I
I
M
M
P
P
L
L
I
I
K
K
A
A
S
S
I
I
N
N
Y
Y
A
A
B
B
A
A
G
G
I
I
P
P
A
A
T
T
R
R
O
O
N
N
A
A
S
S
E
E
B
B
I
I
S
S
N
N
I
I
S
S
M
M
I
I
L
L
I
I
T
T
E
E
R
R
P
P
A
A
S
S
C
C
A
A
O
O
R
R
D
D
E
E
B
B
A
A
R
R
U
U
O
Olleehh::
N
NuuggrroohhooPPrraattoommoo 0
0999944002200228877
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Bab I
Pendahuluan
1 Latar Belakang Masalah
Ketika kita hendak membicarakan hal-hal tentang politik di Indonesia, ada satu
hal yang sampai kapanpun tidak boleh kita lupakan; militer. Militer Indonesia yang
kesehariannya menamakan dirinya sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI)1, merupakan sebuah kekuatan politik yang selama lebih dari 50 tahun setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berhasil menjadikan dirinya tidak hanya sebagai
kekuatan politik yang dominan, tetapi juga telah menempatkan dirinya dalam posisi yang
menentukan di berbagai bidang lain.2
Militer memang secara idealnya merupakan alat negara yang profesional dibidang
pertahanan, tetapi di dalam kenyataannya sehari-hari di Indonesia militer bukan lagi
sekedar merupakan alat negara, tetapi telah berubah menjadi sebuah kekuatan politik
yang sangat menentukan didalam perjalanan sistem politik Indonesia. Memang benar,
apabila diperhatikan fenomena seperti ini bukan merupakan realitas yang hanya terjadi di
negara Indonesia, namun hal tersebut seakan telah menjadi sebuah kecendrungan umum
yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga.
Sebagai sebuah kekuatan bersenjata, pada dasarnya militer dituntut untuk mau
dan mampu untuk menempatkan dirinya sebagai sebuah organisasi yang profesional
dibidangnya. Dalam The Soldier And The State, Huntington melihat bahwa, pada
dasarnya profesi seorang militer tidaklah memiliki perbedaan yang terlalu signifikan
dengan bentuk profesi profesional lainnya. Ia menyebutkan, dalam profesi militer yang
profesional juga terdapat tiga hal penting yang juga terdapat pada profesi lain. Ketiga hal
tersebut ialah, expertise, responsibility dan corporateness.3
1
Ketika skripsi ini dibuat ABRI telah kembali mnyebut dirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian apabila dalam skripsi ini disebutkan militer, tentara atau ABRI, maka yang dimaksud adalah TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), karena sesungguhnya dalam peta kekuatan politik Orba Angkatan Darat yang menjadi kekuatan dominan.
2
Begitu besarnya keterlibatan militer dalam politik, maka kemudian militer seringkali disebut dengan “The Shadow Government”.
3 The expertise of officership
Peran militer yang sangat dominan dalam praktek-praktek politik di sejumlah
negara, telah turut pula menciptakan rezim yang berkuasa menjadi otoriter. Penguasaan
rezim otoriter atas sebuah negara, secara langsung juga telah menjadikan dominasi negara
atas segala aspek kehidupan. Apabila rezim otoriter tersebut terdiri atas orang-orang yang
berasal dari kalangan militer, maka dalam prakteknya militer pulalah yang berkuasa atas
negara tersebut. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Indonesia (setidaknya selama rezim
Orde Baru), telah menjadi sebuah negara otoriter yang disertai pula oleh adanya dominasi
militer dalam kekuasaan politik. Secara historis, setelah kegagalan kudeta yang dilakukan
pada tahun 1965, militer (baca: Angkatan Darat) telah berhasil menempatkan dirinya
sebagai sebuah kekuatan politik satu-satunya yang berada di dalam lingkaran pusat
kekuasaan politik. Keberadaan Golkar yang juga bentukan pihak militer, kekuasaan yang
tersentralistis, dan terutama adanya konsep dwifungsi telah pula memperkokoh posisi
militer dalam sistem politik Indonesia. Konsep dwifungsi ini juga yang menjadi
legitimasi bagi pihak militer untuk terus dapat bersikap otoriter dalam berbagai persoalan
politik di Indonesia selama Orde Baru.
Ketika berada dalam tahun-tahun pertama kekuasaan Orde Baru, peranan militer
dalam praktek-praktek politik di Indonesia sangat besar. Indonesia yang baru saja
melepaskan diri dari demokrasi terpimpin dibawah Sukarno dan dari sebuah kudeta,
harus langsung berhadapan dengan berbagai persoalan yang dengan segera ditangani.
Kesulitan ekonomi yang membelit seluruh rakyat, hiperinflasi serta jumlah hutang luar
negeri yang kian membengkak, harus dijadikan prioritas penyelesaian bagi rezim Orde
Baru. Namun dari sisi finansial hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dilakukan.
Satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan negara untuk dapat memperbaiki keadaan
ekonomi adalah dengan cara membuka kembali keran investasi asing. Agar para investor
tersebut memiliki kepercayaan untuk mau menginvestasikan modalnya di Indonesia,
pemerintah Orde Baru berkeyakinan bahwa stabilitas politik harus tetap terjaga. Dengan
argumentasi ini, rezim Orde Baru dibawah Suharto menempatkan militer dalam berbagai
bidang, terutama yang dianggap vital, dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Oleh
officership ialah para perwira tersebut dituntut untuk memilki tanggung jawab pada negara, sehingga dimungkinkan untuk mengkoreksi komandannya apabila bertentangan dengan kepentingan nasional Dan
karena itu, sampai kini kita masih dapat melihat para perwira militer yang ditempatkan
dalam posisi-posisi penting dalam jabatan birokrasi sipil, menteri, gubernur sampai
dengan keberadaan fraksi TNI/ Polri di DPR.
Ketika posisi negara secara ekonomi semakin menguat, terutama dengan adanya
boom minyak (oil boom) yang terjadi pada pertengahan 1970an dan awal 1980an juga
telah memberikan dampak tersendiri bagi kalangan militer. Terjadinya kenaikan harga
minyak mentah di pasaran internasional telah memberikan keuntungan yang sangat besar
bagi negara. Sebagai kelanjutan dari adanya penguasaan aset-aset penting negara oleh
pihak militer, adanya boom minyak secara langsung juga semakin memantapkan posisi
militer sebagai kekuatan politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, dalam
posisi yang sangat diuntungkan. Pertamina sebagai pengelola pertambangan minyak
nasional telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sebagai efek
sampingnya Pertamina yang pada saat itu dipimpin oleh seorang militer, juga telah
dijadikan sumber pemasukan terbesar bagi kalangan militer itu sendiri terutama oleh
Angkatan Darat. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan dengan tujuan untuk
memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada negara (baca:militer). Hal ini
dimungkinkan karena militer tersebut juga memiliki posisi yang kuat dalam birokrasi
pemerintahan.
Selain penguasaan atas aset-aset negara, fenomena lain juga yang berkembang di
Indonesia ialah keberadaan berbagai bentuk bisnis militer dalam bentuk
perusahaan-perusahaan yang dipayungi oleh yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi. Hal seperti ini
juga terjadi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Perkembangan dari fenomena bisnis
militer ini menjadi menarik untuk diperhatikan, karena dalam menjalankan bisnisnya
tersebut militer selalu menggunakan potensi yang dimilikinya dalam struktur politik dan
birokrasi. Sedangkan ditingkat teknis pelaksanaannya bisnis militer banyak sekali
melakukan kerjasama dengan para pengusaha, terutama para pengusaha keturunan Cina
atau yang biasa dikenal dengan sebutan cukong. Keterlibatan para pengusaha keturunan
Cina dalam bisnis-bisnis yang dilakukan oleh militer sebenarnya bukan merupakan
barang baru. Pada awal Orde Lama Nasution sebagai kepala staf Angkatan Darat,
mencanangkan adanya program civic mision dalam rangka pemenuhan kebutuhan
sehari-hari para anggotanya. Para perwira di daerah yang banyak mengalami kegagalan dalam
pelaksanaannya, kemudian melakukan kerjasama dengan para pedagang dan para
pengusaha keturunan Cina setempat. Para pedagang dan pengusaha Cina tersebut
bertindak sebagai pelaku bisnis sehari-hari, sedangkan para perwira militer tersebut
dengan kekuasaan yang dimilikinya memberikan perlindungan pada bisnis yang
dijalankan para pengusaha dan pedagang Cina tersebut. Adanya hubungan kolusif
semacam inilah yang kemudian melahirkan istilah "Ali-Baba".4 Bentuk-bentuk kolusi ini
pada masa Orde Baru semakin meluas tidak hanya melibatkan para pengusaha Cina.
Kedekatan pihak militer dengan sumbu kekuasaan juga turut membentuk hubungan bisnis
militer dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Presiden Suharto. Bentuk dan
pengelolaan bisnis-bisnis militer tersebut diatas kiranya dapat memberikan sebuah
gambaran kepada kita, bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi apa yang dikenal
dengan praktek-praktek patronase bisnis.
Sebenarnya keterlibatan militer dalam bidang bisnis atau praktek patronase bisnis
ini, bukan merupakan fenomena "asli" Indonesia. Di beberapa negara dunia ketiga
lainnya, juga terjadi hal serupa. Misalnya saja yang terjadi Thailand sebelum 19735 dan
bahkan seperti yang terjadi di negara Republik Rakyat Cina. Di Thailand sebelum 1973
hampir serupa dengan terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Pada tahun-tahun
tersebut, Thailand beberapa kali mengalami kudeta militer. Dari setiap kudeta militer
tersebut juga melahirkan klik-klik bisnis militer baru, sekaligus meruntuhkan klik bisnis
militer sebelumnya. Sehingga tidak tercipta sebuah kepercayaan di bidang bisnis
(business confidence) yang mempu menggiring investor asing untuk mau menanamkan
4
Tindakan seperti ini terjadi hampir di semua tempat, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan sebelumnya banyak terjadi di beberapa daerah para perwiranya melakukan pungutan ilegal pada para pengusaha, angkutan barang dan tenaga kerja gratis dari para petani. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak adanya kontrol yang efektif dari pusat Dampak yang selanjutnya terjadi adalah meningkatnya penyelundupan terutama di daerah Sumatra dan Sulawesi yang berbuntut pada terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta. Selain itu banyak panglima teritorium membentuk yayasan untuk menjalankan usahanya tersebut. Lihat: Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998, hal:50-53. Penyelundupan itu sendiri masih terjadi dari akhir 1960an sampai awal tahun 70an. Lihat pula Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986, hal: 250.
5
modalnya di Thailand. Perbedaannya dengan bisnis militer di Indonesia, pergantian klik
bisnis militer tersebut tidak terjadi melalui jalan kudeta.
Sementara di Cina keterlibatan pihak militernya dengan bidang bisnis, dapat
dilihat dari kerjasama pihak militer dan bisnis lebih difokuskan pada bisnis-bisnis
berskala besar. Misalnya seperti yang terjadi di dalam China International Trust and
Investment Corporation (CITIC), dimana salah satu pengendali usaha ini dijalankan oleh
seorang mantan militer bernama Wang Jun.6
Dalam perspektif ekonomi politik, fenomena seperti tersebut diatas nampaknya
menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Sebagai salah satu bagian atau alat dari
sebuah negara, militer nampaknya memiliki kepentingan langsung terhadap basis-basis
ekonomi yang dimiliki oleh negara. Apalagi dengan dominannya keterlibatan militer
dalam politik di Indonesia, jelas akan memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada
militer. Farchan Bulkin menyatakan bahwa, negara sebenarnya memiliki hubungan yang
langsung dan erat dengan kondisi, pertumbuhan dan sistem perekonomian yang sedang
berlangsung. Militer sebagai sebuah unsur penting dari sebuah negara ternyata juga
memiliki hubungan yang langsung dan erat dengan ekonomi. Sehingga wajarlah apabila
dalam memahami sebuah institusi militer, kesulitan dan kemudahan negara dalam
mendukung militer secara finansial menjadi patut pula untuk diperhitungkan.7
Kepentingan yang dimiliki militer dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian
membawa militer menjadi salah satu kekuatan ekonomi politik yang patut diperhitungkan
di Indonesia.
Salah satu fenomena yang paling kontekstual pada akhir dekade 1990an ialah
terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di kawasan Asia. Dimana
Indonesia juga termasuk ke dalam salah satu negara yang paling merasakan dampak dari
terjadinya krisis tersebut. Bagi sebuah bentuk patronase bisnis, timbulnya krisis ekonomi
ini nampaknya akan menjadi persoalan tersendiri yang harus dihadapi dan disiasati.
Selain persoalan krisis itu sendiri, dampak atau masalah-masalah baru yang mungkin
timbul dari pilihan (options) yang ditawarkan dalam rangka pemecahan krisis ekonomi
nampaknya menarik pula untuk dicermati. Karena persoalan yang menimpa Indonesia
6
Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:28.
7
bisa dikategorikan sebagai kasus khusus yang disebabkan kompleksnya persoalan yang
timbul di berbagai bidang, maka dalam proses penanganannya-pun tidak bisa dilakukan
secara terpisah-pisah.
Dalam proses penanganan krisis tersebut Sjahrir melihat setidaknya ada empat hal
yang perlu menjadi perhatian dan dicoba untuk dibenahi. Pertama adalah masalah
keadilan. Keadilan disini dalam bentuk kongkritnya dapat dilihat dari perbaikan upah
buruh dan penciptaan suatu situasi yang memungkinkan timbulnya persaingan yang sehat
sehingga menutup kemungkinan adanya crony capitalism seperti masa-masa yang lalu.
Selain itu melakukan pembenahan dalam masalah hubungan pusat dan daerah, sehingga
tidak ada yang merasa paling diuntungkan atau dirugikan. Kedua, pemisahan yang tegas
tentang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di
dalamnya adalah masalah pembentukan berbagai yayasan sebagai sebuah lembaga non
profit namun dalam pelaksanaannya lebih merupakan sebuah perusahaan komersial.
Ketiga adalah masalah demokratisasi, dan yang keempat masalah globalisasi. Masalah
globalisasi ini nampaknya dapat dianggap sebagai persoalan yang sangat penting, karena
perubahan dibidang politik dan ekonomi pada saat ini justru lebih banyak dipengaruhi
oleh hal ini. Selain itu pula di masa yang akan datang peranan dari pergerakan modal
internasional tersebut akan menjadi lebih penting. Sehingga wajar apabila pada akhirnya
nanti ia (modal asing) akan jauh lebih menentukan bahkan dari peran negara sekalipun.8
Dalam memahami peran dari modal asing seperti yang dikemukakan Sjahrir tersebut,
secara otomatis pemahaman tentang globalisasi menjadi sesuatu yang penting. Karena
pergerakan modal asing, baik berupa portofolio, barang impor dan jasa ataupun berupa
multinational corporation tersebut baru dimungkinkan dengan adanya arus globalisasi
yang kini tidak dapat ditolak oleh semua negara di dunia.
Hal yang serupa juga telah disampaikan oleh MacIntyre. Dalam salah satu
tulisannya yang dimuat oleh ASEAN Economic Bulletin, terlihat bahwa ia sangat percaya
bahwa krisis ekonomi yang sedang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara
bukanlah sekedar persoalan yang disebabkan faktor ekonomi semata, tetapi telah pula
menyangkut masalah politik.9 Ketika melihat kasus yang dialami Indonesia terlihat
8
Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:xi-xii.
9
Andrew MacIntyre, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and Indonesia", dalam
bahwa persoalan-persoalan politik seperti terbentuknya rezim otoriter semakin
memperburuk keadaan ekonomi dalam negeri. Menurut MacIntyre, tidak adanya sistem
politik yang demokratis dan kekuasaan politik yang terlalu tersentralistis (berada di
tangan presiden), ternyata telah merusak kepercayaan yang dimiliki oleh para investor
asing.10 Karena dalam kenyataannya dapat terlihat bahwa dengan kekuasaan yang
tersentralistis tersebut, maka pihak pemerintah (presiden) dapat dengan mudah membuat
atau membatalkan berbagai kebijakan yang sangat penting terutama di bidang ekonomi.
MacIntyre juga memperbandingkan krisis yang dialami oleh Indonesia ini dengan yang
terjadi di Thailand. Ia melihat bahwa ternyata di Thailand ketika mulai terjadi krisis,
pemerintah negara tersebut langsung me-respond-nya, sedangkan yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya. Ketika keadaan semakin parah, barulah pemerintah
Indonesia meminta bantuan pada IMF.
Paket bantuan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama yang diterima oleh
Indonesia. Pada masa akhir demokrasi terpimpin (kabinet gotong royong dibawah PM
Djuanda), pemerintah Indonesia juga pernah mengajukan bantuan serupa. Hanya saja
pada masa itu bantuan yang telah dijanjikan tersebut batal direalisasikan karena adanya
masalah-masalah politik yang timbul di dalam negeri. Misalnya saja dengan terjadinya
konfrontasi dengan Malaysia dan banyaknya tentangan dari elit partai politik (PKI) pada
waktu itu. Presiden Sukarno sendiri tidak telalu antusias dengan bantuan untuk perbaikan
ekonomi tersebut, dan lebih mengkonsentrasikan pada masalah-masalah politik.
Adanya pengajuan bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional
(IMF) oleh Indonesia dalam rangka pembenahan keadaan ekonominya bagaimanapun
juga akan turut mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia di masa datang. Ekonomi
Indonesia yang selama Orde Baru tumbuh dan berkembang dengan melibatkan secara
aktif peran negara, dan nampaknya di masa yang akan datang hal ini tidak dapat terus
bertahan. Strategi kebijakan perbaikan dan peningkatan tingkat ekonomi Indonesia di
masa yang akan datang mau tidak mau harus segera diubah. Sebab jika hal tersebut
dipertahankan mustahil bila kita mengharapkan perekonomian Indonesia bisa pulih. Agar
dalam pembenahan ekonomi tersebut Indonesia tidak mengulangi kesalahannya lagi,
maka aspek yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi dan kebijakan
10
ekonomi tersebut mampu menyesuaikan dengan fenomena yang berkembang di dunia
pada saat ini, yaitu liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi (liberalization) yang juga dipercaya sebagai salah satu bagian dari
globalisasi, sebenarnya bukan lagi merupakan hal baru bagi perekonomian Indonesia.
Liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya telah dimulai semenjak kurang lebih 30
tahun yang lalu, yaitu ketika mulai terjadinya perubahan besar di pemerintahan tahun
1966.11 Namun kata liberalisasi seringkali masih "diharamkan" dalam jargon-jargon
politik Indonesia saat itu. Dalam konteks wacana ekonomi di Indonesia sampai saat akhir
dekade 1990an, liberalisasi dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu
antara tahun 1966-1973. Periode kedua yaitu 1982-1991, dan periode ketiga yang dimulai
semenjak tahun 1994, di mana Indonesia telah tergabung ke dalam beberapa blok-blok
ekonomi seperti, AFTA atau WTO.12 Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia proses
liberalisasi dalam ketiga periode tersebut tidak berjalan dengan mulus dan terkesan
lambat. Adanya berbagai kebijakan proteksi, subsidi dan juga berkembangnya
bentuk-bentuk patronase bisnis telah turut pula menghambat jalannya proses liberalisasi ekonomi
Indonesia. Keberanian rezim yang berkuasa saat itu untuk melakukan hal-hal tersebut
dapat lebih dilihat sebagai konsekuensi posisi negara yang relatif kuat dalam sektor
keuangan dan ekonomi, yang misalnya saja ditunjukan dengan cukup besarnya
pendapatan dari sektor minyak.
Apapun yang akan terjadi, pada kenyataannya Indonesia dalam rangka pemulihan
ekonominya telah sepakat untuk meminta bantuan kepada IMF. Kesepakatan yang
pertama telah disepakati pada akhir tahun 1997 dan diikuti dengan kesepakatan kedua
pada 15 Januari 1998. Sebagai sebuah kesepakatan sudah sewajarnya apabila pemerintah
Indonesia melaksanakan hal-hal yang telah disepakatinya tersebut, dengan diikuti
penerimaan segala konsekuensi yang timbul dari adanya kesepakatan tersebut, seperti
diantaranya adanya dorongan untuk segera diadakannya liberalisasi perdagangan, bursa
saham, perbaikan pada sistem harga, penghapusan alokasi-alokasi kredit langsung,
peninjauan kembali berbagai kebijakan bea masuk, restrukturisasi bank-bank nasional,
11
Hadi Soesastro, "A Review of Current an Capital Account Liberalization in Indonesia", dalam
Indonesian Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS, hal:143.
12
peninjauan ulang kebijakan sektor publik termasuk pengeluaran untuk BUMN dan
industri strategis, serta transparansi dalam anggaran pemerintah.13
Pada dasarnya IMF (International Monetary Fund) merupakan sebuah lembaga
keuangan internasional yang tidak ingin secara langsung mencampuri masalah politik
dalam negeri negara yang menjadi debiturnya. Namun dalam implementasinya,
masalah-masalah politik yang muncul di negara-negara tersebut seringkali juga mempengaruhi
berbagai kebijakan ekonomi. Agar pihak IMF mau memberikan bantuannya tersebut ada
beberapa prasyarat yang harus terlebih dahulu dipenuhi oleh negara debitur. Oleh
karenanya prasyarat-prasyarat tadi menjadi bersifat kondisionalitas. Prasyarat-prasyarat
kondisionalitas ini tercantum dalam sebuah kesepakatan bersama yang kemudian dikenal
dengan Letter of Intent (LoI).
Namun selain memunculkan berbagai persoalan baru di bidang ekonomi,
terjadinya krisis ternyata juga membawa persoalan yang lebih kompleks lagi terutama di
bidang politik. Tuntutan reformasi politik yang muncul di kemudian hari juga dapat
dilihat sebagai salah satu implikasi lain dari terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Keinginan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, dimana
tidak ada lagi peran atau keterlibatan militer dalam politik seakan sudah menjadi sebuah
tuntutan yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh siapa saja yang berkuasa di negeri ini.
Pengalaman traumatik hidup selama 32 tahun dibawah bayang-bayang kekuatan militer,
nampaknya turut pula mendidik masyarakat dan bangsa Indonesia untuk lebih peka pada
persoalan-persoalan militerisme. Dimana temasuk di dalamnya adalah keterlibatan militer
di dunia bisnis dan ekonomi.
2 Permasalahan
Dalam penjelasan-penjelasan tersebut diatas, dapat diartikan bahwa liberalisasi
ekonomi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat ditolak kehadirannya oleh negara
manapun, termasuk Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini tuntutan untuk
dilaksanakannya liberalisasi ekonomi dengan seluruh konsekuensi yang ditimbulkannya
(termasuk peminimalan peran negara dalam ekonomi), bagi Indonesia sudah dapat
dikatakan sebagai sebuah keharusan. Karena yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru
13
adalah sebaliknya. Negara Indonesia terutama selama rezim Orde Baru adalah sebuah
rezim yang lebih bersifat otoriterisme-birokratik14 yang didalamnya terdapat berbagai
bentuk patronase bisnis.
Kenyataan yang ada pada akhir dekade 1990an adalah negara Indonesia tengah
dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang untuk penyelesaiannya tidak hanya
dilakukan pada bidang ekonomi semata, namun telah pula menempatkan problem politik
pada level yang signifikan untuk segera dilakukan pembenahan. Hal menarik yang juga
patut diperhatikan dalam memahami krisis ekonomi dan politik Indonesia adalah, bahwa
militer yang memiliki peran di berbagai bidang tadi ternyata telah melakukan bisnis
dengan alasan pemenuhan anggaran yang dirasakan kurang. Militer yang seharusnya
merupakan alat dari sebuah negara yang bertugas dalam bidang pertahanan, dalam
bisnisnya membentuk berbagai perusahaan. Sebagai sebuah bentuk patronase bisnis
(business patronage), bisnis militer mau tidak mau akan menghadapi desakan liberalisasi
yang timbul dari adanya kesepakatan yang ditandatangani oleh Indonesia dan IMF serta
penguatan peran modal asing dalam perekonomian Indonesia.
Berkaitan dengan berbagai hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam
skripsi ini adalah, sejauhmana desakan liberalisasi ekonomi dan politik serta
menguatnya peran modal asing dapat mempengaruhi praktek-praktek bisnis militer
Indonesia pasca Orde Baru yang merupakan salah satu bentuk patronase bisnis.
Namun untuk dapat menelaah hal tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati terlebih
dahulu, yaitu:
(a) Bagaimana organisasi kemiliteran Indonesia yang terbentuk dari berbagai
kelompok-kelompok perjuangan pada pasca kemerdekaan, mulai tumbuh sebagai sebuah
kekuatan politik.
(b) Bagaimana militer yang telah menjadi salah satu kekuatan politik tersebut kemudian
mulai berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam sistem ekonomi
Indonesia pasca proklamasi selama tiga periode (revolusi fisik, demokrasi
parlementer dan demokrasi terpimpin). Dalam penjelasan ketiga periode tersebut akan
14
ditelaah pula bagaimana negara memainkan perannya dalam sistem ekonomi,
terutama dalam membentuk kelompok-kelompok kapital pribumi yang kuat.
(c) Bisnis militer sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kekuatan ekonomi politik
militer mulai berkembang menjadi salah satu bagian dari sistem ekonomi Indonesia
yang patut diperhitungkan selama masa Orde Baru.
(d) Bagaimana patronase bisnis militer pada pasca Orde Baru tersebut menghadapi krisis
ekonomi yang menimpa Asia termasuk Indonesia, serta implikasi yang
ditimbulkannya pada sistem ekonomi Indonesia.
(e) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi liberalisasi ekonomi, yang secara
langsung menuntut pula pengurangan peran negara dalam ekonomi.
(f) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi tekanan demokratisasi dari dalam
negeri, yang secara langsung menuntut penghapusan peran politik militer dan
keberadaan bisnis-bisnis militer.
3 Signifikansi Penelitian
Berbagai studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk berusaha memahami
peran militer Indonesia dalam politik maupun ekonomi. Para Indonesianis seperti Harold
Crouch, Richard Robison, Andrew Mc Intyre atau juga para pengamat politik dalam
negeri seperti yang dilakukan oleh peneliti dari LIPI akhir-akhir ini telah pula melakukan
penelitian serupa. Namun keterlibatan militer dalam politik, serta timbulnya fenomena
patronase bisnis terutama bisnis-bisnis yang dijalankan oleh pihak militer seperti
dijelaskan sebelumnya, menjadi akan semakin menarik untuk dicermati apabila kemudian
dihubungkan dengan masalah-masalah atau fenomena-fenomena baru yang muncul
sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan negara dan pengambilan
kebijakan-kebijakan oleh pemerintah sebelumnya. Keterlibatan pihak asing seperti IMF
serta semakin kuatnya desakan untuk segera memberlakukan liberalisasi ekonomi di
Indonesia, di satu sisi ternyata telah pula mampu untuk mempengaruhi kebijakan
ekonomi yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Sehingga pada akhirnya juga turut
mempengaruhi struktur ekonomi (para pelaku bisnis terutama bisnis-bisnis yang banyak
dilakukan oleh militer). Oleh sebab itu pada akhirnya skripsi ini diharapkan mampu
4 Kerangka Teori.
4.1Pengertian Negara.
Dalam menganalisa permasalahan diatas, penulis akan lebih melihat dari sisi
keberadaan sebuah patronase bisnis, yang dalam hal ini diwakili oleh bisnis militer,
terhadap berbagai konsekuensi yang lahir dari dari adanya "kebijakan-kebijakan" yang
lebih bersifat liberal tersebut. Oleh sebab itulah skripsi ini akan berusaha menganalisanya
dengan menggunakan teori otonomi relatif (relative autonomy).
Dalam pengertian umumnya teori otonomi relatif ini dapat diartikan sebagai,
negara adalah (memiliki) "otonomi yang relatif" berhadapan dengan kelas sosial yang
dominan.15 Namun sebelum menjelaskan mengenai otonomi relatif ini secara lebih
mendalam, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan negara dalam skripsi ini.
Secara umum ada beberapa pengertian tentang konsep negara yang banyak
berkembang sampai saat ini. Arif Budiman seorang sosiolog menyebutkan, ada dua
kesimpulan yang bisa menjelaskan tentang lembaga negara tersebut. Pertama, negara
merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah
masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang
ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara memiliki keabsahan untuk menggunakan
kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah
yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara
merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili
kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang jumlahnya lebih kecil.16 Alfred
Stepan mengartikan negara sebagai sesuatu yang lebih dari "pemerintah". Negara
merupakan suatu sistem administratif, legal, birokratis dan koersif yang
berkesinambungan serta berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara, tetapi juga
untuk menyusun hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta untuk menyusun
15
berbagai hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil.17
Sedangkan untuk melihat negara dalam kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi dan
ideologi, Farchan Bulkin, seorang ahli ekonomi politik berpendapat bahwa negara bisa
dipandang sebagai sebuah institusi umum yang imperatif sifatnya, yang demi
keselamatan ekonominya harus menguasai sebagian sumber ekonomi nasional melalui
sistem perpajakan dan membelanjakannya sesuai kebijakan umum ekonomi. Sehingga
negara memiliki relevansi ekonomi. Struktur pendapatannya tergantung pada struktur
ekonomi dan juga merefleksikan struktur ekonomi yang dominan.18
Namun agar pengertian negara disini tidak meluas dan tetap berada dalam
konteksnya, pengertian negara disini harus tetap diingat, bahwa negara yang
dimaksudkan dalam skripsi ini adalah negara Indonesia masa Orde Baru yang telah
didominasi oleh peran militer di berbagai aspek kehidupan, termasuk dialamnya adalah
aspek politik dan ekonomi. Dalam memahami rezim negara Orde Baru yang berkuasa
juga dapat digunakan model otoriterisme birokratik Guillermo O'Donnell dan
korporatisme negara Philippe C. Schmitter.19 O'Donnell melihat ada lima hal yang
dimiliki otoriterisme birokratik, yaitu pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak
sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan
"teknokrat" sipil. Kedua, Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama
negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, pengambilan
keputusan dalam rezim otoriterisme birokratik bersifat birokratik-teknokratik, sebagai
lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses
bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa
didemobilisasikan, dan kelima, penggunaan tindakan-tindakan represif untuk
mengendalikan oposisi. Dalam konteks Indonesia hal-hal ini jelas terlihat. Dominasi
pihak militer atas lembaga-lembaga politik termasuk presiden yang pada masa awal Orde
Baru bersama teknokrat sipil memperbaiki keadaan ekonomi warisan demokrasi
terpimpin, dukungan kelas-kelas kapitalis yang juga merupakan bentukan rezim
16
Arief Budiman, Teori…op cit, hal:3.
17
Alfred Stepan, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996, hal:14-15.
18
Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian", dalam
Prisma, 2 Februari 1984, Jakarta, LP3ES, hal:7.
19
militeristik Orde Baru, serta birokrasi yang telah didominasi oleh militer dengan konsep
kekaryaannya. Selain itu dalam negara Orde Baru juga dapat dilihat seringkalinya
penggunaan pendekatan militeristik oleh pihak militer Indonesia dalam memecahkan
masalah keamanan.
Schmitter berpendapat bahwa korporatisme adalah suatu sistem perwakilan
kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi
yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling
bersaing, diatur secara herarkis yang diakui atau diberi izin oleh negara dan diberi hak
monopoli, menjadi sangat kontekstual di Indonesia. Karena jika diperhatikan berbagai
korporasi yang merupakan bentuk dari patronase bisnis yang berkembang di Indonesia
jelas memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang disebutkan Schmitter.
Terakhir untuk dapat memahami negara Orde Baru dalam konteks keterlibatan
negara dalam pembentukan kelas-kelas kapital di Indonesia juga dapat digunakan
penjelasan mengenai negara otoriter birokratik (NOB) rente sebagaimana disebutkan oleh
Arief Budiman. Ia menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan negara otoriter
birokratis rente adalah sebuah negara yang bersifat otoriter dan sangat mengandalkan
birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sehingga praktis partisipasi masyarakat
dibendung serta pembangunan ekonomi dan politik dilakukan secara top-down.20
4.2. Pengertian Patronase Bisnis.
Karena yang menjadi pokok bahasan dari skripsi ini adalah pola patronase bisnis,
maka selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian dari patronase bisnis tersebut.
Patronase bisnis sebenarnya hanya merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh para
ahli ekonomi politik untuk memahami sebuah fenomena yang terjadi di beberapa negara
di dunia. Patronase bisnis dapat diartikan sebagai sebuah pola bisnis atau ekonomi yang
terbentuk berdasarkan hubungan patron-klien.21 Karena itu pola patronase bisnis ini pada
umumnya berkembang di dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya patron-klien
(patrimonial) yang sangat kuat.
20
Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hal:14.
21
Agar mempermudah pengertian patronase bisnis ini dalam kaitannya dengan pola
hubungan patron-klien yang merupakan gejala umum di negara-negara Asia Tenggara,
maka di sini akan dijelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan patron-klien
tersebut. Oleh para antropolog "patron-klien" ini seringkali pula diartikan dengan
"solidaritas vertikal".22 Biasanya pola ini banyak terjadi di dalam sistem masyarakat yang
bersifat patrimonial. Lebih lanjut James C. Scott menjelaskan bahwa hubungan
patron-klien dapat diartikan sebagai sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang dapat
dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dua orang yang terutama melibatkan
persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status ekonomi yang lebih
tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan
perlindungan dan/ atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih
rendah (klien). Selanjutnya sang klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan
umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron.23 Jadi secara khusus yang
dimaksudkan dengan praktek atau pola patronase bisnis ialah para pengusaha harus
punya patron politik untuk bisa melakukan akumulasi modal.24 Dengan demikian posisi
patron politik yang pada umumnya berada di tangan para pejabat negara menjadi sangat
penting.
Praktek patronase bisnis ini sebenarnya tidak hanya berkembang di Indonesia
saja. Di beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand, Korea Selatan dan Jepang juga
mengenal patronase bisnis ini. Namun perbedaannya, di negara-negara seperti Korea
Selatan dan Jepang praktek bisnis seperti ini tidak menjadi sesuatu yang berkelanjutan.
Di Korea Selatan misalnya, pada masa awal industrialisasinya rezim dibawah pimpinan
Syngman Rhee juga memberikan berbagai lisensi impor dan alokasi mata uang asing
kepada para chaebol yang dekat dengan para pejabat tinggi dengan tujuan untuk dapat
menyalurkan dukungan dana dan politik kepada rezim. Nilai impor bahkan mencapai
sepuluh kali lipat nilai ekspor. Hal ini juga dapat terjadi berkat dukungan ekonomi yang
kuat dari AS. Pola seperti ini terus terjadi sampai tergulingnya Syngman Rhee.
22
James.C.Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal:1. Namun patut diingat Scott mendefinisikan hal tersebut dalam konteks hubungan patrimonial di tingkat desa.
23Ibid
, hal:7.
24
Pasca Rhee, Korea Selatan mengalami sedikit perubahan. Kemudahan di bidang
ekonomi yang sebelumnya diberikan pada para pengusaha yang dekat dengan kalangan
pejabat, dialihkan kepada para pengusaha yang berhasil mendirikan pabrik baru dan yang
mampu melakukan kegiatan ekspor. Kebijakan industri subtitusi impor (ISI) dilakukan
sebagai salah satu cara untuk dapat mengurangi impor serta meningkatkan nilai ekspor.
Persoalannya hal ini menjadi berbeda ketika terjadi di Indonesia. Keterlibatan negara
yang besar dalam proses industrialisasi tampak menjadi “kelewatan”. Sehingga ketika
terjadi krisis di akhir dekade 1990an, negara menjadi salah satu aktor ekonomi yang
paling bertanggung jawab.
4.3. Teori Otonomi Relatif Negara.
Teori otonomi relatif ini banyak dikembangkan oleh teoritisi neo-Marxis sebagai
kritik atas teori Marxis klasik yang melihat negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa
(dominan). Diantaranya adalah Ralph Miliband, Nicos Poulantzas dan Hamza Alavi,
yang dikenal termasuk Marxis struktural kontemporer. Dalam "The State in Post Colonial
Societies: Pakistan and Bangladesh", disebutkan oleh Alavi bahwa negara pada
masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena
lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut25. Selain itu Alavi juga
melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga
kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah.
Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan
mudah memediasi segala kepentingan mereka.26
Dalam konsep masyarakat feodal yang dimaksudkan dengan kelas yang dominan
adalah kelas bangsawan dan ditambah orang-orang yang berasal dari kalangan gereja.
Ketika dua revolusi besar terjadi (industri dan Perancis), pada saat yang bersamaan
terjadi pulalah perubahan dalam struktur masyarakat yang ada di Eropa. Pengaruh kelas
Bangsawan dan Gereja terhadap negara telah mengalami reduksi. Adanya dua revolusi itu
telah melahirkan kelas borjuis (kapitalis) baru yang lebih memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi negara. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tumbuh dibawah
25
Mengenai pengertian kelas dalam pandangan Marxisme lihat Tom Bottomore (ed), The Dictionary of Marxist Thought,Massacussets, Blackwell Publisher, 1992.
26
Hamza Alavi, The State In Post Colonial Societies:Pakistan and Bangladesh, dikutip dari Vedi R. Hadiz,
hegemoni kelas-kelas borjuasinya. Sedangkan kenyataan yang muncul di negara-negara
dunia ketiga adalah tidak terbentuknya kelas-kelas sosial, terutama kelas borjuis
(kapitalis) yang kuat. Sehingga tidak memungkinkan adanya hegemoni dari kelas-kelas
sosial tertentu terhadap negara.
Tidak tumbuhnya kelas-kelas kapitalis yang kuat dan mandiri di negara-negara
dunia ketiga inilah yang berusaha dijelaskan oleh teori negara pasca kolonial. Teori yang
dikembangkan oleh Hamza Alavi ini melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru
merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika
negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial,
pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial
lainnya. Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara
induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum dan
termasuk pula kekuatan militer dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung
proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang
bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.
Namun dalam perkembangannya ketika negara-negara tersebut mendapatkan
kemerdekaannya, tatanan sosial politik tersebut ternyata tidak mengalami perubahan,
yang terjadi justru hanyalah sebatas pergantian penguasa. Pemerintah nasional yang
terbentuk, mewarisi tatanan kolonial tersebut dengan berbagai kemudahan didalamnya.
Dengan warisan tatanan tersebut pemerintahan (baca:negara) yang baru tersebut memiliki
posisi tawar menawar yang kuat terhadap pemilik modal. Sehingga dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, negara secara terbatas memiliki otonomi terhadap kelas-kelas
sosial yang ada, termasuk kelas-kelas borjuisnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai
otonomi relatif negara.
Otonomi relatif ini sebenarnya tidak hanya terdapat di negara-negara pasca
kolonial saja. Di negara-negara maju juga mengenal otonomi relatif ini. Di negara
industri maju otonomi relatif terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam kelas
borjuasi yang hegemonis untuk menguasai negara sepenuhnya. Sedang pada negara pasca
negara.27 Ketika negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia mendapat
kemerdekaannya, negara-negara itu kemudian memegang peran yang penting dalam
pembentukan kelas-kelas kapitalis. Karenanya dapat dipahami jika pada perkembangan
selanjutnya muncul fenomena-fenomena patronase bisnis di negara-negara tersebut.
Dominasi serta adanya intervensi negara dalam ekonomi itulah yang kemudian
meletakan negara pasca kolonial sebagai sesuatu yang memiliki “sentralitas”,
sebagaimana telah ditegaskan oleh Alavi. Meski penulis sendiri tidak terlalu setuju
dengan tesis “overdeveloped state”-nya Alavi, namun penulis melihat bahwa memang
ada kecenderungan dari negara-negara pasca kolonial yang dalam melakukan strategi
industrialisasinya sangat bergantung kepada negara. Hal ini mengakibatkan kelas-kelas
kapitalis yang muncul menjadi tidak kuat dan mandiri. Dalam konteks ini pula, seperti
telah ditegaskan oleh Zieman dan Landzendorfer, yang patut untuk disadari ialah bahwa
negara memiliki fungsi primer yaitu sebagai penjamin reproduksi sosial, dan itu berarti
adanya penjaminan keberadaan mode produksi kapitalis.28
Selanjutnya yang juga perlu untuk menjadi perhatian di sini ialah bagaimana
keterlibatan aparat birokrasi negara dengan pembentukan kelas-kelas kapital di
negara-negara pasca kolonial, terutama dalam kaitannya dengan otonomi relatif negara-negara. Dalam
konteks ini Alavi melihat bahwa latar belakang sosial atau kelas dari aparat negara
menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Sejalan dengan itu, Shivji dan Saul
juga melihat birokrasi sebagai sebuh kelas atau suatu kelas dalam proses pembentukan.
Dengan demikian baik Shivji maupun Saul dalam hal ini sangat menekankan akan
pentingnya faktor-faktor kesadaran atau kemauan dari orang-orang yang menduduki
posisi-posisi dalam aparat birokrasi negara, terutama dalam mengarahkan perubahan
sosial.
Walau demikian, di dalam kasus negara-negara pasca kolonial, negara
(termasuk di dalamnya para aparatnya) bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan
dalam sebuah proses perubahan sosial. Menurut Ziemann, Lanzendorfer serta didukung
pula oleh Robison, negara bahkan asal usul aparat birokrasi negara, tidak mampu
menentukan arah dari perubahan sosial. Ada batasan-batasan atau faktor-faktor lain yang
27
Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dam INSIST, 1999, hal:55-56.
28
juga patut untuk menjadi perhatian, yaitu proses-proses konflik kelas dan logika
akumulasi modal.29 Dan keduanya harus terjadi terlebih dahulu di dalam masyarakat
pasca kolonial. Bagi penulis pandangan seperti ini setidaknya telah pula memberikan
pengertian lain kepada kita bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam
negara-negara pasca kolonial, bagaimanapun juga tidak akan terlepas dari partisipasi
masyarakat pasca kolonial itu sendiri dalam menciptakan sebuah perubahan.
Sedangkan untuk membantu menjelaskan perubahan politik yang terjadi di
Indonesia sebagai salah satu bentuk implikasi langsung dari terjadinya krisis ekonomi,
dalam skripsi ini penulis juga menggunakan teori atau argumentasi yang disampaikan
oleh Samuel P. Huntington tentang apa yang diistilahkannya sebagai gelombang
demokratisasi ketiga.30 Dalam melihat korelasi antara krisis ekonomi dan proses
demokratisasi, Huntington berpendapat bahwa,
“Pada umumnya ada korelasi antara tingkat pembangunan ekonomi dengan demokrasi, namun tingkat atau pola pembangunan ekonomi itu saja tidak mesti atau tidak memadai untuk mewujudkan demokratisasi.”31
Lebih lanjut Huntington menyebutkan bahwa,
“Perkembangan ekonomi menyediakan sebuah landasan bagi demokrasi; krisis-krisis yang timbul akibat perkembangan yang cepat atau resesi ekonomi melemahkan rezim otoriter.”32
Dari pernyataan diatas jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang
cukup signifikan bagi sebuah proses demokratisasi. Baginya proses demokratisasi tanpa
adanya pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya demokratisasi
tidak akan muncul di negara-negara yang miskin. Ada beberapa argumentasi yang
diberikan oleh Huntington untuk dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi
menjadi faktor penting dalam sebuah proses demokratisasi di suatu negara. Pertama,
dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan kemakmuran
ekonomi masyarakat tersebut ternyata telah membentuk “nilai-nilai dan sikap-sikap
kewarganegaraannya”, menyuburkan rasa tanggung jawab antarpribadi, karena dipercaya,
kepuasan hidup dan kopetensi yang pada gilirannya berkolerasi kuat dengan eksistensi
29
Robison menyebut konflik-konflik kelas ini sebagai struktur kelas. Ibid, hal:66-69.
30
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.
31Ibid
, hal:72
32
lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, perkembangan ekonomi telah meningkatkan taraf
pendidikan masyarakat. Ketiga, dengan adanya perkembangan ekonomi menyebabkan
lebih banyak sumber daya yang dapat didistribusikan di antara kelompok-kelompok
sosial sehingga memudahkan akomodasi dan kompromi. Keempat, perkembangan
ekonomi telah pula mendorong keterbukaan masyarakat bagi perdagangan, investasi,
teknologi, pariwisata dan terutama komunikasi dengan dunia internasional. Dengan
demikian memudahkan ide-ide demokrasi secara umum untuk masuk ke negara tersebut.
Terakhir, menurut Huntington, perkembangan ekonomi telah mendorong meluasnya
kelas menengah. Kelas menengah bagi Huntington meski pada awal fase demokratisasi
kelas menengah tidak mesti sebagai kekuatan pendukung demokratisasi, namun dalam
gerakan demokratisasi gelombang ketiga hampir di setiap negeri didukung oleh kelas
menengah perkotaan. Dimana jika kita mengacu pada kasus Taiwan “pelaku-pelaku
utama perubahan politik adalah kaum intelektual kelas menengah yang lahir selama
periode pertumbuhan ekonomi yang cepat”.33
Meski demikian perlu pula diingat dalam melihat kasus-kasus tertentu ada
beberapa varian yang penting untuk dijadikan perhatian. Sebab bagaimanapun juga dalam
mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di suatu negara, terutama bila kita
hendak melihatnya dari faktor internal yang mempengaruhinya, terdapat beberapa
perbedaan yang tidak dapat dengan mudah digeneralisasi.
4.5 Beberapa pengertian lain.
Selain dari beberapa konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa
istilah atau konsep penting lain yang dirasa perlu untuk dijelaskan disini. Pertama ialah
ekonomi biaya tinggi (high cost economy).Salah satu penyebab terjadinya ekonomi biaya
tinggi ini ialah banyaknya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh
pejabat negara dan birokrasi. Sehingga mengakibatkan peningkatan ongkos produksi
suatu produk. Kedua ialah pemburu rente (rent seekers). Munculnya istilah ini tidak bisa
terlepas dari penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi. Para pejabat negara dan birokrasi
yang melakukan KKN tadi mencoba mencari keuntungan dengan menggunakan aset-aset
yang dimiliki oleh negara. Mereka juga berusaha untuk menjadi patron politik dari para
pengusaha. Ketiga, kapitalisme semu (ersatz capitalism). Konsep ini ditawarkan oleh
33
Yoshihara Kunio sebagai sebuah penggambaran atas fenomena yang terjadi di sebagian
besar negara-negara di Asia Tenggara. Adanya peran pemerintah begitu besar sehingga
mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis.
Hal negatif lain yang ditimbulkan dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah
adanya pencari rente di kalangan birokrat, yang secara langsung dapat menghambat
perkembangan para usahawan sejati. Sedangkan di sisi lain justru muncul
pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sukses sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi
dengan para birokrat untuk mendapatkan fasilitas.34
5 Model Analisa
Variabel Bebas Variabel Terikat
6 Operasionalisasi Konsep
Sebagai variabel terikat dalam skripsi ini ialah bisnis militer Orde Baru,
terutama yang dijalankan oleh Angkatan Darat. Bisnis militer di Indonesia selama Orde
Baru dianggap sebagai salah satu bentuk dari keberadaan patronase bisnis. Hal ini
disebabkan karena militer sebagai bagian dari negara, dalam menjalankan
praktek-praktek bisnisnya sangat mengandalkan hubungan dengan pusat kekuasaan birokrasi
politik, baik sipil ataupun militer ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Hal ini terjadi
34
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1991.
Melemahkan keberadaan Patronase Bisnis:
• Bisnis militer (Angkatan Darat/ Yayasan Kartika Eka Paksi)
Desakan Liberalisasi:
Tekanan institusi keuangan internasional (IMF, World Bank).
Menguatnya peran modal asing (Direct dan , Indirect Investment).
di perusahaan-perusahaan dibawah naungan sebuah yayasan ataupun yang berupa
koperasi-koperasi.
Dalam skripsi ini terdapat dua variabel bebas.Variabel bebas pertama ialah
tekanan institusi internasional. Secara lebih mendalam dapat dilihat, bahwa yang
dimaksudkan dengan tekanan institusi keuangan internasional dalam skripsi ini adalah
prasyarat yang disepakati bersama dengan lembaga keuangan internasional (IMF),
sebagai kondisionalitas pemberian bantuan keuangan pada Indonesia dimasa krisis
ekonomi. Prasyarat yang dimaksudkan diatas dilihat sebagai sebuah sarana atau alat bagi
IMF dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk dapat lebih leluasa memainkan
perannya dalam kebijakan ekonomi Indonesia di masa-masa selanjutnya. Secara kongkrit
yang dimaksudkan dengan prasyarat tersebut ialah hal-hal yang tercantum dalam letter of
intent dengan IMF 15 Januari 1998.
Penguatan modal asing disini diartikan sebagai sebuah bentuk pencapaian
kepentingan yang terakomodir oleh adanya persyaratan yang diajukan oleh IMF.
Sehingga pada akhirnya modal asing menjadi mampu secara lebih besar lagi untuk
mempengaruhi struktur ekonomi Indonesia dibandingkan sebelum masa krisis. Namun
yang patut diingat ialah bahwa kedua variabel bebas ini masih berada dalam satu konsep,
yaitu desakan liberalisasi ekonomi.
Sedangkan varibel bebas kedua ialah tekanan dari masyarakat domestik. Yang
diartikan sebagai tekanan disini ialah bagaimana masyarakat Indonesia secara
keseluruhan mulai secara lebih berani lagi menunjukan “ketidaksukaannya” pada negara,
terutama terhadap adanya dominasi militer dalam politik dan ekonomi.
7 Hipotesa
1. Semakin besar tekanan institusi keuangan dan perdagangan internasional serta
makin kuatnya peran modal asing dalam liberalisasi ekonomi Indonesia pasca
Orde Baru, akan memperlemah posisi patronase bisnis militer Indonesia.
2. Tekanan politik domestik di era transisi dari otoriter ke demokrasi akan
8 Metode Penelitian
Skripsi ini mengunakan pendekatan kualitatif. Penulis memilih metode penelitian ini
karena dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat lebih menjelaskan (eksplanasi)
bagaimana proses mempengaruhi tersebut terjadi. Neuman menyebutkan bahwa salah
satu tujuan dari sebuah penelitian kualitatif ialah untuk menjelaskan sebuah proses
terjadi.35
Dalam skripsi ini sendiri, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan
melalui metode studi dokumen, dan literatur. Sedangkan dalam penjelasan data-data
tersebut digunakan penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat deskriptif.
9 Sistematika Penulisan
Bab I. Pendahuluan. Bab ini menggambarkan tentang latar belakang
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kemudian pokok permasalahan,
penjelasan kerangka teori yang akan digunakan, model analisa, operasionalisasi konsep,
hipotesa, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II. Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi 1945-1965. Bab ini
membahas bagaimana militer mulai memainkan perannya dalam berbagai masalah sosial,
politik dan ekonomi selama tiga periode pasca kemerdekaan (revolusi fisik, demokrasi
parlementer dan demokrasi terpimpin). Hal ini perlu dipahami sebelum melihat lebih jauh
tentang bisnis militer. Karena bagaimanapun juga pelaksanaan bisnis militer akan selalu
didukung oleh adanya militer yang terlibat dalam politik. Selain itu dalam bab ini juga
dibahas mengenai bagaimana negara Indonesia pasca kemerdekaan mulai memainkan
perannya secara lebih aktif dalam membentuk kelas-kelas kapitalis pribumi. Sedang
militer sendiri yang pada saat bersamaan juga tumbuh sebagai kekuatan politik, juga
tampak mulai memainkan perannya dalam bidang ekonomi secara luas.
Bab III. Bisnis Militer: Amal Atau Komersil? Setelah mengetahui asal usul dan
perkembangan keterlibatan militer dalam ekonomi dan politik, maka bab ini mengkaji
perkembangan dari keberadaan bisnis militer pada masa Orde Baru secara lebih
mendalam. Terutama yang dilakukan oleh Yayasan Kartika Eka Paksi. Selain itu juga
35
akan dilihat tujuan serta implikasinya pada sistem politik dan ekonomi di Indonesia masa
Orde Baru.
Bab IV. Liberalisasi Ekonomi Dan Pengaruhnya Pada Patronase Bisnis
Militer.
Adanya fenomena patronase bisnis (bisnis militer) tersebut kemudian menjadi sesuatu
yang menarik untuk diamati secara lebih jauh lagi, terutama hubungannya dengan krisis
ekonomi serta adanya desakan liberalisasi. Karena itu bab ini kemudian juga membahas
tentang bagaimana peran modal asing dalam struktur ekonomi Indonesia (khususnya pada
permasalahan patronase bisnis militer) di masa mendatang.
Bab V. Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi Pasca Orde Baru.
Dengan terjadinya krisis ekonomi tersebut ternyata patronase bisnis militer tidak hanya
harus berhadapan berbagai tantangan baru yang bersifat ekonomi. Terjadinya krisis
ekonomi ternyata di lain pihak juga telah menimbulkan berbagai implikasi politik,
termasuk di dalamnya adalah berkembangnya desakan demokratisasi dari masyarakat.
Dalam bab ini akan dibahas bagaimana kemampuan dan kekuatan masyarakat domestik
dalam penghapusan bisnis militer Indonesia pasca Orde Baru.
Bab II
Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi
1945-1965
Pada awal bagian latar belakang bab I, secara umum dan singkat telah disebutkan
bahwa keterlibatan militer dalam politik Indonesia adalah sangat dominan. Militer di
Indonesia tidak hanya sebagai kekuatan militer semata, tetapi juga telah menjadi
kekuatan sosial politik yang sangat penting. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila
militer Indonesia dapat disebut sebagai aktor utama dalam arena politik di Indonesia.36
Dalam proses perkembangannya menjadi sebuah kekuatan sosial politik yang
dominan di Indonesia setidaknya sampai pemilu 1999, militer Indonesia telah mengalami
berbagai peristiwa politik yang secara otomatis juga turut mempengaruhi pembentukan
karakter dari organisasi kemiliteran itu sendiri. Semenjak proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak
peristiwa politik penting yang terjadi di dalam negara Republik Indonesia, mulai dari
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, pergantian di tingkat elit pemerintahan
sampai dengan penggantian sistim politik yang dianut. Pada saat-saat seperti inilah
militer Indonesia lahir dan berkembang menjadi sebuah kekuatan militer yang juga
sekaligus sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Hal inilah yang telah memberikan
gambaran kepada Harold Crouch bahwa selama masa revolusi fisik tahun 1945 sampai
tahun 1949 tentara telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dimana tindakan politik
dan militer saling menjalin dan tak dapat terpisahkan.37
Agar dapat memahami keterlibatan militer yang begitu besar dalam arena politik
di Indonesia secara lebih mendalam, perlu kiranya terlebih dahulu untuk melihat kembali
bagaimana organisasi kemiliteran itu lahir dan berkembang. Setelah itu kita dapat melihat
bagaimana proses politisasi itu terjadi, terutama pada kalangan elit (perwira) militer itu
36
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Politik Dan Pembangunan, Jakarta, Rajawali Press, 1993, hal:49. Meski demikian dominasi peran militer tersebut hanya terjadi sampai dekade 80an. Dalam perkembangannya yang mendominasi adalah Suharto. Militer sendiri kemudian dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaannya.
37
sendiri. Karena berbagai peristiwa atau gejolak politik tersebut diatas sedikit banyak telah
mempengaruhi dalam penciptaan militer sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang
dominan di Indonesia, maka penulis membagi bab ini menjadi tiga bagian. Bagian
pertama adalah bagaimana organisasi kemiliteran itu terbentuk pada masa-masa awal
kemerdekaan Indonesia. Bagian kedua akan menggambarkan bagaimana awal peran
sosial politik dan ekonomi militer masa demokrasi parlementer sampai tahun 1959,
dimana Sukarno membentuk sebuah Dewan Nasional. Sedangkan bagian ketiga akan
membahas bagaimana peran sosial politik dan ekonomi militer selama demokrasi
terpimpin.
1 Pembentukan Tentara Nasional Indonesia.
Sampai pada saat diproklamasikan kemerdekaannya, Republik Indonesia secara
resmi belum memiliki sebuah institusi angkatan bersenjata yang terorganisir dengan baik.
Pada waktu itu yang ada hanya para pemuda yang sebelumnya tergabung dalam
organisasi-organisasi kemiliteran bentukan Belanda (KNIL) atau yang merupakan
bentukan Jepang seperti Peta dan Heiho. Selain itu juga terdapat laskar-laskar perjuangan
(para militer) di berbagai daerah. Biasanya para pemuda yang tergabung dalam
laskar-laskar perjuangan ini, memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok politik, seperti
Barisan Pelopor (nasionalis) dan Hizbullah (Masjumi).38
Di tengah semakin tidak menentunya situasi dan kondisi politik pada masa itu,
dimana terdapat perbedaan pendapat antara para pemimpin perjuangan (Sukarno-Hatta)
yang menginginkan untuk menempuh jalur diplomasi dengan semangat para pemuda
yang menginginkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan
kemerdekaan39, Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat memutuskan untuk segera
dibentuk sebuah badan yang disebut dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang
(BPKKP) pada tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya dibentuk pula sebuah Badan
Keamanan Rakyat (BKR), yang kedudukannya berada dibawah KNIP dan BPKKP.40
38
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta, LP3ES, 1986, hal: 4.
39
Hal ini oleh Feith dikatakan sebagai awal konflik antara Sukarno dan AD. Lihat Herbert Feith, Sukarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hal:34.
40
Badan ini sendiri berfungsi sebagai memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat
dan badan-badan negara yang bersangkutan.
Meski telah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan bersenjata yang ada,
namun nampaknya keberadaan dari BKR tersebut tidak juga memuaskan para pemuda
pejuang pada waktu itu. Para pemuda pejuang lain yang tidak tergabung dalam BKR
secara sepihak juga telah melucuti persenjataan tentara Jepang. Perintah sekutu kepada
para tentara Jepang untuk mempertahankan keadaan status quo, ternyata di berbagai
wilayah telah menimbulkan bentrokan-bentrokan antara para pemuda dan tentara Jepang
tersebut. Kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administratation), telah
turut memperuncing keadaan keamanan di Indonesia, sehingga menimbulkan
pertempuran-pertempuran di berbagai daerah.
Perkembangan kondisi dan situasi inilah yang kemudian memaksa pemerintah
untuk membentuk sebuah organisasi Angkatan Perang yang lebih kondusif. Selanjutnya
dengan sebuah Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 5 Oktober 1945
dibentuklah sebuah organisasi kemiliteran dengan nama Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Pembentukan TKR ini dimaksudkan untuk menghimpun bekas para anggota
PETA, Heiho dan juga KNIL. Pembentukan TKR kemudian dilanjutkan pula dengan
pengangkatan Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun ternyata
pembentukan TKR juga tidak memberikan kepuasan pada para pemuda. Mereka
menganggap TKR tidak lebih sebagai sebuah bentuk keraguan pemerintah yang masih
ingin menitikberatkan pejuangan diplomasi dibanding perjuang bersenjata seperti yang
mereka inginkan. Mereka juga beranggapan bahwa yang dibutuhkan negara Indonesia
pada saat itu ialah sebuah alat organisasi pertahanan yang bersifat nasional, sehingga
mampu untuk menghadapi sekutu. Oleh sebab itulah, pada tanggal 26 Januari 1946
dikeluarkanlah ketetapan pemerintah tentang pembentukan Tentara Republik Indonesia
(TRI).41 Sebagai hasil konsolidasi TKR Laut dan dikeluarkannya ketetapan baru
no:6/S.D.1946 tentang TRI bagian perhubungan udara, kemudian dibentuk pula
41
Sebelumnya pada tanggal 1 Januari 1946 kata keamanan diganti dengan keselamatan, sehingga menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selain itu nama kementrian keamanan diganti menjadi kementrian
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 19 Juli 1946 dan Angkatan
Udara Republik Indonesia (AURI) 9 April 1946.
Ketika Belanda kembali melakukan agresi militernya, persoalan-persoalan seperti
perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda kembali muncul dan semakin meruncing.
Selain itu, persoalan intern dalam tubuh TRI yang belum terselesaikan juga semakin
bertambah dengan persoalan-persoalan hubungan antara organisasi tentara resmi dengan
para laskar dengan berbagai ideologinya yang seringkali tidak searah dengan strategi dan
orientasi militer. Sebagai solusinya pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkanlah dekrit untuk
membentuk Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, yang pada
akhirnya menghasilkan sebuah ketetapan presiden tanggal 3 Juni 1947 tentang
pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimana para anggotanya terdiri dari
seluruh kekuatan bersenjata, termasuk laskar-laskar perjuangan rakyat.
2 Peran Ekstramiliter Tentara Masa Demokrasi Parlementer.
2.1. Awal Peran Militer Dalam Politik.
Dalam memahami peran politik militer Indonesia, ternyata institusi angkatan
bersenjata yang baru saja terbentuk tersebut, memiliki perbedaan yang sangat signifikan
dengan institusi militer yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini. Pada masa-masa
awal kemerdekaan Indonesia, kekuatan militer Indonesia belum secara langsung terjun
dan terlibat dalam praktek-praktek politik praktis. Para perwira militer masih menerima
asas keunggulan kekuasaan sipil dan menganggap bahwa peranannya di bidang politik
sewaktu-waktu diperlukan, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang
utama. Pergeseran peranan militer sehingga menjadi sebuah kekuatan politik yang utama
ternyata lebih banyak disebabkan pula oleh keadaan dan situasi politik pada saat itu yang
semakin tidak menentu. Memasuki dekade 1950an, negara Indonesia yang baru merdeka
tersebut mencoba untuk menerapkan sebuah sistem politik parlementer. Pemberlakuan
sistem politik ini diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan masyarakat yang
tersalurkan melalui keberadaan partai-partai politik. Namun kenyataan yang ada adalah
sebaliknya. Pada masa demokrasi parlementer tersebut, keberadaan partai-partai politik
tersebut nampaknya justru semakin memperlihatkan perselisihan diantara para elit politik.
golongan, setidaknya telah mengindikasikan perpecahan di dalam elit politik pada waktu
itu.
Selain itu dalam penanganan masalah angkatan bersenjata, para politisi sipil
tersebut juga menunjukan sikap yang tidak tegas, terutama dalam masalah pembentukan
sebuah organisasi kemiliteran. Para politisi sipil tersebut dianggap tidak mampu untuk
menentukan pengangkatan para perwira militer ataupun penentuan organisasi struktural
militer. Hal ini telah menimbulkan sebuah preseden buruk di kalangan militer tentang
para politisi sipil, yang sekaligus pula dapat dianggap sebagai permulaan yang buruk
dalam pembentukan hubungan sipil-militer di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Dalam hal ini, para politisi sipil tersebut sebenarnya juga telah kehilangan sebuah
kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran yang tunduk dan loyal pada
asas keunggulan kekuasaan sipil seperti pernah terjadi pada awal pasca proklamasi.
Sampai akhirnya para perwira militer tersebut memutuskan untuk menentukan sendiri
menteri pertahanan dan panglima mereka.
Hal lain yang juga menambah kekecewaan pihak militer kepada para politisi sipil
ketika itu ialah rencana diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi jumlah kekuatan
militer tahun 1952. Ketika itu keadaan keuangan pemerintah tidak memungkinkan untuk
dapat membiayai sebuah angkatan bersenjata yang besar. Sampai menjelang akhir tahun
1952, angka produk eksport utama Indonesia terus mengalami penurunan.42 Oleh sebab
itulah pada saat kabinet Wilopo berkuasa, untuk mengatasi hal tersebut yang sekaligus
pula merupakan kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran profesional
seperti yang diinginkan oleh para pimpinan militer saat itu (Nasution dan TB
Simatupang). Maka dengan dukungan dari sekjen kementerian pertahanan, Mr Ali
Budiardjo, diadakanlah reorganisasi dan rasionalisasi militer Indonesia dengan cara
melakukan demobilisasi. Dalam Catatan-Catatan Sekitar Politik Indonesia, Nasution
menggambarkan secara jelas jumlah personel militer yang terdemobilisasi ialah, personel
dengan melihat syarat-syarat kesehatan yang kurang memadai lagi sekitar 40.000 orang,
penaksiran akan adanya permintaan berhenti sekitar 30.000 orang, 10.000 orang akan
memasuki masa pensiun dan sisanya sekitar 8000 orang akan meninggalkan angkatan
42