• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH P ER TAN IA N DI KECAMATAN SUKOLILO KOTAMADYA SURABAYA SEBELUM DAN SESUDAH DIUNDANGKANNYA UNDANG - UNDANG NOMOR 2 TAHUN 19 60

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MASALAH PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH P ER TAN IA N DI KECAMATAN SUKOLILO KOTAMADYA SURABAYA SEBELUM DAN SESUDAH DIUNDANGKANNYA UNDANG - UNDANG NOMOR 2 TAHUN 19 60"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

S K R IP S I

B A H D E R L U B IS

MASALAH

PERJANJI AN

BAGI

HASIL

TANAH

PERTANI AN

DI

KECAMATAN

SUKOLILO

KOTAMADYA

SURABAYA

SEBELUM

DAN

SESUDAH

DI UNDANGKANNYA

UNDANG - UNDANG NOMOR 2 TAHUN 19 60

M I L I K

P E R P L S h . X A A N

’ U N IV E R S U A S A i^ L A N C G A '

S U R A B A Y A

k r Ht J

C

f t *

(2)

M A S A L A H i ' E t u ) A i V j l A n xjAUI H ASIL

I1 Ah A H P JiH T A iN 1 AiN

D I K E C A ir iA 'IA to S U J i O L l J j U i L l A 'A i n A J J i A S U t t A i i A X A

S E H J i L U K i LA .N S K S U D A H D I U i\ D A .u u - iu u ^ x A

U i\ I ) A iu G - U i* L A f t U N U in O K 2 X A H U N i 9 6 0

s n n s I

O l e h :

.b A h D E n L O B IS

i “A K U L ‘l ‘A 5 n b h .U h b i s i ' V i i ^ b r i ' A ^ A l u i - A ^u U - A

S U K A B A i A

(3)

0

2 JAN

1992

i* iA 5 A L A H JtU ittJAu J lAiM B A U l n A S l h

TA.N A H P i i K l ’A f l l A f t

D I ju sC AJVjATAU S U K U L jL L U KU 'TA lviA U iA S U R A B A Y A

S Kd - C ^ U M DAJM S itfiU D A H Vi i )l \VAi ^^ Ai \u l A

UwDAiiU-UwDAivU JNOiUtt 2 TAiiUw I960

b KH1PS1

D IA J U & A h U w ’I'U ii. K & .u b ^ G X A P I TU U A b

l)Ain ivi)iiviiiJ ^ U n I S X A h A T - S 'iA n A T UimTUK

IV fcw G A .t'A l U.l LA£. S A K J A iN A H U KU M

Oleh :

i±AtiD.&K liUisib

038111029

P B h iiim jiftC r D Att J r .b w (iU d I

S u t t A u A l A

(4)

K A T A i^ fo C r A iV lA K

ir*uji syukur kehadirat Allah £>WT yang telah memberi-

kan rahmadhya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ak­

hir penulisan skripsi ini, sebagai aalah satu syarat untuk

menyelesaikan studi di Jf'akultas nukum universitas Airlang-

ga.

Dalam penulisan skripsi.ini, eaya merasa masih ba-

nyak kekurangan, meskipun saya telah berusaha dengan sege-

nap kemampuan yang ada. ixamun demikian, skripsi ini me-

namhah manfaat bagi para pembaca terutaraa rekan mahasiswa.

Selama menyelesaikan skripsi ini saya merasa telah

menerima bantuan berupa petunjuk-petunjuk dan bimLingan-

bimbingan dari berbagai pihak. baya mengakui dan menghargai

hal ini sebagai jasa yang tidak dapat saya lupakan.

Pada kesempatan ini perkenankan saya mengucapkan

banyak terima kasih kepada yang terhormat :

1. ^apak k . Djoko boemadijo, b.n., selaku Dekan iakultas

hukum Universitas ^irlangga, serta kepada guru besar,

dosen dan para asisten yang telah membekali saya de­

ngan pengetahuan;

2. -oapak toisnu Susanto, S . h # , sebagai dosen pembimbing

sekaligus penguji, yang telah banyak meluangkan waktu-

nya untuk memberikan pengarahan dan saran-saran dengan

penuh kesabaran;

(5)

sebagai dosen penguji, yang telah meluangkan waktunya

menguji saya;

4. Ayahanda Almarhum dan Ibunda tercinta yang selama ini

mendoakan serta memberikan dorongan atau jasa, baik

materi maupun spiritual sehingga saya dapat raenyele-

saikan skripsi ini;

5. iS-akakku dan adik-adikku yang selama ini mendoakan se­

hingga skripsi ini dapat saya selesaikan tanpa halang-

an yang berat;

6. Bapak Parman sebagai Sekuilcam Sukolilo yang telah ba­

nyak memberikan informasi, sehingga terselesainya

skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala rendah hati, saya persem-

bahkan tulisan ini kepada pembaca yang bijaksana. Sehingga

skripsi ini mencapai tujuan.

-UNIVERS1TAS A1RLANGGA'

S U R

A B A v A M I L I K -PERPUSTAKAAN

burabaya, Oktober 1988

P e n u l i s ,

Bahder lubis

(6)

DAri'Att IS1

Halaman

KATA M u A V T A K ... ... .. iii

LA-b'i'AK 1SI ... ... v

BAB I : Pi^BAHUlUAi'. ... ... 1

a. Permasalahan : Batar .belakang dan ire-rumusaiiHja . ... 1

B. Penjelasan Juaul ... ..

4

<J. Alasan -teiiiilihan Judul ...

6

P. Tujuan ienulisan ... ...

7

ftetodologi ...

8

P. Pertanggungjawaban £>U t e m a t i k a ... 9

BAB II : TIi\J AlAfl Ui\Ufa T&M'AJN^ PJ:,hJ Ai\J iAi'i BAGI r .A S IL TAKAn Pjih'rAjx 1A1... . ... 11

1..P e n g e r t i a n Secara bmum ... 11

2. Pengertian Perjanjian i-agi Hasil Se­ belum Undang-undang Senior 2 Tahun I960 12 3 . P e n g e r t i a n r e r j a n j i a n - B a gi n a s i l S e - sudah jsi berlakukar.i.ya undang-undang I'.omor ? Ta h u n I960 ... 14

4. Proses Pembuatan Perjanjian Bagi iJa-sil ... ... ... 15

B Ab 111 I r'E-Ln.XSAinAAI* TB AiiAl'ji.P xiiihuAi'.J XAi'i .dAGI uAbiL ... 22

(7)

Halaman

1. 'Xinjauan iiistoris Undang-undang

too-m o r 2 'i'a l iu n I 9 6 0 ... . . . 2 2

2. 1'injauan iuridis i'erjanjian -oagi Ha­

sil ...

31

IV : j’hnJAfJJlAN iJAoI HAbIL lXa'Ws H U u . T M

46

1. Perjanjian sagi nasil di wilayah Ke­

camatan Sukolilo .... .

46

2. Keuntungan dan Xerugian Kentaati

Undang-undang rvoiiior 2 Tahun I960 .. 51

3. keuntungan dan ^erugian henyimpangi

Undang-undang i\omor 2 I'aliun i

960

. . 53

4

. if'aktor-faktor ^ang fienghambat Pelak-

sanaan Undang-undang i^omor 2 Tahun

I960 ... — . ... . 55

5. iifektifisasi ... ... 61

bAt i V : i- 'K N U T U P ...* ... .. ... 6 3

1. Kesimpulan ... ... . 63

2. Saran ... ...* 67

D A I 'I A K

(8)

.PiS^DAdUXjUAlNi

A. Permasalahan : Latar Belakang dan Perumusannvft

Setelah proklamasi Kemerdekaan Kepublik Indonesia

terasa akan kebutuhan hukum yang berlaku sama bagi sege-

nap lapisan masyarakat, khususnya di bidang agraria. Ke-

nyataan yang ada pada waktu itu terdapatnya perbedaan

perlakuan hukum diantara beberapa golongan rakyat.1 Xaitu

yang merupakan akibat dari politik pemerintah penjajah di

jaman sebelum kemerdekaan. Dari itu pemerintah bersama

DPK berusaha mengadakan unifikasi dan kodifikasi hukum agra­

ria yang bersifat nasional. Dan sekarang telah ternyata ha-

silnya yaitu Undang-undang nomor 5 tahun I960 (Undang-undang

Pokok Agraria) dengan berbagai aturan pelaksanaannya.

Ualam kenyataannya semua aturan yang telah digaris-

kan pemerintah dalam peraturan perundangan itu, tidak se­

mua berjalan sesuai dengan keinginan pembentuknya, dalam

arti ditaati oleh masyarakat. Khususnya dalam hal ini yang

menjadi sorotan penulis yaitu mengenai aturan perjanjian

bag! hasil yang termuat dalam Undang-undang nomor 2 tahun

i960, Undang-undang mana sampai sekarang masih belum

ber-BAB I

Poerwadarminta, ^amus Umum i^ahasa Indonesia, Pft Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h. 266.

(9)

laku sebagaimana yang dikehendaki.

Berdasarkan pengamatan sementara, nampak bahwa prak­

tek perjanjian bagi hasil di ivecamatan Sukolilo menyimpang

dari apa yang telah digariskan pemerintah dalam Undang-un-

dang yakni mengenai bentuk perjanjian dan pembagian hasil

tanah garapan. Dalam pasal 3 Undang-undang nomor 2 tahun

i960 dirumuskan :

1. Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemi­ lik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan kepala Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan celanjutnya dalam bidang-bidang ini disebut : kepala Desa de­ ngan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing da­ ri pihak pemilik dan penggarap.

2. Perjanjian bagi hasil termaksud dalam ayat 1 di atas memerlukan pengesahan dari ^amat/^epala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam undang-undang ini di­ sebut Camat.

Oleh karena itu menurut pasal tersebut perjanjian bagi ha­

sil harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang dibuat diha­

dapan Kepala Desa dengan dipersaksikan oleh dua orang sak-

si (satu saksi dari pemilik dan satu saksi dari penggarap)

kemudian disahkan oleh tarnat. Sedangkan dalam praktek per­

janjian bagi hasil itu dilakukan dengan lisan yang

berda-2

budargo Gautama, ‘lafsiran Undang-undang Pokok Agra-

-rMa r Alumni, uandung, 1981, h. 253.

\ u k u h Ahmadi, i-'engantar nukum Ag.rnrj.af Usaha I'Jasi- onal, Surabaya, 1977, h. 28.

(10)

sarkan saling percaya.

begitu juga dalam pembagian hasil tanah garapan da­

lam prakteknya bermacam-macam caranya, antara lain pemba­

gian hasil tanah garapan antara pemilik dan penggarap ya­

itu 5=2 atau 2:1 untuk padi di sawah. Sedangkan untuk ta­

naman di tanah kering dan palawija 1:1 bagian antara peng­

garap dan pemilik. Pada hal dalam penjelasan pasal 7 Un-

dang-undang nomor 2 tahun I960 telah ditentukan bagian an­

tara pemilik dan penggarap 1:1 untuk padi di sawah, sedang­

kan untuk tanaman di tanah kering dan palawija bagian pe­

milik 1/3 dan bagian penggarap 2/3.

Hamun demikian undang-undang ini memberikan sebagai pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap 1:1 teatu lawan satu), yaitu untuk padi yang ditanam di sawah. Untuk tanaman palawija di sawah dan untuk ta­ naman di tanah kering bagian penggarap 2/3 dan pe­ milik 1/3.

Begitu kiranya kenyataannya pembagian hasil tanah

garapan yang dilakukan bertentangan dengan apa yang se-

harusnya dilakukan. Oleh karena itu maka di sini dapat

penulis kemukakan suatu permasalahan, yaitu faktor-faktor

apa yang menghambat pelaksanaan ketentuan Undang-undang

nomor 2 tahun I960 tersebut sehingga tidak ditaatinya ke­

tentuan itu.

Kupanya pemerintah tidak begitu memperhatikan

(11)

berlakuan apa yang telah ditetapkan dalam perundang-undang-

an dalam hal ini Undang-undang nomor 2 tahun I960. Pada hal

dalam kehidupan masyarakat. hubungan hukum yang diatur da­

lam undang-undang itu yaitu perjanjian bagi hasil merupa­

kan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya,

dalain arti hubungan hukum tersebut masin sering dilakukan

masyarakat petani, hal ini mengingat kondisi sosial petani

di Indonesia masih menghendakinya.

Lilain pihak petani dalam melakukan perjanjian bagi

hasil ada kecenderungan mengikuti aturan adat kebiasaan se­

tempat, sehingga hal ini menambah jauhnya jurang pemisah

antara keinginan pembuat undang-undang dengan kenyataannya

yang terjadi. Jika hal ini terjadi terus menerus dapat di-

katakan peraturan-peraturan itu tidak berlaku, tidak efek-

tif. Sehingga tidak berhasillah pemerintah dalam mengada-

kan pembaharuan dan perubahan dalam bidang pelaksanaan per­

janjian bagi hasil, yang pada mulanya dalam perjanjian b a ­

gi hasil itu dirasakan adanya unsur pemerasan manusia. atas

manusia.

b, Penielasan Judul

Secara umum terhadap hal bagi hasil merupakan isti­

lah teknis yuridis yang oleh pasal 1 huruf c Undang-undang

nomor 2 tahun I960 tentang pengertian bagi hasil diberi

(12)

antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan

hukum pada pelaksanaan lain yang disebut beraasarkan per­

janjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik terse­

but untuk menyelenggaxakan usaha pertanian di atas tanah

pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pi­

hak. Sengaja dipilih judul nak ^agi nasil sawah pertani­

an, disini sebagian kunci keberhasilan bidang pertanian

dan permasalahannya. adalah dimaksudkan bahwa dalam rang-

ka hak bagi hasil ini merupakan pula faktor dan kunci.

nak bagi hasil yang dimaksud adalah untuk menye-

lenggarakan suatu usaha pertanian di atas tanah milik orang

lain (pemilik tanah; dengan perjanjian bahwa : hasilnya

akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang

telah disetujui sebeiumnya.

iJalam perjanjian tersebut nantinya akan diperhitungkan hak

haknya masing-masing terganturig berapa besar jumlah yang

akan diterima setelah usai (setelah panen;.

nak bagi hasil tanah pertanian ini merupakan kunci

keberhasilan di bidang pertanian dimana nantinya bisa me-

ningkatkan produksi pangan dan membantu sedikit banyak pe­

tani penggarap untuk meningkatknn tarap hidupnya.

rembahasan masalah bagi hasil tanah pertanian akan

saya uraikan dimana melihat dahulu segi-segi permasalahan

yang timbul tentang hak bagi hasil, dan sejauh mana aparat

(13)

6

yang menghambat hak bagi hasil tersebut.

C . Alasan Pemilihan Judul

Balam penulisan skripsi ini penulis sengaja meng-

ambil judul raengenai masalah dalam hukum pertanahan, ya-

itu : "faaaalah Perjanjian i>agi nasil ianah -t'ertanian Bi

Aecamatan Sukolilo i^otamadya Surabaya11, sebelum dan se-

sudah diundang-undangkannya Undang-undang nomor 2 tahun

I960.

Undang-undang nomor 2 tahun I960 adalah

undang-un-dang perjanjian bagi hasil :

Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik disatu pi- hak dengan seorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalam undang-undang ini disebut penggarap ber- dasar perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilikcdengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

Jadi dengan demikian judul itu berarti ketepatgu-

naan atau kemanjuran aturan Undang-undang nomor 2 tahun

I960 terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil dalam

masyarakat. Atau kemampuan undang-undang tersebut untuk

mentaatkan masyarakat terhadap dirinya dalam hal masya­

rakat membuat perjanjian bagi hasil.

Penulis rnengambil judul di atas berdasarkan bebe-

(14)

negara agraris, artinya eebagian besar penduduknya mata

pencahariannya adalah bertani. Sehingga masalah hukum ta-

nah yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang,

antara orang dengan tanah merupakan masaleii yang sangat

penting bagi negara kita sebagai negara agraria.

Selain dari pada itu secara lebih khusus yang penu-

lis bahas adalah perjanjian bagi hasxl yang merupakan per-

buatan hukum antara orang dengan orang yang mempertautkan

tanah, Kita mengetahui bahwa kondisi negara kita sebagai

negara agraris adalah kurang menguntungkan, jika kita li-

hat dari jumlah lahan pertanian yang tersedia dan jumlah

penduduk yang ada. Artinya jumlah lahan yang tersedia sa­

ngat terbatas dibandingkan dengan jumlah petani yang memer-

lukan. Selain dari keadaan pemilikan lahan pertanian di

Indonesia tidak merata dalam arti ada orang-orang yang me-

miliki lahan pertanian secara berlebihan dan banyak juga

orang-orang yang tidak memiliki lahan sendiri, atau punya

lahan tapi. sangat minim sehingga tidak mencukupi untuk ke-

perluan hidupnya. Lari keadaan septrti ini berakibat ba-

nyaknya praktek bertani tanpa memiliki tanah sendiri mela-

lui perjanjian bagi hasil bagi mereka yang tidak punya mo­

dal dan melalui persewaan tanah bagi mereka.

L. Tuiuan i^enulisan

(15)

memperoleh gelar sarjana hukum pada iakultas Hukum bniver-

sltas Airlangga, di samping itu juga untuk meneliti dan

membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab tidak berla-

kunya lindang-undang nomor 2 tahun I960 tersebut, walaupun

di dalam kitab Undang-undang Agraria nomor 5 tahun I960

hanya dikatakan bersifat sementara.

L. ^etodologi

1. Pendekatan Masalah,

Pembahasan yang lebih mendalam terhadap masalah ini

saya menggunakan pendekatan dari segi yuridis formil yaitu

secara studi kepustakaan dan dari segi praktek, saya raela-

kukan peninjauan secara langsung pada penggarap lahan per­

tanian.

2. Sumber JJata.

Balkan penulisan saya peroleh dari literatur-litera-

tur yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang saya

bahas, di samping itu wawancara dengan pihak-piliak yang

berhubungan dengan masalah tersebut.

3. Analisis Lata.

Lata yang telah terkumpul dianalisa berdasarkan me-

tode komperatif yaitu membandingkan data yang diperoleh

(16)

Pertanggung.iawaban Sistematika

Pertanggungjawaban sisteraatika ini berdasarkan atas

sistematika yang saya pakai di dalam-penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

Pendahuluan, eaya letakkan di dalam Bab X karena di

dalam Pendahuluan ini berisi uraian singkat dari pokok per-

masalahan yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya. Di

samping itu agar pembaca dapat memperoleh gambaran perma-

salahan, latar belakang, penjelasan judul, alasan pemilihan

judul, tujuan penulisan, metodologi serta pertanggungjawab-

an sistematikanya.

Dengan memahami tentang .bab Pendahuluan tersebut ma-

ka selanjutnya untuk memberikan gambaran dasar sebelumnya

untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan hak

bagi hasil. Untuk kaitan penyelesaian didalam perumusan per

masalahan berpijak pada dasar pendahuluan disini saya letak

kan di dalam .Dab II yaitu 1'injauan bmum Tentang Perjanjian

■bagi riasil Tanah Pertanian. Setelah itu merumuskan penda-

laman bagaimana Pelaksanaan Perjanjian ^agi ttasil itu, baik

secara historis maupun tinjauan yuridis ini saya letakkan

di dalam -cab ill, ini agar tidak terjadi kesimpang siuran

bagi pembaca, hak bagi hasil kenyataan yang hidup dalam

masyarakat ternyata tidak seeara yuridis. Praktek bagi h a ­

sil di Kecamatan Sukolilo diternpatkan di dalam Bab IV agar

(17)

i960, Praktek ini saya gambarkan melihat cara kerja desa

yang satu dengan desa yang lain yang berbeda, serta me­

lihat keuntungan dan kerugian mentaati undang-undang nornor

2 tahun I960, Dengan adanya faktor penghambat serta efek-

tifnya Undang-undang nomor 2 tahun I960. Dengan adanya ke-

nyataan yang demikian di dalam masyarakat yang kita lihat

selama ini di dalam praktek yang berlangsung di Kecamatan

bukolilo, Lengan memperoleh gamtaran yang luas maka Penu-

tup saya letakkan pada iiab V, karena di dalamnya merupakan

saran, kesirnpulan dari apa yang saya uraikan dan sekaligus

bab yang terakhir dari penulisan ini.

(18)

BAB 11

‘JIIHJAUAA m m 'i'EhTAKG

PfcttJA^JlAJN BAUi HASIL TAW Ah KhtoAiN lAw

1. Pengertlan kecara Umum

Banyaknya digunakan sebutan mengenai perjanjian ba­

gi hasil sering kali raembingungkan seperti misalnya : per­

janjian hak guna usaha bagi hasil, perjanjian pengusahaan

tanah pertanian, dan sebutan hak menggarap tanah pertanian

dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara peng­

garap dan pemilik, eebenarnya dari banyaknya sebutan-sebu-

tan tersebut mempunyai arti yang sama dan untuk selanjut­

nya saya akan menggunakan sebutan perjanjian bagi hasil.

Untuk pertama kalinya sebutan perjanjian bagi hasil

ini dikenal di dalam hukum adat, karena pada waktu tidak

ada peraturan-peraturan yang mengaturnya, tetapi setelah

dikeluarkannya undang-undang nomor 2 tahun I960 (UUPBH),

maka semua peraturan mengenai perjanjian bagi hasil yang

diatur oleh hukum adat dianggap tidak berlaku lagi.

Yang dimaksud dengan pengertian perjanjian bagi h a ­

sil adalah :

Perjanjian dengan narna apapun juga yang diadakan an­ tara perrilik dan pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain yang dalain Undang-undang ini disebut : penggarap berdasarkan perjanjian ini penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik,

(19)

M I L I K.

P E R P U S T A K A A N

"U N IV E R S 1 T A S A lR L A N G G A "

S U R A B A Y A 12

6 dan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

Oleh karena Indonesia terdiri dari beberapa daerah yang

berbeda-beda tentang corak dan ragam kebudayaannya, begitu

pula tentang bahasanya. kemikian halnya dengan istilah yang

dipakai dalam perjanjian bagi hasil ini ada beberapa sebut-

an antara lain '•

1. di ivJinangkabau d i k e n a l d e n g a n sebutan " ^ e m p e r d u a i " ;

2. di M n a h a s a dikenal dengan sebutan "Tojo” ;

3. di Jawa -carat {-triangan; dikenal dengan sebutan

"hengah" atau "jejuren";

4. di ^awa Tengah/Jawa Timur dikenal dengan sebutan

"Maro" atau “hertelu";

5. di i>ombok dikenal dengan sebutan "Kyakap".

I'ada pokoknya kesemuanya mengandung pengertian ynn*:. sama,

hanya saja yang membedakannya adalah dari daerah mana is­

tilah tersebut berasal.

2. Pengertian Per.ian.iian .bagi flasil bebelum undang-undang

i'Jnmor 2 Tahun 1960

Perjanjian bagi hasil diatur dalam hukum adat, yang

dalam hal ini dari berbagai hukum adat yang ada di seluruh

(20)

wilayah Indonesia tidak sama aturannya. ^etidaksamaan ini

terutama sekali mengenai cara pembagian beban biaya peng-

garapan dan pembagian hasil tanah garapan antara pemilik

dan penggarap, yang mana semua aturan hukum adat itu ba-

nyak menguntungkan pemilik dari pada penggarap, baik dalam

pembagian beban biaya penggarapan maupun dalam pembagian

hasil tanah garapan.

Hal ini dapat dimengerti karena dalam pembuatan per­

janjian kedudukan pemilik adalah kuat dibanding penggarap.

Dan juga dikarenakan terlalu banyaknya petani penggarap

yang memerlukan tanah garapan sedangkan tanah yang terse-

dia hanya sedikit. ^eadaan seperti ini mengakibatkan per-

saingan hebat diantara penggarap untuk mendapatkan tanab

garapan, sehingga dalam pembuatan perjanjian bagi hasil

penggarap mau menerima syarat-syarat yang berat dari pemi­

lik, asalkan ia mendapatkan tanah garapan. hal seperti ini

digunakan oleh pemilik tanah untuk mendapatkan dan menge-

ruk penghasilan yang banyak dengan tiada sueah payah be-

kerja dan tiada menanggung resiko yang berat. l>i lain pi-

hak penggarap yang melakukan kerja keras dalam mengusaha-

kan/mengelola tanah pertanian mendapatkan hasil yang se-

dikit, tidak sesuai dengan tenaga modal yang dikeluarkan.

Disinilah akan terjadi apa yang dinamakan pemerasan manu-

sia atas manusia atas rnanusia.

uleh karena itu dalam raugka mengakhiri keadaan

(21)

yang demikian atau setidak-tidaknya membatasi sifat peme-

rasan ini maka diadakan usaha-usaha melindungi golongan

yang ekonominya lemah, yaitu dengan dibuat dan diundang-

kannya undang-undang nomor 2 tahun I960 yaitu undang-un-

dang tentang perjanjian hagi hasil.

1'ujuan dibuatnya Undang-undang bagi hasil adalah

agar pembagian hasil tanah antara pemilik dengan penggarap

dilakukan atas dasar yang adil, dan juga untuk menjamin ke-

dudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan

hak dan kewajiban antara pemilik dengan penggarap. ^ehing-

ga dengan demikian dapatlah dibatasi atau dihilangkan ada­

nya unsur-unsur pemerasan manusia atas manusia yang terda-

pat didalam perjanjian bagi hasil.

3, Penaertian Per.ian.iian uagi uasil Sesudah JJiberlakukan-

nva undanfi-undann fromor 2 I'ahun 1960

berarti dalam membuat perjanjian bagi hasil harus

mengikuti aturan yang ada dalam undang-undang tersebut dan

harus mengesampingkar. hukum adat. Akan tetapi tidak demi­

kian halnya di masyarakat Kecamatan Sukolilo, bahkan ber-

laku sebaliknya. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil masih

mengikuti aturan adat kebiasaan setempat, tidak mengikuti

aturan yang ada dalam Undang-undang nomor ? tahun I960

tidak efektif dalam pelaksanaannya, pada hal undang-undang

ini berlaku sudah - 2b tahun. iial ini disebabkan selain

(22)

perumusan undang-undangnya kurang memperhatikan keadaan

sosial yang ada dalam raasyarakat yang dikenai undang-un­

dang juga disebabkan karena Pejabat yang ditunjuk sebagai

pelaksana Undang-undang perjanjian bagi hasil (.Undang-un-

dang nomor 2 tahun I960; di tingkat Kecamatan dan Desa

tidak men^etahui adanya aturan undang-undang yang harus

diikuti dalam raembuat perjanjian bagi hasil. Di lain pi-

hak masyarakat petani dalam membuat perjanjian bagi hasil

ada kecondongan tetapi mengikuti aturan adat kebiasaan se-

tempat, karena hukum adat telah melekat/meresap di hati

sanubari masyarakat, Keadaan seperti ini menambah jauhnya

keberhasilan pembentuk undang-undang untuk mewujudkan ci-

ta-citanya, berarti pula tidak berhasilnya menghapuskan

unsur-unsur pemerasan yang ada dalam perjanjian bagi hasil.

4. i^roses Pembuatan Per.ianiian £agi hasil

“Aetentuan-ketentuan hukum adat yang semula menga-

tur lembaga bagi hasil itu dinilai sebagai kurang menjamin

kepastian hukum bagi para petani penggarap dan ...serta

dengan ukuran Pancasila kurang mewujudkan pembagian haeil

hasil produksi secara adil".

Di dalam suatu perjanjian unsur kata sepakat harus

terdapat pada perjanjian itu. Demikian pula halnya dengan

perjanjian bagi hasil, kesepakatan antara pemilik tanah

(23)

pembuatan perjanjian kehadiran para pihak merupakan ke-

harusan, dengan mengeraukakan segala kehendaknya tetapi

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Pasal 3 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun I960 menyata-

kan ;

Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemi­ lik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan selan- jutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala De­ sa" - dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing- masing dari pihak pemilik dan pihak penggarap.

Dengan adanya ketentuan undang-undang mengenai pembuatan

perjanjian bagi hasil, pihak penggarap kedudukannya sarna

dengan pemilik. Tidak lagi adanya keragu-raguan pada pi­

hak penggarap tentang laraanya jangka waktu perjanjian,

hak dan kewajiban penggarap serta pemilik. mengenai sya-

rat-syarat perjanjian itu harus disebutkan dengan jelas

dan lengkap, menjaga kemungkinan dikemudian hari agar ti­

dak terjadi kesalah pahaman. Kepala Desa berkewajiban

untuk memberikan penjelasan kepada pemilik dan penggarap

mengenai ketentuan-ketentuan dalam perjanjian bagi hasil

yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari ma-

sing-masing pihak. Demikian pula tentang peraturan-per-

aturan dalam ketentuan Undang-undang Pokok -bagi nasil dan

16

boedi harsono, Seminar flukum Pertanahan uimpunan

Kerukunan T'ani Indonesia. Sumatera7 B a n d u n g . 1978. h. 71.

(24)

peraturan pelaksanaannya agar dijelaskan kepada mereka.

Seorang penggarap harus seorang petani, dalam arti

ia langsung mengerjakan tanah garapannya sesual dengan

pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 2 tahun I960 yang me-

nyatakan :

Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan men-

jadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya sendiri mau- pun yang diperolehnya secara menyewa, dengan perjan- jian bagi hasil ataupun secara l a i n n y a , tidak akan lebih dari sekitar 3 ^tigaj hektar.

Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri touda Agraria

nomor Sk/322/Ka/1960, tentang Pelaksanaan Undang-undang

nomor 2 tahun I960 maka “seorang* petani penggarap yang mem-

punyai tanah garapan lebih dari 3 (tigaj hektar harus men-

dapat ijin dari Camat letak tanah garapannya. Ketentuan ini

sebagai pelaksanaan pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pokok Ba­

gi Hasil, yang raenyatakan : "Orang-orang tani yang dengan

mengadakan perjanjian bagi hasil tanah garapannya akan me-

lebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap,

jika mendapat ijin dari Nenteri huda Agraria atau pejabat

yang ditunjuk olehnya".

Pasal 2 ayat 2 Undang-undang nomor 2 tahun I960 menunjuk-

kan adanya pembatasan penguasaan tanah sesuai dengan pasal

7 Ondang-undang nomor 5 tahun I960, khususnya yang menyang-

kut perjanjian bagi- hasil.

Pasal 7 Undang-undang nomor 5 tahun I960, menyatakan :

(25)

"Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan

dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diper-

kenankan".

Pedoman I tanggal 7 ^aret I960 tentang Pedoman Ba­

gi Kepala Daerah Tingkat 11, Uarnat dan Kepala Desa menge­

nai Pelaksanaan heberapa ketentuan Undang-undang nomor 2

tahun I960 tentang Perjanjian i>agi nasil menyatakan, bali-

wa :

Surat perjanjian bagi hasil dibuat dalam rangkap 3 yang asli tdibubuhi meterai ty. 3,-; di simpan oleh Lepala Desa seaang yang kedua dan ketiga untuk pe­ milik dan penggarap sebagai turunan. Dembar kedua dan ketiga tidak ditandatangani oleh pemilik, peng­ garap dan para saksi, tetapi inerupakan turunan yang diberikan oleh K-epala Desa. L-engan demikian tidak perlu bermeterai. fcurat-surat perjanjian itu dica- tat oleh Kepala Desa di dalam buku register.

Surat Departemen Agraria tanggal 5 Agustus 1964 no-

mor DhK/5/17 tentang Pengantar/penjelaean P^PA nomor 4 ta­

hun 1964 alinea 5 dan 6 menyatakan, bahwa "penyelenggaraan

bagi hasil dilakukan dengan cara mengisi buku dai’tar hasil

dihadapan Kepala Desa yang bersangkutan, dengan disaksikan

oleh para saksi yang rnasing-masing ditunjuk oleh pihak pe­

milik dan pihak penggarap tanah".

Dengan demikian pembubuhan meterai tidak diperlukan lagi. Jika di kemudian hari terjadi perselisihan/ sengketa mengenai usaha bagi hasil tersebut, dapatlah kiranya surat keterangan bagi hasil tersebut dibubuhi meterai ^nazegelen> di Pengadilan we&eri setempat un­ tuk dipakai segala alat bukti.

Perjanjian Dagi hasil yang dibuat di hadapan Kepala Desa

dengan dihadiri oleh para pihak dan saksi-saksi, tidak

(26)

mempunyai kekuatan hukum apabila belum disahkan oleh

Camat setempat. Dalam hal ini Camat berhak memeriksa ke-

tentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam perjanjian bagi

hasil itu, terutama mengenai imbangan pembagian hasil ta-

nahnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan di

dalam Undang-undang nomor 2 tahun I960 tentang Perjanjian

Bagi ttasil dan pula menurut i'enetapan Jvepala daerah se­

tempat.

Pasal 4 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun I960 me-

n y a t a k a n , bahwa "Perjanjian bagi hasil diadakan untuk wak-

tu yang dinyatakan di dalam surat perjanjian tersebut pada

pasal 3 dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu ada­

lah sekurang-kurangnya 3 Vtiga) tahun dan bagi tanah ke-

ring sekurang-kurangnya 5 ^lima; tahun'1.

Dalam hal-hal yang memaksa jangka waktu perjanjian bagi

hasil dapat kurang dari 3 ^tiga; tahun untuk sawah dan

kurang dari 5 (lima; tahun untuk tanah kering, yang bia-

sanya merupakan tanah-tanah yang diusahakan oleh pemilik-

nya sendiri. tial-hal yang memaksa tersebut misalnya ka-

rena pemilik sakit keras atau pergi ke suatu daerah untuk

melaksanakan suatu tugas tertentu dalam jangka waktu yang

cukup lama.

Setelah keadaan tersebut berakhir mereka kembali menger-

jakan tanah seperti semula.

Daerah Kabupaten Tingkat II berhak menetapkan

(27)

ya administrasi untuk daerah masing-masing. Besarnya bia-

ya administrasi yang boleh dipungut oleh kepala Uaerah

berhubung dengan pekerjaannya yang bersangkutan tidaklah

selalu saraa untuk setiap daerah, Pembayaran biaya adminis­

trasi dilakukan oleh pemilik, bila penggarap merupakan ba-

dan hukum maka penggaraplah yan& membayarnya. Balam penje-

lasan Undang-undang nomor 2 tahun I960 dinyatakan, bahwa

"pada asasnya badan-badan hukum apapun juga dilarang untuk

menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini

penggarap haruslah orang tani....M

Bagaimanakah kenyataan dari pelaksanaan perjanjian bagi h a ­

sil di dalam masyarakat tani, terutama peranan aparat perne-

rintah sesuaikan dengan instruksi Presiden nomor 13 tahun

1980 .tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang nomor 2 ta­

hun I960 tentang Perjanjian -Dagi nasil, yaitu pasal 2 ayat

4 huruf a dan b menyatakan :

Penertiban dan peningkatan i-elaksanaan Undang-undang nomor 2 tahun I960 sebagaimana dimaksud dalam ayat

{1} dilakukan dengan menyelen^garakan :

a. penyuluhan secara berencana, teratur, intensif dan terus menerus kepada para petani penggarap, pemilik tanah dan seluruh masyarakat desa;

b. pen&endalian dan pengawasan secara efektif dan efi- sien.

vi dalam instruksi bersama wenteri Ualam Kegeri dan

Utonomi Laerah dengan foenteri Agraria nomor Pem. 19/31/34

Sekra 9/3/32 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 2 ta­

hun I960 tentang Perjanjian £agi nasil dinyatakan, bahwa :

(28)

Pelaksanaan Undang-undang tersebut tidak boleh di- pertangguhkan lagi dan karena penyelenggaraannya un­ tuk sebagian besar diletakkan atas pundak pejabat- pejabat i'among i^raja, maka berhasil atau tidaknya usaha tersebut akan sangat tergantung kepada kesang- g u p a n , kesungguhan dan kebijaksanaan pejabat-pejabat yang bersangkutan.

(29)

BAB III

PB'LAKSANAAtt TBrihADAP

PISkJANJ IAN BAGI riASil

1. Tinlauan hietoris undang-undang flomor 2 'Tahun I960

a. Batar Belakang Pembentukan.

Pada masa jabatan Menteri Agraria lvir. Soedjarwo

yaitu tepatnya pada tanggal 7 Uanuari I960 telah diundang-

kan Undang-undang nomor 2 tahun I960 tentang Perjanjian

■oagi hasil, yang termuat dalam lembaran Negara nomor 2 ta­

hun I960,

Perjanjian -bagi hasil sebelum diundangkannya Undang-

undang nomor 2 tahun I960 di atur dalam hukum adat,

Dalam hukum adat telah dikenal jenis perjanjian ini namun

namanya tidak disebut dalam istilah yang saraa, akan tetapi

disebut dalam istilah yang berbeda, sesuai dengan b a n y a k

-nya macam lingkungan hukum adat yang ada. Di daerah Jawa

disebut dengan istilah “m a r o ^ , di daerah Priangan disebut

"nengah*1, di Sulawesi £>elatan disebut "tesang", di Minaha-

sa disebut ‘‘toyo" dan lain-lain.

Bentuk perjanjian bagi hasil menurut hukum adat ada­

lah tidak harus dalam bentuk tertulis atau akta.

"P'erjanjian itu hanya terl^ksana diantara kedua belah pi-

hak saja, selanjutnya bahwa jarang dibuatnya surat akta

Q

(30)

g daripada perbuatan hukum itu".

l>ari perkataan Ter naar yang memakai kata-kata "ja-

rang dibuatnya surat akta", itu berarti bahwa perjanjian

bagi hasil menurut hukum adat umumnya dibuat hanya dengan

kesepakatan lisan saja.

Pada asasnya perjanjian bagi hasil dilaksanakan atas

dasar saling percaya antara kedua belah pihak ^penggarap

dan pemilik).

Perjanjian itu terlaksana diantara kedua belah pi­

hak saja, artinya dengan adanya pemilik dan penggarap saja

sudah bisa terjadi perjanjian itu. Bantuan penghulu rakyat

atau ivepala i>esa tidak menjadi syarat sahnya pembuatan per­

janjian bagi hasil. -begitu juga adanya kesaksian dari pi­

hak lain/orang lain tidak diperlukan dalam pembuatan per­

janjian bagi hasil.

baat terjadinya perjanjian bagi hasil sejak adanya

kata sepakat, bahwa pemilik mengijinkan penggarap untuk me-

ngusahakan/menanami tanahnya itu, untuk kemudian hasilnya

dibagi antara pemilik dengan penggarap sesuai dengan kese­

pakatan sendiri.

hengenai jangka waktu perjanjian, dalam bukunya

"iiukum Adat Jawa Barat" Prof. Ur. Kd. Soepomo, S.H. menga-

takan :

q

(31)

Di seluruh wilayah hukum perjanjian bagi hasil biasa- nya hanya dilakukan untuk waktu satu kali panen. Se-

sudahnya perjanjian itu biasanya dilanjutkan dengan diam-diam, setiap kali untuk satu tahun panen. Kami tidak mendapatkan peristiwa, bahwa bagi hasil dilaku­ kan untuk waktu lebih dari satu tahun panen berdasar- kan perjanjian yang telah diadakan sebelumnya.

^ang dimaksud dengan satu tahun panen adalah mulai

, . . - - 11

d a n musim sampai musim panen.

Satu tahun panen itu tidak ditentukan oleh iamanya berapa

bulan dan hari sebagaimana tahun kalender. Dan juga tidak

ditentukan oleh Iamanya tanam sampai panen yang diusahakan

oleh seorang penggarap. Akan tetapi satu tahun panen itu

ditentukan oleh ’'musim" yaitu dari musim tanam sampai mu­

sim panen di suatu daerah. m m g k i n satu musim tanam sampai

musim panen waktunya lebih lama dari satu waktu tanam sam­

pai panen yang diusahakan oleh seorang penggarap.

Sedangkan yang dimaksud dengan “perjanjian itu bia­

sanya dilanjutkan dengan diam-diam14 ialah jika jangka wak­

tu perjanjian bagi hasil itu habis yaitu setelah satu ta­

hun panen, sedangkan pemilik tidak memutuskan atau tidak

memberi tahu kalau tanahnya akan diambil lagi, maka biasa­

nya penggarap melanjutkan terus pengusahaan tanahnya sam­

pai tahun panen lagi, begitu seterusnya jika pemilik tidak

memperhatikan perjanjian bagi hasil pada tiap selesai

ta-24

■^Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa -Barat. Djambatan, Jakarta, 1982, h. 164.

(32)

hun panen.

Jika terjadi pemindahan hak milik atas tanah yang

terpaut dalam perjanjian bagi hasil, raaka menurut hukum

adat pemindahan hak itu tidak menghapuskan atau

mempenga-ruhi berlangsungnya perjanjian bagi hasil. Hasil

peneliti-an ypeneliti-ang dilakukpeneliti-an oleh -t'roX. Ur. ivd. Soepomo di daerah

Ka-bupaten Bandung, XaKa-bupaten ttarut dan ^aKa-bupaten Sumedang

membuktikan bahwa penyerahan sav/ah dengan jalan menjualnya

oleh pemilik kepada pihak ketiga, sedangkan sawah itu

di-kerjakan oleh seorang penggarap dengan bagi hasil, dalani

kejadian seperti ini penggarap tetap mengerjakan tanah

sam-pai panen, sedangkan sebagian hasil panen yang menjadi hak

13 pemilik tanah diberikan kepada pemilik yang baru.

Tentang pembagian hasil tanah garapan, di dalam h u ­

kum adat terdapat beberapa sistem pembagian yaitu : sistem

maro, sistem mertelu, sistem mrapat dan sistem ceblok (is-

tilah-istilah yang dipakai di daerah Jawa B a r a t) . ^

Lari berbagai sistem itu, pembagian beban ongkos

penggarapan antara penggarap dan pemilik adalah berlainan

di beberapa daerah.

Sistem maro merupakan sistem yang paling banyak

ter-1 ?

Soepomo, Up. c i t . . h. 163.

13I b i d . . h. 165.

14I M d . . h. 163.

(33)

jadi di daerah Jawa x>arat, yaitu dengan memberikan atas

hak yang sama dari hasil panen kepada pemilik dan pengga­

rap, Dalam sistem ini penggarap dibebani biaya pajak dan

ongkos bibit. ui daerah Kabupaten Bandung sistem ini ba-

nyak terjadi.

Sistem mertelu adalah 2/3 hasil panen merupakan hak

pemilik, sedangkan 1/3 bagian merupakan hak penggarap, de­

ngan ketentuan semua ongkos penggarapan ditanggung pemilik

tanah. iial seperti ini terjadi di daerah lvabupaten Sume-

dang.

Sistem mrapat adalah penggarap mendapatkan 1/4 bagi­

an hasil panen, sedangkan pemilik mendapatkan 3/4 bagian

,*i sini pemilik tanah hanya mernbantu dalam penyiangan sa­

wah itu. Sistem ini terjadi di daerah yang subur yaitu di

daerah ^abupaten Aunin^an.

Sistem ceblok memberikan hak penggarap atas 3/5 ba­

gian dari hasil penan dan 4/5 bagian merupakan hak pemilik

tan ail. Pemilik tanah menanggung semua biaya pajak dan bi­

bit, Inipun juga terjadi di daerah yang subur yaitu di da­

erah Aabupaten Sukabumi.

Jadi cara pembagian hasil tanah di suatu daerah de­

ngan daerah lain tidak sama sietemnya, hal rnana tergantung

dari jumlah tanah yang tersedia dan banyaknya penggarap

yang menginginkan, keadaan kesuturan tanah, kekuatan ke-

dudukan pemilik dalam masyarakat setempat dan lain-lain.

(34)

21

i>alam penjelasan umum Undang-undang nomor 2 tahun

I960 dikatakan bahwa :

.Berhubung dengan kenyataan, bahwa umumnya tanah yang tersedia tidak banyak sedang orang yang ingin menja­ di penggarap sangat besar, maka sering kali penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberikan hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang dipergunakannya untuk mengusa- hakan tanah yang bersangkutan. Lain dari pada itu per­ janjian tersebut menurut hukumnya umumnya hanya berlaku selama satu tabun, yang kemudian atas persetujuan ke­ dua belah pihak dapat dilanjutkan lagi atau diperbaha- rui. Tetapi berlangsungnya perjanjian itu umumnya ha­ nya tergantung semata-mata pada kesediaan yang berhak atas tanah, hingga bagi penggarap tidak ada jaminan akan memperoleh tanah garapan selama waktu yang layak hal inipun kecuali berpengaruh pada pemeliharaan ke~

suburan tanahnya, menjadi sebab pula mengapa pengga­ rap seringkali bersedia menerima syarat-syarat yang berat dan tidak adil, Akhirnya oleh karena jarang ter­ jadi perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara tertu- lis dan menurut hukurnnya juga tidak ada keharusan un­ tuk dibuat di muka pejabat-pejabat adat setempat, maka

seringkali terdapat keragu-raguan, yang menimbulkan c

perselisihan-perselisihan antara pemilik dan penggarap

Dari penjelasan umum itu dapat ditarik beberapa hal

yang mendorong dibuatnya undang-undang nomor 2 tahun I960,

yaitu, pertama, dalam aturan hukum adat dirasakan adanya

unsur pemerasan manusia atas manusia. rial ini terlihat da­

ri kedudukan penggarap yang lemah sehingga dalam praktek

perjanjian itu terpaksa menerima syarat-syarat yang be­

rat, tidak adil yaitu menerima bagian yang kecil Cl/3,1/4

dan lain-lain) dari hasil panen itu, yang mana tidak

(35)

suai dengan tenaga dan modal yang dikeluarkan untuk me-

ngerjakan tanah itu.

K.edua adalah menurut hukum adat Iamanya perjanjian

itu biasanya hanya satu tahun, yang mana waktu itu kurang

layak. ketiga adalah tidak adanya keharusan perjanjian itu

dibuat di muka pejabat secara tertulis, Sehingga tidak ada

kepastian kedudukan penggarap jika terjadi sengketa.

Selain dari hal di atas kalau kita telaah lebih lanjut,

bahwa hukum adat yang berlaku sebelum keluarnya Undang-un-

dang nomor 2 tahun I960 menunjukkan adanya ketidakpastian

hukum, hal ini dikarenakan hukum adat itu tidak tertulis.

"Tanyakan saja misalnya pada para hakim, para pe-

ngacara yang dalam tugas mereka sehari-hari sering kali

lebih mudah dan terjamin untuk bekerja dengan peraturan-

peratura.n tertulis daripada peraturan-peraturan tidak ter­

tulis", ^ Lan juga adanya permacaman aturan hukum, berbeda

pada tiap lingkungan hukum adat yang ada di suatu negara

kita ini, tiada kesatuan ketentuan yang berlaku untuk se-

luruh wilayah Indonesia, sehingga membingungkan pelaksana­

an hukum. ^eperti apa yang dikemukakan xer naar, bahwa ke-

raguan dalam hukum bukan karena disebabkan hukum adatnya

tetapi karena pelaksana hukum cendiri yang kurang

penge-28

(36)

tahuan hukum adat.

•begitulah permasalahan-permasalahan yang dihadapi

pemerintah dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan

raakmur, melalui pemerataaji penghasilan bagi seluruh rakyat

khususnya dalam bidang pertanian, dan sekaligus mencegah

rnelebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.

Sehingga dengan demikian untuk mengatasi persoalan-persoa-

lan di atas maka dibuatlah Undang-undang nomor 2 tahun I960

tentang Perjanjian uagi nasil yang berlaku untuk seluruh

wilayah Indonesia.

b. i'u.iuan Pembentukan.

Untuk mengetahui tujuan dibuatnya undang-undang no­

mor 2 tahun I960 dapat kita lihat pada undang-undang itu

yaitu pada bagian amar yang menjadi dasar ditetapkannya

Undang-undang nomor 2 tahun I960. JJi dalam amarnya dikata-

kan :

wenimbang s

(37)

Dari amar itu dapat kita tarik beberapa tujuan

yang terkandung, ialah :

(1) Agar pembagian hasil tanah antara penggarap dan pemi­

lik dilakukan atas dasar yang adil,

(

2

) Untuk raenjamin kedudukan hukum bagi para penggarap.

fremang kalau kita lihat ketentuan-ketentuan hukum

adat, di jaman sekarang ini sudah tidak coeok lagi, atau

dapat dikatakan kurang adil. Ini dapat kita sadari dengan

adanya pembagian hasil antara pemilik dan penggarap, yang

mana bagian penggarap adalah banian kecil saja dari hasil

panen yang digaxapnya, pada hal dalam perjanjian bagi h a ­

sil itu menanggung beban yang berat atas biaya penggarap-

an dan pengusahaannya. Sebaliknya seorang pemilik yang

tidak ikut mengerjakan sawahnya, hanya dengan duduk ong-

kang-ongkang saja ia mendapatkan bagian yang besar dari

hasil panen itu.

Begitu juga kedudukan penggarap dalam perjanjian

itu adalah sangat lemah, hal ini dikarenakan terbatasnya

jumlah tanah yang tersedia dibanding dengan jumlah peng­

garap yang menginginkan. Tanah yang tersedia sangat se-

dikit sedangkan penggarap yang memerlukan sangat besar.

Keadaan seperti ini mengakibatkan persaingan yang hebat

untuk mendapatkan tanah garapan. Sehingga petani pengga­

rap mau menerima syarat-syarat yang berat yang ditentukan

pemilik, agar ia mendapatkan tanah garapan.

(38)

Kedua tujuan di atas penulis kategorikan sebagai

tujuan utama dari bndang-undang bagi hasil, yaitu mence-

gah adanya unsur pemerasan manusia atas manusia dalam

praktek perjanjian bagi hasil.

Selain itu masih ada satu tujuan lagi yaitu untuk mening-

katkan produktifitas hasil tanah pertanian yang dikerjakan

penggarap sehingga meningkatkan taraX hidup petani pada

umumnya dan para penggarap khususnya.

Tujuan ini merupakan tujuan akhir dari bndang-undang per­

janjian bagi hasil, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup

petani. Likatakan tujuan akhir karena tujuan yang kedua

ini merupakan akibat dari tercapainya tujuan yang pertama.

Uengan terlaksananya tujuan pertama yaitu adanya pembagian

yang adil antara penggarap dan pemilik, maka akan bertam-

bahlah kegembiraan kerja para petani penggarap, hal mans

akan berpengaruh baik pada cara pemeliharaa.n kesuburan ta­

nah dan pengusahaannya. nal ini akan berpengaruh baik pula

pada produksi tanah yang bersangkutan, sehingga akhirnya 19

dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

2. Tiniauan luridis Perjanjian uagi nasil

a. Pengertian.

Pengertian perjanjian bagi hasil terdapat dalam

31

(39)

32

pasal 1 huruf c Undang-undang nomor 2 tahun I960 yang

me-ngatakan bahwa

Perjanjian bagi haeil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik di satu pi­ hak dan seorang atau badan hukum pada pihak lain - yang dalam undang-undang ini disebut penggarap - ber- dasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertani­ an di atas tanah pemili£0dengan pembagian hasilnya an­ tara kedua belah pihak.

Dari definisi tersebut dapat ditarik empat unsur

yaitu :

^1; Perjanjian dengan nama apapun juga.

(.2) Diadakan antara pemilik dan penggarap.

V3) Penggarap diperkenankan untuk menyelenggarakan usaha

pertanian di atas tanah pemilik.

<4^ Pembagian hasil tanali antara penggarap dengan pemilik.

b. Pengaturan,

Pengaturan perjanjian bagi basil terd-'pat dalam Un-

dang-undang numor 2 tahun i960 yaitu tentang Perjanjian

£agi riasil Tanah Pertanian.

Apakah Undang-undang nagi nasil yang diundangkan

sebelum berlakunya Undang-undan^ Pokok Agraria masih ber-

laku Y.

herdasarkan pa&al 53 ayat 1 Undang-undang Pokok Agraria,

(40)

‘ 3 3

U n d a n g - u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0 m e r u p a k a n p e r a t u r a n p e ­

l a k s a n a a n U n d a n g - u n d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0 ( U n d a n g - u n d a n g

P o k o k A g r a r i a ) , s e b a b m a k s u d d a n j i w a U n d a n g - u n d a n g n o m o r

2 t a h u n I 9 6 0 s e s u a i d e n g a n m a k s u d d a n k e t e n t u a n U n d a n g u n

-21

d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0 .

P a s a l 5 3 a y a t 1 U n d a n g - u n d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0

b e r b u n y i :

H a k - h a k y a n g s i f a t n y a s e m e n t a r a s e b a g a i y a n g d i m a k s u d d a l a m p a s a l 1 6 a y a t 1 h u r u f h , i a l a h h a k g a d a i , h a k u s a h a b a g i h a s i l , h a k m e n u m p a n g d a n h a k s e w a t a n a h p e r ­

t a n i a n d i a t u r u n t u k m e m b a t a s i s i l a t - s i f a t n y a y a n g b e r - t e n t a n g a n d e n g a n U n d a n g - u n d a n g i n i d a n h a k - h a j ^ t e r s e b u t d i u s a h a k a n h a p u s n y a d a l a m w a k t u y a n g s i n g k a t .

S e b e l u m h a k - h a k y a n g b e r s i f a t s e m e n t a r a i t u b e l u m

b i s a d i h a p u s , r n e n g i n g a t k o n d i s i s o s i a l p e t a n i d i I n d o n e s i a

m a k a u n t u k s e m e n t a r a w a k t u h a k - h a k i t u d i a t u r u n t u k r n e r n b a -

t a s i s i f a t - s i f a t n y a . U a n u n d a n g - u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0

a d a l a h b e r m a k s u d u n t u k m e m b a t a s i s i l ' a t - s i f a t p e r j a n j i a n b a ­

g i h a s i l y a n g d a l a m p r a k t e k n y a s e b e l u m k e l u a r n y a U n d a n g -

u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0 t e r s e b u t m e n g a n d u n g u n s u r - u n s u r

p e m e r a s a n , s e b a g a i m a n a t e l a h d i k e m u k a k a n d i a t a s .

J a d i s i f a t u n d a n g - u n d a n g n o m o r 2 t a h u n I 9 6 0 d a n U n ­

d a n g - u n d a n g n o m o r 5 t a h u n I 9 6 0 a d a l a h s a r n a y a i t u a n t i p e m e ­

r a s a n .

^ f c f f e n d i P a r a n g i n , - f e r t a n v a a n d a n % ' a n y a J a w a b T e n -

t o n g H u k u m A g r a r i a . H a j a w a l i , J a k a r t a , 1 9 8 6 , h . 1 8 1 .

(41)

Sedangkan pengaturan perjanjian bagi hasil lebih

lanjut diatur dalam aturan pelaksana Undang-undang nomor

2 tahun I960, sebagai tertera di bawah ini :

(l) Surat Keputusan henteri iMida Agraria foomor £k. 322/Ka/

I960 tentang "Pelaksanaan Undang-undang nomor 2 tahun

I96011.

^2) Peraturan inenteri Pertanian dan Agraria wornor 4 tahun

1964 tentang "Penetapan Perimbangan *husus Ualam Pelak­

sanaan Perjanjian .bagi nasil".

O J Peraturan ^enteri Agraria toomor 4 tahun 1964 tentang

"Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi iiasil".

(

4

) Instruksi i^residen tfepublik Indonesia i^omor 13/1980 ten­

tang "Pedoman Pelaksanaan undang-undang nomor 2 tahun

I960".

(5) keputusan .oersama ^enteri -^alam ^egeri dan Menteri Per­

tanian i^omor 211/1980 - ^omor 714 A p t s / U m / 1 9 8 0 tentang

"Petunjuk Pelaksanaan instruksi Presiden iNomor 13 ta­

hun 1980".

c . Uuas 1‘anah G arapan.

Ualam pasal 2 Undang-undang nomor 2 tahun I960 telah

menentukan :

^l) Dengan tidak roengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan ayat 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah

orang-orang petani, yang tanah garapannya, baik kepu- nyaan senairi yang diperolehnya secara menyewa, dengan perjanjian bagi hasil atau secara lain, tidak akan

(42)

bih dari sekitar 3 ^tiga) hektar.

(2; Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanji­ an bagi hasil tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika menda- pat ijin dari ivien£eri nuda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya.

Menurut pasal 2 ayat 1 di atas, batas maksimal

yang dapat diusahakan oleh penggarap dalam perjanjian ba­

gi hasil adalah 3 ktigaJ hektar termasuk juga tanah garap­

an dengan hak milik, hak eewa dan lain-lain.

bntuk lebih jelasnya lihat rumusan di bawah ini.

P h . b a 3 n A *■ I ' G i j

P B H = l / u a s t a n a h m a k s i m a l y a n g d a p a t d i g a r a p m e l a l u i p e r ­

j a n j i a n b a g i h a s i l .

3 Ha * konstanta pasal 2 ayat 1.

I'GL = tanah garapan yang diperoleh dengan cara lain dari

perjanjian bagi hasil.

Contoh : seorang ingin menjadi penggarap melalui.perjanji­

an bagi hasil, pada hal ia mempunyai tanah garap­

an seluas 2 hektar dari hak milik. iviaka luas ta­

nah yang dapat digarap orang itu melalui perjan­

jian bagi hasil adalah :

PiaH = 3 h a - TGI 3 “ 2 ria - 1 ria

Contoh lain :

(43)

seorang mempunyai tanah garapan seluas 2 Ha. dari hak

milik dan 1 ha. dari menyewa, maka jika ia ingin rnen-

jadi penggarap melalui perjanjian bagi hasil. Maka lu-

as tanah yang dapat diperoleh lagi melalui perjanjian

bagi hasil adalah :

PBU « 3 H a - TUL

« 3 Ha - ( tanah milik + tanah menyewa )

= 3 Ha - I ? ha + 1 Ha J = 3 na - 3 Ha = 0

Jadi dia tidak boleh mendapatkan tanah garapan lagi, tidak

boleh menjadi penggarap.

Diadakannya pembatasan oleh pasal 2 tersebut bertuju-

an untuk mence^ah terkumpulnya tanah garapan secara berlebih-

an di tangan seorang atau badan hukum. Sehingga dengan demi­

kian dapat memberi kemungkinan lebih besar kepada para petani

kecil untuk mendapatkan tanah garapan.

henurut pasal 2 tersebut pada asasnya, seorang petani

atau badan hukum yang sudah mempunyai tanah garapan seluas 3

hektar tidak dapat diperkenankan untuk mendapatkan tanah ga­

rapan lagi. Akan tetapi dalam keadaan tertentu misalnya le-

bihnya itu tidak seberapa, maka dengan ijin ^enteri Kuda

Agraria atau pejabat yang ditunjuk ^Camat dengan surat

Kepu-tusan iyienteri i'*uda Agraria Aomor sk. 3 2 2 A a / 1 9 8 0 ) kelebihan

24 itu dapat diperkenankan.

36

(44)

--- 37 orang, masing-masing dari pihak pemilik dan peng­ garap*

(2) Perjanjian bagi hasil termaksud dalam ayat 1 di atas meioerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Keca- matan yang bersangkutan atau pejabat lain yang se-

lang dimaksud pembuatan perjanjian secara tertulis

ialah pembuatan perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala De-

sa/dilaporkan kepada Kepala Desa, yang disertai dua orang

saksi, kemudian Kepala -Desa mengisikan pada buku daftar

perjanjian bagi hasil yang telah disediakan. 'i'iap bulan

Kepala Desa menyampaikan buku daftar itu kepada Camat, un­

tuk mendapatkan pengesahan. ^embuat perjanjian dengan cara

(45)

di-sebut dengan pembuatan secara tertulis.

kemudian sebagai bukti adanya perjanjian maka Xepa-

la Desa itu memberikan surat keterangan kepada pemilik dan dinyatakan dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 (tigaj, dengan ketentuan, bahwa bagi sa­ wah itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah kering sekurang-kurangnya 5(lima) tahun.

(2) Dalam hal yang khusus , yang ditetapkan oleh Ken-

teri Muda Agraria, oleh Gamat dapat diijinkan diadakannya perianjian-perjanjian bagi hasil da­ lam jangka waktu yang kurang dari pada yang di­ tetapkan dalam ayat 1 di atas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyai- nya.

O ) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi h a ­ sil di atas tanah yang bersangkutan masih terda- pat tanaman yang masih belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangafic waktu itu tidak boleh melebihi dari satu tahun.

Menurut ayat 1 tersebut, jangka waktu perjanjian

bagi hasil yang dibuat oleh pemilik dengan penggarap,

untuk sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah

kering sekurang-kurangnya 5 tahun. lang dimaksud dengan

tanah di sini bukanlah tahun kalender melainkan tahun

tanaman, yaitu dari satu musim tanam sampai musim panen.

(46)

Maksud pembatasan ayat 1 ialah untuk menjamin

penggarap agar ia memperoleh tanah garapan selama waktu

yang layak. Sehingga dengan tersedianya waktu yang cukup

itu, penggarap dapat beraaya upaya untuk raemperbanyak h a ­

sil tanah, misalnya dengan menggunakan pupuk hijau pada

penanaman tahun pertama. Akan tetapi menurut ayat duanya

pembatasan ayat 1 itu dapat disirapangi dengan syarat ya-

itu :

- Harus dengan ijin Camat.

- Tanah itu biasanya diusahakan sendiri oleh yang punya,

karena hal-hal tertentu tanah itu tidak bisa dikerjakan

sendiri untuk sementara. Hal-hal tertentu itu misalnya

ialah pemilik tanah sakit atau akan pergi haji,

sehing-26

ga tidak bisa mengerjakan tanahnya. Kemudian jika pe­

milik itu sudah bisa mengerjakan sendiri lagi maka ta­

nah itu akan diusahakan sendiri.

Berakhirnya perjanjian bagi hasil :

(l) Berakhirnya waktu yang diperjanjikan.

Perjanjian bagi hasil berakhir dengan berakhirnya

waktu yang diperjanjikan dalam surat perjanjian.

Akan tetapi menurut pasal 4 ayat 3 bndang-undang no­

mor 2 tahun I960, walaupun waktunya yang diperjanji­

kan sudah berakhir, sedangkan tanah itu masih ada

39

(47)

tanamannya yang masih belum dapat dipanen, raaka peng-

akhiran itu harus menunggu sampai tanaman yang ada

itu dipanen.

( 2 ) D i p u t u s k a n s e b e l u m j a n g k a w a k t u y a n g d i p e r j a n j i k a n

b e r a k h i r .

Wenurut pasal 6 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun

I960, pemutusan perjanjian sebelum waktu yang diperjanji-

kan berakhir disebabkan 2 Idua) hal yaitu :

- Karena persetujuan kedua belah pihak (pemilik dan peng­

garap) yang kemudian harus dilaporkan kepada Kepala De­

sa.

- Dengan ijin Kepala Desa atas tuntutan pemilik tanah de­

ngan alasan penggara-p tidak mengerjakan sawah garapan­

nya sebagaimana mestinya, misalnya tidak mengerjakan

dengan baik sehingga produksinya menurun, atau pengga­

rap tidak memenuhi beban-beban atau kewajiban-kewajiban

sebagaimana ditentukan dalam surat perjanjian, misalnya

tidak menyerahkan bagian hasil tanah yang menjadi hak

pemilik, atau penggarap mengalihkan pengusahaan tanah

kepada orang lain tanpa ijin pemilik.

Perjanjian bagi hasil tidak putus dengan adanya

peralihan hak atas tanah baik karena jua.1 beli, tukar me-

nukar, hibah maupun pewarisan dan lain-lain. Jika ada pe­

ralihan hak mama semua hak dan kewajiban pemilik lama #

beralih kepada pemilik baru, demikian juga jika penggarap

(48)

meninggal dunia maka perjanjian itu dilanjutkan oleh ahli

warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. demikian ke­

tentuan pasal 5 Undang-undang nomor 2 tahun I960.

f . Pembagian hasil Tanah Garapan.

Undang-undang nornor 2 tahun I960 mengatur tentang

bagian hasil tanah yang diterima oleh pemilik dan pengga­

rap sebagaimana yang termuat dalam pasal 7 yang berbunyi

sebagai berikut :

(l; .oesarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak peng­ garap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah Swantantra

T'ingkat Ii ditetapkan oleh iiupati/Kepala ’JJaerah

bwantantra xingkat II yang bers-^ngkutan dengan mem- perhatikan jenis tanah, kepadatan penduduk, jakat yang disisihkan sebelum d.ibagi, dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.

(2J Bupati Kepala Uaerah bwantantra Tingkat II membe­ rikan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil tanah yang diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah narian dan ^Qwan Perwakil- an Kakyat uaerah yang bersangkutan.

Jadi menurut pasal 7 di atas, keadaan tanah khusus-

nya, kesuburannya, kepadatan penduduknya dan faktor-faktor

ekonomi menentukan besar kecilnya bagian dari hasil tanah

yang diterima oleh penggarap dan pemilik. Oleh karena fak-

tor-faktor itu di masing-masing daerah tidak sama, maka

besar kecilnya bagian yang diterima oleh penggarap dan

pemilikpun tidak sama pula. Berhubung dengan itu maka tidak

mungkin didapatkan atau ditetapkan secara umum angka

(49)

bagian yang cocok bagi seluruh wilayah Indonesia dan yang

akan dirasakan adil oleh pihak-pihak yang bersangkutan*

Atas dasar pertimbangan itu maka dipandang lebih baik ji­

ka penetapan bagian penggarap dan pemilik dilakukan dae­

rah demi daerah oleh instansi daerah itu sendiri (Bupati)

yang akan mendasarkan pada keadaan dan faktor-faktor eko-

nomis setempat.28

Namun demikian, dalam penjelasan pasal 7 Undang-

undang nomor 2 tahun i960, memberikan pedoman kepada Bu-

pati Kepala Laerah Tingkat Ii untuk menetapkan besarnya

imbangan hasil tanah yang diterima oleh pemilik dan peng­

garap adalah untuk tanaman padi di sawah 1 : 1 (satu la-

wan satu) dan untuk tanaman palawija di sawah serta untuk

tanaman di tanah kering penggarap mendapatkan bagian 2/3

bagian sedang pemilik mendapatkan 1/3 bagian. Jika suatu

daerah bagian yang diterima oleh penggarap lebih besar

dari pedoman di atas, maka yang diperlakukan adalah ke­

tentuan di daerah tersebut. *an^ dimaksud dengan hasil

tanah ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan

oleh penggarap setelah dikurangi biaya untuk bibit, pu-

puk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen.

Khususnya mengenai pembagian hasil tanah garapan

dari tanah sawah, pedornan yang termuat dalam penjelasan

4?

Referensi

Dokumen terkait

b. Keamanan Air dan Es, Air adalah komponen penting dalam komponen industri pangan hal ini karena perannya, sebagian dari komposisi untuk mengisi

Seluruh Dosen program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat

Bagi para peserta penyedia jasa Konsultansi yang telah berpatisipasi kami ucapkan terima kasih juga kami berikan kesempatan terhadap penyedia jasa konsultansi yang

Hopper adalah tempat untuk menempatkan material plastik, sebelum masuk ke barrel, biasanya untuk menjaga kelembapan material plastik, digunakan tempat penyimpanan khusus

Pajak Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan Bea Masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang

Penilaian Tingkat Kinerja Bank Umum memakai pendekatan Risiko ( Risk-based Bank Rating/RBBR) , sedangkan Penilaian Tingkat Kinerja Bank Perkreditan Rakyat menggunakan

Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa jurnal tercetak merupakan terbitan berkala yang isinya bersifat informasi ilmiah mengenai penemuan suatu karya mutakhir dalam kajian