• Tidak ada hasil yang ditemukan

pendekatan konseptual penyusunan laporan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "pendekatan konseptual penyusunan laporan (1)"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Daftar Isi

1 Pendahuluan. ... 1

2 Laporan Status Wilayah Sungai Citarum. ... 1

2.1 Pengertian kata “Status” , “State” dan hal-hal terkait Wilayah Sungai. ... 1

2.2 STATUS WS CITARUM 01, dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap dan visi UU 7 2004. .. 3

2.3 Status Wilayah Sungai Citarum dalam Laporan Proyek 6 Ci’s. ... 3

2.4 Contoh sebagian isi Laporan Status Wilayah Sungai. ... 4

2.5 Sumber Data Dasar data terbaik untuk penyusunan Laporan Status Wilayah Sungai Citarum. ... 8

3 Kerangka Kerja DPSIR. ... 9

3.1 DRIVING FORCES (daya-daya pemicu). ... 15

3.2 PRESSURES (tekanan-tekanan). ... 16

3.3 STATE ( kondisi/keadaan). ... 16

3.4 IMPACTS (dampak/akibat) ... 16

3.5 RESPONSES ( respon sikap dan tindakan terhadap keadaan dan kondisi yang terjadi ) ... 17

3.6 Ilustrasi Aplikasi kerangka kerja DPSIR. ... 17

4 Mengapa memakai DPSIR. ... 20

Referensi : ... 21

(3)

1

1

Pendahuluan.

Makalah ini disusun sebagai pelengkap dari pemaparan bertopik “pendekatan konseptual penyusunan

laporan status wilayah sungai (DPSIR)” yang merupakan salah satu mata acara dalam PKM Laporan

Status WS Citarum yang diselenggarakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Citarum di Hotel Luxton -

Bandung pada tanggal 9 Desember 2013.

DPSIR merupakan singkatan dari : Driving Force, Pressures, State, Impacts, Responses

DPSIR, DPSIR model atau DPSIR framework merupakan salah satu metoda pendekatan (kerangka pikir) dalam melakukan suatu analisis hubungan sebab akibat (causal effect relationship). Metoda lain yang serupa, salah satu diantaranya adalah : “metoda pendekatan analisis sistem”

Model/Kerangka Kerja DPSIR telah banyak diadopsi oleh kebanyakan komunitas di Eropa sebagai cara terbaik untuk men-struktur-kan informasi lingkungan yang terkait dengan masalah-masalah lingkungan yang spesifik, dan untuk mengetahui penyebab, konsekuensi, tindakan efektif yang perlu dilakukan, kecenderungan-kecenderungan yang potensial terjadi serta dinamika saling keterkaitan diantara komponen-komponen ini [5] (Pillman, 2002) .

Kerangka kerja DPSIR merupakan kerangka analisis yang fungsional untuk men-struktur-kan hubungan sebab akibat dalam kaitannya dengan permasalahan pengelolaan sumber daya alam (dimana sumberdaya air merupakan salah satu komponen dari sumberdaya alam) [6] (EEA, 1999; Bowen and Riley, 2003; Giupponi, 2002). Aplikasi kerangka kerja DPSIR memudahkan pen-struktur-an informasi yang kemudian memudahkan peng-identifikasi-an hubungan-hubungan (saling keterkaitan) yang penting serta memudahkan pengembangan pemahaman yang menyeluruh sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi.

Mencermati topik yang ditetapkan Panitia Penyelengara PKM Laporan Status WS Citarum yakni : “pendekatan konseptual penyusunan laporan status wilayah sungai (DPSIR)” serta menyimak hal tentang kerangka kerja DPSIR seperti yang diuraikan dalam alinea-alinea sebelum ini, diperoleh kesimpulan bahwa : konsep kerangka kerja DPSIR dipandang merupakan 1 hal yang perlu diaplikasikan dalam rangkaian pelaksanaan pekerjaan penyusunan laporan status wilayah sungai (DPSIR).

2

Laporan Status Wilayah Sungai Citarum.

2.1

Pengertian kata “Status” , “State” dan hal-hal terkait Wilayah Sungai.

Kata “status” banyak difahami identik dengan kata : “state”, atau “kondisi” atau “situasi.

Merriam Webste

sbb. :

(4)

2 • the condition of a person or thing in the eyes of the law

Oxford Dictionaries

pengertian kata “state” = the particular condition that someone or something is in at a specific time.

Dalam kasus tertentu “status” atau “state” dapat juga diartikan sebagai kondisi dalam kaitannya dengan harapan, sebagai contoh, dalam konteks wilayah sungai misalnya : status ws Citarum dapat diartikan sebagai kondisi dan atau keadaan di ws Citarum dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap atau dalam kaitannya dengan visi UU 7 2004.

Dalam UU no. 7 thn. 2004 tentang Sumber Daya Air ps. 1 angka 10 didefinisikan bahwa : Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

Dalam UU no. 7 thn. 2004 tentang Sumber Daya Air ps. 1 angka 11 didefinisikan bahwa :Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

UU no. 7 thn. 2004 pasal 12 : (1) Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai. (2) Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR – butir 5 :

• Air sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah administrasi

• Keberadaan air mengikuti siklus hidrologis yang erat hubungannya dengan kondisi cuaca pada suatu daerah sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata dalam setiap waktu dan setiap wilayah.

.

• Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air dan meningkatnya daya rusak air. Hal tersebut menuntut pengelolaan sumber daya air yang utuh dari hulu sampai ke hilir dengan basis wilayah sungai

Dalam UU no. 7 thn. 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan hal-hal sebagai berikut :

dalam satu pola pengelolaan sumber daya air tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya.

Tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air

• Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. (ps. 1 angka 7)

(ps. 3) : mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(5)

3 dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.

• ps. 1 angka 19 : Pendayagunaan sumber daya air

• ps. 1 angka 20 :

adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.

Pengendalian daya rusak air

Dalam kasus tertentu “status” atau “state” dapat juga diartikan sebagai kondisi dalam kaitannya dengan suatu konteks tertentu , misalnya harapan,

adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air.

sebagai contoh, dalam konteks wilayah sungai misalnya

2.2

STATUS WS CITARUM 01, dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap dan

visi UU 7 2004.

: status ws Citarum dapat diartikan sebagai kondisi dan atau keadaan di ws Citarum dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap atau dalam kaitannya dengan visi UU 7 2004.

Penulis berpendapat bahwa materi tulisan yang disajikan dalam Lampiran 1, berjudul : “STATUS WS

CITARUM 01, dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap dan visi UU 7 2004” dapat dikatagorikan

sebagai : status wilayah sungai Citarum. Namun menyimak isinya yang memuat informasi dengan kurun waktu yang berbeda , judul tulisan tepat juga apabila dituliskan sbb. : “Status WS Citarum di berbagai saat”, tidak dapat diberi judul, misalnya “Status WS Citarum 2013”.

Status Wilayah Sungai yang disajikan dalam Lampiran 1 , dalam konteks Visi Citarum Road Map diantaranya menjelaskan :

• status kebersihan sungai (pada suatu saat tertentu), • status kesehatan sungai (pada suatu saat tertentu),

• produksi / kemanfaatan yang terdukung oleh keberadaan sungai (yang telah diraih pada suatu saat tertentu atau yang potensial dapat diraih),

• kondisi kelestarian kemanfaatan yang pernah diraih.

Status Wilayah Sungai yang disajikan dalam Lampiran 1 , dalam konteks Visi UU 7 2004, tidak menyajikan Status Wilayah Sungai dalam konteks “ ... untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

2.3

Status Wilayah Sungai Citarum dalam Laporan Proyek 6 Ci’s.

Setidaknya ada 2 Laporan Proyek 6 Ci’s (TA 7189-INO, Institutional Strengthening for IWRM in the 6 Cis River Basin Territory – Package B, Ministry of Public Works, Jakarta - Asian Development Bank) yang didalamnya menjelaskan Status Wilayah Sungai Citarum yakni :

1. Pola Pengelolaan SDA WS Citarum 2012 – 6 Ci’s,

2. Task B1-6: Initial State of the Basin Report for the Citarum River, 3 Agustus 2011.

Visi UU 7 2004 : mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(6)

4 Sebagai contoh, dalam Pola Pengelolaan SDA WS Citarum 2012 – 6 Ci’s uraian yang menjelaskan status wilayah sungai Citarum diantaranya dijumpai di bagian-bagian sbb. :

• hal. 18-19 : “Sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Air Sungai Citarum digunakan sebagai sumber air baku, irigasi pertanian, perikanan, sumber bagi pembangkit tenaga listrik tenaga air untuk pasokan Pulau Jawa dan Bali, serta sebagai pemasok air untuk kegiatan industri. Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yaitu 6.614 km². Populasi penduduk di sepanjang sungai (Data BPS 2009) 15.303.758 (50% urban)”.

• hal 19 : “Pembangkit listrik tenaga air di ketiga waduk tersebut menghasilkan daya listrik sebesar 1.400 MW.”

• hal 34 : “Pengambilan air tanah yang sebenarnya diperkirakan paling tidak 3 (tiga) kali lebih besar dibandingkan dengan pengambilan yang terdaftar.”

• hal 34 – 35 : “... , saat ini abstraksi air tanah masih di bawah batas ideal pengambilan air tanah, yaitu masih 25%. Namun, untuk beberapa lokasi misalnya di CAT Bekasi-Karawang, CAT Subang dan CAT Batujajar pengambilan air tanah sudah melampaui batas ideal pengembilan air tanah. Walaupun saat ini pengembilan air tanah di CAT Bandung-Soreang masih dibawah batas ideal pengambilan air tanah (masih 27%), akan tetapi di beberapa tempat seperti di daerah Majalaya, Ranca Ekek, Dayeuh Kolot, Leuwi Gajah dan sebagainya, pengambilan air tanah ini sudah melampaui batas ideal pengambilan air tanah, dimana di daerah ini sudah terjadi penurunan muka air tanah dan juga penurunan tanah yang cukup serius.”

• hal 37 : “Persentase areal di 1 Ci dengan tingkat erosi berat dan sangat berat (>180 ton/ha/th) adalah sebesar 31,4% dari luas 1 Ci.”

• ... • ... • ... dst ...

Menyimak judulnya, Laporan “Task B1-6: Initial State of the Basin Report for the Citarum River, 3 Agustus 2011” seyogyanya laporan ini berisi penjelasan yang membahas “Status Wilayah Sungai Citarum” pada tahun 2011, dan jika disimak daftar isinya, dapatlah disimpulkan bahwa : laporan ini memang membahas “Status Wilayah Sungai Citarum”.

2.4

Contoh sebagian isi Laporan Status Wilayah Sungai.

Seperti dijelaskan dalam sub bab 2.1. , Status Wilayah Sungai menjelaskan STATE (kondisi/keadaan) suatu Wilayah Sungai dan salah satu cara menjelaskan STATE (kondisi/keadaan) suatu Wilayah Sungai adalah melalui berbagai indikator kondisi Wilayah Sungai.

Dibawah ini disajikan 2 contoh dengan cara bagaimana kondisi / keadaan wilayah dijelaskan, yakni :

1. Watershed Condition Indicators yang tercantum dalam Watershed Condition Classification Technical Guide, United States Department of Agriculture - Forest Service [2], [3] – Lihat gambar 3 dan tabel 1.

(7)

5

(8)
(9)

7 Minnesota Department of Natural Resources menilai keadaan Wilayah Sungai melalui berbagai indikator seperti yang diperlihatkan dalam tabel 2 berikut dibawah ini :

Tabel 2. Five Components of Watershed Health Scores [4].

BIOLOGY

Terrestrial Habitat Quality What is the quality of terrestrial habitat in each watershed based on its size, configuration and cover type?

Stream Species Quality Index How healthy are the assemblages of aquatic species in the streams of each watershed?

Species Richness Index How many different species of birds, fish, aquatic macroinvertebrates and mussels have been found in each watershed?

At Risk Species Richness At Risk Species Richness studies the number of different at-risk species of birds, fish and mussels are found in each watershed.

CONNECTIVITY

Terrestrial Connectivity Does the watershed landscape provide the ability to connect quality terrestrial habitat patches in each watershed? Aquatic Connectivity How many physical structures (dams, bridges and culverts) are on stream systems in each watershed?

Riparian Connectivity How much undeveloped riparian area is there in each watershed?

GEOMORPHOLOGY

Soil Erosion Susceptibility How susceptible are the soils in each watershed to erosion? Groundwater Contamination

Susceptibility

How vulnerable is each watershed to groundwater contamination?

Climate Vulnerability How closely balanced are the rate of precipitation and the rate of evapotranspiration for each watershed in Minnesota?

HYDROLOGY

Perennial Vegetation How much perennial (year-round) vegetation is in Minnesota currently compared to the amount of perennial vegetation that was here in the 1890's?

Impervious Surfaces What percentage of catchments (small subwatersheds) within each major watershed have 4% or more impervious surface?

Water Withdrawal How much groundwater and surface water is estimated to be withdrawn in each watershed for off-site use? Hydrologic Storage How much available water storage has been lost in the watershed since European settlement (1890-1900)? Flow Variability How do stream flow patterns (hydrologic regimes) vary across Minnesota?

WATER QUALITY

Non-Point Sources How exposed are the waters in each watershed to chemicals associated with agriculture and to runoff from impervious surfaces in riparian areas?

Point Sources How vulnerable is each watershed to water pollution from known point sources?

Assessments Of the lakes and streams assessed for water quality impairments, what percentage was found to be impaired in each watershed?

disusun konsultan dengan mengacu pada artikel [4]

A terrestrial habitat is on e that is defin ed by the plan t structure, ty pes of leav es, plan t spacin g, an d clim ate. It in cludes forests, grasslan ds, deserts, an d rain forests. A habitat is the kin d of en v iron m en t w here plan ts an d an im als reside.

(10)

8

2.5

Sumber Data Dasar data terbaik untuk penyusunan Laporan Status

Wilayah Sungai Citarum.

Atas dasar berbagai informasi tentang DSS (Decision Support Systems) for Integrated Water Resources Management in The Citarum River Basin, seperti diantaranya :

• ADB Technical Assistance Consultant’s Report, project no. 37049-024, Februari 2012,

• PMO News Report tentang DSS FOR IWRM OF THE CITARUM RIVER BASIN yang memberitakan bahwa :

(11)

9 Diperoleh kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa , saat ini, data dan informasi terbaik yang tersimpan dalam media penyimpanan elektronik (komputer) terdapat dalam sistem komputer yang dikembangkan oleh konsultan DSS FOR IWRM OF THE CITARUM RIVER BASIN , dimana pengembangan sistem ini telah dimulai kurang lebih dalam bulan Agustus 2010 – dan tahap pertama kerja konsultan telah berakhir kurang lebih pada awal tahun 2013.

Menurut informasi yang diperoleh : server DSS for IWRM of the Citarum River Basin tersimpan di kantor Balai Besar Wilaya Sungai Citarum.

Paling tidak , sampai bulan Januari, server DSS ini dapat di akses isinya, walaupun untuk penulis dirasakan masih kurang “user friendly”.

Namun, sayang sekali, sejak beberapa bulan yang lalu , server DSS ini tidak dapat lagi di akses.

Menurut informasi yang diperoleh, server DSS yang berlokasi di kantor BWWS Citarum ini tidak lagi di-ON-kan, dan belum ada personil yang bertugas mengoperasikan dan mengembangkan lebih lanjut. Bila memang demikian, kemudian tidak ada tindak lanjut dari yang berkewenangan, sungguh sangat disayangkan , bahwa sistem komputer DSS FOR IWRM OF THE CITARUM RIVER BASIN yang telah dikembangkan oleh konsultan K-Water selama lebih dari 2 tahun ( + 2 ½ tahun), yang pada saat awal insiasinya digembar-gemborkan “sangat menjanjikan kemanfaatannya” , akan menjadi terbuang percuma dan sia-sia.

3

Kerangka Kerja DPSIR.

Menurut OECD, 1994, komponen-komponen kerangka kerja DPSIR didefinisikan sbb. :

Driving Forces (faktor-faktor pemicu) : Driving Forces (faktor-faktor pemicu) adalah faktor-faktor yang menyebabkan perubahan berbagai perubahan dalam sistem yang ditinjau. Faktor-faktor tersebut dapat sosial, ekonomi atau ekologi dan dapat (berpotensi) berpengaruh positif atau negatif pada “pressures” (tekanan-tekanan). Contoh Driving Forces (faktor-faktor pemicu) : populasi manusia, penggunaan sumber daya, perubahan iklim, berbagai sektor kegiatan manusia.

Pressure (tekanan) : Pressure (tekanan) adalah kegiatan-kegiatan manusia yang secara langsung berpengaruh terhadap sistem – dan pressure (tekanan) ini diakibatkan oleh Driving Forces (faktor-faktor pemicu). Pressures (tekanan-tekanan) ini merubah kualitas lingkungan dan kuantitas sumber daya alam, misalnya : polusi, penebangan kayu dihutan, dll...

State (keadaan/kondisi) : State (keadaan/kondisi) adalah kondisi sistem pada suatu saat tertentu dan dinyatakan dengan keterangan-keterangan atribut sistem yang dipengaruhi/termodifikasi oleh pressures (tekanan-tekanan). Contoh keterangan atribut sistem : ciri-ciri kualitas air, sedimen, komposisi species, struktur habitat.

Impacts (dampak/akibat) : Impacts (dampak/akibat) adalah efek-efek terhadap kesehatan kehidupan manusia atau sistem lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pressures (tekanan-tekanan). Contoh yang umum misalnya : wabah penyakit dan konsentrasi polutan dalam populasi biologis, dan berkurang/lenyap/semakin miskinnya keberlimpahan keragaman hayati.

Response (sikap dan tindakan) : Responses (sikap dan tindakan) adalah upaya-upaya yang dilakukan masyarakat (termasuk pemerintah) sebagai reaksi/tanggapan terhadap impacts (dampak/akibat).

(12)

10

gambar 1. DPSIR framework - hubungan sebab akibat kejadian dan keadaan dalam wilayah sungai.

Penjelasan,dalam format tabel, tentang DPSIR framework seperti yang diperlihatkan dalam gambar 1 disajikan dibawah ini[1]:

dalam bahasa Inggris terjemahan bebas bahas Indonesia

1. DRIVING FORCES generate PRESSURES DAYA-DAYA PEMICU menghasilkan TEKANAN-TEKANAN

2. PRESSURES influence/modify STATE TEKANAN-TEKANAN mempengaruhi/merubah KONDISI / KEADAAN

3. STATE provoke/cause IMPACTS KONDISI / KEADAAN menyebabkan berbagai AKIBAT

4. IMPACTS stimulate/ask for RESPONSES

berbagai AKIBAT (terutama yang berdampak negatif) memerlukan berbagai RESPONS (khususnya untuk menanggulangi berbagai dampak negatif)

5. RESPONSES modify/substitute/remove DRIVING FORCES

berbagai RESPONS yang dilakukan dapat menghilangkan DAYA-DAYA PEMICU yang berdampak negatif , merubah DAYA-DAYA PEMICU menjadi lebih kondusif , dst ...

6. RESPONSES eliminate/reduce/prevent PRESSURES

berbagai RESPONS yang dilakukan dapat mengurangi / mencegah / menghilangkan TEKANAN-TEKANAN

7. RESPONSES restorate/influence STATE

berbagai RESPONS yang dilakukan dapat memperbaiki KONDISI / KEADAAN , atau mempengaruhi KONDISI / KEADAAN menjadi lebih baik

8. RESPONSES compensate/mitigate IMPACTS berbagai RESPONS yang dilakukan dapat menghindarkan terjadinya AKIBAT-AKIBAT negatif

Dalam “DPSIR framework” seperti yang digambarkan dan dijelaskan diatas terdapat hubungan sebab-akibat yang saling terkait yang dimulai dari DRIVING FORCES ( daya-daya pemicu ).

(13)

11 diagram hubungan sebab dan akibat pengaruh eksistensi kehidupan manusia terhadap sistem SUMBER DAYA ALAM

(14)

12

1.

berbagai daya pemicu

(15)

13

2 .

be rba ga i te k a na n

kondisi / ke a da a n

(16)

14

3 .

da m pa k / a k ibat kondisi / ke a da a n

(17)

15

3.1

DRIVING FORCES (daya-daya pemicu).

DRIVING FORCES ( daya-daya pemicu ) dapat berasal dari keadaan alam yang ada dan dapat juga berasal dari keberadaan manusia dengan segala kegiatannya.

Driving Forces (daya-daya pemicu) yang berasal dari manusia dengan segala kegiatannya pada dasarnya bermula dari keberadaan kehidupan manusia , kebutuhan hidup manusia , berbagai keinginan manusia yang muncul dalam kehidupannya.

Contoh-contoh DRIVING FORCES primer untuk kehidupan manusia adalah kebutuhan akan papan, pangan dan air, sementara contoh-contoh DRIVING FORCES sekunder adalah kebutuhan untuk mobilitas, wisata dan budaya.

Untuk sektor industri, yang merupakan DRIVING FORCE dapat berupa keinginan untuk meraih keuntungan dan untuk menghasilkan produk dengan biaya yang semurah mungkin. Dalam konteks makro-ekonomi, proses-proses produksi dan konsumsi terstruktur menurut sektor-sektor ekonomi ( misalnya : pertanian, energi, industri, transportasi, jumlah penduduk , jumlah KK, dll... ).

DRIVING FORCES ( daya-daya pemicu ) potensial akan berubah menjadi PRESSURES (tekanan), namun belum tentu pasti terjadi , bisa terjadi , bisa pula tidak terjadi. Terjadinya atau tidak terjadinya PRESSURE dari DRIVING FORCES ditentukan oleh RESPONS yang dilakukan, sebagai contoh misalnya :

Kegiatan industri tidak akan menghasilkan PRESSURE berupa limbah industri yang dibuang ke sungai yang berakibat pencemaran serta berakibat menjadikan STATE / kondisi air sungai tercemar bila :

1. setiap kegiatan industri melengkapi dirinya dengan IPAL yang memadai kemudian mengoperasikannya dengan benar,

2. yang disebut dalam butir 1 akan berjalan bila :

o ada kesadaran dan keseriusan usaha dari fihak pelaksana industri,

(18)

16

3.2

PRESSURES (tekanan-tekanan).

DRIVING FORCES (daya-daya pemicu) akan berlanjut ke kegiatan-kegiatan seperti transportasi, pertanian, produksi makanan, industri, dst ... dalam rangka terpenuhinya kebutuhan dan keinginan.

Kegiatan-kegiatan manusia ini menghasilkan PRESSURES (tekanan-tekanan) pada lingkungan, sebagai hasil dari proses-proses produksi dan konsumsi yang dapat dikelompokan dalam 3 jenis utama sbb. :

• pemakaian / exploitasi sumber daya alam / lingkungan yang berlebihan, • perubahan penggunaan lahan,

• emisi (limbah, bahan kimia, radiasi, kebisingan) ke udara, air dan tanah

3.3

STATE ( kondisi/keadaan).

PRESSURES (tekanan-tekanan) berpengaruh terhadap STATE (kondisi/keadaan) lingkungan / alam , yakni kualitas dari kompartemen-kompartemen alam/lingkungan ( udara, air , tanah, dll... ) dalam kaitannya dengan fungsi yang diberikan oleh masing-masing kompartemen ini.

STATE (keadaan/kondisi) alam/lingkungan ataupun Wilayah Sungai adalah gabungan kondisi fisik, kimiawi dan biologi.

3.4

IMPACTS (dampak/akibat)

Perubahan-perubahan kondisi fisik, kimiawi ataupun biologi dalam lingkungan wilayah sungai mencerminkan kualitas sistem lingkungan hidup dan (kesinambungan dan keseluruhan) kesejahteraan kehidupan manusia.

Dengan kata lain, perubahan-perubahan STATE (kondisi/keadaan) :

• dapat berdampak pada kondisi lingkungan dan ekonomi, dan juga

(19)

17 • dan pada akhirnya juga berdampak pada kesehatan manusia, kinerja ekonomi serta sosial

masyarakat.

3.5

RESPONSES ( respon sikap dan tindakan terhadap keadaan dan kondisi

yang terjadi )

Berbagai RESPONSES (respon sikap dan tindakan terhadap keadaan dan kondisi yang terjadi) yang tercetus dari masyarakat dan para penetap kebijakan dipicu oleh IMPACTS (khususnya yang tidak selaras dengan harapan).

RESPONSES pada dasarnya merupakan bentuk/refleksi keinginan untuk dapat terjadinya perubahan , yakni : perubahan pada rangkaian antara DRIVING FORCES s.d. IMPACTS sehingga tidak terjadi / muncul hal-hal yang tidak diharapkan.

Dengan RESPONSES yang di-“muncul”-kan , maka diharapkan, rangkaian antara DRIVING FORCES s.d. IMPACTS dapat dipengaruhi sehingga keadaan/kondisi yang ada dapat berubah menjadi seperti yang diharapkan.

Sebagai salah satu contoh misalnya : beberapa bentuk RESPONSES sebagai reaksi atas pencemaran air oleh limbah industri sebagai berikut dibawah ini :

• penerbitan dan pemberlakuan peraturan perundangan tentang pengendalian limbah pabrik, • sosialisasi peraturan perundangan dan pembangunan kesadaran untuk tidak mencemari

lingkungan,

• penegakan hukum terhadap pelanggar peraturan perundangan,

• pembangungan IPAL limbah industri yang memadai dan pengoperasian IPAL sebagaimana mestinya,

• proses pemberian izin operasi kegiatan industri yang secara komprehensif, konsistendan tegas mencegah terjadinya pencemaran akibat limbah industri.

apabila diterapkan sebagaimana mestinya, maka akan menjadikan DRIVING FORCES yang ada

(kegiatan industri) tidak menghasilkan PRESSURES (tekanan) terhadap lingkungan SDA, serta kemudian, dengan lenyapnya PRESSURES ini, maka tidak akan ada IMPACTS yang negatif.

3.6

Ilustrasi Aplikasi kerangka kerja DPSIR.

Untuk lebih menjelaskan DPSIR framework, saling keterkaitan dan hubungan sebab akibat dalam Wilayah Sungai disajikan ilustrasi sbb. :

Dalam kehidupannya manusia membutuhkan “papan, pangan dan sandang” :

Kebutuhan “papan’ adalah kebutuhan manusia akan rumah tempat tinggal. Untuk memenuhi kebutuhan akan “papan” ini ada lahan yang dipakai untuk permukiman. Pemakaian lahan untuk permukiman, salah satu akibatnya adalah perubahan vegetasinya yang menjadi berkurang, lahan yang semula merupakan resapan air yang mengisi cadangan air tanah menjadi tertutup, sehingga pengisian air tanahnya menjadi berkurang.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan hal sbb. :

DRIVING FORCE : pertambahan penduduk memacu meningkatnya kebutuhan permukiman yang akan merubah kondisi lahan,

(20)

18 • akan menghasilkan PRESSURES dalam bentuk : perubahan lahan menjadi lahan permukiman yang

tidak terkendali, tidak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, dimana pada akhirnya • akan merubah STATE / kondisi vegetasi lahan berkurang, dan lahan menjadi kedap air,

• dengan IMPACTS / AKIBAT / DAMPAK : resapan air / pengisian kembali cadangan air tanah berkurang , fungsi positif vegetasi terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan menurun.

gambar 2. DPSIR framework masalah sampah dan limbah tinja di sungai.

(21)

19 Dari uraian diatas dapat disimpulkan hal sbb. :

DRIVING FORCE : pertambahan penduduk memacu miningkatnya produksi sampah dan limbah, • yang apabila tidak dikendalikan ( tidak ada RESPONS yang memadai )

• akan menghasilkan PRESSURES dalam bentuk : pembuangan sampah ke sungai, serta pembuangan / pengaliran langsung limbah tinja dan limbah cair lainnya langsung dialirkan ke sungai, dimana PRESSURES ini kemudian

• akan merubah STATE / kondisi lingkungan (WS) misalnya : sungai penuh dengan sampah, sungai tercemar dengan limbah domestik, air tanah tercemar, dll.

• dengan IMPACTS / AKIBAT / DAMPAK : fungsi dan kemanfaatan sungai menjadi sangat menurun, sumber air bersih yang dapat langsung dipakai menjadi langka atau hilang sama sekali, dll.... .

Pemenuhan kebutuhan manusia akan pangan diantaranya terkait dengan kegiatan di sektor pertanian, peternakan dan perikanan.

Dalam perkembangannya kegiatan sektor pertanian tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan , namun juga disertai dengan berbagai dampak negatif , seperti misalnya : penggunaan lahan untuk pertanian dapat menjadikan lahan lebih erosif yang berdampak terjadinya sedimentasi yang merugikan, penggunaan bahan kimia anorganik sebagai pupuk dan pembunuh hama berdampak terjadinya pencemaran air tanah dan air permukaan serta menjadikan struktur tanah rusak semakin lama semakin tidak subur, dll...

Dari uraian ini dapat disimpulkan hal sbb. :

DRIVING FORCE : pertambahan penduduk memacu semakin meningkatnya upaya meningkatkan produksi pertanian yang kemudian memacu semakin banyaknya penggunaan lahan untuk pertanian, misalnya konversi hutan menjadi lahan pertanian, serta juga meningkatnya pemakaian bahan kimia an-organik sebagai pupuk dan pestisida,

• yang apabila tidak dikendalikan ( tidak ada RESPONS yang memadai )

(22)

20 • akan merubah STATE / kondisi lingkungan (WS) misalnya : lahan yang menjadi rentan terhadap erosi atau meningkatnya erosi tanah, sungai tercemar dengan limbah kimia an-organik (kelebihan pemakaian pupuk dan pestisida an-organik) , air tanah tercemar, dll.

• dengan IMPACTS / AKIBAT / DAMPAK : disamping kenaikan tingkat ekonomi , juga berdampak negatif : fungsi dan kemanfaatan sungai, saluran, danau dan waduk terganggu oleh adanya peningkatan sedimentasi , sungai, saluran, danau dan waduk dipenuhi eceng gondok, tubuh ikan yang dimakan manusia mengandung pestisida, sumber air minum tercemar pestisida dll.... .

Kegiatan peternakan, kegiatan peternakan sapi perah di Lembang, Kertasari dan Pangalengan misalnya , di satu sisi merupakan hal yang sifatnya memenuhi kebutuhan pangan , dan menaikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan, namun di sisi lain, limbah kotoran sapi yang tidak dikelola sebagaimana mestinya berdampak menjadikan lingkungan tidak sehat, dan pencemaran air ( sungai, saluran, air tanah).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan hal sbb. :

DRIVING FORCE : semangat memenuhi kebutuhan kesehatan minum susu serta semangat menaikan tingkat ekonomi melalui usaha peternakan sapi perah telah meningkatkan populasi sapi perah yang juga meningkatkan produksi kotoran sapi,

• yang apabila tidak ditangani sebagaiman mestinya ( tidak ada RESPONS yang memadai )

• akan menghasilkan PRESSURES dalam bentuk : pembuangan langsung kotoran sapi ke saluran atau ke sungai, yang pada akhirnya

• akan merubah STATE / kondisi lingkungan (WS) misalnya : lingkungan menjadi bau dan tidak sehat, air sungai tercemar kotoran sapi

• dengan IMPACTS / AKIBAT / DAMPAK : disamping kenaikan tingkat ekonomi , juga berdampak negatif : kualitas air sungai, saluran, danau dan waduk tercemar kotoran sapi,air sungai menjadi kotor sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan / dipakai, dll... .

(23)

21 Salah satu cara yang terbaik untuk dapat menjelaskan kondisi wilayah sungai adalah : dengan cara menjelaskan keadaan dan kejadian yang ada dan berlangsung didalamnya

Salah satu cara yang terbaik untuk dapat menjelaskan keadaan dan kejadian yang ada dan berlangsung didalam Wilayah Sungai adalah : dengan cara menjelaskan kejadian/keadaan hubungan sebab akibat (causal effect relationship) terjadinya suatu kondisi / keadaan di Wilayah Sungai tersebut.

Salah satu cara yang terbaik untuk dapatmenjelaskan kejadian/keadaan hubungan sebab akibat (causal effect relationship) terjadinya suatu kondisi / keadaan di Wilayah Sungai adalah melalui suatu kerangka kerja yang telah banyak dikenal sebagai “DPSIR Frameworks

Referensi :

1. ISTAT, C. Costantino, F. Falcitelli, A. Femia, A. Tuolini, OECD-Workshop, Paris, May 14–16, 2003) 2. An Analysis of Watershed Condition Framework Database for the Apache-Sitgreaves National Forest

, By Russell Winn Ph.D., Associate Professor Emeritus, Department of Government, New Mexico State University, Las Cruces, NM 88003

3. Watershed Condition Classification Technical Guide, Primary Authors : John P. Potyondy,

Program Manager and Hydrologist, Stream Systems Technology Center,Watershed, Fish, Wildlife, Air, and Rare Plants Staff,Washington Office, Theodore W. Geier, Regional Hydrologist, Eastern Region United States Department of Agriculture, Forest Service, FS-978, July 2011.

4. 5 Components of Watershed Health Scores, Minnesota Department of Natural Resources,

5. Pillman, W. 2002, Environmental communication: systems analysis of environmentally related information flows as a basis for the popularization of the framework for sustainable development.” Vienna, Umweltinformatik 2000, 14. Int. Symposium Umweltinformation für Planung, Politik und Öffentlichkeit?, Bonn 2000, Metropolis, Marburg.

6. EEA Report, 1999. Environmental Indicators: Typology and Overview.

accessed on 15.07.2010

7. OECD ( Organisation for Economic Co operation and Development), 1994. Environmental Indicators – OECD Core Set, OECD Paris.

(24)

Lampiran 1 :

STATUS WS CITARUM 01

dalam kaitannya dengan visi Citarum Roadmap dan visi UU 7 2004

(25)

lampiran 1 - i

Daftar Isi.

(26)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 1

1

The CRB’s overall problems

Resources under pressure; The Citarum’s freshwater resources are under increasing pressure. Growth in population, increased economic activity and improved standards of living lead to increased competition for and conflicts over the limited freshwater resource. A combination of social inequity, economic

marginalization and lack of poverty alleviation programmes also force people living in extreme poverty to overexploit soil and forestry resources, which often results in negative impacts on water resources. Lack of pollution control measures further degrades water resources.

Populations under water stress; The population has increased --- dengan laju pertumbuhan yang sifatnya cenderung tidak lagi linier tapi exponensial ---- data dan informasi yang diperolah menyiratkan bahwa sebagian populasi populasi yang bermukim di WS Citarum telah dihadapkan pada “ medium to high water stress. Populasi penduduk yang masih terus meningkat tentu saja akan berakibat pada semakin banyak populasi penduduk yang dihadapkan pada “ water stress “ dengan tingkat “stress” yang lebih dari sebelumnya.

The impact of pollution; Pollution of water is inherently connected with human activities. In addition to serving the basic requirement of biotic life and industrial processes, water also acts as a sink and transport mechanism for domestic, agricultural and industrial waste causing pollution. Deteriorating water quality caused by pollution influences water usability downstream, threatens human health and the functioning of aquatic ecosystems so reducing effective availability and increasing competition for water of adequate quality.

Water governance crisis; The above problems are aggravated by shortcomings in the management of water. Sectoral approaches to water resources management have dominated and are still prevailing; this leads to the fragmented and uncoordinated development and management of the resource. Moreover, water management is usually left to top-down institutions, the legitimacy and effectiveness of which have increasingly been questioned. Thus, the overall problem is caused both by inefficient governance and increased competition for the finite resource.

2

kondisi kebersihan sungai .

Semua info yang diperoleh (ATLAS RCMU, 6 Cis, dokumen-dokumen Citarum Roadmap) menyatakan bahwa kondisi sungai Citarum saat ini (sangatlah) tidak bersih, bahkan di beberapa situs internet, Sungai Citarum telah disebut sebagai “the dirtiest river in the world” (sungai terkotor di dunia).

(27)

lampiran 1 - 2 Selain akibat sampah, fenomena air sungai Citarum kotor terlihat pada saat “air besar” , air sungai menjadi berwarna coklat akibat banyaknya lapisan tanah yang ter-gerus/ter-erosi oleh aliran air.

Mengacu pada beberapa info yang diperoleh, sungai Citarum juga menjadi kotor (menjadi tidak jernih lagi) akibat limbah industri dan kotoran sapi (yang jumlahnya terlampau banyak) yang dibuang ke badan air (sungai).

Berbagai Isu pengotoran sungai Citarum yang disajikan oleh konsultan RCMU dalam ATLAS

• tidak tersedianya sistem pengolahan limbah dan sampah domestik yang memadai menjadikan sungai Citarum sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah,

(referensi no. 1) menyiratkan hal-hal sbb. :

• banyaknya sampah yang dibuang langsung ke sungai dan timbunan sampah yang tidak terangkut ke pembuangan akhir mengindikasikan sudah sangat mendesaknya untuk segera dilakukan upaya peningkatan pengelolaan persampahan di Wilayah Sungai Citarum,

• kontributor utama pengotoran sungai Citarum hulu (bagian wilayah sungai di sebelah hulu waduk Saguling) adalah penduduk di kota Bandung, kota Cimahi, kabupaten Bandung, dan kabupaten Bandung Barat – kapasitas pengelolaan sampah di ke 4 kota/kabupaten ini amatlah jauh dari memadai,

• perkiraan sampah tidak tertangani di beberapa lokasi padat penduduk , kota Bandung 46 %, kabupaten Bandung + =2500 m3/hari , kota Cimahi + =1181 m3/hari , kabupaten Karawang 120 m3/hari, kota Bekasi 2991 m3/hari, kabupaten Subang 55 % belum dapat dilayani (ATLAS). Kondisi sampah tidak tertangani ini yang disebutkan ini sangat terkait erat dengan kondisi “kotor-nya sampah” di sungai Citarum

3

Kondisi Sungai Cikapundung.

Informasi lebih lengkap diungkapkan dalam :

(28)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 3 sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

(29)

lampiran 1 - 4 sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

(30)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 5 sungai Cikapundung – Bandung [2]

4

Isu terkait kesehatan sungai dan kesehatan sungai

Info-info yang diperoleh banyak menyiratkan hal-hal yang tidak-menyehatkan

• di beberapa lokasi, air sungai citarum telah meyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit,

yang berlangsung di sungai Citarum, seperti misalnya :

• ada beberapa species ikan yang dulu ada di sungai Citarum kini telah lenyap (punah),

• walaupun usaha perikanan di tiga waduk di sungai Citarum telah menghasilkan produk ikan air tawar yang signifikan, fenomena kematian ikan masal di waduk akibat teracuninya ikan oleh bahan-bahan beracun (toxic materials) telah beberapa kali terjadi,

• air sungai citarum juga telah terkontaminasi logam berat (kontaminan yang membahayakan kesehatan), ikan-ikan yang dibesarkan di air sungai Citarum ( di 3 waduk – budi daya jaring apung) , teoritis ( sejauh ini belum ditemukan laporan penelitian mengenai ini) akan tercemari logam berat yang membahayakan kesehatan tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan-ikan yang terkontaminasi tersebut.

• kandungan E-coli dalam air sungai telah jauh melewati ambang batas baku mutu yang ditetapkan ... dll.

• .... ini menyebabkan tingginya angka penyakit yang diakibatkan oleh buruknya kualitas air di kalangan penduduk, terutama perempuan dan anak-anak, akibat mengkonsumsi air yang tidak layak pakai dan menggunakan sanitasi yang minim dan tidak memadai.

Proyek 6 Ci , sehubungan dengan yang di-katagorikan-nya sebagai “kesehatan sungai Citarum”, dalam salah satu laporannya, Initial State of the Basin Report for the Citarum River

• Erosi yang parah terjadi di 31,6 % wilayah sungai Citarum ( ≥ 180 ton /ha.tahun ), kemudian 26.437 ha merupakan lahan sangat kritis, 115.988 ha lahan kritis, 273.880 ha agak kritis dan 468.255 ha potensial kritis,

menulis hal-hal yang terjemahannya kurang lebih seperti berikut dibawah ini [3]:

• semakin meluasnya “gangguan” akibat permukiman dan pemanfaatan lahan non-pertanian di bantaran banjir,

• proteksi alur dan tepi sungai yang tidak/belum memadai, diantaranya “gangguan” sepanjang alur dan tepi sungai serta waduk,

(31)

lampiran 1 - 6 • erosi pantai dan muara, hanya tersisa sedikit hutan bakau, hampir seluruh areal yang dahulunya

hutan bakau ( > 90 % ) , yang sifatnya melindungi tepi pantai , telah dikonversi menjadi kolam ikan air payau (tambak).

Limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, limbah perikanan, limbah peternakan dan sampah yang dibuang/terbuang ke sungai Citarum jumlahnya telah terlampau banyak jumlahnya sehingga :

• melampaui ambang batas kemampuan “self purifying capacity” Sungai Citarum. • air sungai yang semula jernih menjadi tidak jernih lagi,

• yang semula mandi di sungai tidak berdampak apapun , kini menjadikan gatal-gatal dan terserang penyakit kulit,

• air sungai yang semula dapat langsung dipakai untuk kebutuhan air rumah tangga , kini tidak lagi demikian.

5

Isu pencemaran air sungai Citarum.

Terkait dengan pencemaran air sungai Citarum, ATLAS, Task B1-6: Initial State of the Basin Report for the Citarum River, dan data BPLHD Jabar

5.1 isu pencemaran oleh limbah kotoran sapi :

menyebutkan / menyiratkan hal-hal sbb. :

• Situ Cisanti, salah satu mata air di hulu sungai Citarum , setidaknya 82,4 ton kotoran sapi setiap harinya mencemari sungai Citarum,

• peternakan sapi, tersebar di Kecamatan Pangalengan, Kertasari dan Arjasari dengan populasi jumlah ternak lebih dari 27.000 ekor sapi, berdasarkan data, setiap hari seekor sapi rata-rata menghasilkan 15 kg kotoran, sesuai data tersebut, jumlah kotoran sapi yang masuk ke hulu Citarum ditaksir sekitar 405 to per hari,

5.2 isu pencemaran oleh limbah industri :

• industri tekstil di daerah Majalaya Kabupaten Bandung , berkontribusi besar terhadap pencemaran berat yang terjadi di sungai Citarum, dari 600 industri tekstil yang ada hanya 10 % saja yang mengoperasikan IPAL standar, diperkirakan 280 ton limbah industri tekstil di buang ke sungai setiap harinya,

• pabrik tekstil dan industri garmen, disamping sebagai sumber pencemaran organik, yang lebih parah lagi , juga sebagai sumber pencemaran logam berat , pestisida , detergen dan zat pewarna,

• tahun 2004, di daerah cekungan Bandung yang dilewati oleh sungai Citarum terdapat 400 industri besar yang membuang limbahnya ke sungai tanpa IPAL yang memadai, meskipun jumlah limbah industri yang dibuang secara kuantitas lebih sedikit dibandingkan dengan limbah rumah tangga, limbah industri mengandung bahan beracun berbahaya (B3),

• hasil penelitian, akibat pencemaran, ikan-ikan yang dihasilkan di waduk Cirata terkontaminasi oleh logam berat,

(32)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 7 • limbah padat dan cair dari rumah tangga dan kegiatan industri dari Kawasan industri yang berkembang pesat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi ikut berkontribusi menambah air sungai Citarum semakin tercemar,

5.3 isu pencemaran oleh limbah pertanian/perikanan :

• air hujan yang mengalir dari lahan pertanian di kawasan hulu sungai Citarum, membawa sisa-sisa

(kelebihan) pupuk (nitrogen dan fosfor) yang tidak terserap oleh tanaman dan tertampung di Waduk Saguling. Tercatat sebanyak 33.350 ton nitrogen dan 4.370 ton fosfor masuk ke waduk,

• pemberian pakan berlebih pada budidaya keramba ikan juga telah menyebabkan pencemaran air di waduk saguling, Cirata dan jatiluhur, sekitar 10 ton pakan ikan yang ditebar setiap harinya tidak semuanya terkonsumsi oleh ikan, sisa pakan tersebut mengendap di dasar waduk dan berubah menjadi zat sulfur yang berbahaya bagi ikan, ketika arus bawah air naik dan membawa kotoran ke permukaan akn berakibat pada matinya ikan,

• Waduk Cirata, 1990, endapan pakan ikan yang tidak terkonsumsi telah 3 meter tebalnya, jumlah keramba atau jala apung yang diijinkan seharusnya maximum 1 % dari luas permukaan waduk Cirata (+ 12.000 petak jaring apung), namun kenyataannya, saat ini terdapat hingga 50.000 petak jaring apung, banyaknya perkakas jaring apung yang tak terpakai seperti styrofoam, drum baja, dan bambu juga berkontribusi menyebabkan permasalahan limbah padat di waduk Cirata,

• budidaya ikan yang tidak terkontrol menambah beban pencemaran air di waduk Jatiluhur, jumlah keramba apung pada tahun 2008 sudah mencapai lebih dari 14.000 unit dari 5.000 unit yang diijinkan, kadar COD berkisar antara 6,9 – 172 mg/l (ambang baas COD 10 mg/l),

5.4 isu pencemaran oleh limbah domestik :

• tahun 2004, cekungan Bandung sudah dihuni oleh sekitar 7.000.000 jiwa yang sebagian besar membuang limbah cairnya ke sungai,

• masih banyak penduduk yang membuang hajat di Sungai Citarum,

• perilaku buang air besar langsung ke Kanal Tarum Barat menyebabkan kualitas air sangat rendah dan tercemar oleh limbah rumah tangga,

5.5 pemantauan dan analisis kualitas air :

• pemantauan kualitas air yang dilakukan oleh BPLHD provinsi Jawa Barat, tahun 2009, 2010 dan 2011, di beberapa lokasi di alur sungai Citarum, dari hulu sampai ke hilir, menghasilkan kesimpulan bahwa : status kualitas air ,di semua titik lokasi pengamatan, di semua tahun pengamatan, seluruhnya ber-katagori “cemar berat”,

• air di waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur telah tercemari logam berat,

• sungai Citarum telah tercemar berat oleh limbah kegiatan manusia (limbah domestik dan limbah industri), sekitar 14 juta jiwa bermukim di wilayah sungai ini, juga 2000 pabrik dimana 500 diantaranya berlokasi di bagian hulu sungai Citarum sekitar Bandung,

• kaji ulang kondisi pencemaran lingkungan (Djuangsih 1993) menengaskan tingkat pencemaran yang telah terjadi di wilayah sungai Citarum sbb. :

(33)

lampiran 1 - 8 o beban pencemaran harian detergent dan phenol di sungai Citarum pada tahun 1987

masing-masing 2,19 ton/hari dan 21 kg/hari,

o jenis industri utama yang terindentifikasi di wilayah sungai Citarum : tekstil, penyamakan, makanan dan electroplating, industri-industri jenis ini potensial menghasilkan bahan pencemar Cd, Cu, Pb, Ni, Zn, Cr, Fe, Mn, dan Hg (air raksa), dalam studi saat itu, pada sample sedimen, air dan ikan yang di analisis terindikasi kandungan “air raksa” dengan konsentrasi berkisar antara 1,1 – 7,4 μg/l (ambang batas maximum kandungan air raksa = 1.0 μg/l – baku mutu kualitas air kelas 1 PP 82/2001),

• kontaminasi kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida ke dalam tubuh manusia seperti kasus yang dilaporkan Ekespedisi_Citarum_Wanadri_2009-2010 ”sampel darah yang diambil dari anak anak dari beberapa desa di kecamatan Kertasari, menunjukan adanya kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida dengan kadar tertentu”,

• Dari 10 ton pakan ikan yang ditebar setiap harinya, tidak semuanya terkonsumsi oleh ikan. Sisa pakan tersebut mengendap di dasar waduk dan berubah menjadi zat sulfur yang berbahaya bagi mahluk hidup.

• Waduk Cirata. Pada tahun 1990 endapan pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan telah mencapai ketinggian 3 meter.

• Hasil penelitian, ikan-ikan yang dihasilkan di waduk Cirata terkontaminasi oleh logam berat akibat tercemarnya air waduk Cirata.

6

Kondisi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan.

From Table 7 and Figure 29 it is apparent that of the total ‘deforestation in the Citarum basin (109,000 ha) from 2001-2008, just under 20,000 ha occurred in areas managed by the Forestry Department. Most (77%) of this loss of forest in areas managed by DepHut occurred in the Production Forests, of which in 2001 only 56% was forested, and this percentage declined to 42% by 2008. Protection forests (Hutan Lindung) fared only slightly better, with a declining in forest cover from 57% to 53%, while Conservation areas (Hutan Suaka Alam) did significantly better, although forest cover in these areas also declined, from 91% to 86% from 2001-2008 [3].

(34)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 9 sumber [3].

Changes in Land Use / Land Cover in the Citarum basin lie at the basis of various issues in the basin. A recent study by Lufiandi (2011), who assessed land use in the upper Citarum for 1994-2009, found that residential areas had increased by 35% (about 5,000 ha) while industrial areas had increased by more than 100% (about 1,000 ha). At the same time rice fields increased by more than 7,000 ha and bush and pasture land by more than 7,000 ha, while forest decreased by 40% (about 20,000 ha) during the same period. The pattern of land use change in the Upper Citarum basin is that forest is converted for agriculture land or pasture and bush, then converted into urban area (residential and industrial) and rice paddies [3]

7

Longsor dan Lahan Kritis.

Owing to the steep slopes, erosiveness of the soils and degree of clearing/conversion for agriculture and other land use, almost one third (31.4%) of the Citarum basin in subject to severe and very severe erosion (defined as > 180 t / ha / yr; see DHV et al., 2011, and Figure 33 below). A total of 26,437 ha is classified as very critical (in terms of erosion), 115,988 ha is critical, 273,880 ha is somewhat critical and 468,255 ha is potential critical. Among others this affects water quality (e.g. high TSS), lowers soil fertility and increases the incidence of landslides [3]

(35)

lampiran 1 - 10 menyerap air dan menahan tanah terutama tanah dengan kemiringan lebih dari 30 %. Secara keseluruhan luas areal perkebunan sayur meningkat dari 6000 ha (1992) menjadi 37000 ha (2001) [4].

Bencana tanah longsor dan erosi menjadi permasalahan lingkungan, dampak dari menurunnya kondisi lahan di kawasan Citarum hulu. Guguran tanah yang terbawa air pada akhirnya terbawa masuk ke dalam badan sungai kemudian akan menyebabkan sedimentasi dan meningkatkan resiko bencana banjir [4].

Lahan Kritis di Pacet (Kabupaten Bandung). Area hutan di kawasan hulu Citarum telah mengalami penurunan sebesar 45 % , dari seluas 35.000 ha di tahun 1992 menjadi tinggal 19.000 ha di tahun 2001. Kebanyakan hutan yang tertinggal dalam kondisi kritis. Lebih dari 31.4 % Wilayah Sungai Citarum merupakan kawasan dengan tingkat erosi yang berat hingga sangat berat (>180 ton/ha/tahun). Namun, petani di kawasan ini masih tetap memilih bercocok tanam sayuran. Akibatnya , tanah longsor kerap terjadi di kawasan ini, terutama daerah yang mempunyai kemiringan sampai dengan 50 % [4].

Lahan Kritis di DAS Citarum Hulu diperkirakan seluas kurang lebih 46.543 Ha atau sekitar 20 % dari luas Cekungan Bandung (234.088 Ha). Lahan kritis tersebar di DAS Ciminyak, Cihaur, Cikapundung, Citarik, Cirasea, Ciwidey dan DAS Cisangkuy. Luas lahan di kawasan hulu Citarum yang perlu direhabilitasi seluas 22.326,12 Ha [4].

Untuk wilayah WS Citarum terdapat luas lahan kritis dan sangat kritis di dalam kawasan hutan seluas 38.718,62 Ha dan di luar kawasan hutan seluas 168.465,94Ha (berdasar perhitungan peta lahan kritis dari BPDAS Citarum-Ciliwung) [1].

Berdasar data tahun 2008 Lahan kritis di DAS Citarum mencapai 141.705 ha atau sekitar 21% dari total luas DAS Citarum. Luas lahan yang perlu direhabilitasi dalam kawasan hutan pada DAS itarum mencapai 81.235,70 ha, sedangkan pada kawasan non hutan seluas 60.469,50 ha [1].

(36)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 11 Cirasea, Ciwidey dan DAS Cisangkuy. Luas lahan di kawasan hulu Citarum yang perlu direhabilitasi seluas 22.326,12 [1].

8

Erosi [1].

Dari data terlihat bahwa erosi lahan dalam kategori sangat berat sudah mencapai 14% dari total keseluruhan wilayah, hal tersebut menunjukkan semakin tingginya kondisi lahan yang rusak. Erosi di kawasan Citarum Hulu telah mengirimkan sektar 490 ton/ha/tahun dan dapat dikategorikan sebagai indeks erosi yang sangat buruk.

Lebih dari 31,4% Wilayah Sungai Citarum merupakan kawasan dengan tingkat erosi yang berat hingga sangat berat (>180 ton/ha/tahun).

Subdas Cikao merupakan daerah yang memiliki tingkat erosivitas yang sangat jelek dan mencapai hampir 6% dari total luasan subdas (22.072 ha). Lokasi subdas Cikao yang berada di Kabupaten Karawang dan Purwakarta memiliki kontur yang berbukit-bukit sehingga potensi kerusakan lahan yang menyebabkan erosi cukup tinggi.

9

Neraca / Alokasi Air

Recent studies in the upper Citarum Basin (Abidin et al., 2009) also indicate that groundwater is being extracted at unsustainable levels, leading to ground subsidence of up to -23 cm per year (average -7.6 cm). The latter mainly occurred in the textile industry areas, where large volumes of groundwater are extracted [3].

Groundwater is heavily exploited for commercial and industrial use in the Bandung-Soreang groundwater basin. As a result, groundwater levels have been dropping and are suspected of contributing to land subsidence. As well, the aquifer is believed to be incurring damage in some locations and some bores have dried up [6].

Dalam neraca air untuk Citarum seperti gambar diatas menunjukkan bahwa ketersediaan air dibandingkan dengan kebutuhan tidak terdapat gap yang terlalu jauh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah Sungai Citarum memiliki potensi yang lebih dalam penyediaan air. Selama setahun rata-rata kebutuhan dan ketersediaan paling rawan berada dikisaran bulan Juli sampai dengan Agustus. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan di musim kemarau yang cukup rendah walaupun kebutuhan dalam grafik tersebut juga cenderung turun. Berdasarkan neraca air diatas dapat diartikan bahwa wilayah Citarum memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan air kawasan lainnya seperti yang selama ini telah diterapkan dalam mensuplai kebutuhan air baku Jakarta dan sekitarnya [1].

(37)

lampiran 1 - 12 Relevant to water allocation and distribution is the fact that the volumes of water in storage are very large and well capable of catering for current and future demand in almost all situations. The lack of water scarcity has been, it is believed, a reason for lack of motivation to manage water more efficiently in the irrigation schemes [6].

... efficiency of water delivery in Citarum for irrigation is low. The explanation is believed to be partly due to the abundance of water compared with actual water demand. Although shortages have been reported in the past, it is likely that in-efficiencies in operation, scheduling, canal condition and famer behaviour have been the major contributing causes, not scarcity of water as a resource [6].

(38)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 13 sumber : Pola Pengelolaan SDA WS Citarum 2012 – 6 Cis :

Pada saat ini telah terjadi ketidakseimbangan antara pengambilan dan kemampuan pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan semakin menurunnya permukaan air tanah bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat serta data-data dari DTLGKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) cekungan air tanah (CAT) yang sudah memiliki zona kritis, yaitu CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi – Karawang, dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang tingkat kerusakannya paling parah, di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis [1].

Penggunaan air tanah sangat intensif di daerah CAT Bandung dalam dua puluh tahun terakhir, untuk ekstraksi air tanah telah meningkat secara signifikan dan menyebabkan penurunan serius tingkat air tanah. Abstraksi air tanah besar terjadi di daerah industri(Cibeureum-Leuwigajah, Dayeuh kolot-Moh. Toha, Rancaekek dan Majalaya [1].

Sekitar 35 persen wilayah di Kota Bandung memiliki kondisi air tanah dalam kategori kritis. Sedangkan 30 persen yang lain tergolong memiliki kondisi rawan [1]..

Wilayah yang tergolong memiliki kondisi air tanah dalam kritis misalnya Kec. Sukajadi, Cicendo, Andir, Bandung Kulon, Babakan Ciparay, Bojongloa Kidul, Kiaracondong, Coblong, serta sebagian Kec. Sukasari, Cidadap, Lengkong, dan Batununggal [1]..

(39)

lampiran 1 - 14

10

Banjir

Banjir.

[1].

Kawasan banjir di Dayeuh Kolot dan Bale Endah (Kabupaten Bandung). Kawasan Dayeuh Kolot dan Bale Endah Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang selalu tergenang oleh luapan sungai Citarum pada saat musim hujan tiba. Permasalah banjir khususnya di daerah Bandung sebenarnya sudah terjadi sejak jaman dahulu. Terletak di daerah Cekungan Bandung sebagai sisa menyusutnya danau Bandung Purba, menyebabkan kawasan ini hampir selalu mengalami permasalahan banjir. Tahun 1974 Dayeh Kolot ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Bandung, namun dengan pertimbangan kondisi geografis ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan ke lokasi baru di Kecamatan Soreang. Dayeuh Kolot dan Bale Endah menjadi kawasan yang rawan bencana banjir karena daerah ini merupakan tempat bertemunya 3 sungai yaitu Cikapundung dan Cisangkuy yang bermuara di sungai Citarum. Bahkan elevasi salah satu kampung daerah ini yaitu Cieunteung berada dibawah perhitungan banjir rencana. Elevasi banjir rencana sungai Citarum pada kawasan ini adalah + 659,3m dpl , sedangkan elevasi lahan di kawasan ini + 658, sehingga ketika banjir besarpada februari 2010 yang mencapai elevasi 660,3 m dpl kawasan ini mengalami genangan setinggi 2,3 m. [4]

Sungai Citarum banjir sudah biasa, terutama di daerah-daerah seperti Dayeuh Kolot, Bale Endah dan sekitarnya. [1]

Banjir Citarum merupakan sebuah bencana rutin di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. [1]

(40)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 15 Kabupaten Bandung -- Kuantitas dan kualitas banjir diindikasikan oleh luas genangan, lama genangan dan tinggi genangan. Menurut data tahun 2005 potensi luas wilayah rawan banjir 7.157,77 ha, dengan rata – rata lama genangan 24 – 72 jam dan tinggi genangan berkisar 50 – 300 cm.

Kabupaten Bandung -- Wilayah yang sering mengalami banjir secara periodik (Q1, Q5, Q20, Q50 tahun), mencakup kecamatan Banjaran, Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Paseh, Ciparay, Rancaekek, Solokan Jeruk dan Majalaya. Sedangkan wilayah rawan banjir temporer akibat buruknya sistem drainase mencakup wilayah di Kecamatan Margahayu dan Margaasih. Pada Tahun 2010 Banjir di Kabupaten bandung telah menggenangi 29 desa pada 11 kecamatan. [1]

[1]

Bencana banjir terjadi di desa Cikao kecamatan Jatiluhur kabupaten Purwakarta sebanyak 1.704 warga mengungsi (data tahun 2010) [1]

... banjir yang terjadi pada tahun 2010 meliputi 10 (sepuluh) kecamatan pada kecamatan Karawang Barat (5 desa), kecamatan Karawang Timur (1 desa), kecamatan Teluk Jambe Timur (7 desa), kecamatan Teluk Jambe Barat (2 desa), kecamatan Cikampek ( 1 desa), kecamatan Pakisjaya (4 desa), kecamatan Batujaya (1 desa), kecamatan Klari (1 desa), kecamatan Jayakerta (1 desa) dan kecamatan Tanjungpura (1 desa) [1]

Lokasi rawan banjir di Kabupaten Bekasi berdasarkan informasi dari bahan rapat terpadu penanganan masalah banjir pada tahun 2002, luas areal genangan terjadi umumnya di areal pertanian dengan perkiraan 15,176 ha, tambak sekitar 9.627 ha dan permukiman sekitar 362 Ha. [1]

... karena kondisi drainase yang kurang terawat dan juga limpasan sungai, dimana pada daerah-daerah rendah sering terkena banjir. Banjir di Kota Bekasi terjadi di Bekasi Timur, Bekasi Utara, Rawa Lumbu, Jatiasih, Bekasi Selatan Mustika Jaya, Bekasi Barat, Pondok Melati, dan Pondok Gede. [1]

(41)

lampiran 1 - 16 Cipunagara merupakan sungai terbesar di Kabupaten Subang memiliki potensi banjir yang dapat menggenangi dataran rendah. [1]

Pada musim penghujan, kejadian banjir lokal sudah menjadi agenda bencana di Kabupaten Indramayu dalam setiap tahunnya, sementara itu kejadian abrasi pantai di Kabupaten Indramayu terdapat kecenderungan yang terus meningkat setiap tahunnya. Kekeringan juga terjadi setiap musim kemarau tiap tahunnya. [1]

11

Kelongsoran

Luasan wilayah yang rawan mengalami longsor 7.587,86 ha. Wilayah yang sering terkena bencana tanah longsor akibat erosi banyak terjadi di kecamatan Pangalengan, Ibun, Margaasih, Cicalengka, Ciwidey, Pasirjambu, Nagreg, Rancabali, Soreang, Cimenyan, Cilengkrang dan Cikancung. [1]

wilayah yang berpotensi longsor saat hujan turun adalah Cipongkor, Gununghalu, dan Rongga, Cikalong Wetan, Lembang, Cipatat, Sindangkerta, Rajamandala, Cisarua, Cililin. [1]

Kota Cimahi. Lima daerah yang termasuk dalam kategori rawan longsor adalah RW 10 Kelurahan Citeureup, RW 1 Kelurahan Cimahi, RW 13 Kelurahan Padasuka, RW 20 Kelurahan Padasuka, dan RW 1 Kelurahan Cibeureum. [1]

Kedelapan kecamatan di Purwakarta yang rawan bencana alam itu ialah Kecamatan Kiarapedes, Wanayasa, Jatiluhur, Plered, Manis, Tegalwaru, Bojong dan Kecamaan Darangdan. Rata-rata daerah itu merupakan rawan bencana longsor, banjir dan angin puting beliung. [1]

Kabupaten Bekasi : rawan bencana longsor (di Kecamatan Tambun Utara dengan luas 133,877 Ha) [1]

12

Kekeringan

Kabupaten Subang -- ...kekeringan pada musim kemarau terjadi pada kecamatan Pamanukan< Pusakanagara, Pusakajaya, Sukasari, Legonkulon, Tambakdahan, Blanakan, Ciasem dan kecamatan Compreng. [1]

Pola Pengelolaan SDA WS Citarum – 6 Cis :

Kekurangan air irigasi terutama terjadi pada bagian akhir jaringan irigasi. Potensi untuk mengurangi kekeringan dilakukan dengan memperbaiki distribusi air irigasi, meningkatkan efisiensi air irigasi, menindak tegas pengambilan air tidak berijin serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan petani terhadap jadwal tanam yang telah ditentukan.

(42)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 17 [7]

Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan air RKI akan menjadi isu yang penting di masa mendatang. Karena adanya permasalahan pengambilan air tanah yang melampaui batas, terutama terjadi di wilayah Cekungan Bandung, maka pemakaian air tanah dalam akan dibatasi, yang artinya pemenuhan kebutuhan RKI harus diganti dan dipenuhi dari air permukaan. [7]

Besarnya kekurangan air pada tahun 2010 sebesar 3.6% dari total kebutuhan air (defisit dibagi kebutuhan) dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6.63% di tahun 2030 jika tidak dilakukan upaya penanganan. [7]

Berdasarkan analisis Ribasim, pada 1 Ci kekurangan air terjadi di distrik 319, terutama terjadi pada saat aliran rendah sungai Cikarang dengan defisit air 1% dari total kebutuhan air irigasi. Defisit juga terjadi pada distrik air 330, WD 406, WD 407, WD 412, WD 422, WD 424, WD 438 disebabkan oleh aliran sungai yang rendah pada musim kemarau, sedangkan defisit yang terjadi pada distrik air 434 disebabkan oleh terbatasnya kapasitas dari waduk Cipancuh. [7]

Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan air RKI menjadi isu yang penting di masa mendatang. Karena adanya permasalahan air tanah terutama terjadi di Cekungan Bandung, maka pemakaian air tanah dalam akan dibatasi, yang artinya pemenuhan kebutuhan RKI akan dipenuhi dari air permukaan. Hasil simulasi Ribasim, dengan kondisi prasarana air tetap seperti sekarang ini dan tingkat kebutuhan air pada tahun 2030 menunjukkan adanya kekurangan air di distrik air tertentu yang sebarannya terlihat pada Gambar 3.28 dan Gambar 3.29 untuk kekurangan kebutuhan air irigasi tahun 2010 dan tahun 2030, dan pada Gambar 3.30 dan Gambar 3.31 menunjukkan kekurangan kebutuhan air RKI. [7]

(43)

lampiran 1 - 18 Daerah kekurangan air RKI berdasarkan Kelompok kota untuk tahun 2030 dapat diringkas sebagai berikut: [7]

• Kabupaten dan kota Bekasi sebesar 15,00 m3/det • Kota Karawang-Purwakarta-Subang sebesar 13,3 m3/det • Kota Bandung dan sekitarnya sebesar 22,50 m3/det

Kekurangan air untuk kebutuhan irigasi dan RKI pada WS 1 Ci terjadi pada water district seperti terlihat pada Tabel 3.19, dengan asumsi bahwa penggunaan air untuk RKI seluruh sumber airnya berasal dari air permukaan. [7]

[7]

Selain karena belum dimanfatkannya sumber air yang ada secara optimal, penyebab utama terjadinya kekurangan air irigasi di wilayah tersebut juga karena masih rendahnya efisiensi penggunaan air, terjadi pemborosan air dan pengambilan air yang tidak berijin. Hal ini juga disebabkan oleh adanya kerusakan pada bangunan pengatur dan pengukur air, sehingga sering terjadi pemberian air yang tidak terukur dan cenderung berlebihan pada bagian awal jaringan. Akibatnya pada bagian akhir dari jaringan irigasi sering mengalami kekurangan air. [7]

Namun demikian, di lapangan kekurangan air RKI tersebut di atas relatif tidak terlalu signifikan, karena sebagian besar penduduk masih memanfaatkan air tanah (sumur dangkal). Apabila tidak dilakukan tindakan apapun, maka krisis/kekurangan air pada masa datang akan semakin mengkhawatirkan, terutama pada pusat-pusat pertumbuhan, antara lain Wilayah Metropolitan Jabodetabek dan Wilayah Metropolitan Bandung. [7]

Pada tahun 2030, secara umum kebutuhan air untuk keperluan irigasi cenderung menurun, sedangkan tingkat kebutuhan air untuk keperluan RKI cenderung meningkat. Hal ini terjadi karena adanya peralihan fungsi lahan pertanian seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota, terutama terjadi pada wilayah di sekitar Metropolitan Jabodetabek dan Metropolitan Cekungan Bandung. [7]

13

sedimentasi

(44)

file : d:\pkm status ws citarum\final\status ws citarum 01.docx

lampiran 1 - 19 Cirata dibangun pada tahun 1988 dan direncanakan berusia sampai 100 tahun. Tingkat sedimentasi yang tinggi telah menyebabkan berkurangnya kapasitas waduk. Berdasarkan hasil penelitian, Cirata telah kehilangan masa 20 tahun usia kinerja efektifnya. [1],[4]

sedimentasi yang masuk ke waduk Saguling rata-rata mencapai 8,2 juta m3. Beban sedimentasi setara dengan laju erosi 3mm per tahunnya, ini berarti 3 kali lipat dari rencana desainnya. Jumlah sampah yang terjaring sebelum masuk ke waduk adalah 250.000 m3 per tahun. [4]

Lima anak sungai yang bergabung di waduk Cirata yaitu sungai Citarum, Cimeta, Cisokan, Cikundul dan Cibaladung juga menyumbangkan permasalahan sedimentasi. Kondisi daerah tangkapan Cirata ternyata juga tidak jauh dari permasalahan penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman dan pertanian, juga berkontribusi menyumbang permasalahan sedimentasi di waduk Cirata. [4]

Permasalahan Sedimentasi di Bojongsoang (Kabupaten Bandung). Bojongsoang merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung yang mengalami permasalahan cukup berat terutama ketika musim hujan tiba. Tingkat sedimentasi anak-anak sungai Citarum yang melewati Bojongsoang, berdampak pada berkurangnya kapasitas daya tampung air. Sehingga ketika musim hujan tiba, daerah Bojongsoang menjadi kawasan langganan banjir... Kondisi ini merupakan dampak dari rusaknya kawasan hulu Sungai Citarum yang menyebabkan meningkatnya bencana erosi dan tanah longsor. [4]

Sedimentasi merupakan permasalah serius yang dihadapi oleh waduk Jatiluhur diakibatkan oleh sedimentasi yang terbawa dari waduk Cirata dan anak-anak sungai Cisomang dan sungai Cilalawi. [4] Laju sedimentasi di waduk saguling (1988-2009) mencapai 8.2 juta m3/tahun, sedimentasi di waduk cirata (1988-2008) 6.4 juta m3/tahun dan di waduk jatiluhur (1987-1997) 1.6 juta m3/tahun (Sekretariat pelaksana koordinasi tata pengaturan air sungai citarum, 12 Jan 2010).

Pada perubahan iklim el nino pada tahun 1994, tercatat produksi listrik di tiga waduk di Sungai Citarum yang juga digunakan sebagai PLTA (Saguling,Cirata & Jatiluhur) masih tinggi, namun semenjak 1997, 2002, 2003, 2004 dan 2006 cenderung mengalami penurunan.

Tingginya sedimentasi dan pencemaran air sungai Citarum berakibat pada menurunnya produktifitas persawahan. Kurang lebih 100.000 ha sawah terancam tidak produktif dan berpotensi mengakibatkan kerugian sebesar 16 triliyun rupiah. [4]

14

Kemanfaatan Sungai Citarum.

Keberadaan sungai Citarum dan 3 bendungan yang dibangun telah menunjang :

• produktifitas 3 PLTA di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang memasok kebutuhan tenaga listrik di Pulau Jawa dan Bali,

• produktifitas (paling tidak) 240.000 hektar sawah di kabupaten Bekasi, Karawang, Subang dan Indramayu

• produktifitas sistem pengolan air bersih/minum kota jakarta dan beberapa kota/kabupaten di pantai utara jawa barat,

• produktifitas usaha budi daya ikan air tawar di 3 waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur).

Gambar

gambar 3. Watershed Condition Indicators – sumber dari : litaratur[3] halaman 6
Tabel 2. Five Components of Watershed Health Scores [4].
gambar 1.
gambar 2. DPSIR framework masalah sampah dan limbah tinja di sungai.

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan, Strategi dan Metode Pembelajaran: Bahan Ajar Diklat Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMA Jenjang Dasar.. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan

Kode tersebut menunjukan pemanggilan penampil 3 dimensi Collada dengan file ekstensi Obj yang telah tersedia pada database berdasarkan nama file yang sama dengan nama

)لعفلاب اهبحصأ اهب خذححي ام يه ةغللا , setiap bahasa wajib adanya akan yang membedakan )تاغللا ضعب هع اهضهب فلخج(. Selain itu, hal penting

Matakuliah ini membahas tentang pengetahuan sejarah, alat dan fasilitas pertandingan, mempelajari teknik dasar pertandingan pencak silat yang terdiri dari kemampuan

Ia mengakui Tuhan memiliki sifat-sifat sejak zaman azali, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat misalnya qudrat, dan sifat-sifat aktifitas (perbuatan, sifat

 Untuk kenaikan indeks per kelompok, dijabarkan pada uraian be rikut: Kelompok bahan makanan mengalami inflasi sebesar 1,64 persen; kelompok makanan jadi, minuman,

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran penggunaan metode diskusiuntuk meningkatkan rasa tanggung jawab, prestasi belajar siswa,

Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1989:17) yang menyatakan bahwa apabila suatu masalah telah ditulis perlu ditentukan ruang lingkupnya. Ruang lingkup