• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menciptakan Institusi Militer Yang Profesional

Dalam dokumen KRISIS EKONOMI DESAKAN LIBERALISASI DAN (Halaman 135-152)

Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi Pasca Orde Baru.

2. Menciptakan Institusi Militer Yang Profesional

2.1Pencabutan Dwifungsi

Dari berbagai penjelasan terdahulu telah banyak disebutkan bahwa perkembangan patronase bisnis militer tidak dapat dipisahkan begitu saja dari keberadaan doktrin dwifungsi. Dwifungsi ABRI sebagaimana telah banyak diketahui merupakan dasar legitimasi bagi pihak militer untuk dapat berkecimpung di bidang-bidang lain, diluar persoalan pertahanan. Termasuk di dalamya adalah keterlibatannya dalam praktek- praktek bisnis. Dalam rangka pembentukan kembali militer Indonesia sebagai sebuah institusi kemiliteran yang profesional, sangat jelas bahwa penghapusan atau pencabutan dwifungsi ini sudah menjadi suatu keharusan.

Seperti telah pula disebutkan diatas, terjadinya krisis ekonomi telah pula “menciptakan” kesadaran politik bagi sebagian masyarakat untuk lebih gigih menuntut perubahan di bidang politik dimana penghapusan peran sosial politik militer merupakan salah satunya. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi telah memberikan kesempatan baru bagi masyarakat untuk dapat dengan lebih leluasa menyuarakan berbagai keinginannya, termasuk di dalamnya ialah penghapusan dwifungsi.

Menjelang kejatuhan Suharto, tuntutan akan penghapusan doktrin dwifungsi ABRI ini semakin membesar dan meluas. Suharto sebagai panglima tertinggi Angkatan Bersenjata dengan pangkat Jendral Besarnya, selama Orde Baru telah berhasil menciptakan ketergantungan yang besar dari para pejabat dan perwira militer terhadapnya. Dengan adanya kedua hal tersebut pula ia mampu menentukan siapa-siapa saja yang duduk pada berbagai jabatan strategis, baik itu yang masih berada dibawah struktur organisasi kemiliteran itu sendiri maupun pada berbagai jabatan politik dan birokrasi yang sebenarnya berada di luar struktur kemiliteran atau berbagai jabatan lain yang berhubungan dengan doktrin dwifungsi dan konsep kekaryaan. Dominannya kekuasaan Suharto dalam struktur kemiliteran tersebut akan semakin terlihat apabila kita mencoba mencermati berbagai fenomena atau peristiwa tang terjadi semasa Orde Baru. Karir seorang perwira --terutama perwira tinggi-- dapat saja tiba-tiba melejit atau bahkan terhenti di tengah jalan sesuai dengan kebutuhan politik Suharto. Meski di dalam organisasi kemiliteran itu sendiri dikenal adanya dewan jabatan dan kepangkatan tinggi (Wanjakti), namun pada akhirnya pada keputusan Suharto --terlepas dari jabatannya

sebagai presiden-- pulalah karir seorang perwira akan ditentukan. Hal-hal semacam inilah yang seringkali menimbulkan “kekecewaan” di sebagian kalangan perwira militer. Karena dengan demikian militer memang benar-benar telah menjadi alat bagi kelangsungan kekuasaan Suharto.176 Oleh karena itu wajar apabila kemudian timbul keinginan pada sebagian kecil kalangan militer untuk menghapuskan doktrin dwifungsi dan juga kekaryaan tersebut. Sebab bagaimanapaun juga dengan adanya kedua hal tersebut, maka keterlibatan militer dalam politik dan juga bidang-bidang lain menjadi terlegitimasi.

Tuntutan atas penghapusan doktrin dwifungsi ini sebanarnya bukan lagi menjadi sesuatu yang baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Jika mencermati berbagai penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, nampak bahwa penghapusan peran politik militer adalah kunci utama dari dimulainya sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Untuk hal itulah, maka pencabutan dwifungsi ABRI menjadi faktor yang sangat signifikan. Dan momentum krisis ekonomi ini sebenarnya dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan yang baik bagi pelaksanaan pencabutan dwifungsi tersebut. Karena seperti telah pula dijelaskan pada awal bab ini, bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini telah membalikan semua kenyataan dan fakta yang ada, dimana telah menjadikan posisi tawar menawar negara lebih lemah di hadapan publiknya sendiri.

Apabila kita cermati berbagai tuntutan yang disuarakan oleh masyarakat seperti disebutkan diatas, hal tersebut jelas sekali memperlihatkan bahwa pada masyarakat Indonesia sekarang di masa pasca Orde Baru ini, ada sebuah keinginan yang besar untuk menjadikan militer Indonesia kembali tumbuh sebagai sebuah kekuatan bersenjata yang memang benar-benar hanya berkecimpung dalam persoalan pertahanan (profesional). Tidak lagi turut serta dalam berbagai persoalan sosial politik seperti pada masa-masa sebelumnya. Tuntutan akan adanya pengurangan dan penghapusan fraksi TNI/Polri di DPR atau pemisahan kepolisian dari angkatan bersenjata hanya merupakan sebagian kecil dari tuntutan penghapusan peran politik militer serta pembentukan organisasi militer yang lebih profesional. Namun sekali lagi untuk mencapai itu semua hal pertama yang harus disadari dan dilakukan ialah penghapusan dari doktrin dwifungsi tersebut.

176

Apabila ditelusuri kebelakang sebenarnya telah banyak dari kalangan aktivis pro demokrasi yang sudah terlebih dahulu menuntut penghapusan dwifungsi tersebut di masa Orde Baru. Misalnya saja dalam manifesto Partai Rakyat Demokrat (PRD) --salah satu partai terlarang semasa Orde Baru-- telah pula menuntut akan adanya penghapusan dwifungsi tersebut.177 Begitu pula dengan berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa pada masa-masa awal reformasi. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya pada sebagian kalangan masyarakat sendiri telah tumbuh semacam kesadaran akan pentingnya penghapusan dwifungsi ABRI untuk dapat menciptakan militer Indonesia menjadi lebih profesional sekaligus pembentukan sebuah sistem politik yang lebih demokratis.178

Bila di masyarakat telah terjadi perubahan cara pandang terhadap dwifungsi tersebut, yang kemudian patut dipertanyakan adalah bagaimana institusi militer itu sendiri melihat berbagai tuntutan tersebut. Hal ini menjadi penting karena tuntutan- tuntutan tersebut bisa menjadi tidak telalu efektif tanpa dibarengi dengan adanya keinginan dari pihak militer sendiri untuk mau melakukan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran politiknya.

Militer sendiri pada masa pasca Orde Baru ini sebenarnya sudah dapat dikatakan telah mencoba untuk merubah cara pandang mereka tersebut terhadap doktrin dwifungsi. Dengan dilaksanakannya seminar tentang “Peran ABRI Abad XXI” di Sesko ABRI Bandung tanggal 22-24 September 1998, menunjukan bagaimana pihak militer berusaha untuk menanggapi berbagai keinginan dan tuntutan yang muncul di masyarakat untuk menghapus dwifungsi ABRI. Pengurangan anggota fraksi TNI/Polri179 di DPR, dari 100 orang menjadi 75 orang dan kemudian menjadi 35 orang, penghapusan BAKORTANAS (Badan Koordinasi Pertahanan Nasional), penghapusan jabatan Kassospol (Kepala Staf sosial dan Politik) dan menggantinya dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial), mungkin di satu pihak dapat dikatakan sebagai adanya “kemauan” untuk secara bertahap menghapuskan peran politik militer. Begitu pula halnya dengan demiliterisasi yang

177

Lihat manifesto PRD…. 178

Lihat pula diagram 4 tentang hasil jajak pendapat peran ABRI yang dilakukan oleh LP3ES (Sept-98), Litbang Kompas (4-Okt-98) dan Tabloid Kontan(5-Okt-98). Dikutip dari M Riefqi Muna, “Persepsi Militer Dan Sipil Tentang Dwifungsi: Mengukur Dua Katagori Ganda” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (ed), Hubungan Sipil-Militer Dan Transisi Demokrasi Di Indonesia:Persepsi Sipil Dan Militer, Jakarta, CSIS, 1999, hal:57.

179

diberlakukan kepada beberapa perwira militer yang duduk dalam berbagai jabatan politik dan birokrasi.

Meski demikian nampaknya dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa pejabat dan perwira tinggi militer menunjukan masih adanya keengganan untuk melepaskan sepenuhnya peran sosial politik yang dimilikinya selama ini. Bahkan dari pernyataan yang dilontarkan oleh Jendral Wiranto --pejabat Menhankam dan Pangab semasa akhir Orde Baru-- mengesankan bahwa ada “perasaan tidak bersalah” dari pihak militer dalam melihat barbagai tindakan yang telah dilakukannya selama Orde baru.180 Dengan adanya berbagai pernyataan semacam itu bukan berarti bahwa tidak ada diantara para perwira dan pejabat militer yang menginginkan penghapusan dwifungsi tersebut. Ada beberapa perwira militer --atau yang kemudian seringkali disebut sebagai intelektual militer--, yang kerap kali memberikan kritikan pedas terhadap pelaksanaan dwifungsi tersebut. Sehingga tidak jarang pula hal tersebut mengakibatkan timbulnya friksi-friksi yang tajam diantara para perwira tersebut. Namun demikian, terlepas dari munculnya perpecahan yang muncul kemudian diantara faksi-faksi di dalam tubuh militer, hal-hal tersebut di atas setidaknya telah menunjukan kepada kita bahwa, dalam proses demokratisasi di Indonesia pasca Orde Baru ini akan sangat dibutuhkan peran aktif dari masyarakat yang ditunjukan melalui adanya berbagai tuntutan untuk menghapuskan peran politik (baca:dwifungsi) ABRI. Karena sekali lagi penulis tegaskan bahwa, salah satu prasyarat utama pelaksanaan demokratisasi di Indonesia ialah dihapuskannya dwifungsi ABRI dan berbagai peraturan lain yang juga turut mensahkan adanya keterlibatan militer di bidang sosial, politik termasuk ekonomi.

Namun demikian dalam implementasinya tampaknya juga diperlukan sebuah tindakan yang dianggap cukup realistis. Sebab setelah 30 tahun lebih mendominasi panggung politik Indonesia, tidak mudah bagi militer untuk mau melepaskan dan memberikan peran sosial politik mereka kepada para politisi sipil. Oleh Karenanya di dalam masa transisi menuju terbentuknya supermasi sipil dan militer yang profesional, diperlukan adanya negosisasi kepentingan antara para elit politik sipil dengan pihak militer sehingga terbentuk sebuah platform yang jelas dalam proses demokratisasi di

180

Lihat pula pernyataan Wiranto sebagaimana dikutip dalam: Ikrar Nusa Bhakti et al, Tentara…opcit, hal: 121.

Indonesia pasca Orde Baru. Hal tersebut dibutuhkan agar militer tidak merasa dihilangkan haknya untuk dapat turut serta membangun dan mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Selain itu hal ini juga untuk dapat menciptakan dan mempertahankan “hubungan yang baik” antara politisi sipil dengan militer di kemudian hari. Dan satu hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja dari proses negosiasi kepentingan tersebut ialah, perlunya kesadaran dari kedua pihak bahwa negosiasi itu sendiri merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya rekonsiliasi politik nasional.

2.2 Tuntutan Penghapusan Patronase Bisnis Militer

Setelah melihat besarnya tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI tersebut, kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan nasib berbagai bisnis yang dijalankan oleh militer? Bisnis militer seperti telah seringkali disebutkan diatas sangat menggantungkan proses akumulasi modalnya pada berbagai perwira militer yang banyak duduk di pemerintahan,yang juga merupakan salah satu bentuk nyata pelaksanaan dwifungsi dan kekaryaan. Karenanya ketika di saat pasca Orde Baru ini masyarakat tengah gencar-gencarnya menuntut pencabutan dwifungsi dan profesionalisasi militer (TNI), maka hal tersebut juga dapat diartikan sebagai kemunculan tuntutan penghapusan bisnis militer oleh masyarakat.

Praktek bisnis militer sebagai salah satu warisan dari rezim Orde Baru, kini --di masa pasca Orde Baru-- juga mulai banyak mendapat perhatian dan kritikan dari masyarakat. Jika pada masa sebelumnya keberadaan bisnis militer hampir tidak pernah menjadi perhatian dari orang-orang yang mengkritisi peran sosial politik ABRI, maka saat ini yang terjadi adalah sebaliknya. Kritik untuk menghapuskan praktek bisnis militer sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari tuntutan masyarakat tentang penciptaan militer yang profesional.

Pada awalnya kritik terhadap bisnis militer oleh masyarakat ini muncul hanya di tingkat wacana. Hal ini mungkin masih dapat dimengerti karena di masa awal reformasi, informasi tentang keberadaan bisnis militer tersebut dapat dikatakan masih terbatas. Namun seiring dengan bergulirnya tuntutan reformasi, maka tampaknya masyarakat semakin menyadari bahwa faktor ekonomi dan bisnis sebenarnya telah menjadi salah satu penyebab mengapa militer tetap bersikeras untuk berusaha mempertahankan peran sosial politiknya. Dengan demikian, jika masyarakat menginginkan pencabutan peran sospol

militer, maka adalah sangat tepat apabila hal tersebut juga diikuti dengan tuntutan penghapusan keberadaan bisnis militer.

Dalam keadaan seperti ini jelas bahwa posisi bisnis militer sendiri akan semakin tersudut. Apabila masyarakat juga semakin mendesakan penghapusan bisnis militer ini, tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terwujud. Tetapi patut pula disadari bahwa keberhasilan meniadakan bisnis militer ini sendiri juga sangat tergantung pada posisi militer di dalam konstelasi politik pasca Orde Baru. Karena penulis melihat bahwa, apabila militer yang kini tengah menghadapi berbagai “gempuran” untuk menjadikan dirinya menjadi institusi militer yang profesional berhasil mengkonsolidasikan dirinya lagi dan berhasil kembali dikuasai oleh faksi perwira yang konservatif, maka nampaknya proses penghapusan bisnis militer tersebut dapat saja terhambat. Dan nampaknya perubahan situasi politik yang sangat cepat di masa transisi, sangat memungkinkan hal tersebut terjadi.

Selain itu, meski di masa pasca Orde Baru ini jumlah militer aktif yang duduk dalam struktur birokrasi dan kabinet berkurang --terutama sehubungan dengan adanya program demiliterisasi yang mulai berlaku 1 April 1999--181, hal tersebut tidak berarti bisnis militer tidak lagi mendapat dukungan dari para mantan perwira tersebut. Keberadaan bisnis militer pada masa transisi ini bagi institusi militer masih dianggap sebagai sesuatu yang dibutuhkan, terlepas dari bagaimana pengelolaan dari dana atau keuntungan yang didapatnya. Sehingga apabila masyarakat hendak mendesakan penghapusan bisnis militer, maka agar lebih efektif desakan tersebut tidak hanya didesakan pada institusi militer semata, tetapi juga kepada lembaga-lembaga negara lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Misalnya saja kepada DPR dan Departemen Pertahanan.

Sedangkan bagi bisnis militer dan institusi militer sendiri, desakan yang besar bagi masyarakat untuk meniadakan bisnis militer, sebenarnya merupakan sebuah sarana bagi militer untuk membuktikan seberapa besar komitmen mereka dalam reposisi, reaktualisasi dan redefinisi yang selama ini digembar-gemborkan. Karena apabila praktek patronase bisnis militer tersebut masih dilaksanakan dengan bentuk baru itu sama saja

181

Lihat keputusan yang diambil Wiranto untuk memberikan pilihan pensiun kepada para perwira yang dikaryakan. Ibid, hal:143-145.

dengan mengingkari apa yang telah menjadi komitmen bersama, yaitu menjadikan militer Indonesia di kemudian hari sebagai sebuah institusi kemiliteran yang profesional. Dengan demikian jika pihak militer benar-benar ingin membuktikan bahwa militer pasca Orde Baru berbeda dengan militer di masa Orde Baru, maka di masa transisi inilah mereka harus segera mengurangi dan menghapuskan praktek patronase bisnis yang selama ini dijalankan. Meski kemampuan negara pasca krisis ini masih sangat terbatas, namun hal itu bukan berarti sebuah legitimasi untuk terus mempertahankan keberadaan patronase bisnis. Justru dengan adanya praktek patronase bisnis inilah, yang bisa jadi menghambat investor masuk ke Indonesia. Sebab para investor dengan laissez-faire-nya jelas sangat menginginkan iklim investasi dan persaingan yang sehat.

Sebagai sebuah salah satu bentuk patronase bisnis militer, berbagai unit usaha yang berada di bawah yayasan Kartika Eka Paksi juga tidak bisa melepaskan diri dari adanya berbagai tuntutan penghapusan bisnis militer. Sehingga secara bertahap mereka juga harus mulai memikirkan bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi tekanan masyarakat tersebut. Penulis melihat bahwa apa yang telah dilakukan selama ini bisa terus dilakukan. Penutupan berbagai unit usaha yang tidak lagi produktif dapat dilakukan sebagai tahap pertama penghapusan praktek patronase bisnis militer. Kedua, sebagai sebuah bisnis peninggalan Orde Baru, jelas bisnis yang dijalankannya banyak menggantungkan pada kemudahan yang didapat dari perwira yang duduk dalam jabatan birokrasi dan politik. Hal inilah yang harus dihilangkan dan lebih mengarah kepada pembentukan kelompok usaha yang kompetitif. Seiiring dengan itu, bisnis-bisnis yang berada dibawah yayasan harus mulai memisahkan diri dari struktur kemiliteran. Sehingga pada akhirnya hanya ada sebuah kelompok bisnis yang sama sekali terlepas dari struktur kemiliteran.

Bab VI

Kesimpulan

Mencermati berbagai penjelasan bab-bab sebelumnya, nampak bahwa semasa Orde Baru signifikansi keterlibatan pihak negara dalam proses industrialisasi di Indonesia merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam konteks tersebut, negara muncul sebagai sebuah kekuatan politik dan ekonomi yang paling dominan. Selain itu negara juga merupakan tempat bernaung bagi berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik lainnya.

Seperti juga telah banyak dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, kita tahu bahwa sebagian besar pelaku bisnis dan ekonomi Indonesia masa Orde Baru adalah para pelaku bisnis yang banyak menggantungkan kemajuan usahanya pada patron politik. Sehingga melahirkan praktek-praktek patronase bisnis (bussiness patronage). Adanya praktek patronase bisnis selama masa Orde Baru juga telah terbukti lebih banyak memunculkan dampak negatifnya ketimbang positifnya. Dominasi negara dalam bidang ekonomi selama ini ternyata telah menimbulkan “ketergantungan” yang besar dari para pemilik modal (dalam hal ini pemodal domestik) kepada negara. Hal ini juga diikuti dengan berkembangnya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang banyak dilakukan oleh para birokrat dan pejabat negara lainnya. Dimana pada akhirnya hal tersebut dipandang sebagai salah satu penyebab dari terjadinya ekonomi biaya tinggi. Selain itu yang lebih parahnya lagi dengan adanya praktek patronase bisnis, aset-aset ekonomi negara juga telah berkembang menjadi “sapi perah” bagi para pejabat dan para pengusaha tersebut. Karenanya, jelas tidak akan ada keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.

Jika ditarik kebelakang dominasi negara terhadap para pengusaha tersebut muncul dari adanya penguasaan aset-aset ekonomi oleh negara. Dengan dikuasainya aset- aset ekonomi oleh negara tadi, mengakibatkan para pemodal menjadi tidak dapat berbuat banyak dalam melakukan investasi dan akumulasi modalnya. Apalagi dengan tanpa melibatkan pejabat negara atau birokrat. Selain itu, tiadanya pemodal domestik yang kuat juga merupakan faktor lain mengapa muncul praktek-praktek patronase bisnis. Dari sini negara kemudian disebut memiliki otonomi relatif yang cukup besar terutama di dalam struktur modal. Jadi dengan adanya otonomi relatif tersebut, negara telah berkembang

tidak lagi sekedar sebagai penjaga kekayaan atau kepentingan bisnis yang memungkinkan terciptanya iklim yang kondusif bagi pelaksanaan akumulasi modal.

Lebih jauh lagi, negara melalui para penyelenggaranya justru telah menjadi aktor yang paling signifikan dalam proses akumulasi modal itu sendiri. Bahkan lebih celaka lagi, dengan berbekal eksploitasi terhadap aset-aset ekonomi nasional, penyelenggara negara tersebut telah menjadikan dirinya sebagai pencari rente (rent seekers), yang pada gilirannya turut menciptakan iklim yang kondusif bagi praktek patronase bisnis. Dengan kata lain negara memiliki kepentingan ekonomi sendiri, di luar kepentingan para pengusaha tersebut dan bertindak sesuai dengan kepentingannya tersebut.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, sebagai konsekuensi dari adanya keterlibatan pihak internasional dalam pemulihan ekonomi Indonesia, dapat dipastikan bahwa sistem ekonomi Indonesia pasca krisis akan segera mengalami perubahan besar. Dari penjelasan sebelumnya kita juga telah melihat bahwa pihak-pihak internasional yang banyak terlibat dalam program pemulihan ekonomi Indonesia, menginginkan dan mengharuskan agar sistem ekonomi Indonesia membuka pasar domestiknya seluas- luasnya. Sehingga memungkinkan semua produk yang dihasilkan oleh negara-negara di seluruh dunia dapat masuk dengan lebih leluasa. Bahkan lebih dari itu, dengan sistem ekonomi yang lebih terbuka ini memungkinkan para investor asing dapat lebih leluasa lagi untuk masuk dan “bermain” dengan lebih leluasa di dalam struktur ekonomi Indonesia.

Pemulihan ekonomi dengan melibatkan pihak internasional pada kenyataannya ternyata telah mematahkan dominasi negara dalam ekonomi. Hal ini berarti pula otonomi relatif yang dimiliki negara akan terus mengalami reduksi. Ketidak berdayaan negara sebagai akibat lemahnya dukungan sektor keuangan juga telah melahirkan bentuk-bentuk ketergantungan baru dari negara terhadap pihak internasional. Namun perlu pula disadari bahwa menurunnya tingkat derajat otonomi relatif negara tersebut, tidak lebih sebagai sesuatu yang bersifat temporer. Maksudnya ialah, ketika negara Indonesia pasca kolonial memiliki dukungan finansial yang kuat, maka otonomi relatif yang dimiliki negara juga akan menguat. Karena mereka kemudian memiliki posisi tawar menawar yang juga cukup kuat terhadap pemilik modal (terutama modal asing). Sebaliknya otonomi relatif

ini akan terus mengalami reduksi ketika tidak ada dukungan finansial yang dapat memperkuat posisi negara terhadap pemilik modal.

Dan kalau kita mau melihat kembali ke pada awal kekuasaan Orde Baru dimana situasi ekonomi juga tengah mengalami kehancuran, pemerintah saat itu juga dengan terpaksa mengikuti saran-saran yang diberikan oleh IMF. Tetapi pada masa selanjutnya ketika negara tengah berada dalam masa kelimpahan rezeki minyak, otonomi relatif dari negara itu menguat lagi dan menghasilkan banyak melahirkan praktek patronase bisnis. Jadi nampaknya kalau tidak berhati-hati, apa yang kini tengah terjadi pada pasca Orde Baru ini dapat berubah menjadi sebuah pengulangan sejarah. Dimana keterlibatan negara dalam ekonomi yang kini sedikit demi sedikit dikurangi, namun akan kembali muncul sebagai kekuatan yang dominan tatkala negara kembali memiliki dukungan finansial yang sangat kuat.

Di satu sisi dengan masuknya investor asing ke Indonesia pasca krisis mungkin diharapkan akan mampu membawa ekonomi Indonesia kepada posisi lebih baik. Karena dengan masuknya para investor asing akan memberikan pemasukan devisa yang lebih besar pada negara.Tetapi persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan nasib para pengusaha dan pelaku ekonomi domestik lainnya. Apakah mereka telah siap dan mampu menghadapi mereka. Karena kita tahu bahwa sebagian besar pelaku ekonomi dan bisnis yang berhasil di masa Orde Baru merupakan orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan politik. Dengan kata lain kemampuan kewirausahaan dari para pelaku bisnis Indonesia menjadi patut dipertanyakan kembali. Karena jika tidak hati-hati yang akan terjadi justru hanya sebuah economic genocide dari kekuatan-kekuatan ekonomi domestik.

Mengacu pada penjelasan sebelumnya tentang keberadaan dari patronase bisnis dan kemudian mengkaitkannya dengan kondisi dan situasi ekonomi Indonesia pasca

Dalam dokumen KRISIS EKONOMI DESAKAN LIBERALISASI DAN (Halaman 135-152)

Dokumen terkait