• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selain dari hal di atas salah satu faktor yang dapat mem- berikan pengaruh terhadap keberhasilan hukum adalah adanya sangsi-sangsi yang dapat digunakan untuk mendukung berlaku- nya hukum. Akan tetapi seperti apa yang terdapat pada pa-

8al 15 Undang-undang nomor 2 tahun I960 (ketentuan pidana) yang diharapkan dapat mendukung ditaatinya Undang-undang nomor 2 tahun I960, dalam kenyataannya tidak mendukung sa­ ma sekali. Pasal 15 itu dalam prakteknya sulit dilaksana- kan. Suatu misal, pemilik dalam perjanjian bagi hasil yang

57

tidak memenuhi ketentuan pasal 3 Undang-undang nomor 2 tahun I960 dapat dipidana dengan hukuman denda se- besar Rp. 10.000,-.

"iang menjadi masalah ialah apakah pelanggaran pasal 3 itu merupakan tindak pidana aduan atau tindak pi­ dana laporan (biasa;. Jika pelanggaran pasal 3 itu merupakan tindak pidana aduan, maka siapa yang ha­ rus mengadukan, korban pelanggaran itu tidak ada.

Penggarap tidak bisa (mau) menjadi pengadu, karena ia tidak merasa dirugikan. bahkan dengan adanya per­ janjian bagi hasil itu penggarap merasa untung men- dapat tanah garapan.

Dan jika pelanggaran pasal 3 itu merupakan tindak pidana laporan, siapapun dapat menjadi pelapor, akan tetapi bukti pelanggaran itu tidak ada atau sulit di- dapat. J3ukankah perjanjian bagi hasil itu kelihatan- nya sama saja dengan penggarapan dengan memakai buruh tani bayaran. Dan apakah tidak mungkin penggarap de­ ngan pemilik bersepakat untuk mungkir dengan mengata- kan bahwa tidak terjadi perjanjian bagi hasil, akan tetapi yang terjadi adalah penggarapan dengan buruh tani tetap.

ad. b. Pelaksanaan dari Undang-undang yang bersangkutan. Sesuai dengan lingkup daerah penelitian, maka yang menjadi sorotan ialah pelaksana Undang-undang nomor

2 tahun I960 di daerah Kecamatan, yakni Camat dan para Kepala Desa, yang dibantu oleh Panitia Pertim- bangan Perjanjian -bagi hasil (pasal 7 Inpres nomor 13 tahun 1980).

Ualam rangka pelaksanaan Undang-undang nomor 2 tahun

I960, pembentukan Panitia Pertimbangan Perjanjian Ba­ gi hasil di daerah Kecamatan seperti dalam keputusan Menteri iviuda Agraria i^omor SK. 322/ka/1960, di daerah Kecamatan kukolilo tidak ada wujud terbentuknya pani­ tia tersebut,

begitu juga penyuluhan mengenai pelaksanaan Inpres nomor 13 tahun I960 tentang "Pelaksanaan Undang-un- dang .bagi Hasil" sebagaimana ditentukan dalam keputu­ san Bersama Menteri balam wegeri dan henteri Pertani­ an nomor 211 tahun 1980 - nomor 714/Kpts/Um/9/1980,

bahwa

- Di tingkat kecamatan dilakukan oleh oamat dibantu

oleh Panitia Pertimbangan kecamatan dan petugas Penyuluh Pertanian x-apangan.

- Penyuluhan-penyuluhan yang diharuskan seperti di atas, di daerah Aecamatan ^ukolilo termasuk di

desa-desanya tidak pernah dilakukan.

bari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan aparat pelaksana Undang-undang nomor 2 tahun I960 tidak menunjukkan keterlibatannya dalam praktek

pe-laksanaannya. Sehingga di sini jelas bahwa tidak ber- lakunya Undang-undang nomor 2 tahun I960 juga disebab- kan karena aparat pelaksanaannya yang ditunjuk tidak melaksanakan tugasnya. Tidak melaksanakan tugas ini karena mereka tidak tahu tugasnya sebagaimana tercan- tum dalam Inpres nomor 13 tahun 1980 dan Aeputusan Bersama Kenteri Dalam foe&eri dan henteri Pertanian no­ mor 211 tahun 1980 - nomor 714A-pts/Um/9/1980.

ad. c, Manusianya yang terkena Undang-undang. Penyebab utama dari ketidakpatuhan masyarakat petani terhadap Undang- undang nomor 2 tahun I960 adalah ketidaktahuan masya­ rakat petani terhadap Undang-undang tersebut, yaitu yang mengatur perjanjian bagi hasil. Umumnya petani tidak mengetahui adanya aturan tersebut, bahkan pe- nulis tidak menjumpai satupun petani penggarap yang tahu tentang Undang-undang tersebut.

Sedangkan pemilik yang mengetahui itu hanya orang- orang tertentu, misalnya bekas lurah. Itupun tidak mengetahui secara keseluruhan.

Hal ini menunjukkan tidak adanya sosialisasi undang- undang, sehingga masyarakat tidak mengenai undang- undang tersebut,

Sedangkan faktor penyebab yang lain dapat diperinci

di bawah ini *

(1) Adanya hukum biasaan adat yang melekat di hati

'Si

sanubari rakyat, Aturan hukum yang sudah biasa di- ikuti secara memasyarakat sejak dari dulu akan di- rasakan sebagai aturan yang adil oleh masyarakat. Suatu perubahan terhadap perasaan keadilan ini di- anggap suatu ketidak-adilan, i'dsalnya dengan pasal 7 Undang-undang nomor 2 tahun I960, penggarap akan merasa diuntungkan dan pemilik merasa dirugikan. (2) Sikap saling percaya dan rasa kekeluargaan yang

melandaBi terjadinya perjanjian bagi hasil antara penggarap dengan pemilik,

P e m b u a t a n p e r j a n j i a n s e c a r a t e r t u l i s s e b a g a i m a n a d i h a r u s k a n o l e h p a s a l 3 m e n u n j u k k a n s i k a p k e t i d a k - p e r c a y a a n d i a n t a r a k e d u a b e l a h p i h a k . H a l i n i b e r t e n t a n g a n d e n g a n a l a m p i k i r a n a d a t y a i t u b e r -

s i f a t k e k e l u a r g a a n .

(3) Tidak pernahnya terjadi sengketa mengenai perjanji­ an bagi hasil, mendorong petani untuk tidak berbuat lain, selain tetap mengikuti kebiasaan yang telah dilakukan dalam membuat perjanjian bagi hasil.

«i. . Efektifisasi

£fektifisasi adalah usaha u/ituk mendayagunakan un­ dang-undang yang telah diberlakukan dalam masyarakat, agar suatu undang-undang yang telah diberlakukan mempunyai ke- gunasm sesuai dengan keinginan pembentuknya.

Dalam bab-bab terdahulu telah dipaparkan bahwa salah satu faktor penyebab undang-undang nomor 2 tahun I960 tidak berlaku/tidak ditaati masyarakat, oleh ka­ rena pelaksana undang-undang itu yakni Camat dan Kepala D e s a A e l u r a h a n tidak mengetahui tugasnya yang dibebankan oleh Inpres nomor 13 tahun 1980. Dan juga disebabkan oleh tidak terbentuknya Panitia Pertimbangan Perjanjian Bagi Hasil, baik di tingkat Kecamatan maupun di tingkat Desa/Kelurahan yang membantu Camat dan Kepala Desa/Ke- lurahan dalam melaksnnakan Undang-undang nomor 2 tahun I960.

Dari ketidaktahuan tugas Camat dan Kepala Desa/ Kelurahan serta tidak terbentuknya Panitia Pertimbangan Perjanjian Bagi Hasil yang membantu tugas-tugas itu, berakibat tidak adanya upaya-upaya untuk mendayagunakan Undang-undang nornor 2 tahun I960, .begitu juga petugas Penyuluh Pertanian Lapangan yang membantu Camat, dan Lembaga husyawarah Desa yang membantu Kepala Desa/Kelu- rahan tidak mengetahui tugasnya dalam bidang hukum per­

janjian bagi hasil.

BAB V P E N U T 13 P

1, Keslmpulan

a. Luas Tanah G-arapan.

Pembatasan luas tanah maksimal yang dapat diusa­ hakan oleh penggarap dalam perjanjian bagi hasil, seba-. gaimana ditentukan oleh pasal 2 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun I960, dengan praktek perjanjian bagi hasil di masyarakat terdapat kesesuaian.

foenurut pasal 2 itu, tanah yang dapat diusahakan oleh penggarap maksimal 3 hektar, termasuk tanah garap­ an lain yang diperoleh dari selain dengan perjanjian ba­ gi hasil. Sedangkan dalam prakteknya yaitu perjanjian bagi hasil yang terjadi, tidak ada tanah yang dikuasai penggarap lebih dari 1 hektar, termasuk tanah yang di- dapat selain dengan perjanjian bagi hasil.

Hal ini disebabkan karena :

- Sulitnya mencari tanah garapan.

- Penguasaan tanah oleh penduduk sangat minim yaitu ra- ta-rata pemilikan tanah sawah tiap penduduk di bawah 0,5 hektar.

- Kesuburan tanah di daerah kecamatan Sukolilo dan hasil produksinya cukup tinggi, sehingga penguasaan tanah sawah seluas 0,75 hektar saja sudah cukup untuk

nuhi kebutuhan hidup keluarga petani.

Jadi seandainya pasal itu diterapkan di masyara­ kat maka tidak akan mendapatkan tantangan atau hambatan dalam pentaatannya. Berarti pasal 2 itu bisa efektif. b. Bentuk Perjanjian.

Ketentuan pasal 3 Undang-undang nomor 2 tahun I960, mengharuskan pembuatan perjanjian bagi hasil di buat dalam bentuk tertulis, yang dibuat di hadapan Ke­ pala Desa dengan dipersaksikan oleh 2 orang. Sedangkan praktek perjanjian bagi hasil di masyarakat pembuatan perjanjian dilakukan secara lisan, sesuai dengan kebi­ asaan yang berlaku sebelum keluarnya Undang-undang no­ mor 2 tahun I960.

Jadi jika pasal 3 itu diterapkan di masyarakat, maka tidak akan di ikuti oleh masyarakat atau sulit efektif, walaupun pasal 3 itu ditunjang oleh ketentuan pidana (pasal 15 Undang-undang nomor 2 tahun I960).

Hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan di bawah ini : - Masyarakat enggan membuat perjanjian bagi hasil dalam

bentuk tertulis yang dianggapnya berbelit dalam memer- lukan biaya;

- Pembuatan perjanjian secara tertulis dianggap akan menghilangkan sifat saling percaya dan kekeluargaan dalam hubungan antara pemilik dan penggarap;

- Pembuatan perjanjian secara lisan dianggap sudah

kup, dalam arti tidak pernah terjadi perselisihan pa- ham atau tidak pernah terjadi sengketa.

- Ketentuan pidana dalam pasal 15 itu tidak bisa mendu- kung pasal 3, karena pasal 15 itu sulit dilaksanakan. c. Jangka toaktu Perjanjian.

Dalam praktek perjanjian bagi hasil di masyara­ kat, mengenai jangka waktu perjanjian ada dua model, yaitu permanen dan temporer. Perjanjian yang permanen disebabkan karena adanya hubungan antara pemilik dengan penggarap yang bersifat kekeluargaan, sedangkan yang temporer disebabkan adanya hal-hal tertentu sehingga pe­ milik terpaksa tidak bisa menggarap sendiri tanahnya un­ tuk sementara waktu.

henurut pasal 4- ayat 1 Undang-undang nomor 2 ta­ hun I960, perjanjian bagi haeil harus dibuat minimal dalam jangka waktu 3 tahun untuk sawah dan 5 tahun un­ tuk tanah kering. Ketentuan pasal 4 ayat 1 ini sesuai dengan praktek perjanjian bagi hasil di masyarakat yang permanen.

Sedangkan pasal 4 ayat 2-nya yan^ menentukan bahwa karena alasan-alasan tertentu Camat dapat mengi-

jinkan, perjanjian bagi hasil dibuat dalam jangka waktu kurang dari 3 atau 5 tahun. Dalam prakteknya di masya­ rakat perjanjian seperti ini dikategorikan perjanjian bagi hasil yang temporer. Pelaksanaan perjanjian yang

temporer ini tanpa seijin Camat, sebagaimana diharuskan oleh pasal 4 ayat 2 Undang-undang nomor 2 tahun I960. Disini pasal 4 ayat 2 itu tidak ada persesuaian dengan prakteknya di masyarakat*

d. Pembagian Hasil Tanah Garapan.

Mengenai pembagian hasil tanah garapan antara pe­ milik dengan penggarap, ketentuan pasal 7 Undang-undang nomor 2 tahun I960 yang tertuang dalam penjelasan pasal 7 tersebut terdapat perbedaan yang jauh dengan apa yang terjadi di masyarakat. Dalam penjelasan pasal 7 tersebut ditentukan bahwa pembagian hasil tanah antara penggarap dengan pemilik pada asasnya adalah 1 ; 1 (satu lawan sa­ tu) untuk padi di sawah, sedangkan untuk palawija dan tanaman di tanah kering, ditentukan 2 : 1 (dua lawan sa- tuj antara penggarap dengan pemilik. Sedangkan dalam ke- nyataannya di masyarakat pembagian itu berfariasi, ban- dingan antara penggarap dengan pemilik yaitu 2 : 6 atau 2 ; 5 atau 2 : 4 untuk padi, sedangkan untuk palawija dan tanaman di tanah kering antara penggarap dengan pe­ milik 1 : 1.

Seandainya pasal 7 itu diterapkan di masyarakat maka akan mendapat hambatan-hambatan, masyarakat akan

sulit menerima ketentuan itu, yang berarti pasal 7 itu tidak bisa efektif, hal ini disebabkan beberapa alasan di bawah ini *.

- Kedudukan pemilik tanah yang kuat, sehingga jika di haruskan seperti pasal 7, maka pernilik tidak akan rne- nyerahkan tanahnya melalui perjanjian bagi hasil, ka­ rena pasal 7 itu dianggap sangat merugikan pemilik. - Penggarap tetap mau menerima tanah garapan, karena

jika ia mengikuti pasal 7 maka akan bertambah sulit mencari tanah garapan.

2. Saran

Agar Undang-undang nomor 2 tahun I960 keberlaku- annya di masyarakat dapat berlaku sehingga tujuan pem- bentuk Undang-undang dapat raencapai sacaran, dan sehu- bungan faktor-faktor yang mengharnl.at pelaksanaan Undang- undang tersebut maka perlu diadakan tindakan-tindakan sebagai berikut :

- hemantapkan dan melaksanakan secara ketat Undang-un­ dang nomor 2 tahun I960 yang meskipun sudah dikeluar- kan sejak tahun I960, namun hasilnya dapat dikatakan masih belum ada. -i^an kalau perlu sebelumnya diadakan peninjauan dan merevisi kembali Undang-uridang terse­ but, hal ini sangat dimungkinkan karena melihat per- kembangan masyarakat di Indonesia sangat inengnenaaki. - hengembangkan instituci yang menangani pelaksanaan

Undang-undang tersebut, yang selama ini walaupun su­ dah terbentuk dengan burat Keputusan Kenteri ivm d a

• Agraria nomor Sk. 3 ? ? A a / 1 9 6 0 , akan tetapi tidak ada wujud terbentuknya, apalagi pelaksanaannya.

- Mengembangkan tenaga yan^, trampil dalam melaksanakan Undang-undang tersebut.

- faenyediakan dana-dana ;/ang cukup untuk melaksanakan

tugas dalam melaksanakan Undang-undang nomor 2 tahun

I960.

Selain mengadakan tindakan-tindakan di atas, ma­ ka agar lebih berhasil dalam mewujudkan cita-cita pem- bentuk Undang-undang, maka tindakan-tindakan di atas perlu ditunjang dengan tindakan berikut ini :

- iviemperluas kesempatan kerja/lapangan kerja di sektor selain pertanian.

- menggiatkan Keluarga Berencana dan juga mengatur trans- migrasi ke pulau lain, supaya penduduk di «Jawa ini ti­ dak terlampau padat.

J j A - t ' i ' i t h B A C A A i \

Abdurrahman, beberapa Aspek 'i'entang Hukum A a r a r i a . Alum ni, Bandung, 1983.

Budi Harsono, hukum Agraria Indonesia Himpunan Peratur- an-peraturan hukum 'lanah . ~^~iambatan T Jakarta T 1 Q86. ii-ffendi Perangin, Pertanvaan dan Tanva Jawab Tentang

Hukum iip.rarta. ^ajawali, Jakarta, 1986.

Hermin uadiati ^oeswadji, -Dun^a nampal Permasalahan H u ~ kum .ban Pembanaunan. Pakultas nukum Universitas Air langga, Surabaya, 1987.

hilman nadikusuma, hukum Perriani ian A d a t . Alumni, Ban­ dung, 1982.

Kukuh Ahmadi , Pen^antar ^ukum A g r a r i a . lisaha isasional, Surabaya, 1977.

Satjipto nahardjo, i^a^alah ien^t-akan h u k u m . Sinar Baru,

Bandung, rlanpa tahun.

Soepomo, nukum Perdata Adat Jav/a i>arat. Djambatan, J a ­ karta, 1982.

Sudargo Gautama, ‘Tafeirari undaru--undanf Pokok A g r a r i a .

Alumni, Bandung, 1982.

1'er Haar ttzn £., Asas-asas Dan Supunan hukum A d a t . Prad

nya Paramita, Jakarta, 1983.

Werner n o i l , Struktur P e m i l i k a n T a n a h Li Indonesia. Kaj wali, Jakarta, 1980.

Dokumen terkait