Partisipan pertama berusaha menghadapi ejekan yang ia terima dari teman-temannya dengan meminta kepada orangtuanya untuk melakukan operasi pada saat ia masih di Taman Kanak-kanak (TK). Operasi tersebut bertujuan untuk memperbaiki bagian mulut dan hidungnya sehingga ia dapat bicara dengan lebih jelas.
Partisipan I:
“…ini hidungku tolong, bukan tolong sih tapi ini diperbaikilah mak teman-temanku ngejek-ngejek terus itu kalimat yang bener-bener, satu kalimat yang mengubah hidupku
loh…”
Selain operasi, partisipan pertama berusaha menerima keadaan fisiknya dengan mensyukuri keadaannya, berdoa ketika menghadapi ejekan orang lain serta meyakini bahwa Tuhan mempunyai rencana terhadap hidupnya. Pada partisipan kedua, ia memilih menerima
keadaannya, bersyukur, membaca kitab suci dan lebih banyak berdoa dalam mengatasi kesedihannya sehubungan dengan kekurangan fisik yang ia miliki.
Partisipan I Partisipan II
“Cuma memang sih aku gak ngomong
sama dia to the point, eh langsung gitu tapi aku pendem sendiri gitu, tapi aku pendem-pendem cuma karena kepahitan itu, sering doa sama Tuhan. Walaupun ada kepahitan tapi aku apa namanya, melepaskan gitu
dengan cara mendoakan. “
“…. mungkin besok akan ada cuma aku
pikir bersyukur aja. Mungkin Tuhan kasi aku kayak gini, mungkin akan ada
rencananya kedepannya gitu… Jadi aku
yakin besok pasti ada jalan dari Tuhan
gitu.”
“Tuhan itu sudah menyiapkan kalau, em, apa ya, kalau unik, aku tuh unik gitu…. Jadi aku
yang lebih ke berdoa sih, kalau lagi sedih melihat mereka yang bisa normal gitu, aku
lebih banyak cari Tuhan, kayak gitu.” “Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya
bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur karena kalau misalnya mau ditangisin mau dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin juga ya, marah-marah gitukan enggak
merubah suatu hal apapun seperti itu.” “tapi tuh mama selalu nguatin gitu, udahlah
gitu jangan terlalu dipikirin cowok itu mah Tuhan yang kasi kayak gitu-gitu. Jodoh itu gak kemana. Jadi tuh kuat aja gitu jadi baca firman, baca alkitab kayak gitu-gitu. Ya itu
sih yang pertama itu ya doa.”
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua partisipan memiliki kecenderungan kontrol internality, powerful other dan chance pada keadaan-keadaan tertentu, seperti: keberhasilan dalam pendidikan, keberhasilan dalam lingkungan sosial, dan keyakinan dalam keberhasilan karir di masa depan. Janelle (1992) mengatakan bahwa Locus of Control (LOC) dapat dipengaruhi secara berbeda pada setiap tingkatan tergantung pada lingkungan, interaksi dengan lingkungan atau dengan kepribadian individu. LOC secara kontinum menunjukkan bahwa seseorang memiliki keyakinan internal (internality) dan eksternal (powerful other dan chance) mengenai konsekuensi dari berbagai peristiwa hidup. Karakteristik internal dan eksternal yang dimiliki bergantung pada perspektif LOC yang dominan.
Dalam menghadapi pendidikannya saat ini, partisipan pertama mengatakan bahwa ia yakin dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik karena ia telah memiliki pengalaman
sebelumnya dalam menghadapi pendidikan. Walaupun merasa yakin dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik, kelemahannya dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama sering merasakan kecemasan saat melakukan presentasi di kelas atau berbicara dalam kelompok besar. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya sering mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih memilih melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancarai.
Saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, partisipan pertama sangat dipengaruhi oleh pihak keluarga, khususnya ibu partisipan. Ia mengungkapkan bahwa ibu, yang lebih mengontrol hidupnya dan mempengaruhi pengambilan keputusannya, seperti kota tempat tinggal dan jurusan yang diambilnya. Keyakinan terhadap keputusan ibu yang terbaik disebabkan oleh reinforcement yang diberikan ibunya dimana partisipan pertama selalu puas dengan keputusan yang dipilihkan ibunya dalam peristiwa hidup sebelumnya. Ia mengatakan bila tidak ada bantuan dari ibunya, ia tidak akan melanjutkan study-nya ke perguruan tinggi dan mengalami depresi karena itu sampai saat ini ia lebih banyak berkomunikasi dengan keluarganya terhadap keputusan-keputusan yang ia ambil, ia merasa keputusan yang dipilihkan oleh keluarganya adalah yang terbaik. Menurut Crittenden (1990), keluarga adalah konteks penting yang dapat mempengaruhi individu mengembangkan sebuah LOC dan mempelajari strategi untuk mengatasi tekanan. Selain itu dalam perkembangan seorang anak dalam keluarga, perilaku dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement (Rotter, 1966).
Partisipan kedua mengatakan bahwa untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan, ia dapat melakukan latihan untuk mengerjakannya dan berpendapat bila ia bekerja keras maka kesuksesan akan mengikutinya. Selain itu, ia belum pernah mengalihkan tugas atau tanggung jawab yang diberikan padanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Stocks (2012) bahwa individu dengan internality lebih sering mengajukan dan menerima posisi untuk mengatur karena mereka merasa nyaman mengambil alih situasi dan membuat keputusan.
Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa salah satu peristiwa penting dalam hidup mereka adalah ketika mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah untuk hidup mandiri di kota lain serta berusaha bersosialisasi dengan orang lain. Keluarga dari kedua partisan juga mendukung keputusan partisipan dengan memberikan dukungan, seperti dukungan finansial dan motivasi dalam belajar. Kedua partisipan mengatakan tidak menyukai hal-hal baru sehingga mau tidak mau kedua partisipan harus berusaha hidup mandiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungan baru selama melanjutkan pendidikan, dalam proses adaptasi ini kedua partisipan berusaha mengembangkan internality-nya dimana mereka berusaha yakin dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat hidup mandiri. Keluarga memiliki peranan penting dalam mendorong partispan untuk bisa mandiri dimana keluarga memegang sikap yang dapat meningkatkan kemandirian anak dan mengarahkan anak untuk bisa partisipasi dalam suatu kegiatan (Lawlor, dkk, 2006; dalam Anaby, 2013). Keluarga dapat mengatur lingkungan rumah tangga mereka untuk memastikan anak mendapatkan kesempatan awal untuk memilih, mengontrol, dan mempunyai privasi, sangat penting untuk pengembangan otonomi anak (Cook, Brotherson, Weigel-Garrey, Mize, 1996; dalam Vaicekauskaite, 2007).
Selain dukungan keluarga, partisipan kedua mengatakan bahwa teman sebaya dan komunitas gereja yang dianggotainya memberikan dukungan motivasi dan doa. Dukungan ini sangat membantu partisipan kedua untuk menjalani kehidupannya selama berkuliah di luar kota. McManus (2006; dalam Anaby, dkk, 2013) mengungkapkan bahwa sikap positif dari anggota komunitas dan sekolah dapat membantu anak-anak dengan kecacatan untuk berpartisipasi dalam kelompok. Selain itu hasil penelitian Naraiana dan Natarajan (2013) mengenai persepsi remaja penyandang cacat di India, mengungkapkan bahwa keberhasilan yang dialami oleh beberapa siswa penyandang cacat dalam mengembangkan persahabatan tampaknya menunjuk ke bentuk dukungan eksternal yang bisa digunakan untuk menghadapi kondisi sosial yang keras.
Dapat disimpulkan dalam lingkup pendidikan, partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other, dimana keluarganya lebih mempengaruhinya dalam pengambilan keputusan dalam melanjutkan pendidikannya, serta ketidakyakinannya pada diri sendiri dalam mengerjakan tugas dengan baik. Pada partisipan kedua, ia cenderung memiliki LOC internality karena keyakinannya terhadap kemampuan yang ia miliki dalam melakukan suatu tugas.
Tidak hanya kecemasan dalam mengerjakan tugas perkuliahan, partisipan pertama juga memiliki kecemasan terhadap keberhasilan karirnya di masa depan. Keterbatasan fisiknya yang membuatnya kesulitan dalam berkomunikasi membuatnya cemas terhadap seleksi kerja oleh atasan dan cara berkomunikasi dengan rekan kerjanya nanti. Partisipan pertama menceritakan bahwa ia merasa atasan melihat potensi yang ia miliki namun ia merasa tidak yakin dapat mengerjakan tugas dengan baik. Selain itu, walaupun partisipan pertama mengungkapkan bahwa dirinya yakin akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, ia juga mengatakan memiliki keraguan bila ada hal-hal lain yang tidak dapat diprediksi terjadi. Hal ini selaras dengan pendapat Rotter (1966) bahwa individu dengan LOC internal dapat bergeser ke eksternal bila berhadapan dengan situasi yang tidak dapat diprediksi. Perrin dan Teste (2010; dalam Warnecke, dkk, 2014) juga mengungkapkan bahwa LOC eksternal yang tinggi mengindikasikan individu untuk percaya bahwa hal-hal di luar dirinya dan orang lainlah yang mengontrol lingkungan. Selain itu, Arslan, Dilmac, dan Hamarta (2009: dalam Warnecke, dkk, 2014) menemukan bahwa LOC eksternal yang tinggi mempunyai korelasi positif dengan kecemasan dan mengungkapkan bahwa mempunyai LOC eksternal yang tinggi dapat mempengaruhi cara mengatasi situasi yang dapat menyebabkan kecemasan.
Pada partisipan kedua, ia berusaha untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan dengan latihan dan juga berusaha melatih dirinya untuk mengembangkan kemampuan lain yang tidak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam memperoleh keberhasilan dalam karirnya kelak. Selain itu, ia merasa alasan atasannya memberikan tanggung jawab kepadanya
adalah karena ia dapat dipercaya dan berani berkorban untuk tugas yang dipercayakan padanya. Penelitian yang dilakukan oleh McCauley dan rekan-rekannya (1988) tentang depresi pada anak-anak dan remaja menemukan hasil bahwa semakin besar internality dalam diri individu berhubungan dengan kesuksesan di sekolah, kemandirian, perilaku yang bertanggung jawab, dan lebih memiliki kontrol diri (Zazawi, 2009).
Keyakinan partisipan pertama tentang orang lainlah yang menentukan penerimaan dalam seleksi kerja dan keraguannya mengenai kemampuan dirinya menunjukkan partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other. Sedangkan, pada partisipan kedua cenderung memiliki LOC internality dimana ia yakin terhadap kemampuannya dalam mencapai keberhasilannya kelak dan yakin bahwa ia dapat dipercayai.
Kekurangan fisik yang dimiliki kedua partisipan mempengaruhi hubungan mereka dengan teman sebayanya. Perasaan cemas yang disebabkan kelemahan fisik tidak hanya di alami oleh partisipan pertama, tapi juga partisipan kedua dimana partisipan kedua merasa bahwa dirinya tidak yakin dapat menjalin hubungan dengan lawan jenis. Setiap kali berpikir untuk membangun hubungan dekat dengan seorang lawan jenis ia tidak yakin dirinya tidak dapat diterima sehingga ia mengurungkan niatnya.
Partisipan pertama menceritakan bahwa dirinya sering diejek, namun ejekan yang paling menyakitkan baginya adalah ejekkan yang dilakukan terus menerus oleh teman semasa SMA-nya dulu. Ejekan tersebut membuat partisipan pertama menjadi rendah diri dan khawatir dengan pendapat orang lain yang mendengar ejekan tersebut. Ejekan merupakan bentuk bullying secara verbal. Carter dan Spencer (2006), mengatakan bahwa beberapa bentuk bullying adalah memberi nama-panggilan, menggoda, mengintimidasi lisan parah, agresi verbal, meniru atau mengolok-olok penyandang cacat fisik. Seorang pelajar dengan kecacatan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teman sebaya mereka yang tidak memiliki kecacatan,
bahwa mereka memiliki perbedaan pengalaman masa kecil dan dapat meningkatkan risiko untuk di-bullying.
Akibat terlalu seringnya di ejek, partisipan pertama menceritakan bahwa ia menjadi kesal dan memberi perlawanan kepada orang yang mengejeknya berulang-ulang yaitu dengan memberi teguran. Hal ini sesuai dengan pendapat Carter dan Spencer (2006), bahwa korban bullying menanggung kecemasan, depresi, rendahnya harga diri (self-esteem), gangguan konsentrasi dan perilaku melawan (Austin & Joseph, 1996; Kochenderfer & Ladd, 1996; Olweus, 1993; dalam Carter dan Spencer, 2006). Self-esteem berhubungan dengan internality, Burton dan Parks (1994) mengatakan bahwa sebuah elemen penting dalam pengembangan self-esteem dan fungsi psikologis positif adalah kesadaran bahwa seseorang memiliki kontrol atas pengambilan keputusan pribadi dan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peristiwa kehidupan. Bagaimana seorang individu memandang kontrol pribadinya, sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Ejekan mempengaruhi partisipan pertama dengan mengurangi kecenderungan internality-nya. Ejekan tersebut menjadi alasan bagi partisipan pertama untuk melakukan operasi yang dapat memperbaiki kondisi fisiknya agar dapat berbicara lebih jelas.
Mengenai powerful other dalam konteks relasi sosial, terdapat perbedaan besar antara partisipan pertama dan partisipan kedua. Partisipan kedua mengungkapkan bahwa dirinya tidak senang dengan adanya kontrol dari orang lain dan tidak ingin bergantung pada orang lain karena ia merasa bahwa dirinyalah yang paling berhak mengontrol hidupnya, bukan orang lain. Pada partisipan kedua, kelemahan fisiknya membuatnya berpikir bahwa orang lain mengasihaninya bila orang lain memberikannya bantuan. Ia mengatakan bahwa ia merasa nyaman bila orang lain membantunya melakukan aktivitas yang tidak bisa ia kerjakan, namun sebaliknya ia merasa tidak nyaman bila orang lain membantunya melakukan aktivitas yang dapat ia lakukan sendiri. Hal ini berhubungan dengan menghindari perasaan tidak berdaya
(helplessness), dimana partisipan kedua berusaha menghindari perasaan ketidakberdayaannya dengan berusaha semampunya melakukan aktivitas yang dapat ia lakukan sendiri karena ia merasa bahwa dirinya juga mampu melakukan kontrol untuk menjamin suatu perilaku dapat ia lakukan. Hal ini selaras dengan pendapat Seligman (1975: dalam Burger, 1989) bahwa kemampuan untuk menghindari perasaan tidak berdaya dapat berasal dari persepsi kontrol lemah. Orang-orang mungkin juga lebih memilih untuk melakukan kontrol terhadap tindakan mereka karena hal itu memberikan kesempatan untuk menguji dan belajar tentang kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, meningkatkan kontrol seseorang atas suatu peristiwa, memperbesar kemungkinan peningkatan memperoleh hasil yang diinginkan (Burger, 1989).
Dari pembahasan mengenai relasi sosial, ejekan memberikan pengaruh besar bagi partisipan pertama dalam mengontrol peristiwa hidupnya yang membuatnya memutuskan untuk melakukan operasi, dengan demikian partisipan pertama cenderung memiliki LOC powerful other. Pada partisipan kedua lebih cenderung memiliki LOC internality karena ia tidak berharap terhadap bantuan orang lain dan berusaha melawan ketidakmampuannya dalam melakukan sesuatu. Namun, partisipan kedua memiliki kecenderungan LOC powerful other dalam relasi dengan lawan jenis.
Baik partisipan pertama maupun kedua mengungkapkan mereka memiliki kemampuan untuk menentukan keberhasilan mereka di masa depan, walaupun takdir menentukan kekurangan fisik mereka miliki. Partisipan pertama mengatakan meskipun ia memiliki kekurangan dalam berkomunikasi yang sering membuatnya rendah diri, namun ia mau berusaha untuk bersosialisasi dengan orang lain dan berusaha mencari kesempatan atau peluang untuk mencapai yang tujuannya, baginya kesempatan adalah sesuatu yang perlu dicari. Sama dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengatakan bahwa tubuhnya bukanlah suatu keterbatasan untuk mencapai kesuksesan dan ia yakin dapat mencapai tujuannya di masa depan. Dari uraian mengenai keyakinan terhadap takdir atau keberuntungan, tersebut partisipan
pertama dan kedua cenderung memiliki LOC internality dibandingkan dengan keyakinan terhadap chance.
Partisipan kedua mengungkapkan bahwa ia lebih mengutamakan Tuhan dalam hidupnya, termasuk kuliahnya. Ia mengungkapkan walaupun dirinyalah yang mengendalikan nasibnya sendiri, namun Tuhanlah yang mentukan terjadinya suatu peristiwa dalam hidupnya. Keyakinan kepada Tuhan atau Yang Ilahi ini disebut dengan secondary control (Rothbaum, Weisz, dan Snyder, 1982; dalam Compton, 2005). Dengan secondary control, individu dapat memperoleh perasaan kontrol dengan mengasosiasikan diri mereka dengan seseorang, filosofi, atau sistem yang mereka lihat lebih memiliki kekuatan yang besar dibandingkan diri mereka. Selain itu hal ini juga memungkinkan penyerahan kontrol yang dilakukan secara sadar dan suka rela kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang besar, seperti Tuhan. (Compton, 2005).
Kedua partisipan juga mengatakan bahwa mereka mensyukuri apa yang terjadi terhadap kondisi fisiknya. Partisipan pertama mengungkapkan bahwa Tuhan menciptakannya dengan kondisinya saat ini karena memiliki tujuan tertentu, selain itu ia menanggapi ejekan orang lain dengan berdoa. Pada partisipan kedua, ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakannya unik dan ia juga mengatasi kesedihan akibat kondisi fisiknya dengan berdoa dan membaca kitab suci. Hal ini menunjukkan keduanya menggunakan strategi religious coping dalam menghadapi kondisi fisiknya. Harold Koenig (1992; dalam Leeming, 2014) menyatakan bahwa religious coping adalah bersandar kepada keyakinan atau kegiatan agama untuk membantu mengelola stres emosional atau ketidaknyamanan fisik. Mekanisme religious coping contohnya seperti penggunaan doa, meditasi dan praktek kebaktian, ritual agama dan masyarakat, membaca teks-teks suci, dan mencari petunjuk dari otoritas keagamaan seperti seorang imam, pendeta, pastor, rabi, Rinpoche, atau guru, tergantung pada tradisi seseorang. Pemaknaan yang berdasarkan religiusitas dapat menolong seseorang dengan beberapa cara seperti memberikan harapan, memberikan alasan untuk stressor (faktor pembuat stres) yang tidak dapat diprediksi atau tidak
diinginkan (seperti “Tuhan memberikan kamu kesulitan untuk membuat kamu kuat”), atau
menolong orang menempatkan diri mereka dalam sebuah pandangan yang lebih luas (Compton, 2005).