• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendesain Kerukunan Hidup Bersama dalam Perbedaan

Dalam dokumen Dzikir Akbar di Tahun Baru Hijriyah (Halaman 31-34)

Oleh Mudjahirin Thohir

Kita patut bersyukur, kerukunan antarumat beragama di negara kita, Indonesia ternyata bisa menjadi contoh bagi negara lain.

sebagai

“seorang pelacur yang masuk surga gara-gara memberi air minum un-tuk anjing yang kehausan sementara seorang haji yang nampak soleh di permukaan, justru dimasukkan ke neraka gara-gara membiarkan tet-angga yang kelaparan. Begitu pula kisah Nabi Muhammad yang lebih memilih menggunting sebagian sur-bannya ketika dia akan sholat dari-pada harus membangunkan kucing yang sedang tidur nyenyak di bagian surban tersebut. Kisah pendek yang saya (dahulu sewaktu kecil) terima dari seorang guru madrasah seperti itu masih sangat saya ingat bahkan membekas dalam lubuk hati saya. Sang Guru menjelaskan, mengapa Pelacur itu masuk Surga? Karena dia begitu peduli dengan “nasib binatang kendatipun itu hanya seekor anjing apalagi dengan nasib manusia. Pasti dia lebih peduli lagi.

Kenapa Nabi memilih menggunting surban tidak menggugah seekor kuc-ing yang sedang tiduran? Sang Guru menjawab, “kepada seekor kucing saja, beliau sedemikian memuliakan apalagi dengan sesama manusia”. Inilah religiusitas, yang berlawanan dengan tabiat orang yang mengaku beragama tetapi menghalangi bahkan mengusir orang-orang yang akan menjalankan ajaran (ibadah) sesuai dengan keyaki-nan agamanya. Dari sudut inilah saya ingin mengatakan bahwa kearifan lokal harus ditarik masuk ke dalam: paham-paham, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan yang mengarah kepada religiusitas dan humanitas. Tanpa keduanya, agama akan hadir dalam sosok yang lain: memperdaya kelompok lain yang berbeda agama dengan ‘bahasa’ agama.

The leaders based model Kita tidak seketika dan tanpa proses menjadi manusia berbudaya (human being). Tidak sebagaimana bahasa Tuhan “idza aroda syai’an fa yaqulu lahu: qun fayaqun”. Tetapi kita menjadi seperti “apa” melalui suatu proses budaya yang panjang dan berliku. Kita belajar dari dan kepada lingkungan tentang hidup dan tantangan hidup. Dari proses itulah kita menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan dan keyakinan: konstitutif, kognitif, evaluatif, maupun ekspresif – untuk

dijadikan pertimbangan mengambil keputusan dan cara bagaimana kepu-tusan itu diambil. Proses internalisasi budaya itu dipengaruhi oleh model-model dan figur-figur yang daripadanya kita bisa mengerti, merasakan, dan meneruskan kepada generasi-generasi sesudahnya.

Karena itu corak keagamaan pada masyarakat dalam lokalitas yang sama, bisa saja berbeda bahkan berlawa-nan. Namun saya melihat adanya kecenderungan umum masyarakat Jawa Tengah, untuk menempatkan Sunan Kalijaga dan kemudian Ronggowarsito sebagai dua sosok “cultural heroes”. Kedua sosok figur itu – telah den-gan jitu mendesain pertemuan dan menemukan titik temu: agama dan budaya lokal yang ada, karena strategi yang ditempuh adalah: ngluhurake bukan ngasorake; mempertemukan bukan memperpisahkan; ngrahabi terhadap adanya perbedaan, bukan mengenyahkan.

Lesson Learn Belajar dari para cultural heroes di atas, saya mencoba mengejawantahkan dalam pengalaman berikut ini.

“Kalau kebetulan saya mengendarai mobil, dan ada teman (jebolan kam-pus) ikut nebeng, saya tahu bahwa dia akan naik di jok depan bersebe-lahan dengan saya. Sebaliknya, kalau yang nebeng seorang santri (jebolan pesantren), dia akan memilih duduk di jok belakang. Pilihan yang secara lahiriah itu, berlawanan. Tetapi pesan yang ingin disampaikan sama, yaitu: menghormati saya sebagai pemilik mobil sekaligus saya berkenan men-gantarkannya. Terhadap dua pilihan yang berbeda itu, saya sama sekali tidak keberatan, karena saya menggunakan perspektif emic (actor’s view).

Yang pertama, memilih duduk ber-sebelahan dengan saya karena dia tidak sedang naik taxi. Yang kedua, dia memilih duduk di belakang karena – dalam pikiran dan perasaannya – dia hanya nebeng. Jadi mesti duduk tidak sejajar dengan pemiliknya, me-lainkan sebaiknya duduk di bagian belakangnya”.

Kalau saya tidak menggunakan per-spektif emic dan saya secara egois menentukan “aturan”, maka saya bisa saja menjadi tersinggung. Tetapi ketika

saya menggunakan perspektif emic dan katrena itu saya bisa mengerti, maka saya bisa menikmati suasana demikian. Peace!

Kalau kasus di atas saya tarik ke da-lam wacana teori, maka pemahaman, pensikapan, dan pilihan tindakan demikian ini, identik dengan paham multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang berkultur dominan yang membuat penyesuaian dan ako-modasi-akomodasi tertentu kepada kebutuhan kultur kaum minoritas. Teori demikian itu ternyata sudah ada dalam khazanah budaya Jawa yaitu: aja adigang, adigung, adiguna; sapa sing ngalah, menang wekasane; sapa sing nandur, ngundhuh. Dsb.

Kesanggupan Memahami dan Menghormati Perbedaan Ada setidaknya empat macam acuan untuk mendifinisikan dan menentu-kan kebenaran yang digunamenentu-kan oleh masyarakat secara berbeda. Keempat macam acuan kebenaran itu, dikenal dengan istilah: konstitutif, kognitif, evaluatif, dan ekspresif.

Kebenaran konstitutif bermuara dari keyakinan. Apa yang diyakini pasti (dianggap) benar bagi pelakunya. Sumber keyakinan itu bisa berasal dari pesan dari ceritera atau dari agama. Dongeng tentang Malin Kundang mis-alnya, ia membawa pesan kebenaran yaitu “anak wajib menghormati orang-tua (ibu). Kalau berlaku sebaliknya, akan terkena sanksi”. Dongeng Malin Kundang ini, memberi pesan mirip dengan ungkapan ajaran: ridhoLLahu fi ridlo walidain, wa sukhtuLLahu fi suhktil walidain’. Berdasarkan pada kebenaran konstitutif ini berarti agama termasuk ajaran agama itu pasti benar bagi pemeluknya masing-masing.

Kebenaran kognitif bermuara pada dua hal penting dalam kehidupan masyarakat manusia yaitu penalaran dan pengalaman. Dari hal itu maka lahirlah rumusan-rumusan (dalil, teori) pengetahuan keilmuan (sci-entific) dan pengetahuan kelokalan (local wisdom) sebagaimana terurai di atas. Kebenaran evaluatif adalah kebenaran yang bermuara pada komit-men sosial, sehingga daripadanya lahir apa yang disebut adat-istiadat. Dari sudut inilah kita peroleh kearifan lokal yang berbunyi: lain ladang lain pula

ikannya; karena itu cara kita belajar memahami dan menghormati orang atau masyarakat penganut agama maupun ajaran lain ialah sebagaimana ungkapan: “di mana bumi di pijak, di sana langit dijunjung”. Sementara orang Jawa mengajarkan adaptasi itu dengan ungkapan: empan papan, angon mongso, duga prayuga”.

Sedang kebenaran ekspresif adalah kebenaran berdasarkan oleh cita rasa. Dari sudut inilah etika mengedepan untuk menghormati diri dan “liyan” (the others), di dalam kesamaan atau kebedaan. Menghormati keseragaman dan keragaman.

Inilah model dari adab menjun-jung dan menghargai kehidupan masyarakat beserta kebudayaan-nya yang plural dan multikultural. Kalau kemudian dikaitkan dengan persoalan keagamaan, maka kearifan lokal itu terwujud ke dalam paham teologi transformatif (meminjam istilah Moslem Abdurrahman). Penjelasan operasional terhadap teologi trans-formatif itu – dalam pemahaman saya – adalah adanya kesanggupan untuk melakukan konsep ke dalam level-level makna.

Contoh, Bagi saya sebagai penganut Islam, maka kata Islam itu bagi saya

memiliki dua makna. Yang pertama, sebagai nama agama (yang saya peluk), dan yang kedua sebagai “ajaran yang membawa keselamatan.

Di dalam pengakuan seperti ini, saya juga mempersilahkan saudara saya yang beragama lain, untuk mengatakan hal yang kurang lebih sama terhadap keyakinan agamanya. Dengan de-mikian, mereka yang tidak dalam satu nama agama dengan Islam, maka saya yakin mereka juga bersama agamanya menjalankan ajaran agamanya guna mencapai keselamatan.

Demikian juga bagi saudara saya yang beragama Kristen (Protestan atau Katholik). jika ada ungkapan:”tidak ada keselamatan di luar gereja”, maka kata gereja bagi mereka, sebaiknya dipahami ke dalam dua level makna, yaitu gereja sebagai nama tempat khas untuk beribadah umat kristiani, dan gereja sebagai simbol “manu-sia menemukan Tuhannya”. Tempat untuk bertemu Tuhan itulah tempat ibadah. Dan nama-nama tempat iba-dah itu berbeda-beda sesuai dengan kelaziman dari (penganut) agamanya masing-masing, yaitu bisa: wihara, kuil, padepokan, dan masjid. Dari sudut ini maka muncul sikap reli-giusitas kita:

“Bagaimana mungkin orang mau beribadah (meskipun berbeda ajaran maupun agamanya dengan kami), kami ganggu”.

Isi dan tatacara beribadah pemeluk agama lain itu, secara akidah dan syariah akan berbeda dengan kita – karena memang ajaran keagamaan yang mereka terima berbeda, tetapi dalam konstruksi psikologinya mirip dengan kita yakni: sedang berkomu-nikasi kepada Tuhannya.

Humanisme Transendental. Menghormati sesamanya dalam ke-baikan karena cara demikian adalah kehendak Tuhan, dan dengan berbekal pemahaman yang benar, dan bersikap yang benar, maka akan terbiasakan melakukan tindakan yang meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana filosofi Jawa berikut ini:

Paring obor marang wong kang kepetengan.

Paring teken marang wong kang kelunyon.

Paring Unjukan marang wong kang keluwen.

Paring rasukan marang wong kang kawudon.

Paring asih sesami makhluki Gusti Kang Kinasih.

Pelajaran yang bisa kita tarik dari kajian ini adalah bahwa ada tiga syarat untuk menjadikan diri sese-orang menunjukkan sikap arif kepada sesamanya, dan memahami secara arif terhadap berbagai perbedaan yang ada. Ketiga syarat itu ialah per-tama, cara kita memandang realitas ialah dengan kacamata pelakunya, bukan dari kacamata pengamatan. Melihat dari perspektif emic, bukan etik. Kedua, adalah kesanggupan kita untuk mengakomodasi kepada pihak-pihak yang perlu diayomi, bukan justru merendahkan.

Ketiga, memiliki kesanggupan un-tuk melihat agama-agama itu ada-lah wasiada-lah (sarana) bukan tujuan. Karena itu, agama bagi pemeluknya masing-masing adalah sarana menuju kepada kebenaran. Jadi kebenaran teologis adlah hak setiap pemeluk sesuai dengan keyakinan keagamaan-nya itu. Sedang kebenaran sosiologis adalah kesepakatan dan komitmen sosial sebagai sesama warga bangsa Indonesia. (*)

Adalah mbah Mughiroh usia sekitar 70

Dalam dokumen Dzikir Akbar di Tahun Baru Hijriyah (Halaman 31-34)

Dokumen terkait