• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengapa memakai DPSIR

21 Salah satu cara yang terbaik untuk dapat menjelaskan kondisi wilayah sungai adalah : dengan cara menjelaskan keadaan dan kejadian yang ada dan berlangsung didalamnya

Salah satu cara yang terbaik untuk dapat menjelaskan keadaan dan kejadian yang ada dan berlangsung didalam Wilayah Sungai adalah : dengan cara menjelaskan kejadian/keadaan hubungan sebab akibat (causal effect relationship) terjadinya suatu kondisi / keadaan di Wilayah Sungai tersebut.

Salah satu cara yang terbaik untuk dapatmenjelaskan kejadian/keadaan hubungan sebab akibat (causal effect relationship) terjadinya suatu kondisi / keadaan di Wilayah Sungai adalah melalui suatu kerangka kerja yang telah banyak dikenal sebagai “DPSIR Frameworks

Referensi :

1. ISTAT, C. Costantino, F. Falcitelli, A. Femia, A. Tuolini, OECD-Workshop, Paris, May 14–16, 2003) 2. An Analysis of Watershed Condition Framework Database for the Apache-Sitgreaves National Forest

, By Russell Winn Ph.D., Associate Professor Emeritus, Department of Government, New Mexico State University, Las Cruces, NM 88003

3. Watershed Condition Classification Technical Guide, Primary Authors : John P. Potyondy,

Program Manager and Hydrologist, Stream Systems Technology Center,Watershed, Fish, Wildlife, Air, and Rare Plants Staff,Washington Office, Theodore W. Geier, Regional Hydrologist, Eastern Region United States Department of Agriculture, Forest Service, FS-978, July 2011.

4. 5 Components of Watershed Health Scores, Minnesota Department of Natural Resources,

5. Pillman, W. 2002, Environmental communication: systems analysis of environmentally related information flows as a basis for the popularization of the framework for sustainable development.” Vienna, Umweltinformatik 2000, 14. Int. Symposium Umweltinformation für Planung, Politik und Öffentlichkeit?, Bonn 2000, Metropolis, Marburg.

6. EEA Report, 1999. Environmental Indicators: Typology and Overview.

accessed on 15.07.2010

7. OECD ( Organisation for Economic Co operation and Development), 1994. Environmental Indicators – OECD Core Set, OECD Paris.

Lampiran 1 :

STATUS WS CITARUM 01

dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap dan visi UU 7 2004

tulisan ini kebanyakan memuat kutipan dari literatur seperti tertulis dalam daftar refrensi – sumber kutipan (lihat halaman akhir tulisan ini)

lampiran 1 - i

Daftar Isi.

1 The CRB’s overall problems ... 1 2 kondisi kebersihan sungai . ... 1 3 Kondisi Sungai Cikapundung. ... 2 4 Isu terkait kesehatan sungai dan kesehatan sungai ... 5 5 Isu pencemaran air sungai Citarum. ... 6 5.1 isu pencemaran oleh limbah kotoran sapi : ... 6 5.2 isu pencemaran oleh limbah industri : ... 6 5.3 isu pencemaran oleh limbah pertanian/perikanan : ... 7 5.4 isu pencemaran oleh limbah domestik : ... 7 5.5 pemantauan dan analisis kualitas air : ... 7 6 Kondisi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan. ... 8 7 Longsor dan Lahan Kritis. ... 9 8 Erosi [1]. ... 11 9 Neraca / Alokasi Air ... 11 10 Banjir ... 14 11 Kelongsoran ... 16 12 Kekeringan ... 16 13 sedimentasi ... 18 14 Kemanfaatan Sungai Citarum. ... 19 15 Tekanan terhadap kelestarian kemanfaatan. ... 19 15.1 Tekanan terhadap kelestarian kemanfaatan PLTA di 3 waduk. ... 20 15.2 Tekanan terhadap kelestarian produktifitas sawah beririgasi. ... 20 15.3 Tekanan terhadap kelestarian produktifitas usaha budi daya ikan air tawar di 3 waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur). ... 21 16 Kondisi pengukuran dan data hidrologi di WS Citarum. ... 22 Referenci / Sumber Kutipan : ... 22

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 1

1 The CRB’s overall problems

Resources under pressure; The Citarum’s freshwater resources are under increasing pressure. Growth in population, increased economic activity and improved standards of living lead to increased competition for and conflicts over the limited freshwater resource. A combination of social inequity, economic

marginalization and lack of poverty alleviation programmes also force people living in extreme poverty to overexploit soil and forestry resources, which often results in negative impacts on water resources. Lack of pollution control measures further degrades water resources.

Populations under water stress; The population has increased --- dengan laju pertumbuhan yang sifatnya cenderung tidak lagi linier tapi exponensial ---- data dan informasi yang diperolah menyiratkan bahwa sebagian populasi populasi yang bermukim di WS Citarum telah dihadapkan pada “ medium to high water stress. Populasi penduduk yang masih terus meningkat tentu saja akan berakibat pada semakin banyak populasi penduduk yang dihadapkan pada “ water stress “ dengan tingkat “stress” yang lebih dari sebelumnya.

The impact of pollution; Pollution of water is inherently connected with human activities. In addition to serving the basic requirement of biotic life and industrial processes, water also acts as a sink and transport mechanism for domestic, agricultural and industrial waste causing pollution. Deteriorating water quality caused by pollution influences water usability downstream, threatens human health and the functioning of aquatic ecosystems so reducing effective availability and increasing competition for water of adequate quality.

Water governance crisis; The above problems are aggravated by shortcomings in the management of water. Sectoral approaches to water resources management have dominated and are still prevailing; this leads to the fragmented and uncoordinated development and management of the resource. Moreover, water management is usually left to top-down institutions, the legitimacy and effectiveness of which have increasingly been questioned. Thus, the overall problem is caused both by inefficient governance and increased competition for the finite resource.

2 kondisi kebersihan sungai .

Semua info yang diperoleh (ATLAS RCMU, 6 Cis, dokumen-dokumen Citarum Roadmap) menyatakan bahwa kondisi sungai Citarum saat ini (sangatlah) tidak bersih, bahkan di beberapa situs internet, Sungai Citarum telah disebut sebagai “the dirtiest river in the world” (sungai terkotor di dunia).

Volume sampah yang dibuang ke sungai sudah terlampau banyak dan banyak diantaranya non-degradable.

lampiran 1 - 2 Selain akibat sampah, fenomena air sungai Citarum kotor terlihat pada saat “air besar” , air sungai menjadi berwarna coklat akibat banyaknya lapisan tanah yang ter-gerus/ter-erosi oleh aliran air.

Mengacu pada beberapa info yang diperoleh, sungai Citarum juga menjadi kotor (menjadi tidak jernih lagi) akibat limbah industri dan kotoran sapi (yang jumlahnya terlampau banyak) yang dibuang ke badan air (sungai).

Berbagai Isu pengotoran sungai Citarum yang disajikan oleh konsultan RCMU dalam ATLAS

• tidak tersedianya sistem pengolahan limbah dan sampah domestik yang memadai menjadikan sungai Citarum sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah,

(referensi no. 1) menyiratkan hal-hal sbb. :

• banyaknya sampah yang dibuang langsung ke sungai dan timbunan sampah yang tidak terangkut ke pembuangan akhir mengindikasikan sudah sangat mendesaknya untuk segera dilakukan upaya peningkatan pengelolaan persampahan di Wilayah Sungai Citarum,

• kontributor utama pengotoran sungai Citarum hulu (bagian wilayah sungai di sebelah hulu waduk Saguling) adalah penduduk di kota Bandung, kota Cimahi, kabupaten Bandung, dan kabupaten Bandung Barat – kapasitas pengelolaan sampah di ke 4 kota/kabupaten ini amatlah jauh dari memadai,

• perkiraan sampah tidak tertangani di beberapa lokasi padat penduduk , kota Bandung 46 %, kabupaten Bandung + =2500 m3/hari , kota Cimahi + =1181 m3/hari , kabupaten Karawang 120 m3/hari, kota Bekasi 2991 m3/hari, kabupaten Subang 55 % belum dapat dilayani (ATLAS). Kondisi sampah tidak tertangani ini yang disebutkan ini sangat terkait erat dengan kondisi “kotor-nya sampah” di sungai Citarum

3 Kondisi Sungai Cikapundung.

Informasi lebih lengkap diungkapkan dalam :

• Sejuta Asa untuk Cikapundung, Laporan Foto, Cita Citarum 2012, • Lebih dekat dengan sungai Cikapundung, Laporan Foto, Cita Citarum ,

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 3 sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

lampiran 1 - 4 sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 5 sungai Cikapundung – Bandung [2]

4 Isu terkait kesehatan sungai dan kesehatan sungai

Info-info yang diperoleh banyak menyiratkan hal-hal yang tidak-menyehatkan

• di beberapa lokasi, air sungai citarum telah meyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit,

yang berlangsung di sungai Citarum, seperti misalnya :

• ada beberapa species ikan yang dulu ada di sungai Citarum kini telah lenyap (punah),

• walaupun usaha perikanan di tiga waduk di sungai Citarum telah menghasilkan produk ikan air tawar yang signifikan, fenomena kematian ikan masal di waduk akibat teracuninya ikan oleh bahan-bahan beracun (toxic materials) telah beberapa kali terjadi,

• air sungai citarum juga telah terkontaminasi logam berat (kontaminan yang membahayakan kesehatan), ikan-ikan yang dibesarkan di air sungai Citarum ( di 3 waduk – budi daya jaring apung) , teoritis ( sejauh ini belum ditemukan laporan penelitian mengenai ini) akan tercemari logam berat yang membahayakan kesehatan tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan-ikan yang terkontaminasi tersebut.

• kandungan E-coli dalam air sungai telah jauh melewati ambang batas baku mutu yang ditetapkan ... dll.

• .... ini menyebabkan tingginya angka penyakit yang diakibatkan oleh buruknya kualitas air di kalangan penduduk, terutama perempuan dan anak-anak, akibat mengkonsumsi air yang tidak layak pakai dan menggunakan sanitasi yang minim dan tidak memadai.

Proyek 6 Ci , sehubungan dengan yang di-katagorikan-nya sebagai “kesehatan sungai Citarum”, dalam salah satu laporannya, Initial State of the Basin Report for the Citarum River

• Erosi yang parah terjadi di 31,6 % wilayah sungai Citarum ( ≥ 180 ton /ha.tahun ), kemudian 26.437 ha merupakan lahan sangat kritis, 115.988 ha lahan kritis, 273.880 ha agak kritis dan 468.255 ha potensial kritis,

menulis hal-hal yang terjemahannya kurang lebih seperti berikut dibawah ini [3]:

• semakin meluasnya “gangguan” akibat permukiman dan pemanfaatan lahan non-pertanian di bantaran banjir,

• proteksi alur dan tepi sungai yang tidak/belum memadai, diantaranya “gangguan” sepanjang alur dan tepi sungai serta waduk,

lampiran 1 - 6 • erosi pantai dan muara, hanya tersisa sedikit hutan bakau, hampir seluruh areal yang dahulunya

hutan bakau ( > 90 % ) , yang sifatnya melindungi tepi pantai , telah dikonversi menjadi kolam ikan air payau (tambak).

Limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, limbah perikanan, limbah peternakan dan sampah yang dibuang/terbuang ke sungai Citarum jumlahnya telah terlampau banyak jumlahnya sehingga :

• melampaui ambang batas kemampuan “self purifying capacity” Sungai Citarum. • air sungai yang semula jernih menjadi tidak jernih lagi,

• yang semula mandi di sungai tidak berdampak apapun , kini menjadikan gatal-gatal dan terserang penyakit kulit,

• air sungai yang semula dapat langsung dipakai untuk kebutuhan air rumah tangga , kini tidak lagi demikian.

5 Isu pencemaran air sungai Citarum.

Terkait dengan pencemaran air sungai Citarum, ATLAS, Task B1-6: Initial State of the Basin Report for the Citarum River, dan data BPLHD Jabar

5.1 isu pencemaran oleh limbah kotoran sapi :

menyebutkan / menyiratkan hal-hal sbb. :

• Situ Cisanti, salah satu mata air di hulu sungai Citarum , setidaknya 82,4 ton kotoran sapi setiap harinya mencemari sungai Citarum,

• peternakan sapi, tersebar di Kecamatan Pangalengan, Kertasari dan Arjasari dengan populasi jumlah ternak lebih dari 27.000 ekor sapi, berdasarkan data, setiap hari seekor sapi rata-rata menghasilkan 15 kg kotoran, sesuai data tersebut, jumlah kotoran sapi yang masuk ke hulu Citarum ditaksir sekitar 405 to per hari,

5.2 isu pencemaran oleh limbah industri :

• industri tekstil di daerah Majalaya Kabupaten Bandung , berkontribusi besar terhadap pencemaran berat yang terjadi di sungai Citarum, dari 600 industri tekstil yang ada hanya 10 % saja yang mengoperasikan IPAL standar, diperkirakan 280 ton limbah industri tekstil di buang ke sungai setiap harinya,

• pabrik tekstil dan industri garmen, disamping sebagai sumber pencemaran organik, yang lebih parah lagi , juga sebagai sumber pencemaran logam berat , pestisida , detergen dan zat pewarna,

• tahun 2004, di daerah cekungan Bandung yang dilewati oleh sungai Citarum terdapat 400 industri besar yang membuang limbahnya ke sungai tanpa IPAL yang memadai, meskipun jumlah limbah industri yang dibuang secara kuantitas lebih sedikit dibandingkan dengan limbah rumah tangga, limbah industri mengandung bahan beracun berbahaya (B3),

• hasil penelitian, akibat pencemaran, ikan-ikan yang dihasilkan di waduk Cirata terkontaminasi oleh logam berat,

• zona industri Kabupaten Purwakarta seluas 3000 ha, masih membuang limbah cair ke sungai Citarum membuat sungai Citarum semakin tercemar,

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 7 • limbah padat dan cair dari rumah tangga dan kegiatan industri dari Kawasan industri yang berkembang pesat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi ikut berkontribusi menambah air sungai Citarum semakin tercemar,

5.3 isu pencemaran oleh limbah pertanian/perikanan :

• air hujan yang mengalir dari lahan pertanian di kawasan hulu sungai Citarum, membawa sisa-sisa

(kelebihan) pupuk (nitrogen dan fosfor) yang tidak terserap oleh tanaman dan tertampung di Waduk Saguling. Tercatat sebanyak 33.350 ton nitrogen dan 4.370 ton fosfor masuk ke waduk,

• pemberian pakan berlebih pada budidaya keramba ikan juga telah menyebabkan pencemaran air di waduk saguling, Cirata dan jatiluhur, sekitar 10 ton pakan ikan yang ditebar setiap harinya tidak semuanya terkonsumsi oleh ikan, sisa pakan tersebut mengendap di dasar waduk dan berubah menjadi zat sulfur yang berbahaya bagi ikan, ketika arus bawah air naik dan membawa kotoran ke permukaan akn berakibat pada matinya ikan,

• Waduk Cirata, 1990, endapan pakan ikan yang tidak terkonsumsi telah 3 meter tebalnya, jumlah keramba atau jala apung yang diijinkan seharusnya maximum 1 % dari luas permukaan waduk Cirata (+ 12.000 petak jaring apung), namun kenyataannya, saat ini terdapat hingga 50.000 petak jaring apung, banyaknya perkakas jaring apung yang tak terpakai seperti styrofoam, drum baja, dan bambu juga berkontribusi menyebabkan permasalahan limbah padat di waduk Cirata,

• budidaya ikan yang tidak terkontrol menambah beban pencemaran air di waduk Jatiluhur, jumlah keramba apung pada tahun 2008 sudah mencapai lebih dari 14.000 unit dari 5.000 unit yang diijinkan, kadar COD berkisar antara 6,9 – 172 mg/l (ambang baas COD 10 mg/l),

5.4 isu pencemaran oleh limbah domestik :

• tahun 2004, cekungan Bandung sudah dihuni oleh sekitar 7.000.000 jiwa yang sebagian besar membuang limbah cairnya ke sungai,

• masih banyak penduduk yang membuang hajat di Sungai Citarum,

• perilaku buang air besar langsung ke Kanal Tarum Barat menyebabkan kualitas air sangat rendah dan tercemar oleh limbah rumah tangga,

5.5 pemantauan dan analisis kualitas air :

• pemantauan kualitas air yang dilakukan oleh BPLHD provinsi Jawa Barat, tahun 2009, 2010 dan 2011, di beberapa lokasi di alur sungai Citarum, dari hulu sampai ke hilir, menghasilkan kesimpulan bahwa : status kualitas air ,di semua titik lokasi pengamatan, di semua tahun pengamatan, seluruhnya ber-katagori “cemar berat”,

• air di waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur telah tercemari logam berat,

• sungai Citarum telah tercemar berat oleh limbah kegiatan manusia (limbah domestik dan limbah industri), sekitar 14 juta jiwa bermukim di wilayah sungai ini, juga 2000 pabrik dimana 500 diantaranya berlokasi di bagian hulu sungai Citarum sekitar Bandung,

• kaji ulang kondisi pencemaran lingkungan (Djuangsih 1993) menengaskan tingkat pencemaran yang telah terjadi di wilayah sungai Citarum sbb. :

o organoclorines dan senyawa-senyawa yang telah dilarang/ditarik dari peredaran seperti DDT, lindane , dieldrin dan endrin ditemukan dalam air dan ikan, pengujian kualitas air tahun 1990 menemukan kandungan DDT = 14.4 μg/l DDT ( 7 kali lipat kandungan maksimum yang diizinkan (PP 82/2001, ambang batas maksimum kandungan DDT =2 µg/l),

lampiran 1 - 8 o beban pencemaran harian detergent dan phenol di sungai Citarum pada tahun 1987

masing-masing 2,19 ton/hari dan 21 kg/hari,

o jenis industri utama yang terindentifikasi di wilayah sungai Citarum : tekstil, penyamakan, makanan dan electroplating, industri-industri jenis ini potensial menghasilkan bahan pencemar Cd, Cu, Pb, Ni, Zn, Cr, Fe, Mn, dan Hg (air raksa), dalam studi saat itu, pada sample sedimen, air dan ikan yang di analisis terindikasi kandungan “air raksa” dengan konsentrasi berkisar antara 1,1 – 7,4 μg/l (ambang batas maximum kandungan air raksa = 1.0 μg/l – baku mutu kualitas

air kelas 1 PP 82/2001),

• kontaminasi kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida ke dalam tubuh manusia seperti kasus yang dilaporkan Ekespedisi_Citarum_Wanadri_2009-2010 ”sampel darah yang diambil dari anak anak dari beberapa desa di kecamatan Kertasari, menunjukan adanya kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida dengan kadar tertentu”,

• Dari 10 ton pakan ikan yang ditebar setiap harinya, tidak semuanya terkonsumsi oleh ikan. Sisa pakan tersebut mengendap di dasar waduk dan berubah menjadi zat sulfur yang berbahaya bagi mahluk hidup.

• Waduk Cirata. Pada tahun 1990 endapan pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan telah mencapai ketinggian 3 meter.

• Hasil penelitian, ikan-ikan yang dihasilkan di waduk Cirata terkontaminasi oleh logam berat akibat tercemarnya air waduk Cirata.

6 Kondisi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan.

From Table 7 and Figure 29 it is apparent that of the total ‘deforestation’ in the Citarum basin (109,000 ha) from 2001-2008, just under 20,000 ha occurred in areas managed by the Forestry Department. Most (77%) of this loss of forest in areas managed by DepHut occurred in the Production Forests, of which in 2001 only 56% was forested, and this percentage declined to 42% by 2008. Protection forests (Hutan Lindung) fared only slightly better, with a declining in forest cover from 57% to 53%, while Conservation areas (Hutan Suaka Alam) did significantly better, although forest cover in these areas also declined, from 91% to 86% from 2001-2008 [3].

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 9 sumber [3].

Changes in Land Use / Land Cover in the Citarum basin lie at the basis of various issues in the basin. A recent study by Lufiandi (2011), who assessed land use in the upper Citarum for 1994-2009, found that residential areas had increased by 35% (about 5,000 ha) while industrial areas had increased by more than 100% (about 1,000 ha). At the same time rice fields increased by more than 7,000 ha and bush and pasture land by more than 7,000 ha, while forest decreased by 40% (about 20,000 ha) during the same period. The pattern of land use change in the Upper Citarum basin is that forest is converted for agriculture land or pasture and bush, then converted into urban area (residential and industrial) and rice paddies [3]

7 Longsor dan Lahan Kritis.

Owing to the steep slopes, erosiveness of the soils and degree of clearing/conversion for agriculture and other land use, almost one third (31.4%) of the Citarum basin in subject to severe and very severe erosion (defined as > 180 t / ha / yr; see DHV et al., 2011, and Figure 33 below). A total of 26,437 ha is classified as very critical (in terms of erosion), 115,988 ha is critical, 273,880 ha is somewhat critical and 468,255 ha is potential critical. Among others this affects water quality (e.g. high TSS), lowers soil fertility and increases the incidence of landslides [3]

Kertasari merupakan salah satu kawasan utama hulu sungai Citarum yang saat ini dalam kondisi kritis. Pembukaan kawasan hutan secara ilegal dan perubahan pola tanam yang tidak sesuai dengan kawasan yang mempunyai topografi berbukit menyebabkan meningkatnya resiko akan bencana longsor dan erosi. Mayoritas petani di Kertasari memilih tanaman sayur sebagai komoditas utama. Selain waktu panennya yang cepat, secara ekonomis tanaman ini lebih menguntungkan. Namun secara ekologis tanaman sayuran, selain berumur pendek, tanaman ini mempunyai akar serabut yang tidak mampu

lampiran 1 - 10 menyerap air dan menahan tanah terutama tanah dengan kemiringan lebih dari 30 %. Secara keseluruhan luas areal perkebunan sayur meningkat dari 6000 ha (1992) menjadi 37000 ha (2001) [4].

Bencana tanah longsor dan erosi menjadi permasalahan lingkungan, dampak dari menurunnya kondisi lahan di kawasan Citarum hulu. Guguran tanah yang terbawa air pada akhirnya terbawa masuk ke dalam badan sungai kemudian akan menyebabkan sedimentasi dan meningkatkan resiko bencana banjir [4].

Lahan Kritis di Pacet (Kabupaten Bandung). Area hutan di kawasan hulu Citarum telah mengalami penurunan sebesar 45 % , dari seluas 35.000 ha di tahun 1992 menjadi tinggal 19.000 ha di tahun 2001. Kebanyakan hutan yang tertinggal dalam kondisi kritis. Lebih dari 31.4 % Wilayah Sungai Citarum merupakan kawasan dengan tingkat erosi yang berat hingga sangat berat (>180 ton/ha/tahun). Namun, petani di kawasan ini masih tetap memilih bercocok tanam sayuran. Akibatnya , tanah longsor kerap terjadi di kawasan ini, terutama daerah yang mempunyai kemiringan sampai dengan 50 % [4].

Lahan Kritis di DAS Citarum Hulu diperkirakan seluas kurang lebih 46.543 Ha atau sekitar 20 % dari luas Cekungan Bandung (234.088 Ha). Lahan kritis tersebar di DAS Ciminyak, Cihaur, Cikapundung, Citarik, Cirasea, Ciwidey dan DAS Cisangkuy. Luas lahan di kawasan hulu Citarum yang perlu direhabilitasi seluas 22.326,12 Ha [4].

Untuk wilayah WS Citarum terdapat luas lahan kritis dan sangat kritis di dalam kawasan hutan seluas 38.718,62 Ha dan di luar kawasan hutan seluas 168.465,94Ha (berdasar perhitungan peta lahan kritis dari BPDAS Citarum-Ciliwung) [1].

Berdasar data tahun 2008 Lahan kritis di DAS Citarum mencapai 141.705 ha atau sekitar 21% dari total luas DAS Citarum. Luas lahan yang perlu direhabilitasi dalam kawasan hutan pada DAS itarum mencapai 81.235,70 ha, sedangkan pada kawasan non hutan seluas 60.469,50 ha [1].

Lahan Kritis di DAS Citarum Hulu diperkirakan seluas kurang lebih 46.543 Ha atau sekitar 20% dari luas Cekungan Bandung (234.088 Ha). Lahan kritis ini tersebar di DAS Ciminyak, Cihaur, Cikapundung, Citarik,

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 11 Cirasea, Ciwidey dan DAS Cisangkuy. Luas lahan di kawasan hulu Citarum yang perlu direhabilitasi seluas 22.326,12 [1].

8 Erosi [1].

Dari data terlihat bahwa erosi lahan dalam kategori sangat berat sudah mencapai 14% dari total keseluruhan wilayah, hal tersebut menunjukkan semakin tingginya kondisi lahan yang rusak. Erosi di kawasan Citarum Hulu telah mengirimkan sektar 490 ton/ha/tahun dan dapat dikategorikan sebagai indeks erosi yang sangat buruk.

Lebih dari 31,4% Wilayah Sungai Citarum merupakan kawasan dengan tingkat erosi yang berat hingga sangat berat (>180 ton/ha/tahun).

Subdas Cikao merupakan daerah yang memiliki tingkat erosivitas yang sangat jelek dan mencapai

Dokumen terkait