• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS EKONOMI DESAKAN LIBERALISASI DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KRISIS EKONOMI DESAKAN LIBERALISASI DAN"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

I

I

M

M

P

P

L

L

I

I

K

K

A

A

S

S

I

I

N

N

Y

Y

A

A

B

B

A

A

G

G

I

I

P

P

A

A

T

T

R

R

O

O

N

N

A

A

S

S

E

E

B

B

I

I

S

S

N

N

I

I

S

S

M

M

I

I

L

L

I

I

T

T

E

E

R

R

P

P

A

A

S

S

C

C

A

A

O

O

R

R

D

D

E

E

B

B

A

A

R

R

U

U

O

Olleehh::

N

NuuggrroohhooPPrraattoommoo 0

0999944002200228877

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,

(2)

Bab I

Pendahuluan

1 Latar Belakang Masalah

Ketika kita hendak membicarakan hal-hal tentang politik di Indonesia, ada satu

hal yang sampai kapanpun tidak boleh kita lupakan; militer. Militer Indonesia yang

kesehariannya menamakan dirinya sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

(ABRI)1, merupakan sebuah kekuatan politik yang selama lebih dari 50 tahun setelah

proklamasi kemerdekaan Indonesia telah berhasil menjadikan dirinya tidak hanya sebagai

kekuatan politik yang dominan, tetapi juga telah menempatkan dirinya dalam posisi yang

menentukan di berbagai bidang lain.2

Militer memang secara idealnya merupakan alat negara yang profesional dibidang

pertahanan, tetapi di dalam kenyataannya sehari-hari di Indonesia militer bukan lagi

sekedar merupakan alat negara, tetapi telah berubah menjadi sebuah kekuatan politik

yang sangat menentukan didalam perjalanan sistem politik Indonesia. Memang benar,

apabila diperhatikan fenomena seperti ini bukan merupakan realitas yang hanya terjadi di

negara Indonesia, namun hal tersebut seakan telah menjadi sebuah kecendrungan umum

yang banyak terjadi di negara-negara dunia ketiga.

Sebagai sebuah kekuatan bersenjata, pada dasarnya militer dituntut untuk mau

dan mampu untuk menempatkan dirinya sebagai sebuah organisasi yang profesional

dibidangnya. Dalam The Soldier And The State, Huntington melihat bahwa, pada

dasarnya profesi seorang militer tidaklah memiliki perbedaan yang terlalu signifikan

dengan bentuk profesi profesional lainnya. Ia menyebutkan, dalam profesi militer yang

profesional juga terdapat tiga hal penting yang juga terdapat pada profesi lain. Ketiga hal

tersebut ialah, expertise, responsibility dan corporateness.3

1

Ketika skripsi ini dibuat ABRI telah kembali mnyebut dirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian apabila dalam skripsi ini disebutkan militer, tentara atau ABRI, maka yang dimaksud adalah TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), karena sesungguhnya dalam peta kekuatan politik Orba Angkatan Darat yang menjadi kekuatan dominan.

2

Begitu besarnya keterlibatan militer dalam politik, maka kemudian militer seringkali disebut dengan “The Shadow Government”.

3 The expertise of officership

(3)

Peran militer yang sangat dominan dalam praktek-praktek politik di sejumlah

negara, telah turut pula menciptakan rezim yang berkuasa menjadi otoriter. Penguasaan

rezim otoriter atas sebuah negara, secara langsung juga telah menjadikan dominasi negara

atas segala aspek kehidupan. Apabila rezim otoriter tersebut terdiri atas orang-orang yang

berasal dari kalangan militer, maka dalam prakteknya militer pulalah yang berkuasa atas

negara tersebut. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Indonesia (setidaknya selama rezim

Orde Baru), telah menjadi sebuah negara otoriter yang disertai pula oleh adanya dominasi

militer dalam kekuasaan politik. Secara historis, setelah kegagalan kudeta yang dilakukan

pada tahun 1965, militer (baca: Angkatan Darat) telah berhasil menempatkan dirinya

sebagai sebuah kekuatan politik satu-satunya yang berada di dalam lingkaran pusat

kekuasaan politik. Keberadaan Golkar yang juga bentukan pihak militer, kekuasaan yang

tersentralistis, dan terutama adanya konsep dwifungsi telah pula memperkokoh posisi

militer dalam sistem politik Indonesia. Konsep dwifungsi ini juga yang menjadi

legitimasi bagi pihak militer untuk terus dapat bersikap otoriter dalam berbagai persoalan

politik di Indonesia selama Orde Baru.

Ketika berada dalam tahun-tahun pertama kekuasaan Orde Baru, peranan militer

dalam praktek-praktek politik di Indonesia sangat besar. Indonesia yang baru saja

melepaskan diri dari demokrasi terpimpin dibawah Sukarno dan dari sebuah kudeta,

harus langsung berhadapan dengan berbagai persoalan yang dengan segera ditangani.

Kesulitan ekonomi yang membelit seluruh rakyat, hiperinflasi serta jumlah hutang luar

negeri yang kian membengkak, harus dijadikan prioritas penyelesaian bagi rezim Orde

Baru. Namun dari sisi finansial hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dilakukan.

Satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan negara untuk dapat memperbaiki keadaan

ekonomi adalah dengan cara membuka kembali keran investasi asing. Agar para investor

tersebut memiliki kepercayaan untuk mau menginvestasikan modalnya di Indonesia,

pemerintah Orde Baru berkeyakinan bahwa stabilitas politik harus tetap terjaga. Dengan

argumentasi ini, rezim Orde Baru dibawah Suharto menempatkan militer dalam berbagai

bidang, terutama yang dianggap vital, dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Oleh

officership ialah para perwira tersebut dituntut untuk memilki tanggung jawab pada negara, sehingga dimungkinkan untuk mengkoreksi komandannya apabila bertentangan dengan kepentingan nasional Dan

(4)

karena itu, sampai kini kita masih dapat melihat para perwira militer yang ditempatkan

dalam posisi-posisi penting dalam jabatan birokrasi sipil, menteri, gubernur sampai

dengan keberadaan fraksi TNI/ Polri di DPR.

Ketika posisi negara secara ekonomi semakin menguat, terutama dengan adanya

boom minyak (oil boom) yang terjadi pada pertengahan 1970an dan awal 1980an juga

telah memberikan dampak tersendiri bagi kalangan militer. Terjadinya kenaikan harga

minyak mentah di pasaran internasional telah memberikan keuntungan yang sangat besar

bagi negara. Sebagai kelanjutan dari adanya penguasaan aset-aset penting negara oleh

pihak militer, adanya boom minyak secara langsung juga semakin memantapkan posisi

militer sebagai kekuatan politik yang dominan dalam pemerintahan Orde Baru, dalam

posisi yang sangat diuntungkan. Pertamina sebagai pengelola pertambangan minyak

nasional telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara. Sebagai efek

sampingnya Pertamina yang pada saat itu dipimpin oleh seorang militer, juga telah

dijadikan sumber pemasukan terbesar bagi kalangan militer itu sendiri terutama oleh

Angkatan Darat. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan dengan tujuan untuk

memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada negara (baca:militer). Hal ini

dimungkinkan karena militer tersebut juga memiliki posisi yang kuat dalam birokrasi

pemerintahan.

Selain penguasaan atas aset-aset negara, fenomena lain juga yang berkembang di

Indonesia ialah keberadaan berbagai bentuk bisnis militer dalam bentuk

perusahaan-perusahaan yang dipayungi oleh yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi. Hal seperti ini

juga terjadi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Perkembangan dari fenomena bisnis

militer ini menjadi menarik untuk diperhatikan, karena dalam menjalankan bisnisnya

tersebut militer selalu menggunakan potensi yang dimilikinya dalam struktur politik dan

birokrasi. Sedangkan ditingkat teknis pelaksanaannya bisnis militer banyak sekali

melakukan kerjasama dengan para pengusaha, terutama para pengusaha keturunan Cina

atau yang biasa dikenal dengan sebutan cukong. Keterlibatan para pengusaha keturunan

Cina dalam bisnis-bisnis yang dilakukan oleh militer sebenarnya bukan merupakan

barang baru. Pada awal Orde Lama Nasution sebagai kepala staf Angkatan Darat,

(5)

mencanangkan adanya program civic mision dalam rangka pemenuhan kebutuhan

sehari-hari para anggotanya. Para perwira di daerah yang banyak mengalami kegagalan dalam

pelaksanaannya, kemudian melakukan kerjasama dengan para pedagang dan para

pengusaha keturunan Cina setempat. Para pedagang dan pengusaha Cina tersebut

bertindak sebagai pelaku bisnis sehari-hari, sedangkan para perwira militer tersebut

dengan kekuasaan yang dimilikinya memberikan perlindungan pada bisnis yang

dijalankan para pengusaha dan pedagang Cina tersebut. Adanya hubungan kolusif

semacam inilah yang kemudian melahirkan istilah "Ali-Baba".4 Bentuk-bentuk kolusi ini

pada masa Orde Baru semakin meluas tidak hanya melibatkan para pengusaha Cina.

Kedekatan pihak militer dengan sumbu kekuasaan juga turut membentuk hubungan bisnis

militer dengan bisnis yang dilakukan oleh keluarga Presiden Suharto. Bentuk dan

pengelolaan bisnis-bisnis militer tersebut diatas kiranya dapat memberikan sebuah

gambaran kepada kita, bahwa selama ini di Indonesia telah terjadi apa yang dikenal

dengan praktek-praktek patronase bisnis.

Sebenarnya keterlibatan militer dalam bidang bisnis atau praktek patronase bisnis

ini, bukan merupakan fenomena "asli" Indonesia. Di beberapa negara dunia ketiga

lainnya, juga terjadi hal serupa. Misalnya saja yang terjadi Thailand sebelum 19735 dan

bahkan seperti yang terjadi di negara Republik Rakyat Cina. Di Thailand sebelum 1973

hampir serupa dengan terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Pada tahun-tahun

tersebut, Thailand beberapa kali mengalami kudeta militer. Dari setiap kudeta militer

tersebut juga melahirkan klik-klik bisnis militer baru, sekaligus meruntuhkan klik bisnis

militer sebelumnya. Sehingga tidak tercipta sebuah kepercayaan di bidang bisnis

(business confidence) yang mempu menggiring investor asing untuk mau menanamkan

4

Tindakan seperti ini terjadi hampir di semua tempat, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan sebelumnya banyak terjadi di beberapa daerah para perwiranya melakukan pungutan ilegal pada para pengusaha, angkutan barang dan tenaga kerja gratis dari para petani. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak adanya kontrol yang efektif dari pusat Dampak yang selanjutnya terjadi adalah meningkatnya penyelundupan terutama di daerah Sumatra dan Sulawesi yang berbuntut pada terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta. Selain itu banyak panglima teritorium membentuk yayasan untuk menjalankan usahanya tersebut. Lihat: Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis, Bandung, Mizan, 1998, hal:50-53. Penyelundupan itu sendiri masih terjadi dari akhir 1960an sampai awal tahun 70an. Lihat pula Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Sydney, Allen & Unwin, 1986, hal: 250.

5

(6)

modalnya di Thailand. Perbedaannya dengan bisnis militer di Indonesia, pergantian klik

bisnis militer tersebut tidak terjadi melalui jalan kudeta.

Sementara di Cina keterlibatan pihak militernya dengan bidang bisnis, dapat

dilihat dari kerjasama pihak militer dan bisnis lebih difokuskan pada bisnis-bisnis

berskala besar. Misalnya seperti yang terjadi di dalam China International Trust and

Investment Corporation (CITIC), dimana salah satu pengendali usaha ini dijalankan oleh

seorang mantan militer bernama Wang Jun.6

Dalam perspektif ekonomi politik, fenomena seperti tersebut diatas nampaknya

menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Sebagai salah satu bagian atau alat dari

sebuah negara, militer nampaknya memiliki kepentingan langsung terhadap basis-basis

ekonomi yang dimiliki oleh negara. Apalagi dengan dominannya keterlibatan militer

dalam politik di Indonesia, jelas akan memberikan keuntungan yang lebih besar lagi pada

militer. Farchan Bulkin menyatakan bahwa, negara sebenarnya memiliki hubungan yang

langsung dan erat dengan kondisi, pertumbuhan dan sistem perekonomian yang sedang

berlangsung. Militer sebagai sebuah unsur penting dari sebuah negara ternyata juga

memiliki hubungan yang langsung dan erat dengan ekonomi. Sehingga wajarlah apabila

dalam memahami sebuah institusi militer, kesulitan dan kemudahan negara dalam

mendukung militer secara finansial menjadi patut pula untuk diperhitungkan.7

Kepentingan yang dimiliki militer dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian

membawa militer menjadi salah satu kekuatan ekonomi politik yang patut diperhitungkan

di Indonesia.

Salah satu fenomena yang paling kontekstual pada akhir dekade 1990an ialah

terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di kawasan Asia. Dimana

Indonesia juga termasuk ke dalam salah satu negara yang paling merasakan dampak dari

terjadinya krisis tersebut. Bagi sebuah bentuk patronase bisnis, timbulnya krisis ekonomi

ini nampaknya akan menjadi persoalan tersendiri yang harus dihadapi dan disiasati.

Selain persoalan krisis itu sendiri, dampak atau masalah-masalah baru yang mungkin

timbul dari pilihan (options) yang ditawarkan dalam rangka pemecahan krisis ekonomi

nampaknya menarik pula untuk dicermati. Karena persoalan yang menimpa Indonesia

6

Indria Samego et al, Bila ABRI Berbisnis…opcit, hal:28.

7

(7)

bisa dikategorikan sebagai kasus khusus yang disebabkan kompleksnya persoalan yang

timbul di berbagai bidang, maka dalam proses penanganannya-pun tidak bisa dilakukan

secara terpisah-pisah.

Dalam proses penanganan krisis tersebut Sjahrir melihat setidaknya ada empat hal

yang perlu menjadi perhatian dan dicoba untuk dibenahi. Pertama adalah masalah

keadilan. Keadilan disini dalam bentuk kongkritnya dapat dilihat dari perbaikan upah

buruh dan penciptaan suatu situasi yang memungkinkan timbulnya persaingan yang sehat

sehingga menutup kemungkinan adanya crony capitalism seperti masa-masa yang lalu.

Selain itu melakukan pembenahan dalam masalah hubungan pusat dan daerah, sehingga

tidak ada yang merasa paling diuntungkan atau dirugikan. Kedua, pemisahan yang tegas

tentang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di

dalamnya adalah masalah pembentukan berbagai yayasan sebagai sebuah lembaga non

profit namun dalam pelaksanaannya lebih merupakan sebuah perusahaan komersial.

Ketiga adalah masalah demokratisasi, dan yang keempat masalah globalisasi. Masalah

globalisasi ini nampaknya dapat dianggap sebagai persoalan yang sangat penting, karena

perubahan dibidang politik dan ekonomi pada saat ini justru lebih banyak dipengaruhi

oleh hal ini. Selain itu pula di masa yang akan datang peranan dari pergerakan modal

internasional tersebut akan menjadi lebih penting. Sehingga wajar apabila pada akhirnya

nanti ia (modal asing) akan jauh lebih menentukan bahkan dari peran negara sekalipun.8

Dalam memahami peran dari modal asing seperti yang dikemukakan Sjahrir tersebut,

secara otomatis pemahaman tentang globalisasi menjadi sesuatu yang penting. Karena

pergerakan modal asing, baik berupa portofolio, barang impor dan jasa ataupun berupa

multinational corporation tersebut baru dimungkinkan dengan adanya arus globalisasi

yang kini tidak dapat ditolak oleh semua negara di dunia.

Hal yang serupa juga telah disampaikan oleh MacIntyre. Dalam salah satu

tulisannya yang dimuat oleh ASEAN Economic Bulletin, terlihat bahwa ia sangat percaya

bahwa krisis ekonomi yang sedang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara

bukanlah sekedar persoalan yang disebabkan faktor ekonomi semata, tetapi telah pula

menyangkut masalah politik.9 Ketika melihat kasus yang dialami Indonesia terlihat

8

Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:xi-xii.

9

Andrew MacIntyre, "Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and Indonesia", dalam

(8)

bahwa persoalan-persoalan politik seperti terbentuknya rezim otoriter semakin

memperburuk keadaan ekonomi dalam negeri. Menurut MacIntyre, tidak adanya sistem

politik yang demokratis dan kekuasaan politik yang terlalu tersentralistis (berada di

tangan presiden), ternyata telah merusak kepercayaan yang dimiliki oleh para investor

asing.10 Karena dalam kenyataannya dapat terlihat bahwa dengan kekuasaan yang

tersentralistis tersebut, maka pihak pemerintah (presiden) dapat dengan mudah membuat

atau membatalkan berbagai kebijakan yang sangat penting terutama di bidang ekonomi.

MacIntyre juga memperbandingkan krisis yang dialami oleh Indonesia ini dengan yang

terjadi di Thailand. Ia melihat bahwa ternyata di Thailand ketika mulai terjadi krisis,

pemerintah negara tersebut langsung me-respond-nya, sedangkan yang terjadi di

Indonesia justru sebaliknya. Ketika keadaan semakin parah, barulah pemerintah

Indonesia meminta bantuan pada IMF.

Paket bantuan semacam ini sebenarnya bukan kali pertama yang diterima oleh

Indonesia. Pada masa akhir demokrasi terpimpin (kabinet gotong royong dibawah PM

Djuanda), pemerintah Indonesia juga pernah mengajukan bantuan serupa. Hanya saja

pada masa itu bantuan yang telah dijanjikan tersebut batal direalisasikan karena adanya

masalah-masalah politik yang timbul di dalam negeri. Misalnya saja dengan terjadinya

konfrontasi dengan Malaysia dan banyaknya tentangan dari elit partai politik (PKI) pada

waktu itu. Presiden Sukarno sendiri tidak telalu antusias dengan bantuan untuk perbaikan

ekonomi tersebut, dan lebih mengkonsentrasikan pada masalah-masalah politik.

Adanya pengajuan bantuan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional

(IMF) oleh Indonesia dalam rangka pembenahan keadaan ekonominya bagaimanapun

juga akan turut mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia di masa datang. Ekonomi

Indonesia yang selama Orde Baru tumbuh dan berkembang dengan melibatkan secara

aktif peran negara, dan nampaknya di masa yang akan datang hal ini tidak dapat terus

bertahan. Strategi kebijakan perbaikan dan peningkatan tingkat ekonomi Indonesia di

masa yang akan datang mau tidak mau harus segera diubah. Sebab jika hal tersebut

dipertahankan mustahil bila kita mengharapkan perekonomian Indonesia bisa pulih. Agar

dalam pembenahan ekonomi tersebut Indonesia tidak mengulangi kesalahannya lagi,

maka aspek yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi dan kebijakan

10

(9)

ekonomi tersebut mampu menyesuaikan dengan fenomena yang berkembang di dunia

pada saat ini, yaitu liberalisasi ekonomi.

Liberalisasi (liberalization) yang juga dipercaya sebagai salah satu bagian dari

globalisasi, sebenarnya bukan lagi merupakan hal baru bagi perekonomian Indonesia.

Liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya telah dimulai semenjak kurang lebih 30

tahun yang lalu, yaitu ketika mulai terjadinya perubahan besar di pemerintahan tahun

1966.11 Namun kata liberalisasi seringkali masih "diharamkan" dalam jargon-jargon

politik Indonesia saat itu. Dalam konteks wacana ekonomi di Indonesia sampai saat akhir

dekade 1990an, liberalisasi dapat dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu

antara tahun 1966-1973. Periode kedua yaitu 1982-1991, dan periode ketiga yang dimulai

semenjak tahun 1994, di mana Indonesia telah tergabung ke dalam beberapa blok-blok

ekonomi seperti, AFTA atau WTO.12 Dalam perkembangan ekonomi di Indonesia proses

liberalisasi dalam ketiga periode tersebut tidak berjalan dengan mulus dan terkesan

lambat. Adanya berbagai kebijakan proteksi, subsidi dan juga berkembangnya

bentuk-bentuk patronase bisnis telah turut pula menghambat jalannya proses liberalisasi ekonomi

Indonesia. Keberanian rezim yang berkuasa saat itu untuk melakukan hal-hal tersebut

dapat lebih dilihat sebagai konsekuensi posisi negara yang relatif kuat dalam sektor

keuangan dan ekonomi, yang misalnya saja ditunjukan dengan cukup besarnya

pendapatan dari sektor minyak.

Apapun yang akan terjadi, pada kenyataannya Indonesia dalam rangka pemulihan

ekonominya telah sepakat untuk meminta bantuan kepada IMF. Kesepakatan yang

pertama telah disepakati pada akhir tahun 1997 dan diikuti dengan kesepakatan kedua

pada 15 Januari 1998. Sebagai sebuah kesepakatan sudah sewajarnya apabila pemerintah

Indonesia melaksanakan hal-hal yang telah disepakatinya tersebut, dengan diikuti

penerimaan segala konsekuensi yang timbul dari adanya kesepakatan tersebut, seperti

diantaranya adanya dorongan untuk segera diadakannya liberalisasi perdagangan, bursa

saham, perbaikan pada sistem harga, penghapusan alokasi-alokasi kredit langsung,

peninjauan kembali berbagai kebijakan bea masuk, restrukturisasi bank-bank nasional,

11

Hadi Soesastro, "A Review of Current an Capital Account Liberalization in Indonesia", dalam

Indonesian Quarterly, Vol: XXVI/1998, no:2, Jakarta, CSIS, hal:143.

12

(10)

peninjauan ulang kebijakan sektor publik termasuk pengeluaran untuk BUMN dan

industri strategis, serta transparansi dalam anggaran pemerintah.13

Pada dasarnya IMF (International Monetary Fund) merupakan sebuah lembaga

keuangan internasional yang tidak ingin secara langsung mencampuri masalah politik

dalam negeri negara yang menjadi debiturnya. Namun dalam implementasinya,

masalah-masalah politik yang muncul di negara-negara tersebut seringkali juga mempengaruhi

berbagai kebijakan ekonomi. Agar pihak IMF mau memberikan bantuannya tersebut ada

beberapa prasyarat yang harus terlebih dahulu dipenuhi oleh negara debitur. Oleh

karenanya prasyarat-prasyarat tadi menjadi bersifat kondisionalitas. Prasyarat-prasyarat

kondisionalitas ini tercantum dalam sebuah kesepakatan bersama yang kemudian dikenal

dengan Letter of Intent (LoI).

Namun selain memunculkan berbagai persoalan baru di bidang ekonomi,

terjadinya krisis ternyata juga membawa persoalan yang lebih kompleks lagi terutama di

bidang politik. Tuntutan reformasi politik yang muncul di kemudian hari juga dapat

dilihat sebagai salah satu implikasi lain dari terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.

Keinginan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, dimana

tidak ada lagi peran atau keterlibatan militer dalam politik seakan sudah menjadi sebuah

tuntutan yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh siapa saja yang berkuasa di negeri ini.

Pengalaman traumatik hidup selama 32 tahun dibawah bayang-bayang kekuatan militer,

nampaknya turut pula mendidik masyarakat dan bangsa Indonesia untuk lebih peka pada

persoalan-persoalan militerisme. Dimana temasuk di dalamnya adalah keterlibatan militer

di dunia bisnis dan ekonomi.

2 Permasalahan

Dalam penjelasan-penjelasan tersebut diatas, dapat diartikan bahwa liberalisasi

ekonomi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat ditolak kehadirannya oleh negara

manapun, termasuk Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini tuntutan untuk

dilaksanakannya liberalisasi ekonomi dengan seluruh konsekuensi yang ditimbulkannya

(termasuk peminimalan peran negara dalam ekonomi), bagi Indonesia sudah dapat

dikatakan sebagai sebuah keharusan. Karena yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru

13

(11)

adalah sebaliknya. Negara Indonesia terutama selama rezim Orde Baru adalah sebuah

rezim yang lebih bersifat otoriterisme-birokratik14 yang didalamnya terdapat berbagai

bentuk patronase bisnis.

Kenyataan yang ada pada akhir dekade 1990an adalah negara Indonesia tengah

dihadapkan pada sebuah krisis ekonomi yang untuk penyelesaiannya tidak hanya

dilakukan pada bidang ekonomi semata, namun telah pula menempatkan problem politik

pada level yang signifikan untuk segera dilakukan pembenahan. Hal menarik yang juga

patut diperhatikan dalam memahami krisis ekonomi dan politik Indonesia adalah, bahwa

militer yang memiliki peran di berbagai bidang tadi ternyata telah melakukan bisnis

dengan alasan pemenuhan anggaran yang dirasakan kurang. Militer yang seharusnya

merupakan alat dari sebuah negara yang bertugas dalam bidang pertahanan, dalam

bisnisnya membentuk berbagai perusahaan. Sebagai sebuah bentuk patronase bisnis

(business patronage), bisnis militer mau tidak mau akan menghadapi desakan liberalisasi

yang timbul dari adanya kesepakatan yang ditandatangani oleh Indonesia dan IMF serta

penguatan peran modal asing dalam perekonomian Indonesia.

Berkaitan dengan berbagai hal tersebut, permasalahan yang akan dijawab dalam

skripsi ini adalah, sejauhmana desakan liberalisasi ekonomi dan politik serta

menguatnya peran modal asing dapat mempengaruhi praktek-praktek bisnis militer

Indonesia pasca Orde Baru yang merupakan salah satu bentuk patronase bisnis.

Namun untuk dapat menelaah hal tersebut ada beberapa hal yang perlu dicermati terlebih

dahulu, yaitu:

(a) Bagaimana organisasi kemiliteran Indonesia yang terbentuk dari berbagai

kelompok-kelompok perjuangan pada pasca kemerdekaan, mulai tumbuh sebagai sebuah

kekuatan politik.

(b) Bagaimana militer yang telah menjadi salah satu kekuatan politik tersebut kemudian

mulai berkembang sebagai sebuah kekuatan ekonomi dalam sistem ekonomi

Indonesia pasca proklamasi selama tiga periode (revolusi fisik, demokrasi

parlementer dan demokrasi terpimpin). Dalam penjelasan ketiga periode tersebut akan

14

(12)

ditelaah pula bagaimana negara memainkan perannya dalam sistem ekonomi,

terutama dalam membentuk kelompok-kelompok kapital pribumi yang kuat.

(c) Bisnis militer sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kekuatan ekonomi politik

militer mulai berkembang menjadi salah satu bagian dari sistem ekonomi Indonesia

yang patut diperhitungkan selama masa Orde Baru.

(d) Bagaimana patronase bisnis militer pada pasca Orde Baru tersebut menghadapi krisis

ekonomi yang menimpa Asia termasuk Indonesia, serta implikasi yang

ditimbulkannya pada sistem ekonomi Indonesia.

(e) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi liberalisasi ekonomi, yang secara

langsung menuntut pula pengurangan peran negara dalam ekonomi.

(f) Bagaimana patronase bisnis militer menghadapi tekanan demokratisasi dari dalam

negeri, yang secara langsung menuntut penghapusan peran politik militer dan

keberadaan bisnis-bisnis militer.

3 Signifikansi Penelitian

Berbagai studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk berusaha memahami

peran militer Indonesia dalam politik maupun ekonomi. Para Indonesianis seperti Harold

Crouch, Richard Robison, Andrew Mc Intyre atau juga para pengamat politik dalam

negeri seperti yang dilakukan oleh peneliti dari LIPI akhir-akhir ini telah pula melakukan

penelitian serupa. Namun keterlibatan militer dalam politik, serta timbulnya fenomena

patronase bisnis terutama bisnis-bisnis yang dijalankan oleh pihak militer seperti

dijelaskan sebelumnya, menjadi akan semakin menarik untuk dicermati apabila kemudian

dihubungkan dengan masalah-masalah atau fenomena-fenomena baru yang muncul

sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan negara dan pengambilan

kebijakan-kebijakan oleh pemerintah sebelumnya. Keterlibatan pihak asing seperti IMF

serta semakin kuatnya desakan untuk segera memberlakukan liberalisasi ekonomi di

Indonesia, di satu sisi ternyata telah pula mampu untuk mempengaruhi kebijakan

ekonomi yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Sehingga pada akhirnya juga turut

mempengaruhi struktur ekonomi (para pelaku bisnis terutama bisnis-bisnis yang banyak

dilakukan oleh militer). Oleh sebab itu pada akhirnya skripsi ini diharapkan mampu

(13)

4 Kerangka Teori.

4.1Pengertian Negara.

Dalam menganalisa permasalahan diatas, penulis akan lebih melihat dari sisi

keberadaan sebuah patronase bisnis, yang dalam hal ini diwakili oleh bisnis militer,

terhadap berbagai konsekuensi yang lahir dari dari adanya "kebijakan-kebijakan" yang

lebih bersifat liberal tersebut. Oleh sebab itulah skripsi ini akan berusaha menganalisanya

dengan menggunakan teori otonomi relatif (relative autonomy).

Dalam pengertian umumnya teori otonomi relatif ini dapat diartikan sebagai,

negara adalah (memiliki) "otonomi yang relatif" berhadapan dengan kelas sosial yang

dominan.15 Namun sebelum menjelaskan mengenai otonomi relatif ini secara lebih

mendalam, penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang jelas tentang apa yang

dimaksud dengan negara dalam skripsi ini.

Secara umum ada beberapa pengertian tentang konsep negara yang banyak

berkembang sampai saat ini. Arif Budiman seorang sosiolog menyebutkan, ada dua

kesimpulan yang bisa menjelaskan tentang lembaga negara tersebut. Pertama, negara

merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di dalam sebuah

masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang

ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara memiliki keabsahan untuk menggunakan

kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah

yang dikeluarkannya. Kedua, kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara

merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sebagai lembaga yang mewakili

kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan

kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat yang jumlahnya lebih kecil.16 Alfred

Stepan mengartikan negara sebagai sesuatu yang lebih dari "pemerintah". Negara

merupakan suatu sistem administratif, legal, birokratis dan koersif yang

berkesinambungan serta berusaha untuk tidak hanya mengelola aparat negara, tetapi juga

untuk menyusun hubungan antara kekuasaan sipil dan pemerintah, serta untuk menyusun

15

(14)

berbagai hubungan mendasar dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil.17

Sedangkan untuk melihat negara dalam kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi dan

ideologi, Farchan Bulkin, seorang ahli ekonomi politik berpendapat bahwa negara bisa

dipandang sebagai sebuah institusi umum yang imperatif sifatnya, yang demi

keselamatan ekonominya harus menguasai sebagian sumber ekonomi nasional melalui

sistem perpajakan dan membelanjakannya sesuai kebijakan umum ekonomi. Sehingga

negara memiliki relevansi ekonomi. Struktur pendapatannya tergantung pada struktur

ekonomi dan juga merefleksikan struktur ekonomi yang dominan.18

Namun agar pengertian negara disini tidak meluas dan tetap berada dalam

konteksnya, pengertian negara disini harus tetap diingat, bahwa negara yang

dimaksudkan dalam skripsi ini adalah negara Indonesia masa Orde Baru yang telah

didominasi oleh peran militer di berbagai aspek kehidupan, termasuk dialamnya adalah

aspek politik dan ekonomi. Dalam memahami rezim negara Orde Baru yang berkuasa

juga dapat digunakan model otoriterisme birokratik Guillermo O'Donnell dan

korporatisme negara Philippe C. Schmitter.19 O'Donnell melihat ada lima hal yang

dimiliki otoriterisme birokratik, yaitu pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak

sebagai diktaktor pribadi, melainkan sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan

"teknokrat" sipil. Kedua, Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik, yang bersama

negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, pengambilan

keputusan dalam rezim otoriterisme birokratik bersifat birokratik-teknokratik, sebagai

lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses

bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, massa

didemobilisasikan, dan kelima, penggunaan tindakan-tindakan represif untuk

mengendalikan oposisi. Dalam konteks Indonesia hal-hal ini jelas terlihat. Dominasi

pihak militer atas lembaga-lembaga politik termasuk presiden yang pada masa awal Orde

Baru bersama teknokrat sipil memperbaiki keadaan ekonomi warisan demokrasi

terpimpin, dukungan kelas-kelas kapitalis yang juga merupakan bentukan rezim

16

Arief Budiman, Teori…op cit, hal:3.

17

Alfred Stepan, Militer Dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil Dan Beberapa Negara Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996, hal:14-15.

18

Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian", dalam

Prisma, 2 Februari 1984, Jakarta, LP3ES, hal:7.

19

(15)

militeristik Orde Baru, serta birokrasi yang telah didominasi oleh militer dengan konsep

kekaryaannya. Selain itu dalam negara Orde Baru juga dapat dilihat seringkalinya

penggunaan pendekatan militeristik oleh pihak militer Indonesia dalam memecahkan

masalah keamanan.

Schmitter berpendapat bahwa korporatisme adalah suatu sistem perwakilan

kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi

yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling

bersaing, diatur secara herarkis yang diakui atau diberi izin oleh negara dan diberi hak

monopoli, menjadi sangat kontekstual di Indonesia. Karena jika diperhatikan berbagai

korporasi yang merupakan bentuk dari patronase bisnis yang berkembang di Indonesia

jelas memiliki kesamaan dengan ciri-ciri yang disebutkan Schmitter.

Terakhir untuk dapat memahami negara Orde Baru dalam konteks keterlibatan

negara dalam pembentukan kelas-kelas kapital di Indonesia juga dapat digunakan

penjelasan mengenai negara otoriter birokratik (NOB) rente sebagaimana disebutkan oleh

Arief Budiman. Ia menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan negara otoriter

birokratis rente adalah sebuah negara yang bersifat otoriter dan sangat mengandalkan

birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Sehingga praktis partisipasi masyarakat

dibendung serta pembangunan ekonomi dan politik dilakukan secara top-down.20

4.2. Pengertian Patronase Bisnis.

Karena yang menjadi pokok bahasan dari skripsi ini adalah pola patronase bisnis,

maka selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian dari patronase bisnis tersebut.

Patronase bisnis sebenarnya hanya merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh para

ahli ekonomi politik untuk memahami sebuah fenomena yang terjadi di beberapa negara

di dunia. Patronase bisnis dapat diartikan sebagai sebuah pola bisnis atau ekonomi yang

terbentuk berdasarkan hubungan patron-klien.21 Karena itu pola patronase bisnis ini pada

umumnya berkembang di dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya patron-klien

(patrimonial) yang sangat kuat.

20

Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi Tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hal:14.

21

(16)

Agar mempermudah pengertian patronase bisnis ini dalam kaitannya dengan pola

hubungan patron-klien yang merupakan gejala umum di negara-negara Asia Tenggara,

maka di sini akan dijelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan patron-klien

tersebut. Oleh para antropolog "patron-klien" ini seringkali pula diartikan dengan

"solidaritas vertikal".22 Biasanya pola ini banyak terjadi di dalam sistem masyarakat yang

bersifat patrimonial. Lebih lanjut James C. Scott menjelaskan bahwa hubungan

patron-klien dapat diartikan sebagai sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang dapat

dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dua orang yang terutama melibatkan

persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status ekonomi yang lebih

tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan

perlindungan dan/ atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih

rendah (klien). Selanjutnya sang klien akan membalasnya dengan menawarkan dukungan

umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron.23 Jadi secara khusus yang

dimaksudkan dengan praktek atau pola patronase bisnis ialah para pengusaha harus

punya patron politik untuk bisa melakukan akumulasi modal.24 Dengan demikian posisi

patron politik yang pada umumnya berada di tangan para pejabat negara menjadi sangat

penting.

Praktek patronase bisnis ini sebenarnya tidak hanya berkembang di Indonesia

saja. Di beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand, Korea Selatan dan Jepang juga

mengenal patronase bisnis ini. Namun perbedaannya, di negara-negara seperti Korea

Selatan dan Jepang praktek bisnis seperti ini tidak menjadi sesuatu yang berkelanjutan.

Di Korea Selatan misalnya, pada masa awal industrialisasinya rezim dibawah pimpinan

Syngman Rhee juga memberikan berbagai lisensi impor dan alokasi mata uang asing

kepada para chaebol yang dekat dengan para pejabat tinggi dengan tujuan untuk dapat

menyalurkan dukungan dana dan politik kepada rezim. Nilai impor bahkan mencapai

sepuluh kali lipat nilai ekspor. Hal ini juga dapat terjadi berkat dukungan ekonomi yang

kuat dari AS. Pola seperti ini terus terjadi sampai tergulingnya Syngman Rhee.

22

James.C.Scott, Perlawanan Kaum Tani, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal:1. Namun patut diingat Scott mendefinisikan hal tersebut dalam konteks hubungan patrimonial di tingkat desa.

23Ibid

, hal:7.

24

(17)

Pasca Rhee, Korea Selatan mengalami sedikit perubahan. Kemudahan di bidang

ekonomi yang sebelumnya diberikan pada para pengusaha yang dekat dengan kalangan

pejabat, dialihkan kepada para pengusaha yang berhasil mendirikan pabrik baru dan yang

mampu melakukan kegiatan ekspor. Kebijakan industri subtitusi impor (ISI) dilakukan

sebagai salah satu cara untuk dapat mengurangi impor serta meningkatkan nilai ekspor.

Persoalannya hal ini menjadi berbeda ketika terjadi di Indonesia. Keterlibatan negara

yang besar dalam proses industrialisasi tampak menjadi “kelewatan”. Sehingga ketika

terjadi krisis di akhir dekade 1990an, negara menjadi salah satu aktor ekonomi yang

paling bertanggung jawab.

4.3. Teori Otonomi Relatif Negara.

Teori otonomi relatif ini banyak dikembangkan oleh teoritisi neo-Marxis sebagai

kritik atas teori Marxis klasik yang melihat negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa

(dominan). Diantaranya adalah Ralph Miliband, Nicos Poulantzas dan Hamza Alavi,

yang dikenal termasuk Marxis struktural kontemporer. Dalam "The State in Post Colonial

Societies: Pakistan and Bangladesh", disebutkan oleh Alavi bahwa negara pada

masyarakat pasca kolonial mempunyai otonomi relatif terhadap kelas-kelas sosial, karena

lemahnya serta kurang berkembangnya kelas-kelas sosial tersebut25. Selain itu Alavi juga

melihat bahwa ada tiga kelas dominan yang lahir di negara-negara pasca kolonial. Ketiga

kelas tersebut adalah borjuasi metropolitan, borjuasi lokal dan kelas pemilik tanah.

Karena kepentingan ketiga kelas tersebut tidak berbeda, maka negara dapat dengan

mudah memediasi segala kepentingan mereka.26

Dalam konsep masyarakat feodal yang dimaksudkan dengan kelas yang dominan

adalah kelas bangsawan dan ditambah orang-orang yang berasal dari kalangan gereja.

Ketika dua revolusi besar terjadi (industri dan Perancis), pada saat yang bersamaan

terjadi pulalah perubahan dalam struktur masyarakat yang ada di Eropa. Pengaruh kelas

Bangsawan dan Gereja terhadap negara telah mengalami reduksi. Adanya dua revolusi itu

telah melahirkan kelas borjuis (kapitalis) baru yang lebih memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi negara. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tumbuh dibawah

25

Mengenai pengertian kelas dalam pandangan Marxisme lihat Tom Bottomore (ed), The Dictionary of Marxist Thought,Massacussets, Blackwell Publisher, 1992.

26

Hamza Alavi, The State In Post Colonial Societies:Pakistan and Bangladesh, dikutip dari Vedi R. Hadiz,

(18)

hegemoni kelas-kelas borjuasinya. Sedangkan kenyataan yang muncul di negara-negara

dunia ketiga adalah tidak terbentuknya kelas-kelas sosial, terutama kelas borjuis

(kapitalis) yang kuat. Sehingga tidak memungkinkan adanya hegemoni dari kelas-kelas

sosial tertentu terhadap negara.

Tidak tumbuhnya kelas-kelas kapitalis yang kuat dan mandiri di negara-negara

dunia ketiga inilah yang berusaha dijelaskan oleh teori negara pasca kolonial. Teori yang

dikembangkan oleh Hamza Alavi ini melihat bahwa di dalam negara-negara yang baru

merdeka sebenarnya telah terbentuk tatanan sosial masyarakat yang relatif stabil. Ketika

negara-negara tersebut masih berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial,

pemerintahan tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kelas-kelas sosial

lainnya. Pemerintahan kolonial yang merupakan perpanjangan tangan dari negara

induknya, telah berkuasa sedemikian rupa sehingga birokrasi, tatanan hukum dan

termasuk pula kekuatan militer dipergunakan semaksimal mungkin untuk mendukung

proses akumulasi modal. Sehingga tidak memungkinkan organisasi sosial politik yang

bertujuan memperkuat kedaulatan rakyat dapat tumbuh.

Namun dalam perkembangannya ketika negara-negara tersebut mendapatkan

kemerdekaannya, tatanan sosial politik tersebut ternyata tidak mengalami perubahan,

yang terjadi justru hanyalah sebatas pergantian penguasa. Pemerintah nasional yang

terbentuk, mewarisi tatanan kolonial tersebut dengan berbagai kemudahan didalamnya.

Dengan warisan tatanan tersebut pemerintahan (baca:negara) yang baru tersebut memiliki

posisi tawar menawar yang kuat terhadap pemilik modal. Sehingga dengan demikian

dapat dikatakan bahwa, negara secara terbatas memiliki otonomi terhadap kelas-kelas

sosial yang ada, termasuk kelas-kelas borjuisnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai

otonomi relatif negara.

Otonomi relatif ini sebenarnya tidak hanya terdapat di negara-negara pasca

kolonial saja. Di negara-negara maju juga mengenal otonomi relatif ini. Di negara

industri maju otonomi relatif terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam kelas

borjuasi yang hegemonis untuk menguasai negara sepenuhnya. Sedang pada negara pasca

(19)

negara.27 Ketika negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia mendapat

kemerdekaannya, negara-negara itu kemudian memegang peran yang penting dalam

pembentukan kelas-kelas kapitalis. Karenanya dapat dipahami jika pada perkembangan

selanjutnya muncul fenomena-fenomena patronase bisnis di negara-negara tersebut.

Dominasi serta adanya intervensi negara dalam ekonomi itulah yang kemudian

meletakan negara pasca kolonial sebagai sesuatu yang memiliki “sentralitas”,

sebagaimana telah ditegaskan oleh Alavi. Meski penulis sendiri tidak terlalu setuju

dengan tesis “overdeveloped state”-nya Alavi, namun penulis melihat bahwa memang

ada kecenderungan dari negara-negara pasca kolonial yang dalam melakukan strategi

industrialisasinya sangat bergantung kepada negara. Hal ini mengakibatkan kelas-kelas

kapitalis yang muncul menjadi tidak kuat dan mandiri. Dalam konteks ini pula, seperti

telah ditegaskan oleh Zieman dan Landzendorfer, yang patut untuk disadari ialah bahwa

negara memiliki fungsi primer yaitu sebagai penjamin reproduksi sosial, dan itu berarti

adanya penjaminan keberadaan mode produksi kapitalis.28

Selanjutnya yang juga perlu untuk menjadi perhatian di sini ialah bagaimana

keterlibatan aparat birokrasi negara dengan pembentukan kelas-kelas kapital di

negara-negara pasca kolonial, terutama dalam kaitannya dengan otonomi relatif negara-negara. Dalam

konteks ini Alavi melihat bahwa latar belakang sosial atau kelas dari aparat negara

menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Sejalan dengan itu, Shivji dan Saul

juga melihat birokrasi sebagai sebuh kelas atau suatu kelas dalam proses pembentukan.

Dengan demikian baik Shivji maupun Saul dalam hal ini sangat menekankan akan

pentingnya faktor-faktor kesadaran atau kemauan dari orang-orang yang menduduki

posisi-posisi dalam aparat birokrasi negara, terutama dalam mengarahkan perubahan

sosial.

Walau demikian, di dalam kasus negara-negara pasca kolonial, negara

(termasuk di dalamnya para aparatnya) bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan

dalam sebuah proses perubahan sosial. Menurut Ziemann, Lanzendorfer serta didukung

pula oleh Robison, negara bahkan asal usul aparat birokrasi negara, tidak mampu

menentukan arah dari perubahan sosial. Ada batasan-batasan atau faktor-faktor lain yang

27

Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pasca Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dam INSIST, 1999, hal:55-56.

28

(20)

juga patut untuk menjadi perhatian, yaitu proses-proses konflik kelas dan logika

akumulasi modal.29 Dan keduanya harus terjadi terlebih dahulu di dalam masyarakat

pasca kolonial. Bagi penulis pandangan seperti ini setidaknya telah pula memberikan

pengertian lain kepada kita bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam

negara-negara pasca kolonial, bagaimanapun juga tidak akan terlepas dari partisipasi

masyarakat pasca kolonial itu sendiri dalam menciptakan sebuah perubahan.

Sedangkan untuk membantu menjelaskan perubahan politik yang terjadi di

Indonesia sebagai salah satu bentuk implikasi langsung dari terjadinya krisis ekonomi,

dalam skripsi ini penulis juga menggunakan teori atau argumentasi yang disampaikan

oleh Samuel P. Huntington tentang apa yang diistilahkannya sebagai gelombang

demokratisasi ketiga.30 Dalam melihat korelasi antara krisis ekonomi dan proses

demokratisasi, Huntington berpendapat bahwa,

“Pada umumnya ada korelasi antara tingkat pembangunan ekonomi dengan demokrasi, namun tingkat atau pola pembangunan ekonomi itu saja tidak mesti atau tidak memadai untuk mewujudkan demokratisasi.”31

Lebih lanjut Huntington menyebutkan bahwa,

“Perkembangan ekonomi menyediakan sebuah landasan bagi demokrasi; krisis-krisis yang timbul akibat perkembangan yang cepat atau resesi ekonomi melemahkan rezim otoriter.”32

Dari pernyataan diatas jelas bahwa, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang

cukup signifikan bagi sebuah proses demokratisasi. Baginya proses demokratisasi tanpa

adanya pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya demokratisasi

tidak akan muncul di negara-negara yang miskin. Ada beberapa argumentasi yang

diberikan oleh Huntington untuk dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi

menjadi faktor penting dalam sebuah proses demokratisasi di suatu negara. Pertama,

dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan kemakmuran

ekonomi masyarakat tersebut ternyata telah membentuk “nilai-nilai dan sikap-sikap

kewarganegaraannya”, menyuburkan rasa tanggung jawab antarpribadi, karena dipercaya,

kepuasan hidup dan kopetensi yang pada gilirannya berkolerasi kuat dengan eksistensi

29

Robison menyebut konflik-konflik kelas ini sebagai struktur kelas. Ibid, hal:66-69.

30

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.

31Ibid

, hal:72

32

(21)

lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, perkembangan ekonomi telah meningkatkan taraf

pendidikan masyarakat. Ketiga, dengan adanya perkembangan ekonomi menyebabkan

lebih banyak sumber daya yang dapat didistribusikan di antara kelompok-kelompok

sosial sehingga memudahkan akomodasi dan kompromi. Keempat, perkembangan

ekonomi telah pula mendorong keterbukaan masyarakat bagi perdagangan, investasi,

teknologi, pariwisata dan terutama komunikasi dengan dunia internasional. Dengan

demikian memudahkan ide-ide demokrasi secara umum untuk masuk ke negara tersebut.

Terakhir, menurut Huntington, perkembangan ekonomi telah mendorong meluasnya

kelas menengah. Kelas menengah bagi Huntington meski pada awal fase demokratisasi

kelas menengah tidak mesti sebagai kekuatan pendukung demokratisasi, namun dalam

gerakan demokratisasi gelombang ketiga hampir di setiap negeri didukung oleh kelas

menengah perkotaan. Dimana jika kita mengacu pada kasus Taiwan “pelaku-pelaku

utama perubahan politik adalah kaum intelektual kelas menengah yang lahir selama

periode pertumbuhan ekonomi yang cepat”.33

Meski demikian perlu pula diingat dalam melihat kasus-kasus tertentu ada

beberapa varian yang penting untuk dijadikan perhatian. Sebab bagaimanapun juga dalam

mengamati setiap perubahan politik yang terjadi di suatu negara, terutama bila kita

hendak melihatnya dari faktor internal yang mempengaruhinya, terdapat beberapa

perbedaan yang tidak dapat dengan mudah digeneralisasi.

4.5 Beberapa pengertian lain.

Selain dari beberapa konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa

istilah atau konsep penting lain yang dirasa perlu untuk dijelaskan disini. Pertama ialah

ekonomi biaya tinggi (high cost economy).Salah satu penyebab terjadinya ekonomi biaya

tinggi ini ialah banyaknya praktek-praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh

pejabat negara dan birokrasi. Sehingga mengakibatkan peningkatan ongkos produksi

suatu produk. Kedua ialah pemburu rente (rent seekers). Munculnya istilah ini tidak bisa

terlepas dari penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi. Para pejabat negara dan birokrasi

yang melakukan KKN tadi mencoba mencari keuntungan dengan menggunakan aset-aset

yang dimiliki oleh negara. Mereka juga berusaha untuk menjadi patron politik dari para

pengusaha. Ketiga, kapitalisme semu (ersatz capitalism). Konsep ini ditawarkan oleh

33

(22)

Yoshihara Kunio sebagai sebuah penggambaran atas fenomena yang terjadi di sebagian

besar negara-negara di Asia Tenggara. Adanya peran pemerintah begitu besar sehingga

mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis.

Hal negatif lain yang ditimbulkan dari besarnya peran pemerintah atau negara ini ialah

adanya pencari rente di kalangan birokrat, yang secara langsung dapat menghambat

perkembangan para usahawan sejati. Sedangkan di sisi lain justru muncul

pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sukses sebagai akibat dari adanya koneksi-koneksi

dengan para birokrat untuk mendapatkan fasilitas.34

5 Model Analisa

Variabel Bebas Variabel Terikat

6 Operasionalisasi Konsep

Sebagai variabel terikat dalam skripsi ini ialah bisnis militer Orde Baru,

terutama yang dijalankan oleh Angkatan Darat. Bisnis militer di Indonesia selama Orde

Baru dianggap sebagai salah satu bentuk dari keberadaan patronase bisnis. Hal ini

disebabkan karena militer sebagai bagian dari negara, dalam menjalankan

praktek-praktek bisnisnya sangat mengandalkan hubungan dengan pusat kekuasaan birokrasi

politik, baik sipil ataupun militer ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Hal ini terjadi

34

Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1991.

Melemahkan keberadaan Patronase Bisnis:

• Bisnis militer (Angkatan Darat/ Yayasan Kartika Eka Paksi)

Desakan Liberalisasi:

ƒ Tekanan institusi keuangan internasional (IMF, World Bank).

ƒ Menguatnya peran modal asing (Direct dan , Indirect Investment).

(23)

di perusahaan-perusahaan dibawah naungan sebuah yayasan ataupun yang berupa

koperasi-koperasi.

Dalam skripsi ini terdapat dua variabel bebas.Variabel bebas pertama ialah

tekanan institusi internasional. Secara lebih mendalam dapat dilihat, bahwa yang

dimaksudkan dengan tekanan institusi keuangan internasional dalam skripsi ini adalah

prasyarat yang disepakati bersama dengan lembaga keuangan internasional (IMF),

sebagai kondisionalitas pemberian bantuan keuangan pada Indonesia dimasa krisis

ekonomi. Prasyarat yang dimaksudkan diatas dilihat sebagai sebuah sarana atau alat bagi

IMF dan lembaga-lembaga internasional lainnya untuk dapat lebih leluasa memainkan

perannya dalam kebijakan ekonomi Indonesia di masa-masa selanjutnya. Secara kongkrit

yang dimaksudkan dengan prasyarat tersebut ialah hal-hal yang tercantum dalam letter of

intent dengan IMF 15 Januari 1998.

Penguatan modal asing disini diartikan sebagai sebuah bentuk pencapaian

kepentingan yang terakomodir oleh adanya persyaratan yang diajukan oleh IMF.

Sehingga pada akhirnya modal asing menjadi mampu secara lebih besar lagi untuk

mempengaruhi struktur ekonomi Indonesia dibandingkan sebelum masa krisis. Namun

yang patut diingat ialah bahwa kedua variabel bebas ini masih berada dalam satu konsep,

yaitu desakan liberalisasi ekonomi.

Sedangkan varibel bebas kedua ialah tekanan dari masyarakat domestik. Yang

diartikan sebagai tekanan disini ialah bagaimana masyarakat Indonesia secara

keseluruhan mulai secara lebih berani lagi menunjukan “ketidaksukaannya” pada negara,

terutama terhadap adanya dominasi militer dalam politik dan ekonomi.

7 Hipotesa

1. Semakin besar tekanan institusi keuangan dan perdagangan internasional serta

makin kuatnya peran modal asing dalam liberalisasi ekonomi Indonesia pasca

Orde Baru, akan memperlemah posisi patronase bisnis militer Indonesia.

2. Tekanan politik domestik di era transisi dari otoriter ke demokrasi akan

(24)

8 Metode Penelitian

Skripsi ini mengunakan pendekatan kualitatif. Penulis memilih metode penelitian ini

karena dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat lebih menjelaskan (eksplanasi)

bagaimana proses mempengaruhi tersebut terjadi. Neuman menyebutkan bahwa salah

satu tujuan dari sebuah penelitian kualitatif ialah untuk menjelaskan sebuah proses

terjadi.35

Dalam skripsi ini sendiri, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan

melalui metode studi dokumen, dan literatur. Sedangkan dalam penjelasan data-data

tersebut digunakan penjelasan-penjelasan yang lebih bersifat deskriptif.

9 Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan. Bab ini menggambarkan tentang latar belakang

permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kemudian pokok permasalahan,

penjelasan kerangka teori yang akan digunakan, model analisa, operasionalisasi konsep,

hipotesa, signifikansi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi 1945-1965. Bab ini

membahas bagaimana militer mulai memainkan perannya dalam berbagai masalah sosial,

politik dan ekonomi selama tiga periode pasca kemerdekaan (revolusi fisik, demokrasi

parlementer dan demokrasi terpimpin). Hal ini perlu dipahami sebelum melihat lebih jauh

tentang bisnis militer. Karena bagaimanapun juga pelaksanaan bisnis militer akan selalu

didukung oleh adanya militer yang terlibat dalam politik. Selain itu dalam bab ini juga

dibahas mengenai bagaimana negara Indonesia pasca kemerdekaan mulai memainkan

perannya secara lebih aktif dalam membentuk kelas-kelas kapitalis pribumi. Sedang

militer sendiri yang pada saat bersamaan juga tumbuh sebagai kekuatan politik, juga

tampak mulai memainkan perannya dalam bidang ekonomi secara luas.

Bab III. Bisnis Militer: Amal Atau Komersil? Setelah mengetahui asal usul dan

perkembangan keterlibatan militer dalam ekonomi dan politik, maka bab ini mengkaji

perkembangan dari keberadaan bisnis militer pada masa Orde Baru secara lebih

mendalam. Terutama yang dilakukan oleh Yayasan Kartika Eka Paksi. Selain itu juga

35

(25)

akan dilihat tujuan serta implikasinya pada sistem politik dan ekonomi di Indonesia masa

Orde Baru.

Bab IV. Liberalisasi Ekonomi Dan Pengaruhnya Pada Patronase Bisnis

Militer.

Adanya fenomena patronase bisnis (bisnis militer) tersebut kemudian menjadi sesuatu

yang menarik untuk diamati secara lebih jauh lagi, terutama hubungannya dengan krisis

ekonomi serta adanya desakan liberalisasi. Karena itu bab ini kemudian juga membahas

tentang bagaimana peran modal asing dalam struktur ekonomi Indonesia (khususnya pada

permasalahan patronase bisnis militer) di masa mendatang.

Bab V. Krisis Ekonomi, Militer dan Proses Demokratisasi Pasca Orde Baru.

Dengan terjadinya krisis ekonomi tersebut ternyata patronase bisnis militer tidak hanya

harus berhadapan berbagai tantangan baru yang bersifat ekonomi. Terjadinya krisis

ekonomi ternyata di lain pihak juga telah menimbulkan berbagai implikasi politik,

termasuk di dalamnya adalah berkembangnya desakan demokratisasi dari masyarakat.

Dalam bab ini akan dibahas bagaimana kemampuan dan kekuatan masyarakat domestik

dalam penghapusan bisnis militer Indonesia pasca Orde Baru.

(26)

Bab II

Peran Militer Dalam Politik Dan Ekonomi

1945-1965

Pada awal bagian latar belakang bab I, secara umum dan singkat telah disebutkan

bahwa keterlibatan militer dalam politik Indonesia adalah sangat dominan. Militer di

Indonesia tidak hanya sebagai kekuatan militer semata, tetapi juga telah menjadi

kekuatan sosial politik yang sangat penting. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila

militer Indonesia dapat disebut sebagai aktor utama dalam arena politik di Indonesia.36

Dalam proses perkembangannya menjadi sebuah kekuatan sosial politik yang

dominan di Indonesia setidaknya sampai pemilu 1999, militer Indonesia telah mengalami

berbagai peristiwa politik yang secara otomatis juga turut mempengaruhi pembentukan

karakter dari organisasi kemiliteran itu sendiri. Semenjak proklamasi kemerdekaan

dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak

peristiwa politik penting yang terjadi di dalam negara Republik Indonesia, mulai dari

perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, pergantian di tingkat elit pemerintahan

sampai dengan penggantian sistim politik yang dianut. Pada saat-saat seperti inilah

militer Indonesia lahir dan berkembang menjadi sebuah kekuatan militer yang juga

sekaligus sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Hal inilah yang telah memberikan

gambaran kepada Harold Crouch bahwa selama masa revolusi fisik tahun 1945 sampai

tahun 1949 tentara telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dimana tindakan politik

dan militer saling menjalin dan tak dapat terpisahkan.37

Agar dapat memahami keterlibatan militer yang begitu besar dalam arena politik

di Indonesia secara lebih mendalam, perlu kiranya terlebih dahulu untuk melihat kembali

bagaimana organisasi kemiliteran itu lahir dan berkembang. Setelah itu kita dapat melihat

bagaimana proses politisasi itu terjadi, terutama pada kalangan elit (perwira) militer itu

36

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Politik Dan Pembangunan, Jakarta, Rajawali Press, 1993, hal:49. Meski demikian dominasi peran militer tersebut hanya terjadi sampai dekade 80an. Dalam perkembangannya yang mendominasi adalah Suharto. Militer sendiri kemudian dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaannya.

37

(27)

sendiri. Karena berbagai peristiwa atau gejolak politik tersebut diatas sedikit banyak telah

mempengaruhi dalam penciptaan militer sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang

dominan di Indonesia, maka penulis membagi bab ini menjadi tiga bagian. Bagian

pertama adalah bagaimana organisasi kemiliteran itu terbentuk pada masa-masa awal

kemerdekaan Indonesia. Bagian kedua akan menggambarkan bagaimana awal peran

sosial politik dan ekonomi militer masa demokrasi parlementer sampai tahun 1959,

dimana Sukarno membentuk sebuah Dewan Nasional. Sedangkan bagian ketiga akan

membahas bagaimana peran sosial politik dan ekonomi militer selama demokrasi

terpimpin.

1 Pembentukan Tentara Nasional Indonesia.

Sampai pada saat diproklamasikan kemerdekaannya, Republik Indonesia secara

resmi belum memiliki sebuah institusi angkatan bersenjata yang terorganisir dengan baik.

Pada waktu itu yang ada hanya para pemuda yang sebelumnya tergabung dalam

organisasi-organisasi kemiliteran bentukan Belanda (KNIL) atau yang merupakan

bentukan Jepang seperti Peta dan Heiho. Selain itu juga terdapat laskar-laskar perjuangan

(para militer) di berbagai daerah. Biasanya para pemuda yang tergabung dalam

laskar-laskar perjuangan ini, memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok politik, seperti

Barisan Pelopor (nasionalis) dan Hizbullah (Masjumi).38

Di tengah semakin tidak menentunya situasi dan kondisi politik pada masa itu,

dimana terdapat perbedaan pendapat antara para pemimpin perjuangan (Sukarno-Hatta)

yang menginginkan untuk menempuh jalur diplomasi dengan semangat para pemuda

yang menginginkan penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan

kemerdekaan39, Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat memutuskan untuk segera

dibentuk sebuah badan yang disebut dengan Badan Penolong Keluarga Korban Perang

(BPKKP) pada tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya dibentuk pula sebuah Badan

Keamanan Rakyat (BKR), yang kedudukannya berada dibawah KNIP dan BPKKP.40

38

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta, LP3ES, 1986, hal: 4.

39

Hal ini oleh Feith dikatakan sebagai awal konflik antara Sukarno dan AD. Lihat Herbert Feith, Sukarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hal:34.

40

(28)

Badan ini sendiri berfungsi sebagai memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat

dan badan-badan negara yang bersangkutan.

Meski telah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan bersenjata yang ada,

namun nampaknya keberadaan dari BKR tersebut tidak juga memuaskan para pemuda

pejuang pada waktu itu. Para pemuda pejuang lain yang tidak tergabung dalam BKR

secara sepihak juga telah melucuti persenjataan tentara Jepang. Perintah sekutu kepada

para tentara Jepang untuk mempertahankan keadaan status quo, ternyata di berbagai

wilayah telah menimbulkan bentrokan-bentrokan antara para pemuda dan tentara Jepang

tersebut. Kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administratation), telah

turut memperuncing keadaan keamanan di Indonesia, sehingga menimbulkan

pertempuran-pertempuran di berbagai daerah.

Perkembangan kondisi dan situasi inilah yang kemudian memaksa pemerintah

untuk membentuk sebuah organisasi Angkatan Perang yang lebih kondusif. Selanjutnya

dengan sebuah Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 5 Oktober 1945

dibentuklah sebuah organisasi kemiliteran dengan nama Tentara Keamanan Rakyat

(TKR). Pembentukan TKR ini dimaksudkan untuk menghimpun bekas para anggota

PETA, Heiho dan juga KNIL. Pembentukan TKR kemudian dilanjutkan pula dengan

pengangkatan Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun ternyata

pembentukan TKR juga tidak memberikan kepuasan pada para pemuda. Mereka

menganggap TKR tidak lebih sebagai sebuah bentuk keraguan pemerintah yang masih

ingin menitikberatkan pejuangan diplomasi dibanding perjuang bersenjata seperti yang

mereka inginkan. Mereka juga beranggapan bahwa yang dibutuhkan negara Indonesia

pada saat itu ialah sebuah alat organisasi pertahanan yang bersifat nasional, sehingga

mampu untuk menghadapi sekutu. Oleh sebab itulah, pada tanggal 26 Januari 1946

dikeluarkanlah ketetapan pemerintah tentang pembentukan Tentara Republik Indonesia

(TRI).41 Sebagai hasil konsolidasi TKR Laut dan dikeluarkannya ketetapan baru

no:6/S.D.1946 tentang TRI bagian perhubungan udara, kemudian dibentuk pula

41

Sebelumnya pada tanggal 1 Januari 1946 kata keamanan diganti dengan keselamatan, sehingga menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Selain itu nama kementrian keamanan diganti menjadi kementrian

(29)

Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tanggal 19 Juli 1946 dan Angkatan

Udara Republik Indonesia (AURI) 9 April 1946.

Ketika Belanda kembali melakukan agresi militernya, persoalan-persoalan seperti

perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda kembali muncul dan semakin meruncing.

Selain itu, persoalan intern dalam tubuh TRI yang belum terselesaikan juga semakin

bertambah dengan persoalan-persoalan hubungan antara organisasi tentara resmi dengan

para laskar dengan berbagai ideologinya yang seringkali tidak searah dengan strategi dan

orientasi militer. Sebagai solusinya pada tanggal 5 Mei 1947 dikeluarkanlah dekrit untuk

membentuk Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, yang pada

akhirnya menghasilkan sebuah ketetapan presiden tanggal 3 Juni 1947 tentang

pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dimana para anggotanya terdiri dari

seluruh kekuatan bersenjata, termasuk laskar-laskar perjuangan rakyat.

2 Peran Ekstramiliter Tentara Masa Demokrasi Parlementer.

2.1. Awal Peran Militer Dalam Politik.

Dalam memahami peran politik militer Indonesia, ternyata institusi angkatan

bersenjata yang baru saja terbentuk tersebut, memiliki perbedaan yang sangat signifikan

dengan institusi militer yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini. Pada masa-masa

awal kemerdekaan Indonesia, kekuatan militer Indonesia belum secara langsung terjun

dan terlibat dalam praktek-praktek politik praktis. Para perwira militer masih menerima

asas keunggulan kekuasaan sipil dan menganggap bahwa peranannya di bidang politik

sewaktu-waktu diperlukan, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang

utama. Pergeseran peranan militer sehingga menjadi sebuah kekuatan politik yang utama

ternyata lebih banyak disebabkan pula oleh keadaan dan situasi politik pada saat itu yang

semakin tidak menentu. Memasuki dekade 1950an, negara Indonesia yang baru merdeka

tersebut mencoba untuk menerapkan sebuah sistem politik parlementer. Pemberlakuan

sistem politik ini diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan masyarakat yang

tersalurkan melalui keberadaan partai-partai politik. Namun kenyataan yang ada adalah

sebaliknya. Pada masa demokrasi parlementer tersebut, keberadaan partai-partai politik

tersebut nampaknya justru semakin memperlihatkan perselisihan diantara para elit politik.

(30)

golongan, setidaknya telah mengindikasikan perpecahan di dalam elit politik pada waktu

itu.

Selain itu dalam penanganan masalah angkatan bersenjata, para politisi sipil

tersebut juga menunjukan sikap yang tidak tegas, terutama dalam masalah pembentukan

sebuah organisasi kemiliteran. Para politisi sipil tersebut dianggap tidak mampu untuk

menentukan pengangkatan para perwira militer ataupun penentuan organisasi struktural

militer. Hal ini telah menimbulkan sebuah preseden buruk di kalangan militer tentang

para politisi sipil, yang sekaligus pula dapat dianggap sebagai permulaan yang buruk

dalam pembentukan hubungan sipil-militer di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.

Dalam hal ini, para politisi sipil tersebut sebenarnya juga telah kehilangan sebuah

kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran yang tunduk dan loyal pada

asas keunggulan kekuasaan sipil seperti pernah terjadi pada awal pasca proklamasi.

Sampai akhirnya para perwira militer tersebut memutuskan untuk menentukan sendiri

menteri pertahanan dan panglima mereka.

Hal lain yang juga menambah kekecewaan pihak militer kepada para politisi sipil

ketika itu ialah rencana diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi jumlah kekuatan

militer tahun 1952. Ketika itu keadaan keuangan pemerintah tidak memungkinkan untuk

dapat membiayai sebuah angkatan bersenjata yang besar. Sampai menjelang akhir tahun

1952, angka produk eksport utama Indonesia terus mengalami penurunan.42 Oleh sebab

itulah pada saat kabinet Wilopo berkuasa, untuk mengatasi hal tersebut yang sekaligus

pula merupakan kesempatan untuk membentuk sebuah organisasi kemiliteran profesional

seperti yang diinginkan oleh para pimpinan militer saat itu (Nasution dan TB

Simatupang). Maka dengan dukungan dari sekjen kementerian pertahanan, Mr Ali

Budiardjo, diadakanlah reorganisasi dan rasionalisasi militer Indonesia dengan cara

melakukan demobilisasi. Dalam Catatan-Catatan Sekitar Politik Indonesia, Nasution

menggambarkan secara jelas jumlah personel militer yang terdemobilisasi ialah, personel

dengan melihat syarat-syarat kesehatan yang kurang memadai lagi sekitar 40.000 orang,

penaksiran akan adanya permintaan berhenti sekitar 30.000 orang, 10.000 orang akan

memasuki masa pensiun dan sisanya sekitar 8000 orang akan meninggalkan angkatan

42

Gambar

Tabel III.1
Tabel III.2
Tabel III.2
Grafik IV.I
+3

Referensi

Dokumen terkait

2) masa Orde Lama dan Orde Baru, selain hiburan, ludruk sebagai sarana efektif dalam mendukung program pembangunan pemerintah; 3) Pada era new media, ludruk

Beberapa milestones lainnya dari perkembangan koperasi di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda sampai masa Orde Baru yaitu i penerbitan berbagai peraturan tentang akta pendirian

disapa Gus Dur telah menjadi sosok yang sangat-sangat sentral pada masa kepemimpinannya karena telah menghapus larangan untuk kalangan etnis Tionghoa dari masa Orde Baru, dan

Informan Menurut saya tidak ada dampak negatifnya tetapi mungkin orang yang tidak suka mereka akan merasa tidak suka kalau dampak positifnya kita lebih nyaman, tenang dan terjaga dan

Pada masa rezim orde baru berkuasa mekanisme kerja lembaga penegak hukum konvensional tersebut tidak lepas dari control eksekutif dan pada masa transisi ini eksistensi lembaga

Pemanfaatan Strategi Pemasaran Digital menggunakan E-Commerce dalam mempertahankan Bisnis UMKM Pempek4Beradek di masa Pandemi Covid-19.. STRATEGI PEMASARAN Konsep, Teori dan

1 2023 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta p-ISSN: 2579-3691 e-ISSN: 2580-2372 Surohmat Dalam catatan sejarah hukum di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru

Meskipun Rezim Orde Lama hanya melewati masa yang relatif dibandingkan Rezim Orde Baru, motivasi penulisan tafsir telah berkembang dan menjadi bagian dari kebutuhan legitimasi wacana