S K R IP S I
B A H D E R L U B IS
MASALAH
PERJANJI AN
BAGI
HASIL
TANAH
PERTANI AN
DI
KECAMATAN
SUKOLILO
KOTAMADYA
SURABAYA
SEBELUM
DAN
SESUDAH
DI UNDANGKANNYA
UNDANG - UNDANG NOMOR 2 TAHUN 19 60
M I L I K
P E R P L S h . X A A N
’ U N IV E R S U A S A i^ L A N C G A '
S U R A B A Y A
k r Ht J
C
f t *
M A S A L A H i ' E t u ) A i V j l A n xjAUI H ASIL
I1 Ah A H P JiH T A iN 1 AiN
D I K E C A ir iA 'IA to S U J i O L l J j U i L l A 'A i n A J J i A S U t t A i i A X A
S E H J i L U K i LA .N S K S U D A H D I U i\ D A .u u - iu u ^ x A
U i\ I ) A iu G - U i* L A f t U N U in O K 2 X A H U N i 9 6 0
s n n s I
O l e h :
.b A h D E n L O B IS
i “A K U L ‘l ‘A 5 n b h .U h b i s i ' V i i ^ b r i ' A ^ A l u i - A ^u U - A
S U K A B A i A
0
2 JAN
1992
i* iA 5 A L A H JtU ittJAu J lAiM B A U l n A S l h
TA.N A H P i i K l ’A f l l A f t
D I ju sC AJVjATAU S U K U L jL L U KU 'TA lviA U iA S U R A B A Y A
S Kd - C ^ U M DAJM S itfiU D A H Vi i )l \VAi ^^ Ai \u l A
UwDAiiU-UwDAivU JNOiUtt 2 TAiiUw I960
b KH1PS1
D IA J U & A h U w ’I'U ii. K & .u b ^ G X A P I TU U A b
l)Ain ivi)iiviiiJ ^ U n I S X A h A T - S 'iA n A T UimTUK
IV fcw G A .t'A l U.l LA£. S A K J A iN A H U KU M
Oleh :
i±AtiD.&K liUisib
038111029
P B h iiim jiftC r D Att J r .b w (iU d I
S u t t A u A l A
K A T A i^ fo C r A iV lA K
ir*uji syukur kehadirat Allah £>WT yang telah memberi-
kan rahmadhya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ak
hir penulisan skripsi ini, sebagai aalah satu syarat untuk
menyelesaikan studi di Jf'akultas nukum universitas Airlang-
ga.
Dalam penulisan skripsi.ini, eaya merasa masih ba-
nyak kekurangan, meskipun saya telah berusaha dengan sege-
nap kemampuan yang ada. ixamun demikian, skripsi ini me-
namhah manfaat bagi para pembaca terutaraa rekan mahasiswa.
Selama menyelesaikan skripsi ini saya merasa telah
menerima bantuan berupa petunjuk-petunjuk dan bimLingan-
bimbingan dari berbagai pihak. baya mengakui dan menghargai
hal ini sebagai jasa yang tidak dapat saya lupakan.
Pada kesempatan ini perkenankan saya mengucapkan
banyak terima kasih kepada yang terhormat :
1. ^apak k . Djoko boemadijo, b.n., selaku Dekan iakultas
hukum Universitas ^irlangga, serta kepada guru besar,
dosen dan para asisten yang telah membekali saya de
ngan pengetahuan;
2. -oapak toisnu Susanto, S . h # , sebagai dosen pembimbing
sekaligus penguji, yang telah banyak meluangkan waktu-
nya untuk memberikan pengarahan dan saran-saran dengan
penuh kesabaran;
sebagai dosen penguji, yang telah meluangkan waktunya
menguji saya;
4. Ayahanda Almarhum dan Ibunda tercinta yang selama ini
mendoakan serta memberikan dorongan atau jasa, baik
materi maupun spiritual sehingga saya dapat raenyele-
saikan skripsi ini;
5. iS-akakku dan adik-adikku yang selama ini mendoakan se
hingga skripsi ini dapat saya selesaikan tanpa halang-
an yang berat;
6. Bapak Parman sebagai Sekuilcam Sukolilo yang telah ba
nyak memberikan informasi, sehingga terselesainya
skripsi ini.
Akhirnya, dengan segala rendah hati, saya persem-
bahkan tulisan ini kepada pembaca yang bijaksana. Sehingga
skripsi ini mencapai tujuan.
-UNIVERS1TAS A1RLANGGA'
S U R
A B A v A M I L I K -PERPUSTAKAANburabaya, Oktober 1988
P e n u l i s ,
Bahder lubis
DAri'Att IS1
Halaman
KATA M u A V T A K ... ... .. iii
LA-b'i'AK 1SI ... ... v
BAB I : Pi^BAHUlUAi'. ... ... 1
a. Permasalahan : Batar .belakang dan ire-rumusaiiHja . ... 1
B. Penjelasan Juaul ... ..
4
<J. Alasan -teiiiilihan Judul ...
6
P. Tujuan ienulisan ... ...
7
ftetodologi ...
8
P. Pertanggungjawaban £>U t e m a t i k a ... 9
BAB II : TIi\J AlAfl Ui\Ufa T&M'AJN^ PJ:,hJ Ai\J iAi'i BAGI r .A S IL TAKAn Pjih'rAjx 1A1... . ... 11
1..P e n g e r t i a n Secara bmum ... 11
2. Pengertian Perjanjian i-agi Hasil Se belum Undang-undang Senior 2 Tahun I960 12 3 . P e n g e r t i a n r e r j a n j i a n - B a gi n a s i l S e - sudah jsi berlakukar.i.ya undang-undang I'.omor ? Ta h u n I960 ... 14
4. Proses Pembuatan Perjanjian Bagi iJa-sil ... ... ... 15
B Ab 111 I r'E-Ln.XSAinAAI* TB AiiAl'ji.P xiiihuAi'.J XAi'i .dAGI uAbiL ... 22
Halaman
1. 'Xinjauan iiistoris Undang-undang
too-m o r 2 'i'a l iu n I 9 6 0 ... . . . 2 2
2. 1'injauan iuridis i'erjanjian -oagi Ha
sil ...
31
IV : j’hnJAfJJlAN iJAoI HAbIL lXa'Ws H U u . T M
46
1. Perjanjian sagi nasil di wilayah Ke
camatan Sukolilo .... .
46
2. Keuntungan dan Xerugian Kentaati
Undang-undang rvoiiior 2 Tahun I960 .. 51
3. keuntungan dan ^erugian henyimpangi
Undang-undang i\omor 2 I'aliun i
960
. . 534
. if'aktor-faktor ^ang fienghambat Pelak-sanaan Undang-undang i^omor 2 Tahun
I960 ... — . ... . 55
5. iifektifisasi ... ... 61
bAt i V : i- 'K N U T U P ...* ... .. ... 6 3
1. Kesimpulan ... ... . 63
2. Saran ... ...* 67
D A I 'I A K
.PiS^DAdUXjUAlNi
A. Permasalahan : Latar Belakang dan Perumusannvft
Setelah proklamasi Kemerdekaan Kepublik Indonesia
terasa akan kebutuhan hukum yang berlaku sama bagi sege-
nap lapisan masyarakat, khususnya di bidang agraria. Ke-
nyataan yang ada pada waktu itu terdapatnya perbedaan
perlakuan hukum diantara beberapa golongan rakyat.1 Xaitu
yang merupakan akibat dari politik pemerintah penjajah di
jaman sebelum kemerdekaan. Dari itu pemerintah bersama
DPK berusaha mengadakan unifikasi dan kodifikasi hukum agra
ria yang bersifat nasional. Dan sekarang telah ternyata ha-
silnya yaitu Undang-undang nomor 5 tahun I960 (Undang-undang
Pokok Agraria) dengan berbagai aturan pelaksanaannya.
Ualam kenyataannya semua aturan yang telah digaris-
kan pemerintah dalam peraturan perundangan itu, tidak se
mua berjalan sesuai dengan keinginan pembentuknya, dalam
arti ditaati oleh masyarakat. Khususnya dalam hal ini yang
menjadi sorotan penulis yaitu mengenai aturan perjanjian
bag! hasil yang termuat dalam Undang-undang nomor 2 tahun
i960, Undang-undang mana sampai sekarang masih belum
ber-BAB I
Poerwadarminta, ^amus Umum i^ahasa Indonesia, Pft Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h. 266.
laku sebagaimana yang dikehendaki.
Berdasarkan pengamatan sementara, nampak bahwa prak
tek perjanjian bagi hasil di ivecamatan Sukolilo menyimpang
dari apa yang telah digariskan pemerintah dalam Undang-un-
dang yakni mengenai bentuk perjanjian dan pembagian hasil
tanah garapan. Dalam pasal 3 Undang-undang nomor 2 tahun
i960 dirumuskan :
1. Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemi lik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan kepala Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan celanjutnya dalam bidang-bidang ini disebut : kepala Desa de ngan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing da ri pihak pemilik dan penggarap.
2. Perjanjian bagi hasil termaksud dalam ayat 1 di atas memerlukan pengesahan dari ^amat/^epala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam undang-undang ini di sebut Camat.
Oleh karena itu menurut pasal tersebut perjanjian bagi ha
sil harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang dibuat diha
dapan Kepala Desa dengan dipersaksikan oleh dua orang sak-
si (satu saksi dari pemilik dan satu saksi dari penggarap)
kemudian disahkan oleh tarnat. Sedangkan dalam praktek per
janjian bagi hasil itu dilakukan dengan lisan yang
berda-2
budargo Gautama, ‘lafsiran Undang-undang Pokok Agra-
-rMa r Alumni, uandung, 1981, h. 253.
\ u k u h Ahmadi, i-'engantar nukum Ag.rnrj.af Usaha I'Jasi- onal, Surabaya, 1977, h. 28.
sarkan saling percaya.
begitu juga dalam pembagian hasil tanah garapan da
lam prakteknya bermacam-macam caranya, antara lain pemba
gian hasil tanah garapan antara pemilik dan penggarap ya
itu 5=2 atau 2:1 untuk padi di sawah. Sedangkan untuk ta
naman di tanah kering dan palawija 1:1 bagian antara peng
garap dan pemilik. Pada hal dalam penjelasan pasal 7 Un-
dang-undang nomor 2 tahun I960 telah ditentukan bagian an
tara pemilik dan penggarap 1:1 untuk padi di sawah, sedang
kan untuk tanaman di tanah kering dan palawija bagian pe
milik 1/3 dan bagian penggarap 2/3.
Hamun demikian undang-undang ini memberikan sebagai pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap 1:1 teatu lawan satu), yaitu untuk padi yang ditanam di sawah. Untuk tanaman palawija di sawah dan untuk ta naman di tanah kering bagian penggarap 2/3 dan pe milik 1/3.
Begitu kiranya kenyataannya pembagian hasil tanah
garapan yang dilakukan bertentangan dengan apa yang se-
harusnya dilakukan. Oleh karena itu maka di sini dapat
penulis kemukakan suatu permasalahan, yaitu faktor-faktor
apa yang menghambat pelaksanaan ketentuan Undang-undang
nomor 2 tahun I960 tersebut sehingga tidak ditaatinya ke
tentuan itu.
Kupanya pemerintah tidak begitu memperhatikan
berlakuan apa yang telah ditetapkan dalam perundang-undang-
an dalam hal ini Undang-undang nomor 2 tahun I960. Pada hal
dalam kehidupan masyarakat. hubungan hukum yang diatur da
lam undang-undang itu yaitu perjanjian bagi hasil merupa
kan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya,
dalain arti hubungan hukum tersebut masin sering dilakukan
masyarakat petani, hal ini mengingat kondisi sosial petani
di Indonesia masih menghendakinya.
Lilain pihak petani dalam melakukan perjanjian bagi
hasil ada kecenderungan mengikuti aturan adat kebiasaan se
tempat, sehingga hal ini menambah jauhnya jurang pemisah
antara keinginan pembuat undang-undang dengan kenyataannya
yang terjadi. Jika hal ini terjadi terus menerus dapat di-
katakan peraturan-peraturan itu tidak berlaku, tidak efek-
tif. Sehingga tidak berhasillah pemerintah dalam mengada-
kan pembaharuan dan perubahan dalam bidang pelaksanaan per
janjian bagi hasil, yang pada mulanya dalam perjanjian b a
gi hasil itu dirasakan adanya unsur pemerasan manusia. atas
manusia.
b, Penielasan Judul
Secara umum terhadap hal bagi hasil merupakan isti
lah teknis yuridis yang oleh pasal 1 huruf c Undang-undang
nomor 2 tahun I960 tentang pengertian bagi hasil diberi
antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan
hukum pada pelaksanaan lain yang disebut beraasarkan per
janjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik terse
but untuk menyelenggaxakan usaha pertanian di atas tanah
pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pi
hak. Sengaja dipilih judul nak ^agi nasil sawah pertani
an, disini sebagian kunci keberhasilan bidang pertanian
dan permasalahannya. adalah dimaksudkan bahwa dalam rang-
ka hak bagi hasil ini merupakan pula faktor dan kunci.
nak bagi hasil yang dimaksud adalah untuk menye-
lenggarakan suatu usaha pertanian di atas tanah milik orang
lain (pemilik tanah; dengan perjanjian bahwa : hasilnya
akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang
telah disetujui sebeiumnya.
iJalam perjanjian tersebut nantinya akan diperhitungkan hak
haknya masing-masing terganturig berapa besar jumlah yang
akan diterima setelah usai (setelah panen;.
nak bagi hasil tanah pertanian ini merupakan kunci
keberhasilan di bidang pertanian dimana nantinya bisa me-
ningkatkan produksi pangan dan membantu sedikit banyak pe
tani penggarap untuk meningkatknn tarap hidupnya.
rembahasan masalah bagi hasil tanah pertanian akan
saya uraikan dimana melihat dahulu segi-segi permasalahan
yang timbul tentang hak bagi hasil, dan sejauh mana aparat
6
yang menghambat hak bagi hasil tersebut.
C . Alasan Pemilihan Judul
Balam penulisan skripsi ini penulis sengaja meng-
ambil judul raengenai masalah dalam hukum pertanahan, ya-
itu : "faaaalah Perjanjian i>agi nasil ianah -t'ertanian Bi
Aecamatan Sukolilo i^otamadya Surabaya11, sebelum dan se-
sudah diundang-undangkannya Undang-undang nomor 2 tahun
I960.
Undang-undang nomor 2 tahun I960 adalah
undang-un-dang perjanjian bagi hasil :
Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik disatu pi- hak dengan seorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang-undang ini disebut penggarap ber- dasar perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilikcdengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Jadi dengan demikian judul itu berarti ketepatgu-
naan atau kemanjuran aturan Undang-undang nomor 2 tahun
I960 terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil dalam
masyarakat. Atau kemampuan undang-undang tersebut untuk
mentaatkan masyarakat terhadap dirinya dalam hal masya
rakat membuat perjanjian bagi hasil.
Penulis rnengambil judul di atas berdasarkan bebe-
negara agraris, artinya eebagian besar penduduknya mata
pencahariannya adalah bertani. Sehingga masalah hukum ta-
nah yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang,
antara orang dengan tanah merupakan masaleii yang sangat
penting bagi negara kita sebagai negara agraria.
Selain dari pada itu secara lebih khusus yang penu-
lis bahas adalah perjanjian bagi hasxl yang merupakan per-
buatan hukum antara orang dengan orang yang mempertautkan
tanah, Kita mengetahui bahwa kondisi negara kita sebagai
negara agraris adalah kurang menguntungkan, jika kita li-
hat dari jumlah lahan pertanian yang tersedia dan jumlah
penduduk yang ada. Artinya jumlah lahan yang tersedia sa
ngat terbatas dibandingkan dengan jumlah petani yang memer-
lukan. Selain dari keadaan pemilikan lahan pertanian di
Indonesia tidak merata dalam arti ada orang-orang yang me-
miliki lahan pertanian secara berlebihan dan banyak juga
orang-orang yang tidak memiliki lahan sendiri, atau punya
lahan tapi. sangat minim sehingga tidak mencukupi untuk ke-
perluan hidupnya. Lari keadaan septrti ini berakibat ba-
nyaknya praktek bertani tanpa memiliki tanah sendiri mela-
lui perjanjian bagi hasil bagi mereka yang tidak punya mo
dal dan melalui persewaan tanah bagi mereka.
L. Tuiuan i^enulisan
memperoleh gelar sarjana hukum pada iakultas Hukum bniver-
sltas Airlangga, di samping itu juga untuk meneliti dan
membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab tidak berla-
kunya lindang-undang nomor 2 tahun I960 tersebut, walaupun
di dalam kitab Undang-undang Agraria nomor 5 tahun I960
hanya dikatakan bersifat sementara.
L. ^etodologi
1. Pendekatan Masalah,
Pembahasan yang lebih mendalam terhadap masalah ini
saya menggunakan pendekatan dari segi yuridis formil yaitu
secara studi kepustakaan dan dari segi praktek, saya raela-
kukan peninjauan secara langsung pada penggarap lahan per
tanian.
2. Sumber JJata.
Balkan penulisan saya peroleh dari literatur-litera-
tur yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang saya
bahas, di samping itu wawancara dengan pihak-piliak yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Analisis Lata.
Lata yang telah terkumpul dianalisa berdasarkan me-
tode komperatif yaitu membandingkan data yang diperoleh
Pertanggung.iawaban Sistematika
Pertanggungjawaban sisteraatika ini berdasarkan atas
sistematika yang saya pakai di dalam-penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
Pendahuluan, eaya letakkan di dalam Bab X karena di
dalam Pendahuluan ini berisi uraian singkat dari pokok per-
masalahan yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya. Di
samping itu agar pembaca dapat memperoleh gambaran perma-
salahan, latar belakang, penjelasan judul, alasan pemilihan
judul, tujuan penulisan, metodologi serta pertanggungjawab-
an sistematikanya.
Dengan memahami tentang .bab Pendahuluan tersebut ma-
ka selanjutnya untuk memberikan gambaran dasar sebelumnya
untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan hak
bagi hasil. Untuk kaitan penyelesaian didalam perumusan per
masalahan berpijak pada dasar pendahuluan disini saya letak
kan di dalam .Dab II yaitu 1'injauan bmum Tentang Perjanjian
■bagi riasil Tanah Pertanian. Setelah itu merumuskan penda-
laman bagaimana Pelaksanaan Perjanjian ^agi ttasil itu, baik
secara historis maupun tinjauan yuridis ini saya letakkan
di dalam -cab ill, ini agar tidak terjadi kesimpang siuran
bagi pembaca, hak bagi hasil kenyataan yang hidup dalam
masyarakat ternyata tidak seeara yuridis. Praktek bagi h a
sil di Kecamatan Sukolilo diternpatkan di dalam Bab IV agar
i960, Praktek ini saya gambarkan melihat cara kerja desa
yang satu dengan desa yang lain yang berbeda, serta me
lihat keuntungan dan kerugian mentaati undang-undang nornor
2 tahun I960, Dengan adanya faktor penghambat serta efek-
tifnya Undang-undang nomor 2 tahun I960. Dengan adanya ke-
nyataan yang demikian di dalam masyarakat yang kita lihat
selama ini di dalam praktek yang berlangsung di Kecamatan
bukolilo, Lengan memperoleh gamtaran yang luas maka Penu-
tup saya letakkan pada iiab V, karena di dalamnya merupakan
saran, kesirnpulan dari apa yang saya uraikan dan sekaligus
bab yang terakhir dari penulisan ini.
BAB 11
‘JIIHJAUAA m m 'i'EhTAKG
PfcttJA^JlAJN BAUi HASIL TAW Ah KhtoAiN lAw
1. Pengertlan kecara Umum
Banyaknya digunakan sebutan mengenai perjanjian ba
gi hasil sering kali raembingungkan seperti misalnya : per
janjian hak guna usaha bagi hasil, perjanjian pengusahaan
tanah pertanian, dan sebutan hak menggarap tanah pertanian
dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara peng
garap dan pemilik, eebenarnya dari banyaknya sebutan-sebu-
tan tersebut mempunyai arti yang sama dan untuk selanjut
nya saya akan menggunakan sebutan perjanjian bagi hasil.
Untuk pertama kalinya sebutan perjanjian bagi hasil
ini dikenal di dalam hukum adat, karena pada waktu tidak
ada peraturan-peraturan yang mengaturnya, tetapi setelah
dikeluarkannya undang-undang nomor 2 tahun I960 (UUPBH),
maka semua peraturan mengenai perjanjian bagi hasil yang
diatur oleh hukum adat dianggap tidak berlaku lagi.
Yang dimaksud dengan pengertian perjanjian bagi h a
sil adalah :
Perjanjian dengan narna apapun juga yang diadakan an tara perrilik dan pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalain Undang-undang ini disebut : penggarap berdasarkan perjanjian ini penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik,
M I L I K.
P E R P U S T A K A A N
"U N IV E R S 1 T A S A lR L A N G G A "
S U R A B A Y A 12
6 dan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Oleh karena Indonesia terdiri dari beberapa daerah yang
berbeda-beda tentang corak dan ragam kebudayaannya, begitu
pula tentang bahasanya. kemikian halnya dengan istilah yang
dipakai dalam perjanjian bagi hasil ini ada beberapa sebut-
an antara lain '•
1. di ivJinangkabau d i k e n a l d e n g a n sebutan " ^ e m p e r d u a i " ;
2. di M n a h a s a dikenal dengan sebutan "Tojo” ;
3. di Jawa -carat {-triangan; dikenal dengan sebutan
"hengah" atau "jejuren";
4. di ^awa Tengah/Jawa Timur dikenal dengan sebutan
"Maro" atau “hertelu";
5. di i>ombok dikenal dengan sebutan "Kyakap".
I'ada pokoknya kesemuanya mengandung pengertian ynn*:. sama,
hanya saja yang membedakannya adalah dari daerah mana is
tilah tersebut berasal.
2. Pengertian Per.ian.iian .bagi flasil bebelum undang-undang
i'Jnmor 2 Tahun 1960
Perjanjian bagi hasil diatur dalam hukum adat, yang
dalam hal ini dari berbagai hukum adat yang ada di seluruh
wilayah Indonesia tidak sama aturannya. ^etidaksamaan ini
terutama sekali mengenai cara pembagian beban biaya peng-
garapan dan pembagian hasil tanah garapan antara pemilik
dan penggarap, yang mana semua aturan hukum adat itu ba-
nyak menguntungkan pemilik dari pada penggarap, baik dalam
pembagian beban biaya penggarapan maupun dalam pembagian
hasil tanah garapan.
Hal ini dapat dimengerti karena dalam pembuatan per
janjian kedudukan pemilik adalah kuat dibanding penggarap.
Dan juga dikarenakan terlalu banyaknya petani penggarap
yang memerlukan tanah garapan sedangkan tanah yang terse-
dia hanya sedikit. ^eadaan seperti ini mengakibatkan per-
saingan hebat diantara penggarap untuk mendapatkan tanab
garapan, sehingga dalam pembuatan perjanjian bagi hasil
penggarap mau menerima syarat-syarat yang berat dari pemi
lik, asalkan ia mendapatkan tanah garapan. hal seperti ini
digunakan oleh pemilik tanah untuk mendapatkan dan menge-
ruk penghasilan yang banyak dengan tiada sueah payah be-
kerja dan tiada menanggung resiko yang berat. l>i lain pi-
hak penggarap yang melakukan kerja keras dalam mengusaha-
kan/mengelola tanah pertanian mendapatkan hasil yang se-
dikit, tidak sesuai dengan tenaga modal yang dikeluarkan.
Disinilah akan terjadi apa yang dinamakan pemerasan manu-
sia atas manusia atas rnanusia.
uleh karena itu dalam raugka mengakhiri keadaan
yang demikian atau setidak-tidaknya membatasi sifat peme-
rasan ini maka diadakan usaha-usaha melindungi golongan
yang ekonominya lemah, yaitu dengan dibuat dan diundang-
kannya undang-undang nomor 2 tahun I960 yaitu undang-un-
dang tentang perjanjian hagi hasil.
1'ujuan dibuatnya Undang-undang bagi hasil adalah
agar pembagian hasil tanah antara pemilik dengan penggarap
dilakukan atas dasar yang adil, dan juga untuk menjamin ke-
dudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan
hak dan kewajiban antara pemilik dengan penggarap. ^ehing-
ga dengan demikian dapatlah dibatasi atau dihilangkan ada
nya unsur-unsur pemerasan manusia atas manusia yang terda-
pat didalam perjanjian bagi hasil.
3, Penaertian Per.ian.iian uagi uasil Sesudah JJiberlakukan-
nva undanfi-undann fromor 2 I'ahun 1960
berarti dalam membuat perjanjian bagi hasil harus
mengikuti aturan yang ada dalam undang-undang tersebut dan
harus mengesampingkar. hukum adat. Akan tetapi tidak demi
kian halnya di masyarakat Kecamatan Sukolilo, bahkan ber-
laku sebaliknya. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil masih
mengikuti aturan adat kebiasaan setempat, tidak mengikuti
aturan yang ada dalam Undang-undang nomor ? tahun I960
tidak efektif dalam pelaksanaannya, pada hal undang-undang
ini berlaku sudah - 2b tahun. iial ini disebabkan selain
perumusan undang-undangnya kurang memperhatikan keadaan
sosial yang ada dalam raasyarakat yang dikenai undang-un
dang juga disebabkan karena Pejabat yang ditunjuk sebagai
pelaksana Undang-undang perjanjian bagi hasil (.Undang-un-
dang nomor 2 tahun I960; di tingkat Kecamatan dan Desa
tidak men^etahui adanya aturan undang-undang yang harus
diikuti dalam raembuat perjanjian bagi hasil. Di lain pi-
hak masyarakat petani dalam membuat perjanjian bagi hasil
ada kecondongan tetapi mengikuti aturan adat kebiasaan se-
tempat, karena hukum adat telah melekat/meresap di hati
sanubari masyarakat, Keadaan seperti ini menambah jauhnya
keberhasilan pembentuk undang-undang untuk mewujudkan ci-
ta-citanya, berarti pula tidak berhasilnya menghapuskan
unsur-unsur pemerasan yang ada dalam perjanjian bagi hasil.
4. i^roses Pembuatan Per.ianiian £agi hasil
“Aetentuan-ketentuan hukum adat yang semula menga-
tur lembaga bagi hasil itu dinilai sebagai kurang menjamin
kepastian hukum bagi para petani penggarap dan ...serta
dengan ukuran Pancasila kurang mewujudkan pembagian haeil
hasil produksi secara adil".
Di dalam suatu perjanjian unsur kata sepakat harus
terdapat pada perjanjian itu. Demikian pula halnya dengan
perjanjian bagi hasil, kesepakatan antara pemilik tanah
pembuatan perjanjian kehadiran para pihak merupakan ke-
harusan, dengan mengeraukakan segala kehendaknya tetapi
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Pasal 3 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun I960 menyata-
kan ;
Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemi lik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan selan- jutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala De sa" - dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing- masing dari pihak pemilik dan pihak penggarap.
Dengan adanya ketentuan undang-undang mengenai pembuatan
perjanjian bagi hasil, pihak penggarap kedudukannya sarna
dengan pemilik. Tidak lagi adanya keragu-raguan pada pi
hak penggarap tentang laraanya jangka waktu perjanjian,
hak dan kewajiban penggarap serta pemilik. mengenai sya-
rat-syarat perjanjian itu harus disebutkan dengan jelas
dan lengkap, menjaga kemungkinan dikemudian hari agar ti
dak terjadi kesalah pahaman. Kepala Desa berkewajiban
untuk memberikan penjelasan kepada pemilik dan penggarap
mengenai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian bagi hasil
yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari ma-
sing-masing pihak. Demikian pula tentang peraturan-per-
aturan dalam ketentuan Undang-undang Pokok -bagi nasil dan
16
boedi harsono, Seminar flukum Pertanahan uimpunan
Kerukunan T'ani Indonesia. Sumatera7 B a n d u n g . 1978. h. 71.
peraturan pelaksanaannya agar dijelaskan kepada mereka.
Seorang penggarap harus seorang petani, dalam arti
ia langsung mengerjakan tanah garapannya sesual dengan
pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 2 tahun I960 yang me-
nyatakan :
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan men-
jadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya sendiri mau- pun yang diperolehnya secara menyewa, dengan perjan- jian bagi hasil ataupun secara l a i n n y a , tidak akan lebih dari sekitar 3 ^tigaj hektar.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri touda Agraria
nomor Sk/322/Ka/1960, tentang Pelaksanaan Undang-undang
nomor 2 tahun I960 maka “seorang* petani penggarap yang mem-
punyai tanah garapan lebih dari 3 (tigaj hektar harus men-
dapat ijin dari Camat letak tanah garapannya. Ketentuan ini
sebagai pelaksanaan pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pokok Ba
gi Hasil, yang raenyatakan : "Orang-orang tani yang dengan
mengadakan perjanjian bagi hasil tanah garapannya akan me-
lebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap,
jika mendapat ijin dari Nenteri huda Agraria atau pejabat
yang ditunjuk olehnya".
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang nomor 2 tahun I960 menunjuk-
kan adanya pembatasan penguasaan tanah sesuai dengan pasal
7 Ondang-undang nomor 5 tahun I960, khususnya yang menyang-
kut perjanjian bagi- hasil.
Pasal 7 Undang-undang nomor 5 tahun I960, menyatakan :
"Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan
dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diper-
kenankan".
Pedoman I tanggal 7 ^aret I960 tentang Pedoman Ba
gi Kepala Daerah Tingkat 11, Uarnat dan Kepala Desa menge
nai Pelaksanaan heberapa ketentuan Undang-undang nomor 2
tahun I960 tentang Perjanjian i>agi nasil menyatakan, bali-
wa :
Surat perjanjian bagi hasil dibuat dalam rangkap 3 yang asli tdibubuhi meterai ty. 3,-; di simpan oleh Lepala Desa seaang yang kedua dan ketiga untuk pe milik dan penggarap sebagai turunan. Dembar kedua dan ketiga tidak ditandatangani oleh pemilik, peng garap dan para saksi, tetapi inerupakan turunan yang diberikan oleh K-epala Desa. L-engan demikian tidak perlu bermeterai. fcurat-surat perjanjian itu dica- tat oleh Kepala Desa di dalam buku register.
Surat Departemen Agraria tanggal 5 Agustus 1964 no-
mor DhK/5/17 tentang Pengantar/penjelaean P^PA nomor 4 ta
hun 1964 alinea 5 dan 6 menyatakan, bahwa "penyelenggaraan
bagi hasil dilakukan dengan cara mengisi buku dai’tar hasil
dihadapan Kepala Desa yang bersangkutan, dengan disaksikan
oleh para saksi yang rnasing-masing ditunjuk oleh pihak pe
milik dan pihak penggarap tanah".
Dengan demikian pembubuhan meterai tidak diperlukan lagi. Jika di kemudian hari terjadi perselisihan/ sengketa mengenai usaha bagi hasil tersebut, dapatlah kiranya surat keterangan bagi hasil tersebut dibubuhi meterai ^nazegelen> di Pengadilan we&eri setempat un tuk dipakai segala alat bukti.
Perjanjian Dagi hasil yang dibuat di hadapan Kepala Desa
dengan dihadiri oleh para pihak dan saksi-saksi, tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila belum disahkan oleh
Camat setempat. Dalam hal ini Camat berhak memeriksa ke-
tentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam perjanjian bagi
hasil itu, terutama mengenai imbangan pembagian hasil ta-
nahnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan di
dalam Undang-undang nomor 2 tahun I960 tentang Perjanjian
Bagi ttasil dan pula menurut i'enetapan Jvepala daerah se
tempat.
Pasal 4 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun I960 me-
n y a t a k a n , bahwa "Perjanjian bagi hasil diadakan untuk wak-
tu yang dinyatakan di dalam surat perjanjian tersebut pada
pasal 3 dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu ada
lah sekurang-kurangnya 3 Vtiga) tahun dan bagi tanah ke-
ring sekurang-kurangnya 5 ^lima; tahun'1.
Dalam hal-hal yang memaksa jangka waktu perjanjian bagi
hasil dapat kurang dari 3 ^tiga; tahun untuk sawah dan
kurang dari 5 (lima; tahun untuk tanah kering, yang bia-
sanya merupakan tanah-tanah yang diusahakan oleh pemilik-
nya sendiri. tial-hal yang memaksa tersebut misalnya ka-
rena pemilik sakit keras atau pergi ke suatu daerah untuk
melaksanakan suatu tugas tertentu dalam jangka waktu yang
cukup lama.
Setelah keadaan tersebut berakhir mereka kembali menger-
jakan tanah seperti semula.
Daerah Kabupaten Tingkat II berhak menetapkan
ya administrasi untuk daerah masing-masing. Besarnya bia-
ya administrasi yang boleh dipungut oleh kepala Uaerah
berhubung dengan pekerjaannya yang bersangkutan tidaklah
selalu saraa untuk setiap daerah, Pembayaran biaya adminis
trasi dilakukan oleh pemilik, bila penggarap merupakan ba-
dan hukum maka penggaraplah yan& membayarnya. Balam penje-
lasan Undang-undang nomor 2 tahun I960 dinyatakan, bahwa
"pada asasnya badan-badan hukum apapun juga dilarang untuk
menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini
penggarap haruslah orang tani....M
Bagaimanakah kenyataan dari pelaksanaan perjanjian bagi h a
sil di dalam masyarakat tani, terutama peranan aparat perne-
rintah sesuaikan dengan instruksi Presiden nomor 13 tahun
1980 .tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang nomor 2 ta
hun I960 tentang Perjanjian -Dagi nasil, yaitu pasal 2 ayat
4 huruf a dan b menyatakan :
Penertiban dan peningkatan i-elaksanaan Undang-undang nomor 2 tahun I960 sebagaimana dimaksud dalam ayat
{1} dilakukan dengan menyelen^garakan :
a. penyuluhan secara berencana, teratur, intensif dan terus menerus kepada para petani penggarap, pemilik tanah dan seluruh masyarakat desa;
b. pen&endalian dan pengawasan secara efektif dan efi- sien.
vi dalam instruksi bersama wenteri Ualam Kegeri dan
Utonomi Laerah dengan foenteri Agraria nomor Pem. 19/31/34
Sekra 9/3/32 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 2 ta
hun I960 tentang Perjanjian £agi nasil dinyatakan, bahwa :
Pelaksanaan Undang-undang tersebut tidak boleh di- pertangguhkan lagi dan karena penyelenggaraannya un tuk sebagian besar diletakkan atas pundak pejabat- pejabat i'among i^raja, maka berhasil atau tidaknya usaha tersebut akan sangat tergantung kepada kesang- g u p a n , kesungguhan dan kebijaksanaan pejabat-pejabat yang bersangkutan.
BAB III
PB'LAKSANAAtt TBrihADAP
PISkJANJ IAN BAGI riASil
1. Tinlauan hietoris undang-undang flomor 2 'Tahun I960
a. Batar Belakang Pembentukan.
Pada masa jabatan Menteri Agraria lvir. Soedjarwo
yaitu tepatnya pada tanggal 7 Uanuari I960 telah diundang-
kan Undang-undang nomor 2 tahun I960 tentang Perjanjian
■oagi hasil, yang termuat dalam lembaran Negara nomor 2 ta
hun I960,
Perjanjian -bagi hasil sebelum diundangkannya Undang-
undang nomor 2 tahun I960 di atur dalam hukum adat,
Dalam hukum adat telah dikenal jenis perjanjian ini namun
namanya tidak disebut dalam istilah yang saraa, akan tetapi
disebut dalam istilah yang berbeda, sesuai dengan b a n y a k
-nya macam lingkungan hukum adat yang ada. Di daerah Jawa
disebut dengan istilah “m a r o ^ , di daerah Priangan disebut
"nengah*1, di Sulawesi £>elatan disebut "tesang", di Minaha-
sa disebut ‘‘toyo" dan lain-lain.
Bentuk perjanjian bagi hasil menurut hukum adat ada
lah tidak harus dalam bentuk tertulis atau akta.
"P'erjanjian itu hanya terl^ksana diantara kedua belah pi-
hak saja, selanjutnya bahwa jarang dibuatnya surat akta
Q
g daripada perbuatan hukum itu".
l>ari perkataan Ter naar yang memakai kata-kata "ja-
rang dibuatnya surat akta", itu berarti bahwa perjanjian
bagi hasil menurut hukum adat umumnya dibuat hanya dengan
kesepakatan lisan saja.
Pada asasnya perjanjian bagi hasil dilaksanakan atas
dasar saling percaya antara kedua belah pihak ^penggarap
dan pemilik).
Perjanjian itu terlaksana diantara kedua belah pi
hak saja, artinya dengan adanya pemilik dan penggarap saja
sudah bisa terjadi perjanjian itu. Bantuan penghulu rakyat
atau ivepala i>esa tidak menjadi syarat sahnya pembuatan per
janjian bagi hasil. -begitu juga adanya kesaksian dari pi
hak lain/orang lain tidak diperlukan dalam pembuatan per
janjian bagi hasil.
baat terjadinya perjanjian bagi hasil sejak adanya
kata sepakat, bahwa pemilik mengijinkan penggarap untuk me-
ngusahakan/menanami tanahnya itu, untuk kemudian hasilnya
dibagi antara pemilik dengan penggarap sesuai dengan kese
pakatan sendiri.
hengenai jangka waktu perjanjian, dalam bukunya
"iiukum Adat Jawa Barat" Prof. Ur. Kd. Soepomo, S.H. menga-
takan :
q
Di seluruh wilayah hukum perjanjian bagi hasil biasa- nya hanya dilakukan untuk waktu satu kali panen. Se-
sudahnya perjanjian itu biasanya dilanjutkan dengan diam-diam, setiap kali untuk satu tahun panen. Kami tidak mendapatkan peristiwa, bahwa bagi hasil dilaku kan untuk waktu lebih dari satu tahun panen berdasar- kan perjanjian yang telah diadakan sebelumnya.
^ang dimaksud dengan satu tahun panen adalah mulai
, . . - - 11
d a n musim sampai musim panen.
Satu tahun panen itu tidak ditentukan oleh iamanya berapa
bulan dan hari sebagaimana tahun kalender. Dan juga tidak
ditentukan oleh Iamanya tanam sampai panen yang diusahakan
oleh seorang penggarap. Akan tetapi satu tahun panen itu
ditentukan oleh ’'musim" yaitu dari musim tanam sampai mu
sim panen di suatu daerah. m m g k i n satu musim tanam sampai
musim panen waktunya lebih lama dari satu waktu tanam sam
pai panen yang diusahakan oleh seorang penggarap.
Sedangkan yang dimaksud dengan “perjanjian itu bia
sanya dilanjutkan dengan diam-diam14 ialah jika jangka wak
tu perjanjian bagi hasil itu habis yaitu setelah satu ta
hun panen, sedangkan pemilik tidak memutuskan atau tidak
memberi tahu kalau tanahnya akan diambil lagi, maka biasa
nya penggarap melanjutkan terus pengusahaan tanahnya sam
pai tahun panen lagi, begitu seterusnya jika pemilik tidak
memperhatikan perjanjian bagi hasil pada tiap selesai
ta-24
■^Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa -Barat. Djambatan, Jakarta, 1982, h. 164.
hun panen.
Jika terjadi pemindahan hak milik atas tanah yang
terpaut dalam perjanjian bagi hasil, raaka menurut hukum
adat pemindahan hak itu tidak menghapuskan atau
mempenga-ruhi berlangsungnya perjanjian bagi hasil. Hasil
peneliti-an ypeneliti-ang dilakukpeneliti-an oleh -t'roX. Ur. ivd. Soepomo di daerah
Ka-bupaten Bandung, XaKa-bupaten ttarut dan ^aKa-bupaten Sumedang
membuktikan bahwa penyerahan sav/ah dengan jalan menjualnya
oleh pemilik kepada pihak ketiga, sedangkan sawah itu
di-kerjakan oleh seorang penggarap dengan bagi hasil, dalani
kejadian seperti ini penggarap tetap mengerjakan tanah
sam-pai panen, sedangkan sebagian hasil panen yang menjadi hak
13 pemilik tanah diberikan kepada pemilik yang baru.
Tentang pembagian hasil tanah garapan, di dalam h u
kum adat terdapat beberapa sistem pembagian yaitu : sistem
maro, sistem mertelu, sistem mrapat dan sistem ceblok (is-
tilah-istilah yang dipakai di daerah Jawa B a r a t) . ^
Lari berbagai sistem itu, pembagian beban ongkos
penggarapan antara penggarap dan pemilik adalah berlainan
di beberapa daerah.
Sistem maro merupakan sistem yang paling banyak
ter-1 ?
Soepomo, Up. c i t . . h. 163.
13I b i d . . h. 165.
14I M d . . h. 163.
jadi di daerah Jawa x>arat, yaitu dengan memberikan atas
hak yang sama dari hasil panen kepada pemilik dan pengga
rap, Dalam sistem ini penggarap dibebani biaya pajak dan
ongkos bibit. ui daerah Kabupaten Bandung sistem ini ba-
nyak terjadi.
Sistem mertelu adalah 2/3 hasil panen merupakan hak
pemilik, sedangkan 1/3 bagian merupakan hak penggarap, de
ngan ketentuan semua ongkos penggarapan ditanggung pemilik
tanah. iial seperti ini terjadi di daerah lvabupaten Sume-
dang.
Sistem mrapat adalah penggarap mendapatkan 1/4 bagi
an hasil panen, sedangkan pemilik mendapatkan 3/4 bagian
,*i sini pemilik tanah hanya mernbantu dalam penyiangan sa
wah itu. Sistem ini terjadi di daerah yang subur yaitu di
daerah ^abupaten Aunin^an.
Sistem ceblok memberikan hak penggarap atas 3/5 ba
gian dari hasil penan dan 4/5 bagian merupakan hak pemilik
tan ail. Pemilik tanah menanggung semua biaya pajak dan bi
bit, Inipun juga terjadi di daerah yang subur yaitu di da
erah Aabupaten Sukabumi.
Jadi cara pembagian hasil tanah di suatu daerah de
ngan daerah lain tidak sama sietemnya, hal rnana tergantung
dari jumlah tanah yang tersedia dan banyaknya penggarap
yang menginginkan, keadaan kesuturan tanah, kekuatan ke-
dudukan pemilik dalam masyarakat setempat dan lain-lain.
21
i>alam penjelasan umum Undang-undang nomor 2 tahun
I960 dikatakan bahwa :
.Berhubung dengan kenyataan, bahwa umumnya tanah yang tersedia tidak banyak sedang orang yang ingin menja di penggarap sangat besar, maka sering kali penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberikan hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang dipergunakannya untuk mengusa- hakan tanah yang bersangkutan. Lain dari pada itu per janjian tersebut menurut hukumnya umumnya hanya berlaku selama satu tabun, yang kemudian atas persetujuan ke dua belah pihak dapat dilanjutkan lagi atau diperbaha- rui. Tetapi berlangsungnya perjanjian itu umumnya ha nya tergantung semata-mata pada kesediaan yang berhak atas tanah, hingga bagi penggarap tidak ada jaminan akan memperoleh tanah garapan selama waktu yang layak hal inipun kecuali berpengaruh pada pemeliharaan ke~
suburan tanahnya, menjadi sebab pula mengapa pengga rap seringkali bersedia menerima syarat-syarat yang berat dan tidak adil, Akhirnya oleh karena jarang ter jadi perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara tertu- lis dan menurut hukurnnya juga tidak ada keharusan un tuk dibuat di muka pejabat-pejabat adat setempat, maka
seringkali terdapat keragu-raguan, yang menimbulkan c
perselisihan-perselisihan antara pemilik dan penggarap
Dari penjelasan umum itu dapat ditarik beberapa hal
yang mendorong dibuatnya undang-undang nomor 2 tahun I960,
yaitu, pertama, dalam aturan hukum adat dirasakan adanya
unsur pemerasan manusia atas manusia. rial ini terlihat da
ri kedudukan penggarap yang lemah sehingga dalam praktek
perjanjian itu terpaksa menerima syarat-syarat yang be
rat, tidak adil yaitu menerima bagian yang kecil Cl/3,1/4
dan lain-lain) dari hasil panen itu, yang mana tidak
suai dengan tenaga dan modal yang dikeluarkan untuk me-
ngerjakan tanah itu.
K.edua adalah menurut hukum adat Iamanya perjanjian
itu biasanya hanya satu tahun, yang mana waktu itu kurang
layak. ketiga adalah tidak adanya keharusan perjanjian itu
dibuat di muka pejabat secara tertulis, Sehingga tidak ada
kepastian kedudukan penggarap jika terjadi sengketa.
Selain dari hal di atas kalau kita telaah lebih lanjut,
bahwa hukum adat yang berlaku sebelum keluarnya Undang-un-
dang nomor 2 tahun I960 menunjukkan adanya ketidakpastian
hukum, hal ini dikarenakan hukum adat itu tidak tertulis.
"Tanyakan saja misalnya pada para hakim, para pe-
ngacara yang dalam tugas mereka sehari-hari sering kali
lebih mudah dan terjamin untuk bekerja dengan peraturan-
peratura.n tertulis daripada peraturan-peraturan tidak ter
tulis", ^ Lan juga adanya permacaman aturan hukum, berbeda
pada tiap lingkungan hukum adat yang ada di suatu negara
kita ini, tiada kesatuan ketentuan yang berlaku untuk se-
luruh wilayah Indonesia, sehingga membingungkan pelaksana
an hukum. ^eperti apa yang dikemukakan xer naar, bahwa ke-
raguan dalam hukum bukan karena disebabkan hukum adatnya
tetapi karena pelaksana hukum cendiri yang kurang
penge-28
tahuan hukum adat.
•begitulah permasalahan-permasalahan yang dihadapi
pemerintah dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan
raakmur, melalui pemerataaji penghasilan bagi seluruh rakyat
khususnya dalam bidang pertanian, dan sekaligus mencegah
rnelebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Sehingga dengan demikian untuk mengatasi persoalan-persoa-
lan di atas maka dibuatlah Undang-undang nomor 2 tahun I960
tentang Perjanjian uagi nasil yang berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia.
b. i'u.iuan Pembentukan.
Untuk mengetahui tujuan dibuatnya undang-undang no
mor 2 tahun I960 dapat kita lihat pada undang-undang itu
yaitu pada bagian amar yang menjadi dasar ditetapkannya
Undang-undang nomor 2 tahun I960. JJi dalam amarnya dikata-
kan :
wenimbang s
Dari amar itu dapat kita tarik beberapa tujuan
yang terkandung, ialah :
(1) Agar pembagian hasil tanah antara penggarap dan pemi
lik dilakukan atas dasar yang adil,
(
2
) Untuk raenjamin kedudukan hukum bagi para penggarap.fremang kalau kita lihat ketentuan-ketentuan hukum
adat, di jaman sekarang ini sudah tidak coeok lagi, atau
dapat dikatakan kurang adil. Ini dapat kita sadari dengan
adanya pembagian hasil antara pemilik dan penggarap, yang
mana bagian penggarap adalah banian kecil saja dari hasil
panen yang digaxapnya, pada hal dalam perjanjian bagi h a
sil itu menanggung beban yang berat atas biaya penggarap-
an dan pengusahaannya. Sebaliknya seorang pemilik yang
tidak ikut mengerjakan sawahnya, hanya dengan duduk ong-
kang-ongkang saja ia mendapatkan bagian yang besar dari
hasil panen itu.
Begitu juga kedudukan penggarap dalam perjanjian
itu adalah sangat lemah, hal ini dikarenakan terbatasnya
jumlah tanah yang tersedia dibanding dengan jumlah peng
garap yang menginginkan. Tanah yang tersedia sangat se-
dikit sedangkan penggarap yang memerlukan sangat besar.
Keadaan seperti ini mengakibatkan persaingan yang hebat
untuk mendapatkan tanah garapan. Sehingga petani pengga
rap mau menerima syarat-syarat yang berat yang ditentukan
pemilik, agar ia mendapatkan tanah garapan.
Kedua tujuan di atas penulis kategorikan sebagai
tujuan utama dari bndang-undang bagi hasil, yaitu mence-
gah adanya unsur pemerasan manusia atas manusia dalam
praktek perjanjian bagi hasil.
Selain itu masih ada satu tujuan lagi yaitu untuk mening-
katkan produktifitas hasil tanah pertanian yang dikerjakan
penggarap sehingga meningkatkan taraX hidup petani pada
umumnya dan para penggarap khususnya.
Tujuan ini merupakan tujuan akhir dari bndang-undang per
janjian bagi hasil, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup
petani. Likatakan tujuan akhir karena tujuan yang kedua
ini merupakan akibat dari tercapainya tujuan yang pertama.
Uengan terlaksananya tujuan pertama yaitu adanya pembagian
yang adil antara penggarap dan pemilik, maka akan bertam-
bahlah kegembiraan kerja para petani penggarap, hal mans
akan berpengaruh baik pada cara pemeliharaa.n kesuburan ta
nah dan pengusahaannya. nal ini akan berpengaruh baik pula
pada produksi tanah yang bersangkutan, sehingga akhirnya 19
dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
2. Tiniauan luridis Perjanjian uagi nasil
a. Pengertian.
Pengertian perjanjian bagi hasil terdapat dalam
31
32
pasal 1 huruf c Undang-undang nomor 2 tahun I960 yang
me-ngatakan bahwa •
Perjanjian bagi haeil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik di satu pi hak dan seorang atau badan hukum pada pihak lain - yang dalam undang-undang ini disebut penggarap - ber- dasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertani an di atas tanah pemili£0dengan pembagian hasilnya an tara kedua belah pihak.
Dari definisi tersebut dapat ditarik empat unsur
yaitu :
^1; Perjanjian dengan nama apapun juga.
(.2) Diadakan antara pemilik dan penggarap.
V3) Penggarap diperkenankan untuk menyelenggarakan usaha
pertanian di atas tanah pemilik.
<4^ Pembagian hasil tanali antara penggarap dengan pemilik.
b. Pengaturan,
Pengaturan perjanjian bagi basil terd-'pat dalam Un-
dang-undang numor 2 tahun i960 yaitu tentang Perjanjian
£agi riasil Tanah Pertanian.
Apakah Undang-undang nagi nasil yang diundangkan
sebelum berlakunya Undang-undan^ Pokok Agraria masih ber-
laku Y.
herdasarkan pa&al 53 ayat 1 Undang-undang Pokok Agraria,
‘ 3 3
U n d a n g - u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0 m e r u p a k a n p e r a t u r a n p e
l a k s a n a a n U n d a n g - u n d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0 ( U n d a n g - u n d a n g
P o k o k A g r a r i a ) , s e b a b m a k s u d d a n j i w a U n d a n g - u n d a n g n o m o r
2 t a h u n I 9 6 0 s e s u a i d e n g a n m a k s u d d a n k e t e n t u a n U n d a n g u n
-21
d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0 .
P a s a l 5 3 a y a t 1 U n d a n g - u n d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0
b e r b u n y i :
H a k - h a k y a n g s i f a t n y a s e m e n t a r a s e b a g a i y a n g d i m a k s u d d a l a m p a s a l 1 6 a y a t 1 h u r u f h , i a l a h h a k g a d a i , h a k u s a h a b a g i h a s i l , h a k m e n u m p a n g d a n h a k s e w a t a n a h p e r
t a n i a n d i a t u r u n t u k m e m b a t a s i s i l a t - s i f a t n y a y a n g b e r - t e n t a n g a n d e n g a n U n d a n g - u n d a n g i n i d a n h a k - h a j ^ t e r s e b u t d i u s a h a k a n h a p u s n y a d a l a m w a k t u y a n g s i n g k a t .
S e b e l u m h a k - h a k y a n g b e r s i f a t s e m e n t a r a i t u b e l u m
b i s a d i h a p u s , r n e n g i n g a t k o n d i s i s o s i a l p e t a n i d i I n d o n e s i a
m a k a u n t u k s e m e n t a r a w a k t u h a k - h a k i t u d i a t u r u n t u k r n e r n b a -
t a s i s i f a t - s i f a t n y a . U a n u n d a n g - u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0
a d a l a h b e r m a k s u d u n t u k m e m b a t a s i s i l ' a t - s i f a t p e r j a n j i a n b a
g i h a s i l y a n g d a l a m p r a k t e k n y a s e b e l u m k e l u a r n y a U n d a n g -
u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0 t e r s e b u t m e n g a n d u n g u n s u r - u n s u r
p e m e r a s a n , s e b a g a i m a n a t e l a h d i k e m u k a k a n d i a t a s .
J a d i s i f a t u n d a n g - u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0 d a n U n
d a n g - u n d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0 a d a l a h s a r n a y a i t u a n t i p e m e
r a s a n .
^ f c f f e n d i P a r a n g i n , - f e r t a n v a a n d a n % ' a n y a J a w a b T e n -
t o n g H u k u m A g r a r i a . H a j a w a l i , J a k a r t a , 1 9 8 6 , h . 1 8 1 .
Sedangkan pengaturan perjanjian bagi hasil lebih
lanjut diatur dalam aturan pelaksana Undang-undang nomor
2 tahun I960, sebagai tertera di bawah ini :
(l) Surat Keputusan henteri iMida Agraria foomor £k. 322/Ka/
I960 tentang "Pelaksanaan Undang-undang nomor 2 tahun
I96011.
^2) Peraturan inenteri Pertanian dan Agraria wornor 4 tahun
1964 tentang "Penetapan Perimbangan *husus Ualam Pelak
sanaan Perjanjian .bagi nasil".
O J Peraturan ^enteri Agraria toomor 4 tahun 1964 tentang
"Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi iiasil".
(
4
) Instruksi i^residen tfepublik Indonesia i^omor 13/1980 tentang "Pedoman Pelaksanaan undang-undang nomor 2 tahun
I960".
(5) keputusan .oersama ^enteri -^alam ^egeri dan Menteri Per
tanian i^omor 211/1980 - ^omor 714 A p t s / U m / 1 9 8 0 tentang
"Petunjuk Pelaksanaan instruksi Presiden iNomor 13 ta
hun 1980".
c . Uuas 1‘anah G arapan.
Ualam pasal 2 Undang-undang nomor 2 tahun I960 telah
menentukan :
^l) Dengan tidak roengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan ayat 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah
orang-orang petani, yang tanah garapannya, baik kepu- nyaan senairi yang diperolehnya secara menyewa, dengan perjanjian bagi hasil atau secara lain, tidak akan
bih dari sekitar 3 ^tiga) hektar.
(2; Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanji an bagi hasil tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika menda- pat ijin dari ivien£eri nuda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Menurut pasal 2 ayat 1 di atas, batas maksimal
yang dapat diusahakan oleh penggarap dalam perjanjian ba
gi hasil adalah 3 ktigaJ hektar termasuk juga tanah garap
an dengan hak milik, hak eewa dan lain-lain.
bntuk lebih jelasnya lihat rumusan di bawah ini.
P h . b a 3 n A *■ I ' G i j
P B H = l / u a s t a n a h m a k s i m a l y a n g d a p a t d i g a r a p m e l a l u i p e r
j a n j i a n b a g i h a s i l .
3 Ha * konstanta pasal 2 ayat 1.
I'GL = tanah garapan yang diperoleh dengan cara lain dari
perjanjian bagi hasil.
Contoh : seorang ingin menjadi penggarap melalui.perjanji
an bagi hasil, pada hal ia mempunyai tanah garap
an seluas 2 hektar dari hak milik. iviaka luas ta
nah yang dapat digarap orang itu melalui perjan
jian bagi hasil adalah :
PiaH = 3 h a - TGI 3 “ 2 ria - 1 ria
Contoh lain :
seorang mempunyai tanah garapan seluas 2 Ha. dari hak
milik dan 1 ha. dari menyewa, maka jika ia ingin rnen-
jadi penggarap melalui perjanjian bagi hasil. Maka lu-
as tanah yang dapat diperoleh lagi melalui perjanjian
bagi hasil adalah :
PBU « 3 H a - TUL
« 3 Ha - ( tanah milik + tanah menyewa )
= 3 Ha - I ? ha + 1 Ha J = 3 na - 3 Ha = 0
Jadi dia tidak boleh mendapatkan tanah garapan lagi, tidak
boleh menjadi penggarap.
Diadakannya pembatasan oleh pasal 2 tersebut bertuju-
an untuk mence^ah terkumpulnya tanah garapan secara berlebih-
an di tangan seorang atau badan hukum. Sehingga dengan demi
kian dapat memberi kemungkinan lebih besar kepada para petani
kecil untuk mendapatkan tanah garapan.
henurut pasal 2 tersebut pada asasnya, seorang petani
atau badan hukum yang sudah mempunyai tanah garapan seluas 3
hektar tidak dapat diperkenankan untuk mendapatkan tanah ga
rapan lagi. Akan tetapi dalam keadaan tertentu misalnya le-
bihnya itu tidak seberapa, maka dengan ijin ^enteri Kuda
Agraria atau pejabat yang ditunjuk ^Camat dengan surat
Kepu-tusan iyienteri i'*uda Agraria Aomor sk. 3 2 2 A a / 1 9 8 0 ) kelebihan
24 itu dapat diperkenankan.
36
--- 37 orang, masing-masing dari pihak pemilik dan peng garap*
(2) Perjanjian bagi hasil termaksud dalam ayat 1 di atas meioerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Keca- matan yang bersangkutan atau pejabat lain yang se-
lang dimaksud pembuatan perjanjian secara tertulis
ialah pembuatan perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala De-
sa/dilaporkan kepada Kepala Desa, yang disertai dua orang
saksi, kemudian Kepala -Desa mengisikan pada buku daftar
perjanjian bagi hasil yang telah disediakan. 'i'iap bulan
Kepala Desa menyampaikan buku daftar itu kepada Camat, un
tuk mendapatkan pengesahan. ^embuat perjanjian dengan cara
di-sebut dengan pembuatan secara tertulis.
kemudian sebagai bukti adanya perjanjian maka Xepa-
la Desa itu memberikan surat keterangan kepada pemilik dan dinyatakan dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 (tigaj, dengan ketentuan, bahwa bagi sa wah itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah kering sekurang-kurangnya 5(lima) tahun.
(2) Dalam hal yang khusus , yang ditetapkan oleh Ken-
teri Muda Agraria, oleh Gamat dapat diijinkan diadakannya perianjian-perjanjian bagi hasil da lam jangka waktu yang kurang dari pada yang di tetapkan dalam ayat 1 di atas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyai- nya.
O ) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi h a sil di atas tanah yang bersangkutan masih terda- pat tanaman yang masih belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangafic waktu itu tidak boleh melebihi dari satu tahun.
Menurut ayat 1 tersebut, jangka waktu perjanjian
bagi hasil yang dibuat oleh pemilik dengan penggarap,
untuk sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah
kering sekurang-kurangnya 5 tahun. lang dimaksud dengan
tanah di sini bukanlah tahun kalender melainkan tahun
tanaman, yaitu dari satu musim tanam sampai musim panen.
Maksud pembatasan ayat 1 ialah untuk menjamin
penggarap agar ia memperoleh tanah garapan selama waktu
yang layak. Sehingga dengan tersedianya waktu yang cukup
itu, penggarap dapat beraaya upaya untuk raemperbanyak h a
sil tanah, misalnya dengan menggunakan pupuk hijau pada
penanaman tahun pertama. Akan tetapi menurut ayat duanya
pembatasan ayat 1 itu dapat disirapangi dengan syarat ya-
itu :
- Harus dengan ijin Camat.
- Tanah itu biasanya diusahakan sendiri oleh yang punya,
karena hal-hal tertentu tanah itu tidak bisa dikerjakan
sendiri untuk sementara. Hal-hal tertentu itu misalnya
ialah pemilik tanah sakit atau akan pergi haji,
sehing-26
ga tidak bisa mengerjakan tanahnya. Kemudian jika pe
milik itu sudah bisa mengerjakan sendiri lagi maka ta
nah itu akan diusahakan sendiri.
Berakhirnya perjanjian bagi hasil :
(l) Berakhirnya waktu yang diperjanjikan.
Perjanjian bagi hasil berakhir dengan berakhirnya
waktu yang diperjanjikan dalam surat perjanjian.
Akan tetapi menurut pasal 4 ayat 3 bndang-undang no
mor 2 tahun I960, walaupun waktunya yang diperjanji
kan sudah berakhir, sedangkan tanah itu masih ada
39
tanamannya yang masih belum dapat dipanen, raaka peng-
akhiran itu harus menunggu sampai tanaman yang ada
itu dipanen.
( 2 ) D i p u t u s k a n s e b e l u m j a n g k a w a k t u y a n g d i p e r j a n j i k a n
b e r a k h i r .
Wenurut pasal 6 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun
I960, pemutusan perjanjian sebelum waktu yang diperjanji-
kan berakhir disebabkan 2 Idua) hal yaitu :
- Karena persetujuan kedua belah pihak (pemilik dan peng
garap) yang kemudian harus dilaporkan kepada Kepala De
sa.
- Dengan ijin Kepala Desa atas tuntutan pemilik tanah de
ngan alasan penggara-p tidak mengerjakan sawah garapan
nya sebagaimana mestinya, misalnya tidak mengerjakan
dengan baik sehingga produksinya menurun, atau pengga
rap tidak memenuhi beban-beban atau kewajiban-kewajiban
sebagaimana ditentukan dalam surat perjanjian, misalnya
tidak menyerahkan bagian hasil tanah yang menjadi hak
pemilik, atau penggarap mengalihkan pengusahaan tanah
kepada orang lain tanpa ijin pemilik.
Perjanjian bagi hasil tidak putus dengan adanya
peralihan hak atas tanah baik karena jua.1 beli, tukar me-
nukar, hibah maupun pewarisan dan lain-lain. Jika ada pe
ralihan hak mama semua hak dan kewajiban pemilik lama #
beralih kepada pemilik baru, demikian juga jika penggarap
meninggal dunia maka perjanjian itu dilanjutkan oleh ahli
warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. demikian ke
tentuan pasal 5 Undang-undang nomor 2 tahun I960.
f . Pembagian hasil Tanah Garapan.
Undang-undang nornor 2 tahun I960 mengatur tentang
bagian hasil tanah yang diterima oleh pemilik dan pengga
rap sebagaimana yang termuat dalam pasal 7 yang berbunyi
sebagai berikut :
(l; .oesarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak peng garap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah Swantantra
T'ingkat Ii ditetapkan oleh iiupati/Kepala ’JJaerah
bwantantra xingkat II yang bers-^ngkutan dengan mem- perhatikan jenis tanah, kepadatan penduduk, jakat yang disisihkan sebelum d.ibagi, dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.
(2J Bupati Kepala Uaerah bwantantra Tingkat II membe rikan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil tanah yang diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah narian dan ^Qwan Perwakil- an Kakyat uaerah yang bersangkutan.
Jadi menurut pasal 7 di atas, keadaan tanah khusus-
nya, kesuburannya, kepadatan penduduknya dan faktor-faktor
ekonomi menentukan besar kecilnya bagian dari hasil tanah
yang diterima oleh penggarap dan pemilik. Oleh karena fak-
tor-faktor itu di masing-masing daerah tidak sama, maka
besar kecilnya bagian yang diterima oleh penggarap dan
pemilikpun tidak sama pula. Berhubung dengan itu maka tidak
mungkin didapatkan atau ditetapkan secara umum angka
bagian yang cocok bagi seluruh wilayah Indonesia dan yang
akan dirasakan adil oleh pihak-pihak yang bersangkutan*
Atas dasar pertimbangan itu maka dipandang lebih baik ji
ka penetapan bagian penggarap dan pemilik dilakukan dae
rah demi daerah oleh instansi daerah itu sendiri (Bupati)
yang akan mendasarkan pada keadaan dan faktor-faktor eko-
nomis setempat.28
Namun demikian, dalam penjelasan pasal 7 Undang-
undang nomor 2 tahun i960, memberikan pedoman kepada Bu-
pati Kepala Laerah Tingkat Ii untuk menetapkan besarnya
imbangan hasil tanah yang diterima oleh pemilik dan peng
garap adalah untuk tanaman padi di sawah 1 : 1 (satu la-
wan satu) dan untuk tanaman palawija di sawah serta untuk
tanaman di tanah kering penggarap mendapatkan bagian 2/3
bagian sedang pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Jika suatu
daerah bagian yang diterima oleh penggarap lebih besar
dari pedoman di atas, maka yang diperlakukan adalah ke
tentuan di daerah tersebut. *an^ dimaksud dengan hasil
tanah ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan
oleh penggarap setelah dikurangi biaya untuk bibit, pu-
puk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen.
Khususnya mengenai pembagian hasil tanah garapan
dari tanah sawah, pedornan yang termuat dalam penjelasan
4?