• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802011009 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802011009 Full text"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

GRACE PARAMYTHIA

802011009

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

LOCUS OF CONTROL PADA REMAJA AKHIR TUNA DAKSA

Grace Paramythia Krismi D. Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(7)

i Abstrak

Menggunakan teori Locus of Control (LOC) yang dikembangkan oleh Levenson (1973), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui LOC pada remaja akhir dengan kecacatan fisik (tuna

daksa) dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi kontrol partisipan. Levenson

mengembangkan teori unidimensional dari Rotter (1954), dimana Levenson membagi

membagi dimensi LOC menjadi tiga yaitu, internality, powerful other dan chance. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa yang memiliki kecacatan fisik.

Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dimana kedua partisipan diwawancarai secara

mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara, selain itu model wawancara yang

dilakukan adalah wawancara dengan pedoman umum. Hasil penelitian menunjukkan

persamaan dan perbedaan LOC pada partisipan pertama dan kedua dalam keadaan-keadaan

tertentu seperti dalam pendidikan, hubungan sosial dan keyakinan terhadap keberhasilan karir

di masa depan. Partisipan pertama cenderung memiliki LOC eksternal dan partisipan kedua

cenderung memliki LOC internal. Selain itu, kedua partisipan juga mempunyai secondary control dan mengembangkan religious coping dalam menghadapi kekurangan fisik yang mereka miliki.

(8)

ii Abstract

Using the theory Locus of Control (LOC) that was developed by Levenson (1973), this study aims to determine LOC in adolescents with physical disabilities and other factors that influence the participant’s perception of control. Levenson developed the Rotter’s unidimensional theory

(1954), which are divided into three dimensions: internality, powerful other and chance. The

number of participants in this study were two students who have a physical disability. The study conducted with the qualitative method in which both participants were depth interviewed by using interview guide and the model of interviews were interviews with general guidelines. Results: The results showed similarities and differences LOC of both participant in certain circumstances such as educational, social relation and expectation of the future career. The first participants are likely has an external LOC in educational, social relation and expectation of the future career, and the second participants likely has internal LOC in educational and expectation of the future career, but has external in social relation. In addition, both participants also have secondary control and develop religious coping in the face their physical disabilities.

Kata kunci: Locus of Control (LOC); physical disabilities; secondary control;

(9)

PENDAHULUAN

Dalam The United Nations General Assembly yang diadakan pada pada bulan December 2006, para penyandang cacat (People with disability) diidentifikasi sebagai individu

yang memiliki gangguan jangka panjang pada fisik, mental, intelektual, atau sensorik, memiliki

hambatan dalam berinteraksi, tidak dapat berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat

atas dasar kesetaraan dengan orang lain (Porat dkk, 2012). Dari penjelasan tersebut salah satu

jenis dari kondisi disable adalah gangguan fisik dalam waktu yang panjang. Di Indonesia gangguan fisik disebut sebagai tuna daksa. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997

tentang penyandang cacat, cacat tubuh atau tuna daksa dapat diartikan sebagai seseorang yang

memiliki anggota tubuh yang tidak lengkap oleh karena bawaan dari lahir, kecelakaan, maupun

akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang bersangkutan.

Manusia normal secara fisik terdiri dari anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi

dengan baik sebagaimana harusnya, tapi di sisi lain ternyata terdapat pula manusia yang

memiliki kecacatan atau ketimpangan pada tubuhnya. Memiliki tubuh yang cacat tentunya

bukanlah suatu pilihan, karena tidak ada manusia yang ingin memiliki kecacatan yang dapat

membuat aktivitasnya terganggu, khususnya kecacatan fisik atau tuna daksa. Somantri (2006)

mendeskripsikan tuna daksa sebagai suatu kondisi rusak atau terganggu sebagai akibat

gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal.

Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh

pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931; Somantri, 2006).

Dalam meningkatkan harapan hidup dari orang dewasa dengan kecacatan, perlu

diberinya perhatian khusus pada masa dewasa dan perkembangan remaja sebagai periode

transisi memasuki masa dewasa. Dengan demikian, untuk semua individu remaja dengan

kecacatan, isu solusi terhadap kemandirian menjadi tantangan khusus (Crittenden, 1990). Masa

(10)

masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Periode perkembangan ini terjadi pada usia 10-13

sampai 18-22 tahun (Santrock, 2007). Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik

yang sangat drastis, hal ini dipengaruhi oleh pubertas. Masa transisi ini juga membuat

terjadinya perubahan-perubahan dalam diri remaja yang membuat mereka menjadi berpikir

lebih abstrak dan idealistik (Santrock, 2011). Aspek psikologis yang terjadi dan berkaitan

dengan perubahan fisik dimana remaja menjadi sangat memerhatikan tubuhnya dan

mengembangkan citra mengenai tubuhnya itu (Mueller, 2009; Santrock, 2011). Perhatian

terhadap penampilan fisik yang dimiliki remaja sangat dipengaruhi oleh sifat egosentris.

Egosentris remaja diartikan sebagai meningkatnya kesadaran diri pada remaja, yang tercermin

dalam keyakinan mereka bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka seperti halnya

mereka terhadap diri sendiri (Santrock, 2007). Sifat egosentris ini sangatlah berhubungan

dengan fisik remaja. Seorang remaja perempuan yang berjalan di keramaian mungkin

beranggapan bahwa semua mata tertuju pada bentuk badannya, warna kulitnya, tinggi

badannya, dan sebagainya. Dengan demikian, faktor dari lingkungan menjadi sangat penting

bagi remaja, remaja berusaha untuk melihat dirinya dari sudut pandang orang lain.

Egosentris remaja ini tentunya sangat berpengaruh pada kondisi kecacatan yang

dimiliki remaja. Somantri, (2006) berpendapat bahwa ketunadaksaan yang terjadi pada masa

kanak-kanak akan mempengaruhi laju perkembangannya dan tipe perkembangan seseorang.

Kondisi tuna daksa yang dialami pada usia yang lebih besar menunjukkan efek yang lebih kecil

terhadap laju perkembangan tetapi menimbulkan pengaruh psikologi yang lebih besar.

Somantri (2006) mengatakan perlakuan dari keluarga dan kelompok teman-teman sebayanya

juga dapat menjadi sumber terjadinya frustrasi, konflik dan kecemasan, yang kadang-kadang

lebih berat dibandingkan dengan ketunadaksaannya.

Pada remaja tuna daksa, penolakan teman-temannya akan menimbulkan kejengkelan,

(11)

bahwa faktor perilaku, lingkungan, dan pribadi/kognitif, seperti keyakinan, dapat berinteraksi

secara timbal balik. Kondisi tuna daksa juga mempengaruhi aktivitas sosial remaja dengan

teman sebayanya karena terbatasnya kegiatan yang dapat dilakukan oleh remaja. Terbatasnya

aktivitas yang dapat dilakukan dapat membuat remaja tuna daksa memiliki masalah dalam

menyesuaikan diri, hal ini tentunya menjadi penghambat remaja tuna daksa dalam melakukan

aktivitas sosialnya bersama teman sebaya (Somantri, 2006). Faktor lingkungan dan internal

dalam diri remaja saling berhubungan erat, sehingga fisik sangat mempengaruhi kehidupan

sosial remaja dan membuat kondisi tuna daksa yang dialami oleh remaja menjadi suatu

tantangan yang berat. Terhambatnya aktivitas yang dilakukan remaja tuna daksa, dapat

membuat remaja tuna daksa merasa tidak berdaya dan membutuhkan bantuan dari orang lain

sehingga keyakinan remaja tuna daksa terhadap kemampuannya sendiri pun diuji.

Tidak hanya memiliki hambatan dalam aktivitas dan penyesuaian diri, kondisi

kecacatanyang dimiliki individu juga dapat mempengaruhi persepsi kontrol mereka. Dalam

artikelnya mengenai konsep kemandirian pada remaja tuna daksa, Crittenden (1990)

mengatakan bahwa individu tuna daksa lebih memiliki eksternal Locus Of Control (LOC) karena mereka mengasosiasikan kondisi mereka dengan penerimaan “apa adanya” dan

penyerahan kemandirian kepada orang lain. Banyak studi yang menunjukkan bahwa

penyandang cacat (People With Disabilities disingkat PWDs), kebanyakan anak-anak, menunjukkan kontrol eksternal dibandingkan anak-anak tanpa kecacatan, yang mengakibatkan

efek negatif pada performa akademik (Chapman & Boerman 1979; Firth, Lunningham & Skues

2007; Roger & Sklofske 1985; dalam Owusu-Ansah, dkk 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Owusu-Ansah, dkk (2012) juga memberikan hasil

bahwa partisipan yang memiliki perbedaan kecacatan secara umum memiliki cara pandang

yang sama dalam melihat diri mereka dan bagaimana mereka mengontrol keyakinan yang

(12)

hanya mempengaruhi performa akademik, tetapi juga perencanaan masa depan dan finansial

penyandang cacat. Telah diketahui bahwa jutaan penyandang cacat remaja dan dewasa awal

tidak mampu mendukung diri mereka saat ini atau membuat rencana masa depan. Mereka juga

sering diberi gaji yang rendah dibandingkan rekan kerjanya, namun dalam banyak kasus,

lingkup sosial dan keluarga mereka juga memberikan mereka sedikit atau tidak sama sekali

kontrol terhadap pendapatan (income) yang mereka dapatkan untuk dikelola (Groce, 2004).

Manusia memiliki 'kebutuhan batin' untuk mengendalikan lingkungan mereka (White,

1959; dalam Erez, 1995). Oleh karena kebutuhan akan kontrol dapat memiliki pengaruh

langsung terhadap kesejahteraan individu (Erez, 1995). Literatur telah berulang kali

menunjukkan bahwa locus of control secara signifikan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan subjektif (Bostic, 2001). LOC pertama diperkenalkan pada tahun 1954 dalam

teori belajar sosial Rotter (dalam Ai, 2005). Menurut Rotter (1990), LOC mengacu pada sejauh

mana seseorang percaya bahwa penguatan (reinforcement) atau hasil (outcome) yang diperoleh

berdasarkan pada pengaruh tindakan dirinya sendiri atau karakteristik pribadi versus sejauh mana orang mengharapkan bahwa reinforcement (penguatan) atau hasil (outcome) adalah suatu

kebetulan, keberuntungan, atau nasib, berada di bawah kendali kuat orang lain, atau hanya

sesuatu yang tidak dapat diprediksi. Individu dengan LOC eksternal, cenderung percaya bahwa

peristiwa dalam kehidupan mereka dikendalikan oleh kekuatan eksternal di mana mereka tidak

memiliki kontrol, sedangkan internal LOC adalah keyakinan bahwa hasil-hasil dalam

kehidupan seseorang berada di bawah kontrolnya sendiri (Rotter, 1990; dalam Wallace, 2012).

LOC mengacu pada keyakinan individu tentang pengendalian atas apa yang terjadi pada

mereka dalam hidup maka LOC kemudian didefinisikan sebagai ciri kepribadian atau konstruk

yang mengungkapkan bagaimana individu memandang kemampuan mereka untuk mengontrol

(13)

Hal penting yang perlu dicatat tentang LOC adalah expectancy-value theory, di mana

sesuatu reinforcement harus bernilai untuk individu tersebut untuk menghasilkan perubahan perilaku (Lopez, 2009). Seseorang yang berkembang melalui masa kanak-kanak, perilaku

dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement. Penguatan tersebut meningkatkan ekspektasi bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan penguatan yang diinginkan. Sebagai

anak-anak yang berkembang, beberapa akan memiliki pengalaman dimana perilaku mereka

langsung mempengaruhi penguatan. Sedangkan untuk anak-anak lainnya, hasil penguatan akan

muncul dari tindakkan di luar diri mereka. Dengan demikian totalitas belajar spesifik

menciptakan harapan umum seseorang bahwa totalitas pengalaman belajar spesifik

menciptakan harapan umum seseorang, apakah penguatan dikendalikan secari internal atau

eksternal (Rotter, 1966).

Selain itu, Rotter (1996) juga mengatakan bahwa dimensi LOC internal-eksternal, telah

diterima secara umum sebagai aspek yang relatif stabil pada kehidupan manusia yang berarti

dapat memprediksi perilaku di berbagai situasi yang bervariasi. Ungkapan relatif stabil

digunakan karena LOC seseorang dapat berubah dalam kondisi tertentu, misalnya orang

dengan orientasi eksternal akan menjadi internal ketika mereka ditempatkan pada posisi yang

memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar. Orang yang berorientasi internal

akan bergeser ke eksternal selama masa stres ekstrim dan menghadapi ketidakpastian. Selain

itu, adalah mungkin bagi individu untuk belajar menjadi internal jika diberi kesempatan.

Mc Donald (dalam Robinson & Shaver, 1980; Tanuwijaya, 2010) menyatakan bahwa

ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan LOC. Pertama adalah episodic antecedents,

yaitu kejadian-kejadian yang relatif memiliki makna penting dan muncul dalam kurun waktu

tertentu, seperti kematian orang-orang yang dicintai, kecelakaan, atau bencana alam. Kejadian

signifikan yang tiba-tiba terjadi pada diri individu tentunya akan mempengaruhi perkembangan

(14)

mempengaruhi atau bahkan merubah cara pandang atau persepsi individu terhadap

kehidupannya. Kedua adalah acumulative antecedents, yaitu faktor-faktor yang bersifat terus

menerus ada dan dapat mempengaruhi LOC, seperti diskriminasi sosial, pola asuh orang tua,

dan ketidakmampuan yang berkepanjangan seperti kebutaan atau kelumpuhan yang

menyebabkan individu pasrah karena merasa tidak berdaya.

Pada tahun 1973, Levenson mengembangkan suatu model alternatif yang berbeda

dengan konsep Rotter. Rotter melihat locus of control sebagai unidimensional (internal ke eksternal), sedangkan Levenson (dalam Sudarmadi, 2012), menegaskan bahwa ada tiga

dimensi independen dari LOC, yaitu: Internality (I) yaitu orientasi individu yang internal ditandai dengan keyakinan oleh kemampuan dan usaha mereka sendiri, Powerful Other (P) yaitu orientasi individu yang cenderung berperilaku dan berpikir bahwa ada orang-orang lain

di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa, dan Chance (C) yaitu orientasi pada individu yang

berfokus pada persepsi individu mengenai suatu kendali yang memberikan peluang karena

takdir, nasib, atau kesempatan. Dimensi internality oleh Levenson sama dengan dimensi internal LOC oleh Rotter dan Chance (C) dan Powerful other (P) merupakan dimensi eksternal

LOC Rotter. Menurut model Levenson, satu dimensi dapat mendukung dimensi lain dari locus

of control secara independen dan pada waktu yang sama. Sebagai contoh, seseorang mungkin secara bersamaan percaya bahwa baik dirinya sendiri (Internality) dan Powerful other mempengaruhi suatu hasil, tapi Chance tidak (Zawawi, 2009).

Lopez (2009) mengatakan bahwa konsep kontrol ini berhubungan dengan konsep

atribusi, explanatory style, hopelearned helplessness, optimism, self determination, self efficacy dan self handicapping, sehingga LOC merupakan suatu topik yang mempunyai hubungan dengan banyak konsep teori psikologi lainnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa seseorang yang memiliki internal LOC memiliki kontrol yang lebih baik terhadap

(15)

Selain itu, dalam Stocks, dkk (2012) internal LOC juga memiliki hubungan dengan kesuksesan

akademik (Gifford, Briceno-Perriott & Mianzo, 2006), memiliki motivasi diri dan kedewasaan

sosial yang tinggi (Nelson & Mathias, 1995), mengindikasikan tingkat stres dan depresi yang

rendah (Garber & Seligman, 1980), dan usia yang panjang (Chipperfield, 1993).

Individu dengan internal LOC memanipulasi lingkungan mereka, dengan mengambil

kontrol terhadap peristiwa yang terjadi dan mengubah kondisi yang tidak memuaskan. Hal ini

karena bahwa lingkungan eksternal memberikan perasaan lemah untuk mengontrol kesuksesan

dan kegagalan (Nielsen, 1987; dalam Stocks, dkk, 2012), sedangkan individu dengan eksternal

LOC tidak mampu menghindari situasi yang tidak memuaskan (Kulshresta & Sen, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Kulshrestha dan Sen (2006) juga menyatakan subjek dengan

eksternal LOC lebih mungkin untuk menjadi pasif dan defensif, daripada melakukan sesuatu

untuk mengurangi stres, mereka merelakan.

Tidak selamanya internal LOC memiliki dampak positif dan eksternal LOC memiliki

dampak negatif. Individu dengan internal LOC dapat menjadi kurang ingin untuk mengambil

tantangan atau pekerjaan dalam meningkatkan kemampuan dirinya (self-improvement). Selain

itu individu dengan internal LOC yang tidak mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk

memperoleh pengalaman kontrol, butuh memiliki pandangan realisik dari pengaruh atau

hal-hal lain, bila tidak mereka dapat menjadi neurotic, cemas dan depresi (Lopez, 2009).

Dari pemaparan yang telah dijelaskan bahwa gangguan fisik pada remaja dapat

mempengaruhi kontrol individu terhadap hidupnya. Selain itu, pada penelitian sebelumnya

persepsi akan kontrol ternyata juga mempengaruhi banyak bidang kehidupan sehingga sulit

untuk disangkal bahwa persepsi akan kontrol adalah topik yang penting. Penelitian ini

(16)

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

metode penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata secara tertulis

atau lisan dari orang-orang dengan perilaku yang telah diamati (dalam Susilowati, 2007).

Penelitian kualitatif juga memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara

mendalam dan mendetail, karena pengumpulan data tidak dibatasi pada kategori-kategori

tertentu saja (Patton, 1990; dalam Purwandari, 2007).

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang mahasiswa yang memiliki karakteristik

tuna daksa yang telah ditentukan. Semua partisipan berasal dari kota yang berbeda, namun saat

ini tinggal di Salatiga untuk berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Karakteristik partisipan dalam penelitian ini ialah remaja akhir yang mengalami kondisi tuna

daksa yang disebabkan oleh genetik atau pengaruh kelahiran sehingga mengalami kecacatan

fisik secara permanen dan fungsi tubuhnya tidak normal atau terganggu. Dalam observasi yang

dilakukan, kedua partisipan dalam penelitian ini cukup aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan

kemahasiswaan di tengah-tengah kondisinya yang tidak normal.

Partisipan pertama berinisial AB adalah seorang mahasiswi usia 21 tahun dan berasal

dari kota Medan, memiliki kondisi tuna daksa yang disebut dengan herelip atau adanya gangguan pada bibir dan mulut yang membuatnya kesulitan berbicara dengan jelas. Partisipan

pertama telah melakukan operasi sebanyak dua kali. Operasi pertama untuk memperbaiki

bagian atas mulutnya dan operasi kedua untuk memperbaiki bagian dalam hidungnya.

Partisipan kedua berinisial GA adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun dan berasal

(17)

memiliki tangan seperti tongkat dan jari-jari tangan yang kurang dari lima pada salah satu

tangannya.

Metode Pengumpulan Data

Metode penggalian data dalam penelitian ini ialah menggunakan metode wawancara

mendalam yang didukung oleh pedoman wawancara. Model wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini ialah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini,

peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang

harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan

eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek

yang harus dibahas, sekaligus menjadi faktor daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek

relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus

memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dan dalam kalimat

tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung.

Wawancara dengan pedoman khusus ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni

wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal/aspek-aspek tertentu dari

kehidupan/pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam,

dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh

dan mendalam (Poerwandari, 2007).

Analisi dan Uji Keabsahan Data

Teknik pengorganisasian data menggunakan analisis tematik berupa open koding, aksial koding, dan selektif koding. Selain itu, hal penting yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan generabilitas dan kredibilitas penelitian kualitatif adalah member check yang dilakukan dengan mendiskusikan hasil penelitian atau hasil pengolahan data dengan subjek

penelitian untuk mengetahui apakah ada yang harus ditambahkan atau dikurangi, serta untuk

(18)

HASIL

Hasil penelitian diperoleh tema-tema yang berhubungan dengan dimensi LOC yaitu:

internality, powerful other dan change. Selain itu juga ditemukan tema-tema lain seperti keyakinan pada peran Tuhan terhadap hidup dan strategi mengatasi tekanan (coping).

1. Internality

Partisipan pertama mengungkapkan keterbatasan fisik yang membuatnya kesulitan

dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama mengalami kecemasan saat berbicara dalam

kelompok besar dan saat melakukan presentasi. Ia ragu bila dapat berbicara dengan lancar saat

mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok besar seperti di depan kelas atau dalam rapat,

namun ia berani untuk mengungkapkan pendapatnya dalam kelompok-kelompok kecil yang

sudah terbiasa dengannya. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya

sering mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih

memilih melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancari. Dalam pemecahan

masalah partisipan pertama mengatakan bahwa dirinya tidak mudah menyerah dalam

melakukan tugas-tugas sulit, ia berusaha untuk menyelesaikan tugasnya dengan mencari

bantuan orang lain. Pada partisipan kedua, dalam menghadapi masalah yang berhubungan

dengan tugas-tugas kuliah atau sekolah, ia mengaku tidak pernah menyerah dan menyerahkan

tanggungjawabnya kepada orang lain, karena ia yakin dengan kemampuannya.

Kedua partisipan menceritakan bahwa salah satu peristiwa penting dalam hidup mereka

adalah ketika mereka mengambil keputusan meninggalkan rumah untuk melanjutkan

pendidikan di kota lain. Dalam usaha untuk hidup mandiri selama melanjutkan pendidikan di

kota lain, kedua partisipan berusaha untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain dan juga dapat

beradaptasi di lingkungan yang baru, walaupun keduanya tidak menyukai hal-hal baru.

Keterbatasan fisiknya juga membuat partisipan pertama tidak menyukai lingkungan atau orang

(19)

menghadapi orang dan lingkungan sosial baru, tapi ia mengatakan dapat beradaptasi dengan

lingkungan atau orang yang baru ia kenal walaupun membutuhkan waktu.

Partisipan kedua berpendapat, bahwa ia dapat menerima pertolongan yang orang lain

berikan padanya bila bantuan tersebut adalah sesuatu yang benar-benar tidak dapat ia dilakukan

seperti menulis dengan bagus, membuka botol dan memotong-motong. Namun partisipan

kedua menjadi kesal bila orang lain meremehkannya dalam melakukan sesuatu yang dapat ia

kerjakan sendiri. Ia tidak ingin orang lain mengasihaninya karena keterbatasan fisik yang ia

miliki. Selain itu, partisipan kedua memiliki ketidakyakinan dalam membangun relasi dengan

lawan jenis.

Partisipan pertama meragukan dirinya sendiri untuk dapat bersaing dalam dunia kerja

dan beradaptasi dengan rekan kerjanya nanti. Ia merasa kekurangan fisiknya dapat

mempengaruhi persaingan dalam mendapatkan pekerjaan. Ia juga menceritakan bahwa atasan

melihat potensi yang ia miliki, namun ia belum percaya diri dalam melakukan tugasnya.

Partisipan kedua, memiliki keyakinan bahwa dengan usaha yang lebih keras ia dapat mencapai

kesuksesan yang berhubungan dengan karir dan pendidikannya. Ia berusaha untuk melakukan

aktivitas yang sulit ia kerjakan dengan latihan dan juga berusaha melatih dirinya untuk

mengembangkan kemampuan lain yang tidak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam

memperoleh keberhasilan dalam karirnya kelak. Ia merasa alasan atasannya memberikan

tanggung jawab kepadanya adalah karena ia dapat dipercaya dan berani berkorban untuk tugas

yang dipercayakan padanya.

Partisipan I Partisipan II

“Em, kalau aku sih yakin dengan

kemampuanku soalnya aku mengalami proses untuk bisa bersekolah itu sangat panjang. Aku dari TK sampai sekarang ini, aku itu merasa yakin kalau aku ada kemampuan untuk menghadapi perkuliahan, persekolahan, eh pendidikan. Itu loh, jadi ada buktinya kalau aku bener-bener bisa menghadapi pendidikan.

“Kalau menurut aku ya, soalnya misalnya

yang lain aku bisa lakuin walaupun cuma keadaan terbatas misalnya cuma potong-potong aku bisa, tapi kalau dekat sama seorang cowok kayak gitu kan, kayak dia suka sama aku tuh, kayaknya gak

(20)

“Kalau di masa depan, memang ada sedikit

keraguan, ada sedikit kecemasan. Dari sini aku, kecemasanku disini persaingan di perusahaan pasti ketat ya. Tapi yang aku cemaskan gimana pimpinan nanti sama apa namanya rekan kerja itu mereka bisa gak

beradaptasi dengan aku, kekuranganku ini.”

“Yang aku cemaskan itu orang baru, tempat

baru, dan pemikiranku ada hal-hal yang mungkin terkadang mereka jadi bingung mau komunikasi sama aku kayak apa. Cuma, tapi aku lihat dari contoh-contoh yang aku

punya… eh, dari SD sampai kuliah,

walaupun memang ada butuh waktu tapi

pasti bisa gitu, itu kecemasannya.”

“Dengan cara kayak tadi aku kuasai materiku

dengan baik itu. Tapi aku juga terkadang kalau aku mau presentasi aku ngomong

sendiri di kamar.”

“Jadi kadang sih aku mengalihkan tugas

yang kadang, mungkin sih aku harusnya bisa tapi aku kasi ke orang lain-orang lain aja. Gitu. Sekali-sekali sih.”

“Kalau itu sih bisa sih terkontrol semua

sesuai dengan keinginan, harapan. Tapi kalau dipraktekkan itu kadang-kadang kok harapan itu ada tercapai tapi kadang-kadang kok beda ya dengan apa yang aku pikirkan. Kadang

tidak terkontrol sih.”

“Tapi kalau secara lebih luas lagi seperti di

kelas, aku kadang agak minder sih. Tapi kalau di kelompok kecil-kecil dan aku sudah

terbiasa aku berani gitu.”

“… yang bikin aku berubah, ya itu tadi, aku

mau menjalankan hidupku apa harus di rumah terus gak, gak apa mau bersosialisai dan gak minder dan walaupun disitu walaupun aku punya kekurangan tapi aku tetap mau berkomunikasi dengan orang lain

… Tapi aku merasa itu gak ada gunanya

kalau kita introvert gitu loh, kita sama seperti orang-orang, sama mayat hidup…. Jadi itu, ada perubahan dari aku TK dulu aku minder

“… motong atau buka sesuatu itu ya gak susah-susah baget gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya motong-motong apa saya bisa kerjakan

melalui latihan.”

“Kalau menyerah pernah, tapi kalau

misalnya menyerah kan kepada orang lain itu belum pernah sih. Jadi misalnya aku nyerah gitu melakukan sesuatu, tapi itu nanti aku kerjain lagi jadi nyerahnya itu beberapa saat doang. Jadi kalau menyerahkan tanggungjawab kepada orang lain itu si

belum pernah.”

“Kalau misalnya dalam pekerjaan, saya

yakin kalau saya berusaha lebih keras pasti

kesuksesan itu akan mengikuti seperti itu.”

“… pekerjaan yang gak terjun kelapangan

gitu yang megang apa-mengang apa kayak gitu. Terus menurut aku selama itu dikerjain pakai pikiran dan gak terlalu menyusahkan aku sih bisa-bisa aja.”

“Ketika saya tadinya di rumah, itu anak

rumahan gak pernah keluar, yang gak pernah tahu dunia, bukannya gak pernah tahu dunia sih, tahu sih, cuma lebih banyak di rumah gitu dan kayak ansos gitulah jarang berinteraksi dengan orang lain sedangkan disini saya harus hidup sendiri dan harus survive gitu dengan orang lain seperti apa kayak gitu. Jadi itu merubah cara pandang, cara pikir kayak misalnya harus menghargai orang, gak boleh sombong, gak boleh ngiri kayak gitu dan harus apa ya, ngertiin orang lain lah istilahnya kayak gitu. Em, apa ya, masalah kita itu tidak lebih besar daripada

masalah orang lain kayak gitu.”

“Kalau memang suatu hal itu tidak bisa saya

(21)

benget sampai sekarang aku berani bersosialisasi sama orang jadi, seperti itu,

aku berani ngomong.”

“Jadi aku lihat yang panitia-panitia kemarin mereka percaya kalau aku ada potensi cuma aku belum berani melakukannya gitu misalnya aku pikir mereka percaya kalau aku ada potensi.”

tapi tidak menyinggung perasaan dia gitu, karena mamang mungkin dia tulus gitu mau

nolongin kayak gitu.”

“Karena saya bisa dipercaya dan apa ya, gak

main-main gitu loh sama suatu pekerjaan atau suatu em, hal yang dipercayakan sama diri kita. Gak main-main, kita berani berkorban untuk sesuatu yang sudah

dipercayakan untuk kita gitu.”

2. Powerful Other

Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa orang lain juga turut

mempengaruhi keberhasilan yang mereka capai, orang lain yang dimaksud adalah orangtua,

teman sebaya dan atasan. Baik partisipan pertama maupun kedua mengungkapkan memperoleh

dukungan sosial dari keluarga dan teman sebaya. Keluarga memberikan dukungan motivasi,

kasih sayang dan finansial bagi kedua partisipan. Partisipan pertama menceritakan bahwa

keluarganya, khususnya ibunya, sangat berperan dalam hidupnya dan mempengaruhi

pengambilan keputusannya, hal ini menjadikannya bergantung pada ibunya dalam

memutuskan hal-hal penting dalam hidupnya. Ia mengaku sering bertanya-tanya atau meminta

pendapat keluarganya untuk memutuskan sesuatu.

Partisipan pertama percaya bahwa dengan menggunakan keputusan ibunya, ia akan

memperoleh hasil yang positif. Partisipan pertama berpikir tanpa dukungan sosial yang berupa

perhatian dan kasih sayang dari keluarganya, ia akan menjadi depresi dan tidak memiliki

penerimaan diri. Bagi partisipan pertama, keluarga adalah sesuatu yang berpengaruh dalam

mengambilan keputusannya, keputusan yang dipilihkan keluarganya adalah yang terbaik dan

mempengaruhi keberhasilan masa depannya.

Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua tidak ingin bergantung pada orang

lain dan tidak ingin dikontrol oleh orang lain. Partisipan kedua menceritakan bahwa dirinyalah

(22)

bila orang lain memberikan kontrol yang positif baginya, ia dapat menerimanya namun bila

kontrol yang diberikan membuatnya bergantung pada orang lain, ia menolaknya.

Dari wawancara yang telah dilakukan, partisipan kedua merasa bahwa keberhasilan

dalam membangun hubungan dengan lawan jenis tidak dapat dikontrolnya karena merasa tidak

akan didekati oleh lawan jenis. Ia mengatakan bahwa ia merasa sedih saat melihat teman-teman

perempuannya yang terlihat cantik dan memiliki tubuh normal sehingga dapat membangun

hubungan dengan lawan jenis. Melihat perbedaan fisik dirinya dan teman-temannya membuat

partisipan kedua cemas untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana ia tidak yakin

bahwa dirinya dapat diterima oleh lawan jenis. Partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa

ia kelemahan fisiknya dan kekurangannya dalam berkomunikasi, membuatnya pernah

menerima ejekan dari orang lain. Ejekan tersebut membuatnya rendah diri dan khwatir dengan

pendapat orang lain yang medengar ejekan yang diberikan padanya. Pada partisipan kedua, ia

mengungkapkan tentang perlakuan orang lain yang mengasihani dirinya, menghadapi

perlakuan tersebut, partisipan kedua memilih bersikap untuk menghargai orang yang

mengasihaninya. Ia juga mengatakan bahwa dukungan yang diterimanya dari teman sebaya,

dosen dan komunitas gereja yang ia ikuti memberinya dukungan untuk dapat melanjutkan

pendidikannya di kota lain.

Berhubungan dengan dunia pekerjaan di masa depan, baik partisipan pertama maupun

kedua berpendapat bahwa relasinya dengan orang lain juga mempengaruhi peluang

pekerjaannya di masa depan. Partisipan pertama menceritakan bahwa atasan atau pimpinan

perusahaan juga menentukan penerimaan kerjanya.

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Kalau usaha sendiri aku kurang yakin,

soalnya kita hidupkan tidak sendirian kan kita ada teman, ada keluarga terus ada orang yang diatas dari kita, ini memang aku

kalau pake kekuatan sendiri gak bisa...”

“.. soalnya kita kan, makhluk sosial tidak

bisa berdiri sendiri segala sesuatu hal itu pasti dipengaruhi sama orang lain, kesuksesan pun itu pengaruhi sama orang

(23)

“Mengontrol, orang lain itu sih ada sih satu

mamaku… Jadi aku sangat ketergantungan

sama mamaku…”

“Soalnya keluarga inti, eh apa namanya,

masalah ini kan keluarga. Jadi aku pun lebih sering bersosialisasi, lebih sering ngobrol, lebih sering apa, mengungkapkan pendapat, lebih sering tanya ini tanya ini, terus kalau ada masalah aku tanya ke keluargaku maksudnya pendapatnya

mereka….”

“Kalau tidak ada support dari keluarga aku mungkin sudah depresi kan. Bahkan

depresi, tidak ada penerimaan diri gitu.” “Soalnya kalau gak mamaku yang arahkan

ke sini dan ngomong kau harus kuliah, mungkin masa depanku cuma sampai SMA. Mungkin SMA aku kerja mungkin kerjanya jadi karyawan pabriklah, atau tinggal di rumah lah jadi mamaku ada manfaatnya gitu loh jadi masa depanku

cerah kali.”

“Sama itu pertimbangan-pertimbangan

penerimaan karyawan itu, aku kuatirnya disitu. Mungkin nanti mereka melihat aku memang ada potensi, tapi mereka kan juga melihat, kan perusahan pasti membutuhkan orang untuk berkomunikasi mungkin dengan karyawan, mungkin dengan apa-apa, pelanggan gitu. Aku masih bingung besok bagaimana menghadapinya, gitu

loh.”

“Kalau yang lain itu sih, kadang-kadang sekali doang kok, mungkin dia gak tau rasanya keadaan ini gitu, cuma bercanda kali. Kalau lebih sering dia lakuin aku akan to the point (menegur) sama dia, tapi kalau sekali dua kali doang ma gak apa-apa

mungkin bercanda kali gitu.”

“…. yang temanku SMA ini, dia berulang

-ulang kan ngejek aku,…”

“Kadang merasa marah gitu ya, kayak em,

sebenarnya kamu tuh gak berhak arah negatif ditu dan itu terlalu menggaggu kehidupan aku jadi aku gak bisa memutuskan sendiri kayak aku ketergantungan sama dia gitu aku berusaha untuk menjauh kayak gitu. Untuk menjauhi dalam hal, mungkin apa ya untuk meminta saran dari dia itu gak seintens dulu kayak gitu. Supaya dia itu gak terlalu mempengaruhi hidup aku sehingga aku bisa memutuskan mana yang terbaik buat hidup aku, mana yang terbaik buat hidup

orang lain.”

“Yang pastinya, orang tua ya, orang lain itu

termasuk orang tua juga mereka yang biayain, mereka yang nyekolahin, mereka yang kuliahin seperti itu, dan satu peran pentinglah di saat kita lemah, di saat-saat kita aduh capek ya kita kuliah

gini-cantik-cantik gitu ya, kayak normal sering dideketin sama cowok istilahnya kayak gitu. Dan pernah gitu, maksudnya satu kali itu, kayaknya aku itu gak bakal bisa kayak

apa, punya pikiran kayak gitu.”

“Apapun gitu, mengasihani ataupun ngejek

(24)

pikirannya menurutku sih lebih kayak

menghargai oh, ya udah.”

“Itu sih saya punya sahabat tiga orang,

bukan gang sih tapi pokoknya sahabatan gitu terus mereka tuh ya yang kuatin juga ya yang doain juga gitu dan banyak, itu lagi komunitas di gereja seperti itu yang kuatin, terus sudah itu dosen-dosen juga, mungkin dosennya itu keras atau seperti apa gitu ya tapi tuh buat kita tu ngerti gitu, jadi oh,

kuliah kayak gini to.”

3. Chance

Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa walaupun mereka tidak dapat

mengontrol takdir yang menyebabkan kekurangan fisik mereka, keduanya yakin bahwa usaha

mereka dapat menentukan keberhasilan mereka di masa depan. Selain itu, mereka juga

berpendapat bahwa peluang atau kesempatan memerankan peranan penting dalam kehidupan

mereka namun peluang atau kesempatan haruslah dicari. Partisipan kedua mengatakan bahwa

keberuntungan memerankan peran yang kecil dalam pencapaian keberhasilannya, sedangkan

yang paling menentukan keberhasilannya adalah Tuhan dan kerja keras.

Partisipan pertama Partisipan kedua

“Takdir menentukan aku orangnya gini,

maksudku aku punya kekurangan gini, tapi kalau dalam kehidupan walaupun ada takdirnya itu, kita jangan terpatok pada takdirnya, kita harus lebih mengembangkan dirinya kita gitu. Jangan sampai kita terpuruk dengan nasib yang diberikan sama Tuhan tapi kan, kita kan memang menerima, tapi kan apa namanya kita ada usaha untuk mengubah cara hidup kita gitu loh, supaya tidak terlalu terpuruk dengan kekurangan

kita.”

“Jadi peluang itu kita yang cari bukan kita

yang menunggu peluang. Istilahnya jangan kita yang menunggu bola datang tapi kita

yang mencari bolanya gitu loh.”

“Em, saya bisa ngelakuin semua yang orang

bisa ngelakuin kan kayak gitu misalnya tadi motong atau buka sesuatu itu ya gak susah-susah baget gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya motong-motong apa saya bisa kerjakan melalui latihan... Kalau menurut saya bisa karena tubuh ini bukan suatu keterbatasan untuk kita mencapai suatu kesuksesan seperti itu, saya masih punya yang lain yang masih bisa saya kembangkan dari tubuh saya

gitu…. saya bisa merubah nasib saya

walaupun kondisi saya seperti ini.”

“Kalau takdir ya, saya kan sudah bilang

(25)

ngelakuin semua yang orang bisa ngelakuin kan kayak gitu misalnya tadi motong atau buka sesuatu itu ya gak susah-susah baget gitulah bisa dikerjakan melalui latihan gitu istilahnya buka apa, saya motong-motong apa saya bisa kerjakan melalui latihan. Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur karena kalau misalnya mau ditangisin mau dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin juga ya, marah-marah gitukan enggak

merubah suatu hal apapun seperti itu.”

“…terus banyak-banyak cari peluang

pekerjaan… kesempatan mempengaruhi

kesuksesan ya sebenarnya sih sangat penting sih karena kalau misalnya ketika saya ada kesempatan untuk misanya naik pangkat gitu

ya.”

Em, kalau faktor keberuntungan dari seratus persen menurut saya ya itu cuman paling 20-30 persenlah selain itu em, karena campur tangan Tuhan dan saya kerja keras. Faktor keberuntungan cuma sedikit.

4. Keyakinan pada peran Tuhan terhadap hidup

Kedua partisipan mengungkapkan bahwa Tuhan juga berperan dalam menentukan

masa depan mereka. Partisipan pertama mengatakan walaupun dirinya diciptakan dengan

kekurangan yang membuatnya berbeda, tapi ia yakin Tuhan mempunyai rencana tersendiri

untuknya. Sama dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengatakan bahwa Tuhan

menentukan masa depannya. Walaupun dirinya yang mengendalikan nasib hidupnya, Tuhanlah

yang menentukan apa yang terjadi dalam hidupnya. Selain itu, partisipan kedua menceritakan

bahwa Tuhan juga ikut berperan dalam perubahan penting pada dirinya dimana saat ia

mendekatkan diri pada Tuhan, ia yakin Tuhan juga mengubah hidupnya sehingga ia memiliki

kontrol emosi yang lebih baik dan berkurangnya sifat-sifat negatif seperti rendah diri dan

(26)

Partisipan I Partisipan II

“Mungkin Tuhan kasi aku kayak gini,

mungkin akan ada rencananya kedepannya gitu. Karena aku pernah dengar punya kelebihan kamu tidak malu lihat orang berbicara walaupun nanti kamu merasa ada yang berbeda. Jadi aku yakin besok pasti ada

jalan dari Tuhan gitu.”

“Em kembali lagi kepada firman Tuhan kaya

kgitu. Balik lagi ke jalanNya Tuhan gitu, ketika Tuhan bilang saya musti kesini ya saya ke sini, dan itu saya yang tentukan saya mau kesitu atau enggak itu kan hatinya saya gitu, istilahnya kayak gitu. Jadi maksudnya nasib memang saya yang tentukan tapi sehingga em, apa ya satu demi satu karakter yang buruk tuh dikurangi kayak misalnya yang emosian udah gak lagi walaupun gak sempurnah sih, masih kadang-kadang emosi gitu, cuma dibandingkan dengan dulu tuh udah gak, gak seintens dulu gitu emosinya. Terus kalau minder, udah gak pernah minder lagi udah ya bersyukur aja apa yang udah Tuhan kasi gitu doang.

5. Mengatasi tekanan (coping)

Partisipan pertama berusaha menghadapi ejekan yang ia terima dari teman-temannya

dengan meminta kepada orangtuanya untuk melakukan operasi pada saat ia masih di Taman

Kanak-kanak (TK). Operasi tersebut bertujuan untuk memperbaiki bagian mulut dan

hidungnya sehingga ia dapat bicara dengan lebih jelas.

Partisipan I:

“…ini hidungku tolong, bukan tolong sih tapi ini diperbaikilah mak teman-temanku ngejek-ngejek terus itu kalimat yang bener-bener, satu kalimat yang mengubah hidupku

loh…”

Selain operasi, partisipan pertama berusaha menerima keadaan fisiknya dengan

mensyukuri keadaannya, berdoa ketika menghadapi ejekan orang lain serta meyakini bahwa

(27)

keadaannya, bersyukur, membaca kitab suci dan lebih banyak berdoa dalam mengatasi

kesedihannya sehubungan dengan kekurangan fisik yang ia miliki.

Partisipan I Partisipan II

“Cuma memang sih aku gak ngomong

sama dia to the point, eh langsung gitu tapi aku pendem sendiri gitu, tapi aku pendem-pendem cuma karena kepahitan itu, sering doa sama Tuhan. Walaupun ada kepahitan tapi aku apa namanya, melepaskan gitu

dengan cara mendoakan. “

“…. mungkin besok akan ada cuma aku

pikir bersyukur aja. Mungkin Tuhan kasi aku kayak gini, mungkin akan ada

rencananya kedepannya gitu… Jadi aku

yakin besok pasti ada jalan dari Tuhan

gitu.”

“Tuhan itu sudah menyiapkan kalau, em, apa ya, kalau unik, aku tuh unik gitu…. Jadi aku

yang lebih ke berdoa sih, kalau lagi sedih melihat mereka yang bisa normal gitu, aku

lebih banyak cari Tuhan, kayak gitu.”

“Sebenernya perasaan saya dengan itu tuh ya

bersyukur gak ada yang lain, ya bersyukur karena kalau misalnya mau ditangisin mau dibuat apa gitu kan. Mau dimarah-marahin juga ya, marah-marah gitukan enggak

merubah suatu hal apapun seperti itu.”

“tapi tuh mama selalu nguatin gitu, udahlah

gitu jangan terlalu dipikirin cowok itu mah Tuhan yang kasi kayak gitu-gitu. Jodoh itu gak kemana. Jadi tuh kuat aja gitu jadi baca firman, baca alkitab kayak gitu-gitu. Ya itu

sih yang pertama itu ya doa.”

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua partisipan memiliki kecenderungan

kontrol internality, powerful other dan chance pada keadaan-keadaan tertentu, seperti: keberhasilan dalam pendidikan, keberhasilan dalam lingkungan sosial, dan keyakinan dalam

keberhasilan karir di masa depan. Janelle (1992) mengatakan bahwa Locus of Control (LOC)

dapat dipengaruhi secara berbeda pada setiap tingkatan tergantung pada lingkungan, interaksi

dengan lingkungan atau dengan kepribadian individu. LOC secara kontinum menunjukkan

bahwa seseorang memiliki keyakinan internal (internality) dan eksternal (powerful other dan chance) mengenai konsekuensi dari berbagai peristiwa hidup. Karakteristik internal dan eksternal yang dimiliki bergantung pada perspektif LOC yang dominan.

Dalam menghadapi pendidikannya saat ini, partisipan pertama mengatakan bahwa ia

(28)

sebelumnya dalam menghadapi pendidikan. Walaupun merasa yakin dapat menyelesaikan

pendidikannya dengan baik, kelemahannya dalam berkomunikasi membuat partisipan pertama

sering merasakan kecemasan saat melakukan presentasi di kelas atau berbicara dalam

kelompok besar. Selain itu, partisipan pertama juga mengungkapkan bahwa dirinya sering

mengalihkan tugas yang sebenarnya dapat ia kerjakan kepada rekannya, seperti lebih memilih

melakukan tugas observasi dibandingkan tugas mewawancarai.

Saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, partisipan pertama sangat

dipengaruhi oleh pihak keluarga, khususnya ibu partisipan. Ia mengungkapkan bahwa ibu,

yang lebih mengontrol hidupnya dan mempengaruhi pengambilan keputusannya, seperti kota

tempat tinggal dan jurusan yang diambilnya. Keyakinan terhadap keputusan ibu yang terbaik

disebabkan oleh reinforcement yang diberikan ibunya dimana partisipan pertama selalu puas

dengan keputusan yang dipilihkan ibunya dalam peristiwa hidup sebelumnya. Ia mengatakan

bila tidak ada bantuan dari ibunya, ia tidak akan melanjutkan study-nya ke perguruan tinggi

dan mengalami depresi karena itu sampai saat ini ia lebih banyak berkomunikasi dengan

keluarganya terhadap keputusan-keputusan yang ia ambil, ia merasa keputusan yang dipilihkan

oleh keluarganya adalah yang terbaik. Menurut Crittenden (1990), keluarga adalah konteks

penting yang dapat mempengaruhi individu mengembangkan sebuah LOC dan mempelajari

strategi untuk mengatasi tekanan. Selain itu dalam perkembangan seorang anak dalam

keluarga, perilaku dipelajari karena diikuti atau diberikan reinforcement (Rotter, 1966).

Partisipan kedua mengatakan bahwa untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan,

ia dapat melakukan latihan untuk mengerjakannya dan berpendapat bila ia bekerja keras maka

kesuksesan akan mengikutinya. Selain itu, ia belum pernah mengalihkan tugas atau tanggung

jawab yang diberikan padanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Stocks (2012) bahwa

(29)

Partisipan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa salah satu peristiwa penting

dalam hidup mereka adalah ketika mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah untuk

hidup mandiri di kota lain serta berusaha bersosialisasi dengan orang lain. Keluarga dari kedua

partisan juga mendukung keputusan partisipan dengan memberikan dukungan, seperti

dukungan finansial dan motivasi dalam belajar. Kedua partisipan mengatakan tidak menyukai

hal-hal baru sehingga mau tidak mau kedua partisipan harus berusaha hidup mandiri dan

mampu beradaptasi dengan lingkungan baru selama melanjutkan pendidikan, dalam proses

adaptasi ini kedua partisipan berusaha mengembangkan internality-nya dimana mereka berusaha yakin dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat hidup mandiri. Keluarga

memiliki peranan penting dalam mendorong partispan untuk bisa mandiri dimana keluarga

memegang sikap yang dapat meningkatkan kemandirian anak dan mengarahkan anak untuk

bisa partisipasi dalam suatu kegiatan (Lawlor, dkk, 2006; dalam Anaby, 2013). Keluarga dapat

mengatur lingkungan rumah tangga mereka untuk memastikan anak mendapatkan kesempatan

awal untuk memilih, mengontrol, dan mempunyai privasi, sangat penting untuk pengembangan

otonomi anak (Cook, Brotherson, Weigel-Garrey, Mize, 1996; dalam Vaicekauskaite, 2007).

Selain dukungan keluarga, partisipan kedua mengatakan bahwa teman sebaya dan

komunitas gereja yang dianggotainya memberikan dukungan motivasi dan doa. Dukungan ini

sangat membantu partisipan kedua untuk menjalani kehidupannya selama berkuliah di luar

kota. McManus (2006; dalam Anaby, dkk, 2013) mengungkapkan bahwa sikap positif dari

anggota komunitas dan sekolah dapat membantu anak-anak dengan kecacatan untuk

berpartisipasi dalam kelompok. Selain itu hasil penelitian Naraiana dan Natarajan (2013)

mengenai persepsi remaja penyandang cacat di India, mengungkapkan bahwa keberhasilan

yang dialami oleh beberapa siswa penyandang cacat dalam mengembangkan persahabatan

tampaknya menunjuk ke bentuk dukungan eksternal yang bisa digunakan untuk menghadapi

(30)

Dapat disimpulkan dalam lingkup pendidikan, partisipan pertama cenderung memiliki

LOC powerful other, dimana keluarganya lebih mempengaruhinya dalam pengambilan keputusan dalam melanjutkan pendidikannya, serta ketidakyakinannya pada diri sendiri dalam

mengerjakan tugas dengan baik. Pada partisipan kedua, ia cenderung memiliki LOC internality

karena keyakinannya terhadap kemampuan yang ia miliki dalam melakukan suatu tugas.

Tidak hanya kecemasan dalam mengerjakan tugas perkuliahan, partisipan pertama juga

memiliki kecemasan terhadap keberhasilan karirnya di masa depan. Keterbatasan fisiknya yang

membuatnya kesulitan dalam berkomunikasi membuatnya cemas terhadap seleksi kerja oleh

atasan dan cara berkomunikasi dengan rekan kerjanya nanti. Partisipan pertama menceritakan

bahwa ia merasa atasan melihat potensi yang ia miliki namun ia merasa tidak yakin dapat

mengerjakan tugas dengan baik. Selain itu, walaupun partisipan pertama mengungkapkan

bahwa dirinya yakin akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, ia juga mengatakan memiliki

keraguan bila ada hal-hal lain yang tidak dapat diprediksi terjadi. Hal ini selaras dengan

pendapat Rotter (1966) bahwa individu dengan LOC internal dapat bergeser ke eksternal bila

berhadapan dengan situasi yang tidak dapat diprediksi. Perrin dan Teste (2010; dalam

Warnecke, dkk, 2014) juga mengungkapkan bahwa LOC eksternal yang tinggi

mengindikasikan individu untuk percaya bahwa hal-hal di luar dirinya dan orang lainlah yang

mengontrol lingkungan. Selain itu, Arslan, Dilmac, dan Hamarta (2009: dalam Warnecke, dkk,

2014) menemukan bahwa LOC eksternal yang tinggi mempunyai korelasi positif dengan

kecemasan dan mengungkapkan bahwa mempunyai LOC eksternal yang tinggi dapat

mempengaruhi cara mengatasi situasi yang dapat menyebabkan kecemasan.

Pada partisipan kedua, ia berusaha untuk melakukan aktivitas yang sulit ia kerjakan

dengan latihan dan juga berusaha melatih dirinya untuk mengembangkan kemampuan lain

yang tidak berhubungan dengan kemampuan fisik dalam memperoleh keberhasilan dalam

(31)

adalah karena ia dapat dipercaya dan berani berkorban untuk tugas yang dipercayakan padanya.

Penelitian yang dilakukan oleh McCauley dan rekan-rekannya (1988) tentang depresi pada

anak-anak dan remaja menemukan hasil bahwa semakin besar internality dalam diri individu

berhubungan dengan kesuksesan di sekolah, kemandirian, perilaku yang bertanggung jawab,

dan lebih memiliki kontrol diri (Zazawi, 2009).

Keyakinan partisipan pertama tentang orang lainlah yang menentukan penerimaan

dalam seleksi kerja dan keraguannya mengenai kemampuan dirinya menunjukkan partisipan

pertama cenderung memiliki LOC powerful other. Sedangkan, pada partisipan kedua cenderung memiliki LOC internality dimana ia yakin terhadap kemampuannya dalam mencapai keberhasilannya kelak dan yakin bahwa ia dapat dipercayai.

Kekurangan fisik yang dimiliki kedua partisipan mempengaruhi hubungan mereka

dengan teman sebayanya. Perasaan cemas yang disebabkan kelemahan fisik tidak hanya di

alami oleh partisipan pertama, tapi juga partisipan kedua dimana partisipan kedua merasa

bahwa dirinya tidak yakin dapat menjalin hubungan dengan lawan jenis. Setiap kali berpikir

untuk membangun hubungan dekat dengan seorang lawan jenis ia tidak yakin dirinya tidak

dapat diterima sehingga ia mengurungkan niatnya.

Partisipan pertama menceritakan bahwa dirinya sering diejek, namun ejekan yang

paling menyakitkan baginya adalah ejekkan yang dilakukan terus menerus oleh teman semasa

SMA-nya dulu. Ejekan tersebut membuat partisipan pertama menjadi rendah diri dan khawatir

dengan pendapat orang lain yang mendengar ejekan tersebut. Ejekan merupakan bentuk

bullying secara verbal. Carter dan Spencer (2006), mengatakan bahwa beberapa bentuk bullying adalah memberi nama-panggilan, menggoda, mengintimidasi lisan parah, agresi verbal, meniru atau mengolok-olok penyandang cacat fisik. Seorang pelajar dengan kecacatan

(32)

bahwa mereka memiliki perbedaan pengalaman masa kecil dan dapat meningkatkan risiko

untuk di-bullying.

Akibat terlalu seringnya di ejek, partisipan pertama menceritakan bahwa ia menjadi

kesal dan memberi perlawanan kepada orang yang mengejeknya berulang-ulang yaitu dengan

memberi teguran. Hal ini sesuai dengan pendapat Carter dan Spencer (2006), bahwa korban

bullying menanggung kecemasan, depresi, rendahnya harga diri (self-esteem), gangguan konsentrasi dan perilaku melawan (Austin & Joseph, 1996; Kochenderfer & Ladd, 1996;

Olweus, 1993; dalam Carter dan Spencer, 2006). Self-esteem berhubungan dengan internality,

Burton dan Parks (1994) mengatakan bahwa sebuah elemen penting dalam pengembangan

self-esteem dan fungsi psikologis positif adalah kesadaran bahwa seseorang memiliki kontrol atas pengambilan keputusan pribadi dan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

peristiwa kehidupan. Bagaimana seorang individu memandang kontrol pribadinya, sangat

dipengaruhi oleh bagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Ejekan mempengaruhi partisipan

pertama dengan mengurangi kecenderungan internality-nya. Ejekan tersebut menjadi alasan bagi partisipan pertama untuk melakukan operasi yang dapat memperbaiki kondisi fisiknya

agar dapat berbicara lebih jelas.

Mengenai powerful other dalam konteks relasi sosial, terdapat perbedaan besar antara

partisipan pertama dan partisipan kedua. Partisipan kedua mengungkapkan bahwa dirinya tidak

senang dengan adanya kontrol dari orang lain dan tidak ingin bergantung pada orang lain

karena ia merasa bahwa dirinyalah yang paling berhak mengontrol hidupnya, bukan orang lain.

Pada partisipan kedua, kelemahan fisiknya membuatnya berpikir bahwa orang lain

mengasihaninya bila orang lain memberikannya bantuan. Ia mengatakan bahwa ia merasa

nyaman bila orang lain membantunya melakukan aktivitas yang tidak bisa ia kerjakan, namun

sebaliknya ia merasa tidak nyaman bila orang lain membantunya melakukan aktivitas yang

(33)

(helplessness), dimana partisipan kedua berusaha menghindari perasaan ketidakberdayaannya dengan berusaha semampunya melakukan aktivitas yang dapat ia lakukan sendiri karena ia

merasa bahwa dirinya juga mampu melakukan kontrol untuk menjamin suatu perilaku dapat ia

lakukan. Hal ini selaras dengan pendapat Seligman (1975: dalam Burger, 1989) bahwa

kemampuan untuk menghindari perasaan tidak berdaya dapat berasal dari persepsi kontrol

lemah. Orang-orang mungkin juga lebih memilih untuk melakukan kontrol terhadap tindakan

mereka karena hal itu memberikan kesempatan untuk menguji dan belajar tentang kemampuan

yang mereka miliki. Selain itu, meningkatkan kontrol seseorang atas suatu peristiwa,

memperbesar kemungkinan peningkatan memperoleh hasil yang diinginkan (Burger, 1989).

Dari pembahasan mengenai relasi sosial, ejekan memberikan pengaruh besar bagi

partisipan pertama dalam mengontrol peristiwa hidupnya yang membuatnya memutuskan

untuk melakukan operasi, dengan demikian partisipan pertama cenderung memiliki LOC

powerful other. Pada partisipan kedua lebih cenderung memiliki LOC internality karena ia tidak berharap terhadap bantuan orang lain dan berusaha melawan ketidakmampuannya dalam

melakukan sesuatu. Namun, partisipan kedua memiliki kecenderungan LOC powerful other dalam relasi dengan lawan jenis.

Baik partisipan pertama maupun kedua mengungkapkan mereka memiliki kemampuan

untuk menentukan keberhasilan mereka di masa depan, walaupun takdir menentukan

kekurangan fisik mereka miliki. Partisipan pertama mengatakan meskipun ia memiliki

kekurangan dalam berkomunikasi yang sering membuatnya rendah diri, namun ia mau

berusaha untuk bersosialisasi dengan orang lain dan berusaha mencari kesempatan atau

peluang untuk mencapai yang tujuannya, baginya kesempatan adalah sesuatu yang perlu dicari.

Sama dengan partisipan pertama, partisipan kedua mengatakan bahwa tubuhnya bukanlah

suatu keterbatasan untuk mencapai kesuksesan dan ia yakin dapat mencapai tujuannya di masa

(34)

pertama dan kedua cenderung memiliki LOC internality dibandingkan dengan keyakinan terhadap chance.

Partisipan kedua mengungkapkan bahwa ia lebih mengutamakan Tuhan dalam

hidupnya, termasuk kuliahnya. Ia mengungkapkan walaupun dirinyalah yang mengendalikan

nasibnya sendiri, namun Tuhanlah yang mentukan terjadinya suatu peristiwa dalam hidupnya.

Keyakinan kepada Tuhan atau Yang Ilahi ini disebut dengan secondary control (Rothbaum, Weisz, dan Snyder, 1982; dalam Compton, 2005). Dengan secondary control, individu dapat

memperoleh perasaan kontrol dengan mengasosiasikan diri mereka dengan seseorang, filosofi,

atau sistem yang mereka lihat lebih memiliki kekuatan yang besar dibandingkan diri mereka.

Selain itu hal ini juga memungkinkan penyerahan kontrol yang dilakukan secara sadar dan suka

rela kepada sesuatu yang memiliki kekuatan yang besar, seperti Tuhan. (Compton, 2005).

Kedua partisipan juga mengatakan bahwa mereka mensyukuri apa yang terjadi terhadap

kondisi fisiknya. Partisipan pertama mengungkapkan bahwa Tuhan menciptakannya dengan

kondisinya saat ini karena memiliki tujuan tertentu, selain itu ia menanggapi ejekan orang lain

dengan berdoa. Pada partisipan kedua, ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakannya unik dan

ia juga mengatasi kesedihan akibat kondisi fisiknya dengan berdoa dan membaca kitab suci.

Hal ini menunjukkan keduanya menggunakan strategi religious coping dalam menghadapi kondisi fisiknya. Harold Koenig (1992; dalam Leeming, 2014) menyatakan bahwa religious

coping adalah bersandar kepada keyakinan atau kegiatan agama untuk membantu mengelola stres emosional atau ketidaknyamanan fisik. Mekanisme religious coping contohnya seperti penggunaan doa, meditasi dan praktek kebaktian, ritual agama dan masyarakat, membaca

teks-teks suci, dan mencari petunjuk dari otoritas keagamaan seperti seorang imam, pendeta, pastor,

rabi, Rinpoche, atau guru, tergantung pada tradisi seseorang. Pemaknaan yang berdasarkan

religiusitas dapat menolong seseorang dengan beberapa cara seperti memberikan harapan,

(35)

diinginkan (seperti “Tuhan memberikan kamu kesulitan untuk membuat kamu kuat”), atau

menolong orang menempatkan diri mereka dalam sebuah pandangan yang lebih luas

(36)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari wawancaran dan analisis data yang telah dilakukan, peneliti memperoleh data

mengenai LOC dalam lingkup pendidikan, hubungan sosial dan keyakinan terhadap

keberhasilan karir di masa depan dari kedua partisipan penelitian. Partisipan pertama

cenderung memiliki LOC powerful other pada lingkup pendidikan, hubungan sosial dan karir

di masa depan, sedangkan partisipan kedua cenderung memiliki LOC internality dalam lingkup

pendidikan dan karir di masa depan namun memiliki powerful other dalam hubungan sosial. Hasil lainnya adalah baik partisipan pertama maupun kedua tidak menganggap bahwa

kesempatan, takdir atau keberuntungan (chance) tidak memiliki peranan dalam menentukan kehidupan mereka. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pengaruh keluarga, teman

sebaya dan komunitas tidaknya penting untuk menyediakan dukungan sosial bagi remaja

dengan kecacatan, tetapi juga memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengembangkan

kemampuan dalam menghadapi tekanan. Selain itu partisipan kedua juga memiliki secondary

control dan kedua partisipan mengembangkan religious coping dalam penerimaan kekurangan fisik mereka.

Saran

a. Bagi partisipan

Menurut (Rotter, 1966; dalam Janelle, 1992) kebanyakan orang dapat menghadapi

lingkungan sosial dengan baik bila ia memperoleh skor yang seimbang pada LOC internal dan

eksternal. Dengan demikian saran yang dapat diberikan pada partisipan adalah mempelajari

LOC lainnya untuk menyeimbangkan keyakinan kontrol yang mereka miliki. Misalnya

(37)

dalam melakukan suatu tugas. Partisipan yang memiliki kecenderungan LOC internality dapat

belajar menjadi lebih realistis dalam melihat kemampuannya ketika menghadapi suatu situasi.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dengan

tema-tema lain yang berhubungan dengan remaja tuna daksa seperti meneliti pengaruh

kecacatan fisik pada individu dalam rentang usia remaja awal atau rentang usia lainnya,

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Anaby, D., Hand, C., Bradley, L., dkk. (2013). The Effect Of The Environment On Participation Of Children And Youth With Disabilities: A scoping review. Disability and Rehabilitation, An International, Multidisciplinary Journal. Vol. 35(19), pp. 1589– 1598.

Bostic, T. J., & Ptacek J. T. (2001). Personality Factors and The Short-Term Variability In Subjective Well-Being. Journal of Happiness Studies:Kluwer Academic Publishers. Vol. 2, pp. 355-373.

Burger, J. M. (1989). Negative Reactions to Increases in Perceived Personal Control. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, No. 2, pp. 246-256.

Burton, S. L., & Parks, A. L. (2009, September). Self-Esteem, Locus Of Control, And Career Aspirations Of College-Age Siblings Of Individuals With Disabilities. Availabe (Online): http://web.a.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=c8e3e444-b4eb-4f84-

a53e-7af78dbb6c86%40sessionmgr4004&vid=1&hid=4101&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3Qt bGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=9607300891

Carter, B. B., & Spencer, V. G. (2006). The Fear Factor: Bullying and students with disabilities. International Journal Of Special Education. Vol. 21 No.1/2006, pp. 11-23.

Compton, W. C. (2005). An Introduction to Positive Psychology. Wadsworth: Thomson Learning, Inc

Crittenden, P. M. (1990). Toward a Concept of Autonomy in Adolescents With a Disability. CHC, Summer 1990. Vol. 18, No. 3, pp. 162-168.

Leeming, D. A. (2014). Encyclopedia of Psychology and Religion: Second edition. New York: Springer

Erez, A., Johnson, D. E., & Judge, T. A. (1995). Self-Deception As A Mediator Of The Relationship Between Dispositions and Subjective Well-Being. Pergamin: Person. Individ. Diff. Vol. 19, No. 5, pp. 597-612.

Groce, N. E. (2004). Adolescents And Youth With Disability : Issues And Challenges. Asia Pacific Disability Rehabilitation Journal Vol. 15 No. 2, pp. 13-32.

Janelle, S. (1992). Locus of Control in Nondisabled Versus Congenitally Physically Disabled Adolescents. The American journal of Occupational Therapy. Vol. 46, Number 4, pp. 134-142.

Klonowicz, T. (2001). Discontented People: Reactivity and Locus of Control as Determonants of Subjective Well-Being. European Journal of Personality Pers. Vol. 15, pp. 29-41.

(39)

Lopez, J Shane. (2009). The Encyclopedia of positive psychology. United Kingdom- Willy-Blackwell

Naraiana, S. & Natarajan, P. (2013). Negotiating Normalcy with Peers in Contexts of Inclusion: Perceptions of youth with disabilities in India. International Journal of Disability, Development and Education, Taylor & Francis 2013. Vol. 60, No. 2, pp. 146–166.

Owusu-Ansah, F. E., Agyei-Baffour, P., & Edusei, A. (2012). Perceived control, academic performance and well-being of Ghanaian college students with disability. African Journal of Disability 1(1), Art. Pp. 1-6.

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Porat, Omer, dkk. (2012). Counseling Young People with Physical Disabilities Regarding Relationships and Sexuality Issues: Utilization of a Novel Service. Springer Science and Business Media. Vol.30, pp. 311–317.

Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs. Vol. 80, pp. 1-28.

Rotter, J. B. (1990). Internal Versus External Control of Reinforcement : A case history of a variable. American Psychological Association, Inc. Vol. 45, No. 4, pp. 489-493.

Santrock, John W. (2007). Remaja Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Shojaee, M. & French, C. (2014). The Relationship between Mental Health Components and Locus of Control in Youth. Scientific Research Publishing Inc,. Vol. 5, pp. 966-978.

Somantri, T. S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: P. Refika Aditama.

Stocks, A., April, K. A., & Lynton, N. (2012). Locus of Control and Subjective Well-being – A Cross-Cultural Study. Problems and Perspective in Management. Vol. 10, Issue 1.

Sudarmadi. 2012. Dukungan Sosial dan Internal Locus of Control Sebagai Prediktor Resiliensi Kepala Keluarga Miskin. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi, UKSW.

Sudarmini, Tin. (2009). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Vaicekauskaite, R. (2007). Parents’ Perspectives on Social Exclusion and the Development of

Psychological Autonomy in Children with Disabilities. Illinois Child Welfare. Vol. 3, Numbers 1 and 2.

(40)

Warnecke, A. J., Baum, C. A., Peer, J. R., & Goreczny, A. J. (2014). Intercorrelations Between Individual Personality Factors And Anxiety. College Student Journal. Vol. 48, Issue 1, pp. 23-33.

Referensi

Dokumen terkait

Padahal tujuan hubungan humas dengan media sebenarnya merupakan salah satu kegiatan eksternal yang dilakukan oleh praktisi humas untuk melakukan hubungan baik dengan media massa

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji posisi sektor pertanian dan sub sektor pertanian dalam perekonomian di Kabupaten Blora, untuk mengkaji

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada metode pemasakan yang digoreng maupun yang dipanggang selama peyimpanan suhu ruang yang sesuai dengan SNI adalah sampai hari ke

Hadits ini menjelaskan bahwasanya siapa saja yang menempuh suatu jalan untuk kepentingan menuntut ilmu maka Allah SWT menjanjikan kepada ummatnya akan memudahkan bagi

Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun sebuah aplikasi perhitungan honorarium pada STIKOM Dinamika Bangsa Jambi, sehingga akan diperoleh laporan sesuai dengan

Hasil tersebut menunjukkan bahwa parameter algoritme genetika sangat berpengaruh terhadap solusi yang didapat yaitu dengan memilih individu terbaik yang memiliki

adalah Pembantu Direktur Bidang Administrasi Umum pada Akademi Keperawatan Pemerintahan Kabuapten Indramayu.. Pembantu Direktur Bidang Kemahasisiwaan yang selanjutnya disebut

Agama Kristian dapat tempat di Eropah pada zaman Rom, semasa Maharaja Constantine iv. Rom dikenali