TERJADI DALAM KELUARGA
OLEH
HERBETHZ PATTIRUHU 802009024
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
TERJADI DALAM KELUARGA
Herbethz Pattiruhu Aloysius L. Soesilo Chr. Hari Soetjiningsih
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
i
ABSTRACT
Subjective well-being (SWB) is a broad concept that a person's life as a whole.
Everyone must want the SWB in his life, including a teenager who married because of an
unwanted pregnancy. This of course is not entirely an effect on the adolescent self, but also
for the parents as a family. Accordingly, the purpose of this study was to identify and
describe more about SWB teenage couples who were married as a result of unwanted
pregnancy and the impact it in the family. The research method used is qualitative, the
method of data collection were interviews and observation. This study consists of two
participants, in which each participant is composed of young men, young women, fathers
and mothers who live in the city of Ambon. The results showed that all participants feel
themselves happy when they are together with the family, was quite satisfied with their
current life, and have a quality of life that is not too good. The conclusion from this study is
that every participant has its own assessment on their SWB, all depends on what they
experienced and what they feel.
ii
ABSTRAK
Subjective well-being (SWB) merupakan konsep yang luas akan kehidupan seseorang
secara keseluruhan. Setiap orang pastilah menginginkan kesejahteraan subjektif dalam
hidupnya, termasuk remaja yang dinikahkan karena mengalami kehamilan tidak diinginkan
(KTD). Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya berpengaruh pada diri remaja tersebut, namun
juga bagi orang tua sebagai keluarga. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengidentifikasikan dan mendeskripsikan lebih jauh mengenai SWB
pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode pengambilan
data yaitu wawancara dan observasi. Penelitian ini terdiri dari dua partisipan, dimana setiap
partisipan terdiri dari remaja pria, renaja wanita, ayah dan ibu yang berdomisili di kota
Ambon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua partisipan merasa diri mereka bahagia
ketika mereka bersama dengan keluarga, merasa cukup puas dengan kehidupan mereka saat
ini, dan memiliki kualitas hidup yang tidak terlalu baik. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah setiap partisipan memiliki penilaian tersendiri terhadap kesejahteraan subjektif
mereka, semua bergantung pada apa yang mereka alami dan apa yang mereka rasakan.
1
PENDAHULUAN
Setiap yang hidup di dunia ini pasti mengalami yang namanya perkembangan,
manusia salah satunya. Perkembangan pada manusia melibatkan pertumbuhan, meskipun
juga melibatkan penuan. Perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai sejak
pembuahan, yang berlanjut sepanjang hidup (Santrock, 2007). Manusia sebagai salah satu
yang mengalami perkembangan maka tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang akan
melewati masa-masa dalam kehidupannya termasuk masa remaja. Masa remaja adalah
waktu untuk melakukan eksperimen dan mencoba perilaku baru dalam merespon berbagai
situasi baru sehingga masa remaja menghadirkan begitu banyak tantangan, karena
banyaknya perubahan yang harus dihadapi, mulai dari perubahan fisik, biologis, psikologis
dan juga sosial (Geldard & Geldard, 2010). Santrock (2007) mengemukakan bahwa usia
remaja adalah usia yang berkisar dari 10-13 sampai 18-22 tahun. Santrock juga
mengemukakan masa remaja akhir (late adolescence) sesuatu yang kurang lebih terjadi
pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan. Minat, karir, pacaran dan
eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir dibandingkan masa
remaja awal. Namun remaja juga merupakan suatu periode transisi dalam rentang
kehidupan manusia yang menjembatani antara masa anak-anak dan masa remaja dewasa
(Santrock, 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia
dari 12-21 tahun dimana sebuah masa yang menjembatani antara masa anak-anak dengan
masa dewasa serta mengalami perkembangan fisik dan kognitif bahkan sampai kepada
Satu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan remaja yaitu selama masa remaja
kehidupan remaja lebih dominan dihiasi dengan masalah seksualitas, maka masa remaja
adalah masa eksplorasii seksualitas ke dalam identitas seseorang (Santrock, 2007).
Meskipun masalah ini cukup merisaukan, kita perlu melihat kenyataan bahwa seksualitas
merupakan suatu bagian yang normal dari kehidupan remaja (dalam Santrock, Nichols &
Good 2004; Senanayake & Faulkner, 2003). Sehingga kita perlu menyadari bahwa
kehidupan seksual remaja ini akan mendorong banyak remaja melakukan hubungan seksual
pranikah. Sari (2008) mengatakan bahwa hubungan seks pranikah adalah hubungan seksual
yang dilakukan oleh sepasang insan yang belum terikat oleh tali pernikahan. Hal ini sangat
mungkin terjadi pada remaja, mengingat pada saat seseorang memasuki masa remaja mulai
timbul dorongan-dorongan seksual di dalam dirinya. Apalagi pada masa ini minat mereka
membina hubungannya terfokus pada lawan jenis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utomo (dalam Sarwono, 2007) remaja putri
mengatakan bahwa hubungan seksual ini dilakukan karena ingin menunjukkan rasa cinta,
takut ditinggalkan, dipaksa oleh pacar, tidak mau dianggap tidak laku karena masih
perawan, ingin mencoba-coba bahkan sampai pada pergaulan yang menyesatkan. Pendapat
ini didukung pula oleh Santrock, (dalam Sarwono 2007), alasan-alasan mengapa remaja
berhubungan seks antara lain dipaksa (Wanita 61 % dan Pria 23%), merasa sudah siap
(Wanita 51% dan Pria 59%), butuh dicintai (Wanita 45% dan Pria 23%) dan takut diejek
teman karena masih gadis atau perjaka (Wanita 38% dan pria 43%). Melihat situasi seperti
ini maka, dapat menimbulkan masalah pada remaja yaitu salah satunya adalah Kehamilan
3
perempuan yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan hamil
(BKKBN, 2007). Sedangkan menurut PKBI, KTD merupakan suatu kondisi dimana
pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran akibat dari kehamilan. KTD tidak
hanya beresiko secara fisik maupun psikologis, tetapi juga berdampak negatif secara sosial
(Nugraheni, 2006). Adapun faktor-faktor ketika pasangan remaja mengalami KTD yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal itu mencakup komitmen kedua
pasangan untuk menjalin hubungan jangka panjang dalam pernikahan, sikap dan persepsi
terhadap janin yang dikandung dan persepsi terhadap janin yang dikandung dan persepsi
subyektif tentang kesiapan psikologis dan ekonomi untuk memasuki kehidupan pernikahan.
Selanjutnya Soesilo (dalam Trimangga, 2008) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal
mencakup sikap dan penerimaan orang tua kedua belah pihak, nilai-nilai normatif dan etis
dari lembaga keagamaan, dan kemungkinan-kemungkinan perubahan hidup pada masa
depan yang mengikuti pelaksanaan dan keputusan yang akan diambil. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi KTD pada remaja menurut Khisbiyah et al., (1997) : lemahnya
pengawasan sosial yang dikarenakan pola hubungan dalam masyarakat saat ini bersifat
transaksional dan individualistik, penundaan usia nikah yang bergandengan dengan
meningkatnya kecenderungan aktivitas seksual pranikah, kurangnya pengetahuan remaja
tentang proses reproduksi, permisivitas dan ketidakhati-hatian remaja dalam perilaku seks,
terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi untuk kalangan remaja. Papalia et al., (2009)
menambahkan bahwa adanya satu faktor penting yang mempengaruhi KTD yaitu
penggunaan alat kontrasepsi yang tidak efektif. Papalia et al., memberikan informasi
bahwa, penggunaan alat kontrasepsi pada remaja yang aktif dalam berhubungan seksual
Salah satu masalah dengan peringkat tinggi dari aktivitas seksual dan catatan buruk
dalam penggunaan alat kontrasepsi sewaktu remaja menunjukkan sesuatu yang
menakjubkan untuk dipelajari dimana banyak perempuan muda mengalami kehamilan
sebelum masa remajanya berakhir (Steinberg, 1993). Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
merupakan salah satu masalah yang timbul akibat adanya perubahan sikap dan perilaku
seksual remaja. Oleh sebab itu Putri (2010) memaparkan KTD adalah sebagai salah satu
kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya kehamilan yang merupakan akibat
dari suatu hubungan seksual, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kamus besar
Indonesia mencatat istilah Keluarga Berencana (KB), KTD adalah kehamilan yang dialami
oleh seorang ibu yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan
untuk hamil lagi. Melihat kehamilan sebagai suatu hal yang tidak dikehendaki maka
terdapat konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan akibat KTD menurut Khisbiyak et al.,
(1997) yaitu : aborsi (keputusan untuk aborsi biasanya dikarenakan takut pendidikan akan
terputus, ketidaksiapan ekonomi, dan ketidaksiapan remaja menerima tanggung jawab
kehidupan keluarga), menjadi orang tua diusia belia, menjadi ibu lajang, remaja yang hamil
pranikah mengalami tekanan psikologis yang berasal dari ketidaksiapan psikologisnya
untuk mengemban peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, masalah sosial-ekonomi.
Selain Khisbiyah, et al., (1997), Santrock (2003) juga mengemukakan pendapatnya tentang
konsekuensi kehamilan pada remaja antara lain: meningkatnya resiko kesehatan bagi ibu
dan anaknya (bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan yang
lebih rendah, demikian pula halnya dengan masalah neurologis dan penyakit anak-anak),
pendidikan yang terputus, gagal memperoleh pekerjaan dan menjadi tergantung pada orang
5
Semua hal yang berkaitan dengan seksualitas remaja dan KTD dapat berdampak
buruk atau negatif pada remaja itu sendiri, secara tidak langsung dapat mempengaruhi
kesejahteraan dalam diri mereka sendiri. Keadaan inilah yang sering disebut dengan
subjective well-being. Subjective well-being (seterusnya disebut SWB) merupakan salah
satu ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat (Pattihahuan, 2012). Selain itu, SWB
juga berbicara mengenai bagaimana seseorang berpikir mengenai hidupnya sendiri
merupakan esensi untuk memahami well-being (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). SWB
merupakan penilaian atau evaluasi subjektif individu mengenai hidupnya sendiri, yang
meliputi komponen kognitif dan komponen emosional (Diener, 2008).
Komponen emosional SWb ini berpengaruh pada remaja yang mengalami KTD
karena remaja tersebut akan merasa bersalah, menyesal dan malu. Perasaan inilah yang
dapat membuat remaja untuk melakukan aborsi, namun adapun remaja yang dinikahkan
untuk mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Wanita dengan kehamilan yang
tidak diinginkan memiliki tingkat tertinggi depresi, paparan stress yang berlebihan dan
dukungan sosial yang rendah serta well-being yang rendah atau tingkat kesejahteraan yang
rendah (Maxson & Miranda, 2011). Selain itu, setiap pasangan remaja yang mengalami
KTD, tentu akan melakukan penilaian terhadap diri pasangan itu sendiri. Menurut Conger
(dalam Sari, 2008) menyatakan bahwa penilaian terhadap diri yang dimaksud berupa
perasaan-perasaan negatif, hilangnya keperawanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa berdosa,
kotor, takut, khawatir dan lain sebagainya akan timbul saat melakukan hubungan seks
Mengalami KTD pada masa remaja, bagaimanapun pasti menimbulkan konsekuensi
yang sulit tidak saja bagi remaja yang bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh anggota
keluarga yang lain. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan ketidaksejahteraan remaja
dalam hidupnya. Penuturan dari Papalia et al., (2009) bahwa bagi banyak remaja salah satu
argument persuasif terhadap pengambilan resiko seksual adalah bahaya kehamilan yang
akan menghancurkan hidup mereka.
Situasi inilah yang sekarang banyak terjadi di berbagai tempat khususnya di kota
Ambon. Menurut sebuah sumber media masa yang diterbitkan pada tanggal 08 Agustus
2012, memaparkan bahwa Ambon termasuk dalam peringkat lima besar kasus remaja yang
mengalami KTD, namun hal ini tidak kelihatan besar, karena banyak pula remaja yang
mengugurkan kehamilannya, sehingga Ambon pun termasuk dalam peringkat kelima
persentase aborsi. Bahkan sampai sekarang ini banyak kalangan remaja di Ambon yang
mengalami KTD sehingga harus berhenti sekolah, diasingkan dan bahkan dikeluarkan dari
keluarganya karena dianggap menghancurkan nama baik keluarga. Disisi lain, adapun
remaja-remaja yang dengan sepenuh hati menerima apa yang terjadi dalam hidupnya,
kesiapan untuk menjadi seorang ibu/ayah, berhenti sekolah dan bahkan membangun rumah
tangga dengan cara dinikahkan agar mendapat status dan dianggap tidak membuat malu
nama baik diri sendiri dan keluarga. Situasi seperti ini sebenarnya tidak hanya dirasakan
oleh pasangan remaja tersebut, namun juga dirasakan oleh orang tua dan keluarga dari
masing-masing remaja. Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana SWB remaja yang
mengalami KTD dan berdampak pada keluarga merupakan suatu hal yang penting untuk
7
remaja yang mengalami KTD dan dampak bagi keluarga. Hal ini menjadi penting ketika
peneliti mewawancara beberapa remaja yang telah mengalami KTD sebagai penguat
penelitian ini, mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasakan tiga factor penting SWB
yaitu yang pertama adalah kebahagiaan dengan kehidupan mereka saat ini, bahkan peran
keluarga pun tidak ada ketika meraka diasingkan oleh keluarga. Yang kedua, mereka tidak
memiliki kepuasaan hidup, mereka merasa malu bahkan sangat malu dengan keadaan
seperti ini, mereka juga gagal menjadi yang terbaik. Dan yang ketika mereka merasakan
bahwa kualitas hidup mereka sangat buruk ketika mengalami KTD.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai subjective
well-being pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam
keluarga.
KAJIAN TEORITIK
Secara umum pada dasarnya subjective well-being (SWB) sering diartikan sebagai
kesejahteraan hidup, namun konsep mengenai well-being itu sendiri merupakan suatu
pemahaman multidimensional. Andrew dan Withey (dalam Diener, 2009) mendefinisikan
subjective well-being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya,
sehingga bersifat subjektif. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai
kejadian yang dialami. Adapun pendapat dari Keyes dan Waterman (dalam Pattihahuan,
2012) mereview literatur dengan judul, “A brief history of the study of well-being in
children and adults” (Sejarah singkat study well-being pada anak dan orang dewasa) dan
merasa baik atau senang dengan dirinya dan apakah dirinya berfungsi dengan baik secara
pribadi dan secara sosial. Para ahli juga telah menganalisis bahwa evaluasi mengenai
kehidupan individu ini berlangsung dalam periode saat ini dan periode lampau (Diener,
Oishi, & Lucas, 2003).
Dalam penelitian ini akan digunakan aspek-aspek SWB yang diangkat dari
Seligman (2000), Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener 1999 (dalam Compton, 2005) dan
Veenhoven (2000) yang disimpulkan dalam Talo (2013) yaitu :
Kebahagiaan
Seligman (2000) kebahagiaan (happiness) merupakan salah satu variable utama
dalam subjective well being. Beberapa ahli yang lain menggunakan istilah subjective
well-being sebagai istilah ilmiah dari kebahagiaan. Dari definisi tersebut diketahui bahwa
kebahagiaan menekankan pada penilaian subjective individu bukan melalui penilaian para
ahli (Dianer, dalam Putri, 2009). Menurut Eastrlin (dalam Concecaio, 2008) meskipun
orang bahagia menurut ukuran subjektifnya sendiri, pada umumnya mereka menyebutkan
beberapa factor yang menjadi penentu kebahagiaan. Factor-faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan tersebut adalah: keluarga, ekonomi, pernikahan dan kesehatan.
Kepuasaan Hidup
Kepuasaan hidup menurut Diener (2009) merupakan hasil dari perbandingan antara
segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan keinginan. Individu yang dapat
menyesuaikan diri dan memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik, cendrung untuk
9
menyatakan bahwa semakin banyak aktifitas positif yang dilakukan oleh seseorang, makin
besar pulalmh kepuasaan hidupnya.
Menurut Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener 1999 (dalam Compton, 2005) ada
enam variabel yang paling memprediksi kepuasaan hidup setidaknya dalam industry
budaya barat yaitu Harga diri yang positif (positive self esteem), Rasa memiliki kontrol
(sense of perceived control), sikap mengarahkan diri keluar (extroversion), optimisme
(optimism), relasi social yang positif (positive social relationship) dan pemahaman terhadap
arti dan tujuan hidup (a sense of meaning and purpose to life)
Kualitas Hidup (quality of life)
Terkadang kualitas hidup dan subjective well-being digunakan sebagai kosep paying
yang menggambarkan hal-hal yang baik (Veenhoven, 2000). Kualitas hidup adalah
tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari
kehidupan mereka. Keunggulan individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka.
Keunggulan individu tersebut biasanya dapat dinilai dari tujuan hidup, control pribadi,
hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, hubungan interpersonal, perkembangan
pribadi , intelektual dan kondisi materi (Larasati, 2008). Adapun pendapat dari Primardi
dan Hadjam (2010) yang menyatakan kualitas hidup yang baik ditentukan pada seseorang
yang dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan sehari-hari dengan baik,
sesuai tahap perkembangannya.
Sementara itu Veenhoven (2000) dalam penelitiannya mengenai kualitas hidup
hidup (life chances), hasil dari hidup itu sendiri (life result), kualitas eksternal dan kualitas
internal. Keempatnya saling berkaitan satu dengan lain seperti:
Kesempatan Hidup (life chances) dan Kualitas Eksternal menciptakan kenyamanan
lingkungan seperti ekologi, sosial, ekonomi dan budaya.
Kesempatan Hidup (life chances) dan Kualitas Internal menciptakan kemampuan hidup
seperti kesehatan fisik, kesehatan mental, pengetahuan, skill, seni dalam hidup.
Hasil dari hidup (life results) dan Kualitas Eksternal menciptakan kegunaan hidup
secara objectif seperti keunggulan hidup dan perkembangan moral.
Hasil dari hidup (life results) dan Kualitas Internal menciptakan penghargaan subjektif
terhadap hidup yaitu penghargaan terhadap aspek hidup, emosi secara umum dan
penilaian secara umum.
METODE Subjek Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yakni mengidentifikasi dan mendeskripsikan
mengenai subjective well-being pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta
dampak yang terjadi dalam keluarga di kota Ambon, maka dalam penelitian ini, penulis
membatasi subjek dengan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Pasangan remaja (laki-laki & perempuan) yang dinikahkan/sudah menikah karena
mengalami KTD.
2. Rentang usia berkisar antara 16 tahun sampai 20 tahun.
11
4. Orang tua/keluarga yang anaknya mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Fokus Penelitian
Focus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai subjective well-being
pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga.
Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan
teknik analisa kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam
Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display data dan
kesimpulan.
HASIL PENELITIAN
Identitas Subjek
PARTISIPAN 1 PARTISIPAN 2
Nama : X1 Nama : Y1
REMAJA 1 R. Putra J. Kelamin : Pria R.
Putra J. Kelamin : Pria
Umur : 20 tahun Umur : 20 tahun
Nama : X2 Nama : X2
R. Putri
J. Kelamin :
Wanita R. Putri
J. Kelamin : Wanita
Umur : 16 tahun Umur : 17 tahun
Nama : X3 Nama : X3
ORANG TUA Ayah J. Kelamin : Pria Ayah J. Kelamin : Pria
Umur :50 tahun Umur :55 tahun
Nama : X4 Nama : X4
Ibu
J. Kelamin :
Wanita Ibu
J. Kelamin : Wanita
Dalam penelitian ini, peniliti mengangkat 2 partisipan, dimana setiap partisipan
terdiri dari remaja putra dan remaja putri (pasangan remaja yang mengalami KTD) beserta
orang tua yaitu ayah dan ibu di Kota Ambon. Alasan mengapa peniliti mengangkat orang
tua sebagai subjek penilitian ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa, remaja yang
mengalami KTD berada dalam usia anak sehingga masih bergantung pada orang tua
termasuk tinggal serumah dengan orang tua. Hal ini terlihat dari penelitian ini bahwa
dampak KTD tidak hanya dirasakan oleh pasangan remaja tersebut sebagai partisipan
utama dalam penelitian ini. Namun, secara langsung juga berdampak pada orang
tua/keluarga. Apalagi di kota Ambon sendiri memakai system marga, jika dalam
menghadapi satu masalah termasuk KTD bukan hanya orang tua yang merasakan
dampaknya tapi semua saudara yang memiliki marga yang sama pun akan merasakan malu
bahkan terpaan dari stigma masyarakat. Hal ini tentu sangat mempengaruhi SWB setiap
partisipan. Sehingga SWB tidak hanya dirasakan oleh remaja saja, namun juga orang tua
sebagai peran utama dalam mendidik dan membesarkan anak tersebut.
Kedua partisipan yang diwawancara dimana setiap partisipan memiliki perbedaan.
Perbedaan dari kedua partisipan ini yang pertama dari pasangan remaja, antara pasangan
remaja 1 dan pasangan remaja 2 yaitu partisipan 1 menikah dengan disaksikan oleh kedua
orang tua mereka. Partisipan 2 memilih untuk menikah secara diam-diam atau yang biasa
disebut dengan kawin lari. Hal ini terjadi karena kedua partisipan sama-sama telah
mengalami KTD. Akibat KTD ini, partisipan 1 memiliki niat yang besar untuk
mengugurkan kandungannya, sedangkan partisipan 2 memilih untuk tetap mempertahankan
13
terlihat dalam hal dukungan sosial. Partisipan 1 memiliki dukungan sosial yang lebih besar
dari keluarga yaitu kakak-kakaknya.
Selain perbedaan yang terlihat dari remaja putri kedua partisipan,
perbedaan-perbedaan yang lain juga dilihat dari kedua remaja pria. Partisipan 1 ketika mendengar
kehamilan pasangan hamil, dia awalnya tidak ingin bertanggung jawab, selalu menghindar
dan sempat membawa pasangannya ketempat pengaborsian untuk diaborsi. Partisipan 2
sama sekali tidak memaksa pasangannya untuk mengugurkan kandungannya. Selain itu,
dalam hal pengontrolan emosi, kedua partisipan memiliki perbedaan. Partisipan 1 memiliki
emosi yang sangat besar dalam hal membicarakan kehamilan pasangannya, hal ini
kemudian membuat partisipan 1 memukul pasangannya. Untuk partisipan 2 memiliki sikap
yang dewasa dalam membicarakan kehamilan dengan pasangannya secara baik-baik. Keuda
partisipan memiliki umur yang sama, umur dimana sedang dalam masa pendidikan
diperguruan tinggi. Dalam hal pendidikan ini, partisipan 1 tetap berkuliah sedangkan
partisipan 2 memilih untuk berhenti kuliah dan bekerja. Dari perbedaan ini, dapat dilihat
bahwa, partisipan 2 memiliki kesiapan yang lebih baik dibandingkan partisipan 1.
Selain pasangan, remaja, kedua pasangan orang tua pun memiliki perbedaan. Dalam
hal pengaturan emosi ketika mendengar anaknya mengalami KTD. Partisipan 1 lebih
menunjukkan emosinya kepada anaknya, partisipan 2 memilih untuk menyimpan emosinya
memilih untuk menyimpan emosinya dan tidak ingin mengeluarkannya untuk dilihat
anaknya karena dapat menghancurkan kebehagiaan anaknya. Emosi-emosi yang muncul
karena adanya berita tentang kehamilan bagi anak-anak kedua partisipan. Untuk partisipan
langsung dari anaknya. Dalam hal pengambilan keputusan yang diambil demi masa dapan
anak-anak kedua partisipan, partisipan 1 masih membuat pilihan kepada anaknya untuk
nantinya anaknya tentukan pilihan yang terbaik dan keputusan yang harus diambilnya.
Sedangkan untuk partisipan 2 menyerahkan seluruh keputusan kepada anaknya dengan
alasan kebahagiaan.
Tidak selamanya perbedaan yang muncul bagi kedua partisipan. Adapun kesamaan
yang dimiliki oleh kedua partisipan. Persamaan yang pertama, yaitu kedua remaja putri
masih berada pada bangku SMA, sedangkan kedua remaja pria berada pada bangku
perguruan tinggi. Karena masih duduk di bangku SMA, kedua remaja putri dengan alasan
hamil memilih untuk berhenti atau putus sekolah. Kehamilan yang terjadi pun karena
hubungan seksual yang dilakukan karena sama-sama dipaksa oleh pasangan mereka. Kedua
partisipan mengetahui akibat dari hubungan seksual ini, akan terjadi kehamilan, tapi tetap
melakukannya walaupun mereka sama-sama memiliki ketakutan akan terjadi kehamilan
bagi diri mereka. Untuk kedua remaja putri ini memiliki pengetahuan yang minim tentang
sistem reproduksi. Akibat KTD, kedua partisipan mengakui bahwa mereka tidak memiliki
kesiapan untuk memulai hidup baru. Karena ketidaksiapan ini, keduanya memilih untuk
melarikan diri dari rumah selama behari-hari.
Bukan hanya kedua remaja yang memiliki kesamaan, namun kesamaan pun dapat
dilihat dari kedua orang tua. Kedua partisipan pun mengaku bahwa apapun yang terbaik
untuk anak-anak mereka, mereka tetap memberikan dukungan. Selain itu, mereka pun
memiliki perasaan yang sama ketika mengetahui anak mereka mengalami KTD. Dengan
15
berdampak pada kesibukan mereka sehari-hari. Yang terakhir, kedua partisipan dalam
menghadapi stigma masyarakat adalah membiarkan saja, tidak peduli dengan pandangan
orang terhadap diri mereka dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan biar Tuhan yang
membalas semuanya.
Pandangan Mengenai Kebahagiaan
Kedua partisipan memberikan penilaian mereka atas kebahagiaan dan hal-hal apa
saja yang dapat membuat mereka bahagia. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi
terhadap kedua partisipan, diketahui bahwa penilaian kebahagiaan yang mereka miliki
terkait dengan pengalaman-pengalaman hidup yang mereka alami.
Penilaian mengenai kebahagiaan dimana hal-hal yang membuat partisipan 1 menilai
bahwa dirinya bahagia yaitu dukungan, kebersamaan, perhatian, kasih sayang dan semangat
untuk tetap bertahan hidup adalah keluarga. Walaupun ada diantara keluarga yang sudah
tiada atau mengecewakan anggota keluarga yang lainnya, tetapi kebahagiaan yang
dimilikinya tidak akan hilang. Hal ini karena keluarga merupakan sumber kebahagiaan
baginya, sehingga ketika bersama dengan keluarga dia dapat merasakan kebahagiaan yang
sesungguhnya. Sedangkan inti dari kebahagiaan yang partisipan 2 rasakan adalah ketika
dirinya berada bersama-sama dengan orang-orang yang dapat menjadikan dirinya memiliki
kebanggan tersendiri dalam hidupnya. Baik itu keluarga ataupun sahabat dan teman.
Dimana ketika bersama mereka, ada kebahagiaan yang mereka miliki. Satu hal yang harus
tua partisipan 2 (hal ini dapat dirasakan oleh partisipan 2 baik itu orang tua ataupun
pasangan remaja yang juga telah menjadi orang tua).
Pandangan Mengenai Kepuasaan Hidup
Setiap partisipan menilai diri mereka masing-masing seberapa besar mereka merasa
puan dengan kehidupan mereka yang mereka jalani saat ini. Kedua patisipan memiliki
tingkat kepuasan yang berbeda-beda terhadap hidup mereka. Partisipan 1 menekankan
bahwa dirinya merasa tidak puas dengan hidup yang dijalaninya saat ini, sedangkan
partisipan 2 merasa pada tingkat yang kurang puas.
Penilaian mengenai kepuasaan hidup dan hal-hal yang membuat partisipan menilai
mereka puas akan hidup dapat dilihat dari: partisipan 1 yang mengungkapkan dirinya
merasa tidak puas dengan hidup yang dialaminya saat ini. Ketika masalah dating dalam
hidupnya, dia merasa tidak puas dengan apa yang saat ini ia dapatkan. Dia mengaku gagal
menjadi yang terbaik untuk setiap anggota keluarganya. Dia pun juga gagal
membahagiakan orang- orang yang mencintainya. Bahkan ia pun kadang menyalahkan
dirinya kalau dirinya tidak berguna. Sedangkan partisipan hidup partisipan 2 adalah merasa
kurang puas dengan kehidupannya saat apa yang terjadi saat ini. Namun, di saat-saat
tertentu, dia merasa cukup puas dengan dirinya. Bahkan, bukan hanya mengenai penilaian
terhadap dirinya sendiri tetapi perekonomian dan pekerjaan pun turut mempengaruhi
17
Pandangan Mengenai Kualitas Hidup
Kualitas hidup partisipan 1 dapat dikatakan tidak maksimal atau tidak terlalu baik.
Hal ini dipengaruhi oleh masalah yang dihadapi. Namun, harapan dan skill yang dimili
ternyata dapat mengubah hidupnya menjadi baik. Walaupun banyak kekecewaan, tapi dia
tetap merasa bersyukur karena antar anggota keluarga memiliki sikap kepedulian yang
tinggi, yang secara langsung mempengaruhi semangat hidupnya. Selain hubungan dengan
keluarga, kualitas hidupnya pun dipengaruhi oleh kualitas hubungannya dengan Tuhan,
karena apapun yang terjadi dirinya tetap menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Sedangkan kualitas hidup yang dirasakan oleh partisipan 2, dirinya merasakan
memiliki kualitas hidup yang cukup baik karena dalam hal tersulit apapun, dia mampu
manafkai keluarga. Selain itu, dengan kehadiran seorang anak dalam hidupnya, membuat
dirinya memiliki kualitas hidup yang baik serta semangat untuk mencapai harapan hidup
yang dimiliki olehnya yaitu memperbaiki setiap kesalahan dan menjadi yang lebih baik
untuk keluarga tercinta.
PEMBAHASAN
Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana KTD mempengaruhi
subjective well-being yang dialami oleh partisipan. Proses wawancara untuk mendapatkan
data di dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu Ambon atau
bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Ambon yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk mendapat pemahaman yang luas mengenai subjective
kebahagiaan, pandangan mengenai kepuasan hidup, dan pandangan mengenai kualitas
hidup yang dialami oleh pasangan remaja yang mengalami KTD dan orang tua dari remaja
tersebut.
Pandangan Mengenai Kebahagiaan
Dari kedua partisipan di atas, dapat dilihat bahwa peran keluarga merupakan salah
satu faktor penting dalam kehidupan partisipan yang kemudian digunakan untuk menilai
kebanggaan dan kebahagiaan (happiness). Talo (2003) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan
dengan subjective well-being seseorang. Sedangkan Wallis (2005), mengungkapkan bahwa
individu akan bahagia apabila mereka berhubungan dengan keluarga dan sahabat mereka.
Melihat latar belakang kedua partisipan yang mengalami situasi tersulit ketika
keduanya harus menghadapi hal-hal yang tersulit dalam kehidupan mereka, keluarga
merupakan peran penting dalam kehidupan mereka, sehingga membuat mereka tidak
merasa berjalan sendiri dalam setiap masalah yang mereka rasakan. Hal ini dilihat dari
penghayatan mereka yang menjadikan keluarga sumber kebahagiaan ketika berkumpul
bersama dan keluarga selalu mendukung dalam hal apapun. Apapun yang menjadi
keputusan dan apapun yang menjadi kekurangan dan kelemahan setiap anggota keluarga
harus diterima bukan ditolak.
Hal ini terlihat dari percakapan partisipan yang menyatakan bahwa keluarga
19
“Bahagia ketika dulu masih bersekolah. Masih bisa sama teman-teman saya. Masih bebas mau melakukan apa saja. Bahagia juga ketika selalu dimanjakan oleh orang
tua. Semuanya membuat saya bahagia.”
“Pengalaman yang membuat tante bahagia itu keluarga tante. Om, Q, W dan O, merekalah kebahagiaan tante. Bersama mereka tante selelu meresa bahagia.” Sedangkan untuk P2 juga menyatakan hal yang sama, bahwa keluarga merupakan
sumber kebahagiaan, hal ini terlihat dari ungkapan setiap partisipan:
“Kemudian kalau sesudah menikah ini, suami dan anak-anak adalah kebahagiaan saya, saya selalu merasa bahagia jika bersama-sama mereka.”
“Bahagia itu, ketika om melihat anak-anak om bahagia.”
Namun penilaian mengenai kebahagiaan tidak saja dilihat dari peran keluarga tapi
dari beberapa faktor-faktor lain seperti pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Jika berbicara
mengenai pendapatan dan pekerjaan, antara kedua partisipan memiliki perbedaan bgitupun
dengan tingkat pendapatan mereka. Partisipan 1 sebagai ayah memiliki pekerjaan yang
lebih baik dalam arti memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang cukup untuk dapat
menafkahi keluarganya. Dibandingkan dengan partisipan 2 memiliki pekerjaan seorang
nelayan yang harus bergantung pada cuaca dan keadaan laut yang tidak menentu sehingga
menghasilkan pendapatan yang tidak menentukan. Karena pekerjaan seorang PNS dan
nelayan adalah pekerjaan yang berbeda. Begitupun hal nya antara kedua partisipan bagi
remaja pria. Partisipan 1 masih melanjutkan sekolah, belum dapat menghasilkan uang
untuk keluarga kecilnya, sedangkan partisipan 2 telah berhenti kuliah dan memilih untuk
bekerja demi menghidupi anak dan istrinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kedua partisipan berusaha untuk dapat menjadi yang
ibu memiliki pekerjaan yang sama yaitu sebagai seorang ibu rumah tangga. Namun bagi
kedua partisipan remaja wanita memiliki keinginan tersendiri. Partisipan 1 memiliki
harapan untuk menyelesaikan sekolahnya dengan mengikuti paket C kemudian bisa
bekerja. Berbeda dengan partisipan 2, memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya tetapi
memilih untuk membuka usaha untuk pendapatan tambahan bagi keluarganya.
Meskipun pekerjaan dan pendapatan tidak selalu berelasi secara kuat dengan
kebahagiaan namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa status seseorang bekerja
atau tidak, akan mempengaruhi tingkat kebahagiaan. Individu yang bekerja akan cenderung
lebih bahagia dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja (Argyle, dalam Putri,
2009). Selain itu, pekerjaan dan pendapatan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
pribadi serta dinilai bisa „melindungi‟ individu dan keluarga dari situasi yang tidak
diharapkan seperti penyakit dan kecemasan (Compton, 2005).
Dari kedua partisipan diatas, bisa dilihat bahwa keadaan ekonomi menjadi satu hal
yang penting dalam menilai kebahagiaan. Hal ini bisa dilihat dari anak yang dilahirkan dari
pasangan remaja tersebut dapat mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga. Dimana biaya
pengeluaran semakin bertambah. Mulai dari persiapan sebelum melahirkan sampai
melahirkan . hal ini dirasakan oleh partisipan 1 karena dirinya yang masih bergantung pada
orang tua dan pasangannya juga yang masih berkuliah dengan biaya orang tua. Sehingga
dirinya harus dapat menahan setiap keinginan. Begitupun juga partisipan 2 yaitu remaja
pria memilih untuk berhenti kuliah dan bekerja agar dapat menghidupi istri dan anaknya,
21
Pandangan Mengenai Kepuasan Hidup
Konsep mengenai kepuasan hidup ini merupakan penilaian individu terhadap
hal-hal yang menurutnya penting sehingga sangat subjektif. Dari kedua partisipan terlihat
bahwa kedua partisipan memiliki kesamaan yaitu mengenai diri mereka yang tidak berguna
dan kurang menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekeliling mereka dan diri mereka
sendiri, sehingga mereka cenderung menilai hidup mereka tidak puas. Hal ini dapat dilihat
dari pengertian kepuasan hidup atau (life satisfaction) yang merupakan penilaian global
tentang kualitas hidup individu. Individu dapat menilai kondisi hidupnya,
mempertimbangkan pentingnya kondisi-kondisi ini, dan mengevaluasi kehidupan mereka
pada skala yang berkisar dari tidak puas sampai puas (Putri, 2009).
Penilaian kepuasan hidup berbeda dari satu kebudayaan dengan kebudayaan lain
bahkan pada tingkatan individual. Hal ini terjadi karena adanya kriteria-kriteria yang
berbeda-beda pada satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maupun dari satu individu
dengan individu lain. Ini merupakan sebuah keuntungan karena pada akhirnya tingkat
kepuasan hidup yang dirasakan individu benar-benar bersumber dari perspektif individu itu
sendiri (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003).
Pernyataan yang keluar dari setiap partisipan yang cenderung menilai hidup mereka
tidak puas yaitu bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri.
“Kalau saat ini saya memandang diri saya gagal menjadi anak kebanggaan kedua orang tua saya. Saya pun belum dapat menjadi suami yang baik dan orang tua yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anak saya.”
Sama halnya dengan partisipan 1, partisipan 2 pun merasa tidak puas dengan
dirinya, namun ada hal-hal, dimana dia merasa lebih baik. Hal inilah yang membedakan
keduanya. Dimana partisipan 1 cenderung menilai diri mereka tidak puas dalam banyak hal.
Namun bagi partisipan 2 ada hal-hal yang cukup membuat mereka menjadi puas.
“Ya cukup puas kak. Walaupun tidak bisa mencapai kesuksesan tapi bersyukur saja kak. Mungkin satu hal yang tidak membuat saya tidak puas yaitu menyia-nyiakan masa muda saya. Ketika teman-teman saya sedang menikmati masa muda mereka, saya harus menjaga anak dan melayani suami di rumah. Itu sih kak yang menjadi penyesalan saya.”
“Kalau tante memandang diri tante, mungkin kurang menjadi orang tua yang baik dalam mendidik anak-anak. Sehingga O harus seperti itu.”
Jadi, untuk setiap partisipan beranggapan bahwa menjadi yang terbaik bagi orang
tua atau orang tua terhadap anak serta keadaan ekonomi dan pekerjaan pun besar
pengaruhnya terhadap kepuasan hidup seseorang. Bahkan hal yang sedikit berpengaruh
untuk kepuasan hidup setiap partisipan adalah stigma masyarakat dan orang-orang terdekat
seperti teman-teman dan lingkungan tempat tinggal partisipan.
Pandangan Mengenai Kualitas Hidup
Penilaian terhadap kualitas hidup merupakan penilaian individu terhadap
keseluruhan aspek dalam hidupnya. Kedua partisipan dapat dilihat bahwa setiap mereka
memiliki kualitas hidup yang tidak maksimal atau berada dalam keadaan cukup baik. Hal
ini dapat dilihat dari hidup mereka yang dimana bagi mereka belum dapat menjadi yang
terbaik untuk keluarga. Selain itu masih bergantung pada orang tua. Juga keadaan ekonomi
yang berada dalam taraf kurang atau rata-rata. Kualitas hidup yang buruk ketika sesuatu
23
ketika anak-anaknya dapat bersekolah, bukan dalam keadan KTD. Sadar tak sadar sangat
mempengaruhi kualitas hidup setiap partisipan.
“Maksudnya dari hari ke hari saya merasa lebih baik kak. Karena tidak ada lagi tekanan yang saya rasakan. Serta dukungan keluarga yang luar biasa yang juga membuat saya menjadi lebih baik.”
Ditambah lagi dengan stigma masyarakat yang negative yang membuat setiap
partisipan menjadi malu. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup partisipan. Namun,
mereka merasakan hidup yang lebih bermakna ketika mereka dapat menyerahkan setiap
persoalan kepada Tuhan dan berusaha mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.
Penilaian kualitas hidup baik partisipan 1 dan 2, merupakan penilaian kualitas hidup
yang didasarkan oleh faktor internal sehingga lebih bersifat pribadi. Veenhoven (2000)
dalam penelitiannya mengenai konsep kualitas hidup mengemukakan bahwa kemampuan
individu dalam mengatasi masalah dalam hidupnya merupakan salah satu factor yang
menentukan dalam menilai kualitas hidup.
Perspektif ini kemudian menempatkan bahwa factor-faktor psikologis sangat
penting dalam membahas penilaian seseorang mengenai kualitas hidupnya. Penilaian ini
dapat menentukan kesejahteraan hidup (subjective well-being) (Malkoç, 2011). Dengan
demikian kesejahteraan hidup (subjective well-being) dapat dianggap sebagai suatu
kerangka untuk setiap penilaian yang dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan
KESIMPULAN
Setelah menganalisa aspek subjective well-being yang terdiri dari kabahagiaan,
kepuasaan hidup dan kualitas hidup pada remaja dan orang tua sebagai partisipan dalam
penelitian ini, maka bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan hasil penelitian mengenai
subjective well-being remaja yang mengalami KTD juga kedua orang tua remaja tersebut.
Bagian ini akan diakhiri dengan saran bagi remaja, orang tua danpenelitian selanjutnya.
Kesimpulan
1. Dari aspek kebahagiaan, kedua partisipan mengaku bahwa kebahagiaan dalam hidup
mereka adalah keluarga. Hubungan yang dibangun antar anggota keluarga seperti saling
mendukung, perhatian dan cinta kasih menimbulkan kebahagiaan yang besar bagi setiap
mereka. Bagi orang tua, anak-anak adalah kebahagiaan mereka. Untuk pasangan remaja,
keluarga kecil serta anak yang dilahirkan adalah sumber kebahagiaan bagi mereka.
Sehingga peran keluarga yang mereka nikmati saat ini menjadikan kebahagiaan yang
besar bagi hidup mereka. Selain faktor keluarga dalam aspek kebehagiaan ini, faktor lain
pun seperti ekonomi dan pernikahan pun turut mempengaruhi kebahagiaan partisipan.
Berbicara mengenai faktor ekonomi, partisipan 1 memiliki keadaan ekonomi yang lebih
baik di bandingkan dengan partisipan 2, sehingga mempengaruhi kebahagiaan mereka
dalam menafkai keluarga. Dan untuk pernikahan, kedua partisipan mengaku bahwa,
mereka merasa bahagia dengan pernikahan yang dijalankan. Dengan adanya pernikahan
25
2. Jika dilihat dari aspek kepuasaan hidup, kedua partisipan mengaku bahwa kepuasaan
hidup mereka masih rendah. Mereka menganggap bahwa diri mereka yang tidak
berguna. Hal ini tercermin dari pasangan remaja sebagai anak yang menganggap dirinya
tidak berarti, tidak dapat membahagiakan kedua orang tuanya dan menjadi yang terbaik
bagi mereka. Sedangkan untuk orang tua menganggap diri mereka sebagai orang tua
yang gagal dalam mendidik, menjaga dan membesarkan anak-anak mereka. Selain itu
faktor yang mempengaruhi kepuasaan hidup mereka adalah relasi sosial yang positif
dengan orang-orang disekitar mereka, seperti stigma-stigma masyarakat. Keduanya
mengaku bahwa mereka menjadi malu dengan stigma masyarakat.
3. Kualitas hidup yang dirasakan oleh setiap partisipan saat masalah KTD yang dialami,
mereka akui bahwa mereka memiliki kualitas hidup yang tidak maksimal. Namun
dengan adanya kejadian tersebut, membuat hubungan setiap anggota keluarga menjadi
lebih baik. Sikap saling mendung, perhatian dan saling mendoakan tercermin dari setiap
anggota keluarga, sehingga membuat kualitas hidup mereka meningkat menjadi lebih
baik. Skill, harapan dan tujuan hidup yang ingin dan sudah mereka capai, menjadikan
mereka lebih baik. Kehadiran seorang anak atau cucu yang merupakan anugerah Tuhan
menjadikan kualitas hidup mereka yang meningkat. Hal terpenting yang turut
mempengaruhi kualitas hidup setiap partisipan yaitu kualitas hubungan mereka dengan
Tuhan.
4. Dampak KTD bagi keluarga tercermin dari, rasa malu orang tua ketika anaknya
mengalami KTD, nama baik keluarga menjadi tersemar, kelahiran sang anak berdampak
pada kesibukan sehari-hari, selain itu keadaan ekonomi atau kebutuhan ekonomi akan
Saran
1. Bagi para remaja lebih dapat lagi memperhatikan kasus seperti KTD ini. Agar tidak
banyak terjadi dalam kehidupan jaman yang semakin modern ini. Karena secara tidak
langsung KTD ini dapat mempengaruhi subjective well-being seseorang. Khususnya
bagi para remaja yang sedang berada di bangku pendidikan dan belum mencukupi
umur, untuk membangun suatu rumah tangga.
2. Bagi orang tua, agar dapat memperhatikan anak-anaknya agar tidak mengalami KTD
27
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Keluarga beencana nasional (BKKBN). (1988). Pendewasaan usia perkawinan. Jakarta
Compton, W. C. (2005). An introduction to positive psychology. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Concecaio, P. & Bandura, R. (2000). Measuring subjective well-being: summary review of the literature. United Nation Development Programme (UNDP), New York office of development studies. Diakses pada tanggal 14 Januari 2014 dari http://web.undp.org/developmentstudies/researchpapers.html#2008
Diener, E. (2000). Subjective well-being: the science of happiness and a proposal for a national index. Journal American Psychologist, 55, 34-43.
Diener, E., Oishi, S, & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture and subjective well-being: emotional and cognitive evaluations of life. Annual Reviews Psychology, 54, 403-425.
Diener, E., Ryan, K. (2008). Subjective well-being : a general overview. South African Journal of Psychology, 39 (4), 391-406.
Diener, E. (2009). Assesing subjective well-being: progress and oppurtunity. Dalam Diener, E., Glatzer, W., Moum, T., Sprangers, M. A. G., Vogel, J., & Veenhoven, R. (Eds.), Assesing well-being (25-65). New York: Springer.
Geldard, K., & Geldard, D. (2010). Konseling remaja: pendekatan proaktif untuk anak muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Geldard, K., & Geldard, D. (2011). Konseling keluarga: membangun relasi untuk saling mendirikan antar anggota keluarga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika. Khisbiyah, Y., Murdijana, D., &Wijayanto. (1997). Kehamilan tak dikehendaki di kalangan
remaja. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Maxson, P., & Miranda, M. L.(2011).Pragnancy intention, demographic difference, and
Nugraheni, C. (2006). Penyesuaiam diri remaja putri yang menikah akibat hamil pranikah dan faktor yang melatar belakangi.Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. Edisi ke 10. Jakarta: Selemba Humanika.
Pattihahuan, R. M. (2012). School Connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor subjective well-being siswa SMA Negeri 1 Ambon.Thesis (tidak diterbitkan). Salatiga : PPs Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Primardi, A., Hadjam, M. N. R. (2010). Optimisme, harapan, dukungan social keluarga, dan kualitas hidup orang dengan epilepsy. Jurnal Psikologi. 3. 123-133.
Putri, A. M. (2009). Kebahagiaan dan kualitas hidup penduduk Jabodetabek (studi pada dewasa muda bekerja dan tidak bekerja). Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Remaja. ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2012). Life span development. Edisi terbaru. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sari, C. P. (2008). Harga diri pada remaja putri yang telah melakukan hubungan seks
pranikah. Laporan Penelitian. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Sarwono, S. W. (2007). Psikologi remaja. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Seligman, M. (2002). Authentic happiness: menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung : Mizan Pustaka.
Talo, V. Y. M. E. (2013). Subjective well-being pengungsi Timor-Timur. Skripsi(tidak diterbitkan) Salatiga :Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Tika, L. (2008). Jurnal kualitas hidup pada wanita yang sudah memasuki masa menopouse. Laporan Penelitian. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Trimingga, D. A. Y. (2008). Penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia remaja yang hamil sebelum menikah. Jurnal Psikologi, 5, 154-167.
29