linių įstaigtĮ pedagogų kompetencijų kaita (Sa­ bienė, 2003),

Salam Arif, Hak Milik Intelektual dalam Islam , dalam Antologi Hukum Islam , cet.1, (Yogyakarta: Program Studi Hukum Islam UIN SUKA Yogyakarta, 2010), hlm.. Salam Arif,