• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009024 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009024 Full text"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

TERJADI DALAM KELUARGA

OLEH

HERBETHZ PATTIRUHU 802009024

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

TERJADI DALAM KELUARGA

Herbethz Pattiruhu Aloysius L. Soesilo Chr. Hari Soetjiningsih

Progam Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

i

ABSTRACT

Subjective well-being (SWB) is a broad concept that a person's life as a whole.

Everyone must want the SWB in his life, including a teenager who married because of an

unwanted pregnancy. This of course is not entirely an effect on the adolescent self, but also

for the parents as a family. Accordingly, the purpose of this study was to identify and

describe more about SWB teenage couples who were married as a result of unwanted

pregnancy and the impact it in the family. The research method used is qualitative, the

method of data collection were interviews and observation. This study consists of two

participants, in which each participant is composed of young men, young women, fathers

and mothers who live in the city of Ambon. The results showed that all participants feel

themselves happy when they are together with the family, was quite satisfied with their

current life, and have a quality of life that is not too good. The conclusion from this study is

that every participant has its own assessment on their SWB, all depends on what they

experienced and what they feel.

(9)

ii

ABSTRAK

Subjective well-being (SWB) merupakan konsep yang luas akan kehidupan seseorang

secara keseluruhan. Setiap orang pastilah menginginkan kesejahteraan subjektif dalam

hidupnya, termasuk remaja yang dinikahkan karena mengalami kehamilan tidak diinginkan

(KTD). Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya berpengaruh pada diri remaja tersebut, namun

juga bagi orang tua sebagai keluarga. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengidentifikasikan dan mendeskripsikan lebih jauh mengenai SWB

pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode pengambilan

data yaitu wawancara dan observasi. Penelitian ini terdiri dari dua partisipan, dimana setiap

partisipan terdiri dari remaja pria, renaja wanita, ayah dan ibu yang berdomisili di kota

Ambon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua partisipan merasa diri mereka bahagia

ketika mereka bersama dengan keluarga, merasa cukup puas dengan kehidupan mereka saat

ini, dan memiliki kualitas hidup yang tidak terlalu baik. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah setiap partisipan memiliki penilaian tersendiri terhadap kesejahteraan subjektif

mereka, semua bergantung pada apa yang mereka alami dan apa yang mereka rasakan.

(10)

1

PENDAHULUAN

Setiap yang hidup di dunia ini pasti mengalami yang namanya perkembangan,

manusia salah satunya. Perkembangan pada manusia melibatkan pertumbuhan, meskipun

juga melibatkan penuan. Perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai sejak

pembuahan, yang berlanjut sepanjang hidup (Santrock, 2007). Manusia sebagai salah satu

yang mengalami perkembangan maka tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang akan

melewati masa-masa dalam kehidupannya termasuk masa remaja. Masa remaja adalah

waktu untuk melakukan eksperimen dan mencoba perilaku baru dalam merespon berbagai

situasi baru sehingga masa remaja menghadirkan begitu banyak tantangan, karena

banyaknya perubahan yang harus dihadapi, mulai dari perubahan fisik, biologis, psikologis

dan juga sosial (Geldard & Geldard, 2010). Santrock (2007) mengemukakan bahwa usia

remaja adalah usia yang berkisar dari 10-13 sampai 18-22 tahun. Santrock juga

mengemukakan masa remaja akhir (late adolescence) sesuatu yang kurang lebih terjadi

pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan. Minat, karir, pacaran dan

eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir dibandingkan masa

remaja awal. Namun remaja juga merupakan suatu periode transisi dalam rentang

kehidupan manusia yang menjembatani antara masa anak-anak dan masa remaja dewasa

(Santrock, 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia

dari 12-21 tahun dimana sebuah masa yang menjembatani antara masa anak-anak dengan

masa dewasa serta mengalami perkembangan fisik dan kognitif bahkan sampai kepada

(11)

Satu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan remaja yaitu selama masa remaja

kehidupan remaja lebih dominan dihiasi dengan masalah seksualitas, maka masa remaja

adalah masa eksplorasii seksualitas ke dalam identitas seseorang (Santrock, 2007).

Meskipun masalah ini cukup merisaukan, kita perlu melihat kenyataan bahwa seksualitas

merupakan suatu bagian yang normal dari kehidupan remaja (dalam Santrock, Nichols &

Good 2004; Senanayake & Faulkner, 2003). Sehingga kita perlu menyadari bahwa

kehidupan seksual remaja ini akan mendorong banyak remaja melakukan hubungan seksual

pranikah. Sari (2008) mengatakan bahwa hubungan seks pranikah adalah hubungan seksual

yang dilakukan oleh sepasang insan yang belum terikat oleh tali pernikahan. Hal ini sangat

mungkin terjadi pada remaja, mengingat pada saat seseorang memasuki masa remaja mulai

timbul dorongan-dorongan seksual di dalam dirinya. Apalagi pada masa ini minat mereka

membina hubungannya terfokus pada lawan jenis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utomo (dalam Sarwono, 2007) remaja putri

mengatakan bahwa hubungan seksual ini dilakukan karena ingin menunjukkan rasa cinta,

takut ditinggalkan, dipaksa oleh pacar, tidak mau dianggap tidak laku karena masih

perawan, ingin mencoba-coba bahkan sampai pada pergaulan yang menyesatkan. Pendapat

ini didukung pula oleh Santrock, (dalam Sarwono 2007), alasan-alasan mengapa remaja

berhubungan seks antara lain dipaksa (Wanita 61 % dan Pria 23%), merasa sudah siap

(Wanita 51% dan Pria 59%), butuh dicintai (Wanita 45% dan Pria 23%) dan takut diejek

teman karena masih gadis atau perjaka (Wanita 38% dan pria 43%). Melihat situasi seperti

ini maka, dapat menimbulkan masalah pada remaja yaitu salah satunya adalah Kehamilan

(12)

3

perempuan yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan hamil

(BKKBN, 2007). Sedangkan menurut PKBI, KTD merupakan suatu kondisi dimana

pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran akibat dari kehamilan. KTD tidak

hanya beresiko secara fisik maupun psikologis, tetapi juga berdampak negatif secara sosial

(Nugraheni, 2006). Adapun faktor-faktor ketika pasangan remaja mengalami KTD yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal itu mencakup komitmen kedua

pasangan untuk menjalin hubungan jangka panjang dalam pernikahan, sikap dan persepsi

terhadap janin yang dikandung dan persepsi terhadap janin yang dikandung dan persepsi

subyektif tentang kesiapan psikologis dan ekonomi untuk memasuki kehidupan pernikahan.

Selanjutnya Soesilo (dalam Trimangga, 2008) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal

mencakup sikap dan penerimaan orang tua kedua belah pihak, nilai-nilai normatif dan etis

dari lembaga keagamaan, dan kemungkinan-kemungkinan perubahan hidup pada masa

depan yang mengikuti pelaksanaan dan keputusan yang akan diambil. Adapun faktor-faktor

yang mempengaruhi KTD pada remaja menurut Khisbiyah et al., (1997) : lemahnya

pengawasan sosial yang dikarenakan pola hubungan dalam masyarakat saat ini bersifat

transaksional dan individualistik, penundaan usia nikah yang bergandengan dengan

meningkatnya kecenderungan aktivitas seksual pranikah, kurangnya pengetahuan remaja

tentang proses reproduksi, permisivitas dan ketidakhati-hatian remaja dalam perilaku seks,

terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi untuk kalangan remaja. Papalia et al., (2009)

menambahkan bahwa adanya satu faktor penting yang mempengaruhi KTD yaitu

penggunaan alat kontrasepsi yang tidak efektif. Papalia et al., memberikan informasi

bahwa, penggunaan alat kontrasepsi pada remaja yang aktif dalam berhubungan seksual

(13)

Salah satu masalah dengan peringkat tinggi dari aktivitas seksual dan catatan buruk

dalam penggunaan alat kontrasepsi sewaktu remaja menunjukkan sesuatu yang

menakjubkan untuk dipelajari dimana banyak perempuan muda mengalami kehamilan

sebelum masa remajanya berakhir (Steinberg, 1993). Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)

merupakan salah satu masalah yang timbul akibat adanya perubahan sikap dan perilaku

seksual remaja. Oleh sebab itu Putri (2010) memaparkan KTD adalah sebagai salah satu

kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya kehamilan yang merupakan akibat

dari suatu hubungan seksual, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kamus besar

Indonesia mencatat istilah Keluarga Berencana (KB), KTD adalah kehamilan yang dialami

oleh seorang ibu yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan

untuk hamil lagi. Melihat kehamilan sebagai suatu hal yang tidak dikehendaki maka

terdapat konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan akibat KTD menurut Khisbiyak et al.,

(1997) yaitu : aborsi (keputusan untuk aborsi biasanya dikarenakan takut pendidikan akan

terputus, ketidaksiapan ekonomi, dan ketidaksiapan remaja menerima tanggung jawab

kehidupan keluarga), menjadi orang tua diusia belia, menjadi ibu lajang, remaja yang hamil

pranikah mengalami tekanan psikologis yang berasal dari ketidaksiapan psikologisnya

untuk mengemban peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, masalah sosial-ekonomi.

Selain Khisbiyah, et al., (1997), Santrock (2003) juga mengemukakan pendapatnya tentang

konsekuensi kehamilan pada remaja antara lain: meningkatnya resiko kesehatan bagi ibu

dan anaknya (bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan yang

lebih rendah, demikian pula halnya dengan masalah neurologis dan penyakit anak-anak),

pendidikan yang terputus, gagal memperoleh pekerjaan dan menjadi tergantung pada orang

(14)

5

Semua hal yang berkaitan dengan seksualitas remaja dan KTD dapat berdampak

buruk atau negatif pada remaja itu sendiri, secara tidak langsung dapat mempengaruhi

kesejahteraan dalam diri mereka sendiri. Keadaan inilah yang sering disebut dengan

subjective well-being. Subjective well-being (seterusnya disebut SWB) merupakan salah

satu ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat (Pattihahuan, 2012). Selain itu, SWB

juga berbicara mengenai bagaimana seseorang berpikir mengenai hidupnya sendiri

merupakan esensi untuk memahami well-being (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). SWB

merupakan penilaian atau evaluasi subjektif individu mengenai hidupnya sendiri, yang

meliputi komponen kognitif dan komponen emosional (Diener, 2008).

Komponen emosional SWb ini berpengaruh pada remaja yang mengalami KTD

karena remaja tersebut akan merasa bersalah, menyesal dan malu. Perasaan inilah yang

dapat membuat remaja untuk melakukan aborsi, namun adapun remaja yang dinikahkan

untuk mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Wanita dengan kehamilan yang

tidak diinginkan memiliki tingkat tertinggi depresi, paparan stress yang berlebihan dan

dukungan sosial yang rendah serta well-being yang rendah atau tingkat kesejahteraan yang

rendah (Maxson & Miranda, 2011). Selain itu, setiap pasangan remaja yang mengalami

KTD, tentu akan melakukan penilaian terhadap diri pasangan itu sendiri. Menurut Conger

(dalam Sari, 2008) menyatakan bahwa penilaian terhadap diri yang dimaksud berupa

perasaan-perasaan negatif, hilangnya keperawanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa berdosa,

kotor, takut, khawatir dan lain sebagainya akan timbul saat melakukan hubungan seks

(15)

Mengalami KTD pada masa remaja, bagaimanapun pasti menimbulkan konsekuensi

yang sulit tidak saja bagi remaja yang bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh anggota

keluarga yang lain. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan ketidaksejahteraan remaja

dalam hidupnya. Penuturan dari Papalia et al., (2009) bahwa bagi banyak remaja salah satu

argument persuasif terhadap pengambilan resiko seksual adalah bahaya kehamilan yang

akan menghancurkan hidup mereka.

Situasi inilah yang sekarang banyak terjadi di berbagai tempat khususnya di kota

Ambon. Menurut sebuah sumber media masa yang diterbitkan pada tanggal 08 Agustus

2012, memaparkan bahwa Ambon termasuk dalam peringkat lima besar kasus remaja yang

mengalami KTD, namun hal ini tidak kelihatan besar, karena banyak pula remaja yang

mengugurkan kehamilannya, sehingga Ambon pun termasuk dalam peringkat kelima

persentase aborsi. Bahkan sampai sekarang ini banyak kalangan remaja di Ambon yang

mengalami KTD sehingga harus berhenti sekolah, diasingkan dan bahkan dikeluarkan dari

keluarganya karena dianggap menghancurkan nama baik keluarga. Disisi lain, adapun

remaja-remaja yang dengan sepenuh hati menerima apa yang terjadi dalam hidupnya,

kesiapan untuk menjadi seorang ibu/ayah, berhenti sekolah dan bahkan membangun rumah

tangga dengan cara dinikahkan agar mendapat status dan dianggap tidak membuat malu

nama baik diri sendiri dan keluarga. Situasi seperti ini sebenarnya tidak hanya dirasakan

oleh pasangan remaja tersebut, namun juga dirasakan oleh orang tua dan keluarga dari

masing-masing remaja. Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana SWB remaja yang

mengalami KTD dan berdampak pada keluarga merupakan suatu hal yang penting untuk

(16)

7

remaja yang mengalami KTD dan dampak bagi keluarga. Hal ini menjadi penting ketika

peneliti mewawancara beberapa remaja yang telah mengalami KTD sebagai penguat

penelitian ini, mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasakan tiga factor penting SWB

yaitu yang pertama adalah kebahagiaan dengan kehidupan mereka saat ini, bahkan peran

keluarga pun tidak ada ketika meraka diasingkan oleh keluarga. Yang kedua, mereka tidak

memiliki kepuasaan hidup, mereka merasa malu bahkan sangat malu dengan keadaan

seperti ini, mereka juga gagal menjadi yang terbaik. Dan yang ketika mereka merasakan

bahwa kualitas hidup mereka sangat buruk ketika mengalami KTD.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai subjective

well-being pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam

keluarga.

KAJIAN TEORITIK

Secara umum pada dasarnya subjective well-being (SWB) sering diartikan sebagai

kesejahteraan hidup, namun konsep mengenai well-being itu sendiri merupakan suatu

pemahaman multidimensional. Andrew dan Withey (dalam Diener, 2009) mendefinisikan

subjective well-being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya,

sehingga bersifat subjektif. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai

kejadian yang dialami. Adapun pendapat dari Keyes dan Waterman (dalam Pattihahuan,

2012) mereview literatur dengan judul, “A brief history of the study of well-being in

children and adults” (Sejarah singkat study well-being pada anak dan orang dewasa) dan

(17)

merasa baik atau senang dengan dirinya dan apakah dirinya berfungsi dengan baik secara

pribadi dan secara sosial. Para ahli juga telah menganalisis bahwa evaluasi mengenai

kehidupan individu ini berlangsung dalam periode saat ini dan periode lampau (Diener,

Oishi, & Lucas, 2003).

Dalam penelitian ini akan digunakan aspek-aspek SWB yang diangkat dari

Seligman (2000), Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener 1999 (dalam Compton, 2005) dan

Veenhoven (2000) yang disimpulkan dalam Talo (2013) yaitu :

Kebahagiaan

Seligman (2000) kebahagiaan (happiness) merupakan salah satu variable utama

dalam subjective well being. Beberapa ahli yang lain menggunakan istilah subjective

well-being sebagai istilah ilmiah dari kebahagiaan. Dari definisi tersebut diketahui bahwa

kebahagiaan menekankan pada penilaian subjective individu bukan melalui penilaian para

ahli (Dianer, dalam Putri, 2009). Menurut Eastrlin (dalam Concecaio, 2008) meskipun

orang bahagia menurut ukuran subjektifnya sendiri, pada umumnya mereka menyebutkan

beberapa factor yang menjadi penentu kebahagiaan. Factor-faktor yang mempengaruhi

kebahagiaan tersebut adalah: keluarga, ekonomi, pernikahan dan kesehatan.

Kepuasaan Hidup

Kepuasaan hidup menurut Diener (2009) merupakan hasil dari perbandingan antara

segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan keinginan. Individu yang dapat

menyesuaikan diri dan memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik, cendrung untuk

(18)

9

menyatakan bahwa semakin banyak aktifitas positif yang dilakukan oleh seseorang, makin

besar pulalmh kepuasaan hidupnya.

Menurut Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener 1999 (dalam Compton, 2005) ada

enam variabel yang paling memprediksi kepuasaan hidup setidaknya dalam industry

budaya barat yaitu Harga diri yang positif (positive self esteem), Rasa memiliki kontrol

(sense of perceived control), sikap mengarahkan diri keluar (extroversion), optimisme

(optimism), relasi social yang positif (positive social relationship) dan pemahaman terhadap

arti dan tujuan hidup (a sense of meaning and purpose to life)

Kualitas Hidup (quality of life)

Terkadang kualitas hidup dan subjective well-being digunakan sebagai kosep paying

yang menggambarkan hal-hal yang baik (Veenhoven, 2000). Kualitas hidup adalah

tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari

kehidupan mereka. Keunggulan individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka.

Keunggulan individu tersebut biasanya dapat dinilai dari tujuan hidup, control pribadi,

hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, hubungan interpersonal, perkembangan

pribadi , intelektual dan kondisi materi (Larasati, 2008). Adapun pendapat dari Primardi

dan Hadjam (2010) yang menyatakan kualitas hidup yang baik ditentukan pada seseorang

yang dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan sehari-hari dengan baik,

sesuai tahap perkembangannya.

Sementara itu Veenhoven (2000) dalam penelitiannya mengenai kualitas hidup

(19)

hidup (life chances), hasil dari hidup itu sendiri (life result), kualitas eksternal dan kualitas

internal. Keempatnya saling berkaitan satu dengan lain seperti:

 Kesempatan Hidup (life chances) dan Kualitas Eksternal menciptakan kenyamanan

lingkungan seperti ekologi, sosial, ekonomi dan budaya.

 Kesempatan Hidup (life chances) dan Kualitas Internal menciptakan kemampuan hidup

seperti kesehatan fisik, kesehatan mental, pengetahuan, skill, seni dalam hidup.

 Hasil dari hidup (life results) dan Kualitas Eksternal menciptakan kegunaan hidup

secara objectif seperti keunggulan hidup dan perkembangan moral.

 Hasil dari hidup (life results) dan Kualitas Internal menciptakan penghargaan subjektif

terhadap hidup yaitu penghargaan terhadap aspek hidup, emosi secara umum dan

penilaian secara umum.

METODE Subjek Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yakni mengidentifikasi dan mendeskripsikan

mengenai subjective well-being pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta

dampak yang terjadi dalam keluarga di kota Ambon, maka dalam penelitian ini, penulis

membatasi subjek dengan cirri-ciri sebagai berikut:

1. Pasangan remaja (laki-laki & perempuan) yang dinikahkan/sudah menikah karena

mengalami KTD.

2. Rentang usia berkisar antara 16 tahun sampai 20 tahun.

(20)

11

4. Orang tua/keluarga yang anaknya mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).

Fokus Penelitian

Focus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai subjective well-being

pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga.

Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan

teknik analisa kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam

Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display data dan

kesimpulan.

HASIL PENELITIAN

Identitas Subjek

PARTISIPAN 1 PARTISIPAN 2

Nama : X1 Nama : Y1

REMAJA 1 R. Putra J. Kelamin : Pria R.

Putra J. Kelamin : Pria

Umur : 20 tahun Umur : 20 tahun

Nama : X2 Nama : X2

R. Putri

J. Kelamin :

Wanita R. Putri

J. Kelamin : Wanita

Umur : 16 tahun Umur : 17 tahun

Nama : X3 Nama : X3

ORANG TUA Ayah J. Kelamin : Pria Ayah J. Kelamin : Pria

Umur :50 tahun Umur :55 tahun

Nama : X4 Nama : X4

Ibu

J. Kelamin :

Wanita Ibu

J. Kelamin : Wanita

(21)

Dalam penelitian ini, peniliti mengangkat 2 partisipan, dimana setiap partisipan

terdiri dari remaja putra dan remaja putri (pasangan remaja yang mengalami KTD) beserta

orang tua yaitu ayah dan ibu di Kota Ambon. Alasan mengapa peniliti mengangkat orang

tua sebagai subjek penilitian ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa, remaja yang

mengalami KTD berada dalam usia anak sehingga masih bergantung pada orang tua

termasuk tinggal serumah dengan orang tua. Hal ini terlihat dari penelitian ini bahwa

dampak KTD tidak hanya dirasakan oleh pasangan remaja tersebut sebagai partisipan

utama dalam penelitian ini. Namun, secara langsung juga berdampak pada orang

tua/keluarga. Apalagi di kota Ambon sendiri memakai system marga, jika dalam

menghadapi satu masalah termasuk KTD bukan hanya orang tua yang merasakan

dampaknya tapi semua saudara yang memiliki marga yang sama pun akan merasakan malu

bahkan terpaan dari stigma masyarakat. Hal ini tentu sangat mempengaruhi SWB setiap

partisipan. Sehingga SWB tidak hanya dirasakan oleh remaja saja, namun juga orang tua

sebagai peran utama dalam mendidik dan membesarkan anak tersebut.

Kedua partisipan yang diwawancara dimana setiap partisipan memiliki perbedaan.

Perbedaan dari kedua partisipan ini yang pertama dari pasangan remaja, antara pasangan

remaja 1 dan pasangan remaja 2 yaitu partisipan 1 menikah dengan disaksikan oleh kedua

orang tua mereka. Partisipan 2 memilih untuk menikah secara diam-diam atau yang biasa

disebut dengan kawin lari. Hal ini terjadi karena kedua partisipan sama-sama telah

mengalami KTD. Akibat KTD ini, partisipan 1 memiliki niat yang besar untuk

mengugurkan kandungannya, sedangkan partisipan 2 memilih untuk tetap mempertahankan

(22)

13

terlihat dalam hal dukungan sosial. Partisipan 1 memiliki dukungan sosial yang lebih besar

dari keluarga yaitu kakak-kakaknya.

Selain perbedaan yang terlihat dari remaja putri kedua partisipan,

perbedaan-perbedaan yang lain juga dilihat dari kedua remaja pria. Partisipan 1 ketika mendengar

kehamilan pasangan hamil, dia awalnya tidak ingin bertanggung jawab, selalu menghindar

dan sempat membawa pasangannya ketempat pengaborsian untuk diaborsi. Partisipan 2

sama sekali tidak memaksa pasangannya untuk mengugurkan kandungannya. Selain itu,

dalam hal pengontrolan emosi, kedua partisipan memiliki perbedaan. Partisipan 1 memiliki

emosi yang sangat besar dalam hal membicarakan kehamilan pasangannya, hal ini

kemudian membuat partisipan 1 memukul pasangannya. Untuk partisipan 2 memiliki sikap

yang dewasa dalam membicarakan kehamilan dengan pasangannya secara baik-baik. Keuda

partisipan memiliki umur yang sama, umur dimana sedang dalam masa pendidikan

diperguruan tinggi. Dalam hal pendidikan ini, partisipan 1 tetap berkuliah sedangkan

partisipan 2 memilih untuk berhenti kuliah dan bekerja. Dari perbedaan ini, dapat dilihat

bahwa, partisipan 2 memiliki kesiapan yang lebih baik dibandingkan partisipan 1.

Selain pasangan, remaja, kedua pasangan orang tua pun memiliki perbedaan. Dalam

hal pengaturan emosi ketika mendengar anaknya mengalami KTD. Partisipan 1 lebih

menunjukkan emosinya kepada anaknya, partisipan 2 memilih untuk menyimpan emosinya

memilih untuk menyimpan emosinya dan tidak ingin mengeluarkannya untuk dilihat

anaknya karena dapat menghancurkan kebehagiaan anaknya. Emosi-emosi yang muncul

karena adanya berita tentang kehamilan bagi anak-anak kedua partisipan. Untuk partisipan

(23)

langsung dari anaknya. Dalam hal pengambilan keputusan yang diambil demi masa dapan

anak-anak kedua partisipan, partisipan 1 masih membuat pilihan kepada anaknya untuk

nantinya anaknya tentukan pilihan yang terbaik dan keputusan yang harus diambilnya.

Sedangkan untuk partisipan 2 menyerahkan seluruh keputusan kepada anaknya dengan

alasan kebahagiaan.

Tidak selamanya perbedaan yang muncul bagi kedua partisipan. Adapun kesamaan

yang dimiliki oleh kedua partisipan. Persamaan yang pertama, yaitu kedua remaja putri

masih berada pada bangku SMA, sedangkan kedua remaja pria berada pada bangku

perguruan tinggi. Karena masih duduk di bangku SMA, kedua remaja putri dengan alasan

hamil memilih untuk berhenti atau putus sekolah. Kehamilan yang terjadi pun karena

hubungan seksual yang dilakukan karena sama-sama dipaksa oleh pasangan mereka. Kedua

partisipan mengetahui akibat dari hubungan seksual ini, akan terjadi kehamilan, tapi tetap

melakukannya walaupun mereka sama-sama memiliki ketakutan akan terjadi kehamilan

bagi diri mereka. Untuk kedua remaja putri ini memiliki pengetahuan yang minim tentang

sistem reproduksi. Akibat KTD, kedua partisipan mengakui bahwa mereka tidak memiliki

kesiapan untuk memulai hidup baru. Karena ketidaksiapan ini, keduanya memilih untuk

melarikan diri dari rumah selama behari-hari.

Bukan hanya kedua remaja yang memiliki kesamaan, namun kesamaan pun dapat

dilihat dari kedua orang tua. Kedua partisipan pun mengaku bahwa apapun yang terbaik

untuk anak-anak mereka, mereka tetap memberikan dukungan. Selain itu, mereka pun

memiliki perasaan yang sama ketika mengetahui anak mereka mengalami KTD. Dengan

(24)

15

berdampak pada kesibukan mereka sehari-hari. Yang terakhir, kedua partisipan dalam

menghadapi stigma masyarakat adalah membiarkan saja, tidak peduli dengan pandangan

orang terhadap diri mereka dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan biar Tuhan yang

membalas semuanya.

Pandangan Mengenai Kebahagiaan

Kedua partisipan memberikan penilaian mereka atas kebahagiaan dan hal-hal apa

saja yang dapat membuat mereka bahagia. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi

terhadap kedua partisipan, diketahui bahwa penilaian kebahagiaan yang mereka miliki

terkait dengan pengalaman-pengalaman hidup yang mereka alami.

Penilaian mengenai kebahagiaan dimana hal-hal yang membuat partisipan 1 menilai

bahwa dirinya bahagia yaitu dukungan, kebersamaan, perhatian, kasih sayang dan semangat

untuk tetap bertahan hidup adalah keluarga. Walaupun ada diantara keluarga yang sudah

tiada atau mengecewakan anggota keluarga yang lainnya, tetapi kebahagiaan yang

dimilikinya tidak akan hilang. Hal ini karena keluarga merupakan sumber kebahagiaan

baginya, sehingga ketika bersama dengan keluarga dia dapat merasakan kebahagiaan yang

sesungguhnya. Sedangkan inti dari kebahagiaan yang partisipan 2 rasakan adalah ketika

dirinya berada bersama-sama dengan orang-orang yang dapat menjadikan dirinya memiliki

kebanggan tersendiri dalam hidupnya. Baik itu keluarga ataupun sahabat dan teman.

Dimana ketika bersama mereka, ada kebahagiaan yang mereka miliki. Satu hal yang harus

(25)

tua partisipan 2 (hal ini dapat dirasakan oleh partisipan 2 baik itu orang tua ataupun

pasangan remaja yang juga telah menjadi orang tua).

Pandangan Mengenai Kepuasaan Hidup

Setiap partisipan menilai diri mereka masing-masing seberapa besar mereka merasa

puan dengan kehidupan mereka yang mereka jalani saat ini. Kedua patisipan memiliki

tingkat kepuasan yang berbeda-beda terhadap hidup mereka. Partisipan 1 menekankan

bahwa dirinya merasa tidak puas dengan hidup yang dijalaninya saat ini, sedangkan

partisipan 2 merasa pada tingkat yang kurang puas.

Penilaian mengenai kepuasaan hidup dan hal-hal yang membuat partisipan menilai

mereka puas akan hidup dapat dilihat dari: partisipan 1 yang mengungkapkan dirinya

merasa tidak puas dengan hidup yang dialaminya saat ini. Ketika masalah dating dalam

hidupnya, dia merasa tidak puas dengan apa yang saat ini ia dapatkan. Dia mengaku gagal

menjadi yang terbaik untuk setiap anggota keluarganya. Dia pun juga gagal

membahagiakan orang- orang yang mencintainya. Bahkan ia pun kadang menyalahkan

dirinya kalau dirinya tidak berguna. Sedangkan partisipan hidup partisipan 2 adalah merasa

kurang puas dengan kehidupannya saat apa yang terjadi saat ini. Namun, di saat-saat

tertentu, dia merasa cukup puas dengan dirinya. Bahkan, bukan hanya mengenai penilaian

terhadap dirinya sendiri tetapi perekonomian dan pekerjaan pun turut mempengaruhi

(26)

17

Pandangan Mengenai Kualitas Hidup

Kualitas hidup partisipan 1 dapat dikatakan tidak maksimal atau tidak terlalu baik.

Hal ini dipengaruhi oleh masalah yang dihadapi. Namun, harapan dan skill yang dimili

ternyata dapat mengubah hidupnya menjadi baik. Walaupun banyak kekecewaan, tapi dia

tetap merasa bersyukur karena antar anggota keluarga memiliki sikap kepedulian yang

tinggi, yang secara langsung mempengaruhi semangat hidupnya. Selain hubungan dengan

keluarga, kualitas hidupnya pun dipengaruhi oleh kualitas hubungannya dengan Tuhan,

karena apapun yang terjadi dirinya tetap menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa. Sedangkan kualitas hidup yang dirasakan oleh partisipan 2, dirinya merasakan

memiliki kualitas hidup yang cukup baik karena dalam hal tersulit apapun, dia mampu

manafkai keluarga. Selain itu, dengan kehadiran seorang anak dalam hidupnya, membuat

dirinya memiliki kualitas hidup yang baik serta semangat untuk mencapai harapan hidup

yang dimiliki olehnya yaitu memperbaiki setiap kesalahan dan menjadi yang lebih baik

untuk keluarga tercinta.

PEMBAHASAN

Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana KTD mempengaruhi

subjective well-being yang dialami oleh partisipan. Proses wawancara untuk mendapatkan

data di dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu Ambon atau

bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Ambon yang kemudian diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk mendapat pemahaman yang luas mengenai subjective

(27)

kebahagiaan, pandangan mengenai kepuasan hidup, dan pandangan mengenai kualitas

hidup yang dialami oleh pasangan remaja yang mengalami KTD dan orang tua dari remaja

tersebut.

Pandangan Mengenai Kebahagiaan

Dari kedua partisipan di atas, dapat dilihat bahwa peran keluarga merupakan salah

satu faktor penting dalam kehidupan partisipan yang kemudian digunakan untuk menilai

kebanggaan dan kebahagiaan (happiness). Talo (2003) dalam penelitiannya

mengungkapkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan

dengan subjective well-being seseorang. Sedangkan Wallis (2005), mengungkapkan bahwa

individu akan bahagia apabila mereka berhubungan dengan keluarga dan sahabat mereka.

Melihat latar belakang kedua partisipan yang mengalami situasi tersulit ketika

keduanya harus menghadapi hal-hal yang tersulit dalam kehidupan mereka, keluarga

merupakan peran penting dalam kehidupan mereka, sehingga membuat mereka tidak

merasa berjalan sendiri dalam setiap masalah yang mereka rasakan. Hal ini dilihat dari

penghayatan mereka yang menjadikan keluarga sumber kebahagiaan ketika berkumpul

bersama dan keluarga selalu mendukung dalam hal apapun. Apapun yang menjadi

keputusan dan apapun yang menjadi kekurangan dan kelemahan setiap anggota keluarga

harus diterima bukan ditolak.

Hal ini terlihat dari percakapan partisipan yang menyatakan bahwa keluarga

(28)

19

“Bahagia ketika dulu masih bersekolah. Masih bisa sama teman-teman saya. Masih bebas mau melakukan apa saja. Bahagia juga ketika selalu dimanjakan oleh orang

tua. Semuanya membuat saya bahagia.”

“Pengalaman yang membuat tante bahagia itu keluarga tante. Om, Q, W dan O, merekalah kebahagiaan tante. Bersama mereka tante selelu meresa bahagia.” Sedangkan untuk P2 juga menyatakan hal yang sama, bahwa keluarga merupakan

sumber kebahagiaan, hal ini terlihat dari ungkapan setiap partisipan:

“Kemudian kalau sesudah menikah ini, suami dan anak-anak adalah kebahagiaan saya, saya selalu merasa bahagia jika bersama-sama mereka.”

“Bahagia itu, ketika om melihat anak-anak om bahagia.”

Namun penilaian mengenai kebahagiaan tidak saja dilihat dari peran keluarga tapi

dari beberapa faktor-faktor lain seperti pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Jika berbicara

mengenai pendapatan dan pekerjaan, antara kedua partisipan memiliki perbedaan bgitupun

dengan tingkat pendapatan mereka. Partisipan 1 sebagai ayah memiliki pekerjaan yang

lebih baik dalam arti memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang cukup untuk dapat

menafkahi keluarganya. Dibandingkan dengan partisipan 2 memiliki pekerjaan seorang

nelayan yang harus bergantung pada cuaca dan keadaan laut yang tidak menentu sehingga

menghasilkan pendapatan yang tidak menentukan. Karena pekerjaan seorang PNS dan

nelayan adalah pekerjaan yang berbeda. Begitupun hal nya antara kedua partisipan bagi

remaja pria. Partisipan 1 masih melanjutkan sekolah, belum dapat menghasilkan uang

untuk keluarga kecilnya, sedangkan partisipan 2 telah berhenti kuliah dan memilih untuk

bekerja demi menghidupi anak dan istrinya.

Dalam kehidupan sehari-hari kedua partisipan berusaha untuk dapat menjadi yang

(29)

ibu memiliki pekerjaan yang sama yaitu sebagai seorang ibu rumah tangga. Namun bagi

kedua partisipan remaja wanita memiliki keinginan tersendiri. Partisipan 1 memiliki

harapan untuk menyelesaikan sekolahnya dengan mengikuti paket C kemudian bisa

bekerja. Berbeda dengan partisipan 2, memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya tetapi

memilih untuk membuka usaha untuk pendapatan tambahan bagi keluarganya.

Meskipun pekerjaan dan pendapatan tidak selalu berelasi secara kuat dengan

kebahagiaan namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa status seseorang bekerja

atau tidak, akan mempengaruhi tingkat kebahagiaan. Individu yang bekerja akan cenderung

lebih bahagia dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja (Argyle, dalam Putri,

2009). Selain itu, pekerjaan dan pendapatan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan

pribadi serta dinilai bisa „melindungi‟ individu dan keluarga dari situasi yang tidak

diharapkan seperti penyakit dan kecemasan (Compton, 2005).

Dari kedua partisipan diatas, bisa dilihat bahwa keadaan ekonomi menjadi satu hal

yang penting dalam menilai kebahagiaan. Hal ini bisa dilihat dari anak yang dilahirkan dari

pasangan remaja tersebut dapat mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga. Dimana biaya

pengeluaran semakin bertambah. Mulai dari persiapan sebelum melahirkan sampai

melahirkan . hal ini dirasakan oleh partisipan 1 karena dirinya yang masih bergantung pada

orang tua dan pasangannya juga yang masih berkuliah dengan biaya orang tua. Sehingga

dirinya harus dapat menahan setiap keinginan. Begitupun juga partisipan 2 yaitu remaja

pria memilih untuk berhenti kuliah dan bekerja agar dapat menghidupi istri dan anaknya,

(30)

21

Pandangan Mengenai Kepuasan Hidup

Konsep mengenai kepuasan hidup ini merupakan penilaian individu terhadap

hal-hal yang menurutnya penting sehingga sangat subjektif. Dari kedua partisipan terlihat

bahwa kedua partisipan memiliki kesamaan yaitu mengenai diri mereka yang tidak berguna

dan kurang menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekeliling mereka dan diri mereka

sendiri, sehingga mereka cenderung menilai hidup mereka tidak puas. Hal ini dapat dilihat

dari pengertian kepuasan hidup atau (life satisfaction) yang merupakan penilaian global

tentang kualitas hidup individu. Individu dapat menilai kondisi hidupnya,

mempertimbangkan pentingnya kondisi-kondisi ini, dan mengevaluasi kehidupan mereka

pada skala yang berkisar dari tidak puas sampai puas (Putri, 2009).

Penilaian kepuasan hidup berbeda dari satu kebudayaan dengan kebudayaan lain

bahkan pada tingkatan individual. Hal ini terjadi karena adanya kriteria-kriteria yang

berbeda-beda pada satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maupun dari satu individu

dengan individu lain. Ini merupakan sebuah keuntungan karena pada akhirnya tingkat

kepuasan hidup yang dirasakan individu benar-benar bersumber dari perspektif individu itu

sendiri (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003).

Pernyataan yang keluar dari setiap partisipan yang cenderung menilai hidup mereka

tidak puas yaitu bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri.

“Kalau saat ini saya memandang diri saya gagal menjadi anak kebanggaan kedua orang tua saya. Saya pun belum dapat menjadi suami yang baik dan orang tua yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anak saya.”

(31)

Sama halnya dengan partisipan 1, partisipan 2 pun merasa tidak puas dengan

dirinya, namun ada hal-hal, dimana dia merasa lebih baik. Hal inilah yang membedakan

keduanya. Dimana partisipan 1 cenderung menilai diri mereka tidak puas dalam banyak hal.

Namun bagi partisipan 2 ada hal-hal yang cukup membuat mereka menjadi puas.

“Ya cukup puas kak. Walaupun tidak bisa mencapai kesuksesan tapi bersyukur saja kak. Mungkin satu hal yang tidak membuat saya tidak puas yaitu menyia-nyiakan masa muda saya. Ketika teman-teman saya sedang menikmati masa muda mereka, saya harus menjaga anak dan melayani suami di rumah. Itu sih kak yang menjadi penyesalan saya.”

“Kalau tante memandang diri tante, mungkin kurang menjadi orang tua yang baik dalam mendidik anak-anak. Sehingga O harus seperti itu.”

Jadi, untuk setiap partisipan beranggapan bahwa menjadi yang terbaik bagi orang

tua atau orang tua terhadap anak serta keadaan ekonomi dan pekerjaan pun besar

pengaruhnya terhadap kepuasan hidup seseorang. Bahkan hal yang sedikit berpengaruh

untuk kepuasan hidup setiap partisipan adalah stigma masyarakat dan orang-orang terdekat

seperti teman-teman dan lingkungan tempat tinggal partisipan.

Pandangan Mengenai Kualitas Hidup

Penilaian terhadap kualitas hidup merupakan penilaian individu terhadap

keseluruhan aspek dalam hidupnya. Kedua partisipan dapat dilihat bahwa setiap mereka

memiliki kualitas hidup yang tidak maksimal atau berada dalam keadaan cukup baik. Hal

ini dapat dilihat dari hidup mereka yang dimana bagi mereka belum dapat menjadi yang

terbaik untuk keluarga. Selain itu masih bergantung pada orang tua. Juga keadaan ekonomi

yang berada dalam taraf kurang atau rata-rata. Kualitas hidup yang buruk ketika sesuatu

(32)

23

ketika anak-anaknya dapat bersekolah, bukan dalam keadan KTD. Sadar tak sadar sangat

mempengaruhi kualitas hidup setiap partisipan.

“Maksudnya dari hari ke hari saya merasa lebih baik kak. Karena tidak ada lagi tekanan yang saya rasakan. Serta dukungan keluarga yang luar biasa yang juga membuat saya menjadi lebih baik.”

Ditambah lagi dengan stigma masyarakat yang negative yang membuat setiap

partisipan menjadi malu. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup partisipan. Namun,

mereka merasakan hidup yang lebih bermakna ketika mereka dapat menyerahkan setiap

persoalan kepada Tuhan dan berusaha mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.

Penilaian kualitas hidup baik partisipan 1 dan 2, merupakan penilaian kualitas hidup

yang didasarkan oleh faktor internal sehingga lebih bersifat pribadi. Veenhoven (2000)

dalam penelitiannya mengenai konsep kualitas hidup mengemukakan bahwa kemampuan

individu dalam mengatasi masalah dalam hidupnya merupakan salah satu factor yang

menentukan dalam menilai kualitas hidup.

Perspektif ini kemudian menempatkan bahwa factor-faktor psikologis sangat

penting dalam membahas penilaian seseorang mengenai kualitas hidupnya. Penilaian ini

dapat menentukan kesejahteraan hidup (subjective well-being) (Malkoç, 2011). Dengan

demikian kesejahteraan hidup (subjective well-being) dapat dianggap sebagai suatu

kerangka untuk setiap penilaian yang dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan

(33)

KESIMPULAN

Setelah menganalisa aspek subjective well-being yang terdiri dari kabahagiaan,

kepuasaan hidup dan kualitas hidup pada remaja dan orang tua sebagai partisipan dalam

penelitian ini, maka bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan hasil penelitian mengenai

subjective well-being remaja yang mengalami KTD juga kedua orang tua remaja tersebut.

Bagian ini akan diakhiri dengan saran bagi remaja, orang tua danpenelitian selanjutnya.

Kesimpulan

1. Dari aspek kebahagiaan, kedua partisipan mengaku bahwa kebahagiaan dalam hidup

mereka adalah keluarga. Hubungan yang dibangun antar anggota keluarga seperti saling

mendukung, perhatian dan cinta kasih menimbulkan kebahagiaan yang besar bagi setiap

mereka. Bagi orang tua, anak-anak adalah kebahagiaan mereka. Untuk pasangan remaja,

keluarga kecil serta anak yang dilahirkan adalah sumber kebahagiaan bagi mereka.

Sehingga peran keluarga yang mereka nikmati saat ini menjadikan kebahagiaan yang

besar bagi hidup mereka. Selain faktor keluarga dalam aspek kebehagiaan ini, faktor lain

pun seperti ekonomi dan pernikahan pun turut mempengaruhi kebahagiaan partisipan.

Berbicara mengenai faktor ekonomi, partisipan 1 memiliki keadaan ekonomi yang lebih

baik di bandingkan dengan partisipan 2, sehingga mempengaruhi kebahagiaan mereka

dalam menafkai keluarga. Dan untuk pernikahan, kedua partisipan mengaku bahwa,

mereka merasa bahagia dengan pernikahan yang dijalankan. Dengan adanya pernikahan

(34)

25

2. Jika dilihat dari aspek kepuasaan hidup, kedua partisipan mengaku bahwa kepuasaan

hidup mereka masih rendah. Mereka menganggap bahwa diri mereka yang tidak

berguna. Hal ini tercermin dari pasangan remaja sebagai anak yang menganggap dirinya

tidak berarti, tidak dapat membahagiakan kedua orang tuanya dan menjadi yang terbaik

bagi mereka. Sedangkan untuk orang tua menganggap diri mereka sebagai orang tua

yang gagal dalam mendidik, menjaga dan membesarkan anak-anak mereka. Selain itu

faktor yang mempengaruhi kepuasaan hidup mereka adalah relasi sosial yang positif

dengan orang-orang disekitar mereka, seperti stigma-stigma masyarakat. Keduanya

mengaku bahwa mereka menjadi malu dengan stigma masyarakat.

3. Kualitas hidup yang dirasakan oleh setiap partisipan saat masalah KTD yang dialami,

mereka akui bahwa mereka memiliki kualitas hidup yang tidak maksimal. Namun

dengan adanya kejadian tersebut, membuat hubungan setiap anggota keluarga menjadi

lebih baik. Sikap saling mendung, perhatian dan saling mendoakan tercermin dari setiap

anggota keluarga, sehingga membuat kualitas hidup mereka meningkat menjadi lebih

baik. Skill, harapan dan tujuan hidup yang ingin dan sudah mereka capai, menjadikan

mereka lebih baik. Kehadiran seorang anak atau cucu yang merupakan anugerah Tuhan

menjadikan kualitas hidup mereka yang meningkat. Hal terpenting yang turut

mempengaruhi kualitas hidup setiap partisipan yaitu kualitas hubungan mereka dengan

Tuhan.

4. Dampak KTD bagi keluarga tercermin dari, rasa malu orang tua ketika anaknya

mengalami KTD, nama baik keluarga menjadi tersemar, kelahiran sang anak berdampak

pada kesibukan sehari-hari, selain itu keadaan ekonomi atau kebutuhan ekonomi akan

(35)

Saran

1. Bagi para remaja lebih dapat lagi memperhatikan kasus seperti KTD ini. Agar tidak

banyak terjadi dalam kehidupan jaman yang semakin modern ini. Karena secara tidak

langsung KTD ini dapat mempengaruhi subjective well-being seseorang. Khususnya

bagi para remaja yang sedang berada di bangku pendidikan dan belum mencukupi

umur, untuk membangun suatu rumah tangga.

2. Bagi orang tua, agar dapat memperhatikan anak-anaknya agar tidak mengalami KTD

(36)

27

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Keluarga beencana nasional (BKKBN). (1988). Pendewasaan usia perkawinan. Jakarta

Compton, W. C. (2005). An introduction to positive psychology. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.

Concecaio, P. & Bandura, R. (2000). Measuring subjective well-being: summary review of the literature. United Nation Development Programme (UNDP), New York office of development studies. Diakses pada tanggal 14 Januari 2014 dari http://web.undp.org/developmentstudies/researchpapers.html#2008

Diener, E. (2000). Subjective well-being: the science of happiness and a proposal for a national index. Journal American Psychologist, 55, 34-43.

Diener, E., Oishi, S, & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture and subjective well-being: emotional and cognitive evaluations of life. Annual Reviews Psychology, 54, 403-425.

Diener, E., Ryan, K. (2008). Subjective well-being : a general overview. South African Journal of Psychology, 39 (4), 391-406.

Diener, E. (2009). Assesing subjective well-being: progress and oppurtunity. Dalam Diener, E., Glatzer, W., Moum, T., Sprangers, M. A. G., Vogel, J., & Veenhoven, R. (Eds.), Assesing well-being (25-65). New York: Springer.

Geldard, K., & Geldard, D. (2010). Konseling remaja: pendekatan proaktif untuk anak muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geldard, K., & Geldard, D. (2011). Konseling keluarga: membangun relasi untuk saling mendirikan antar anggota keluarga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika. Khisbiyah, Y., Murdijana, D., &Wijayanto. (1997). Kehamilan tak dikehendaki di kalangan

remaja. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Maxson, P., & Miranda, M. L.(2011).Pragnancy intention, demographic difference, and

(37)

Nugraheni, C. (2006). Penyesuaiam diri remaja putri yang menikah akibat hamil pranikah dan faktor yang melatar belakangi.Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. Edisi ke 10. Jakarta: Selemba Humanika.

Pattihahuan, R. M. (2012). School Connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor subjective well-being siswa SMA Negeri 1 Ambon.Thesis (tidak diterbitkan). Salatiga : PPs Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

Primardi, A., Hadjam, M. N. R. (2010). Optimisme, harapan, dukungan social keluarga, dan kualitas hidup orang dengan epilepsy. Jurnal Psikologi. 3. 123-133.

Putri, A. M. (2009). Kebahagiaan dan kualitas hidup penduduk Jabodetabek (studi pada dewasa muda bekerja dan tidak bekerja). Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). Remaja. ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2012). Life span development. Edisi terbaru. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sari, C. P. (2008). Harga diri pada remaja putri yang telah melakukan hubungan seks

pranikah. Laporan Penelitian. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Sarwono, S. W. (2007). Psikologi remaja. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Seligman, M. (2002). Authentic happiness: menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung : Mizan Pustaka.

Talo, V. Y. M. E. (2013). Subjective well-being pengungsi Timor-Timur. Skripsi(tidak diterbitkan) Salatiga :Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

Tika, L. (2008). Jurnal kualitas hidup pada wanita yang sudah memasuki masa menopouse. Laporan Penelitian. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Trimingga, D. A. Y. (2008). Penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia remaja yang hamil sebelum menikah. Jurnal Psikologi, 5, 154-167.

(38)

29

Referensi

Dokumen terkait

Gerakan tutup insang ke samping dan selaput tutup insang tetap menempel pada tubuh mengakibatkan rongga mulut bertambah besar, sebaliknya celah belakang insang tertutup.

Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Departemen Teknik Mesin di Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis dan memberikan bimbingan

Inflamasi jaringan lokal melibatkan hiperaktivasi makrofag (mikroglia di otak) yang memproduksi sitokin proinflamasi (TNF, IL-1β, IL-6) dan spesies oksigen

Keputusan Walikota Semarang Nomor 875.1/2 Tahun 2011 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatanganan Perijinan dan Non Perijinan kepada Kepala Badan Pelayanan.. Perijinan Terpadu

yaitu klien melihat gambaran yang tidak jelas atau samar tanpa adanya rangsangan yang nyata dari lingkungan dengan kata lain orang yang berada di sekitar klien tidak melihat

Menurut Emile Durkheimı pokok bahasa n sosiologi adalah fakta sosial yakni pola atau sistem yang memengaruhi cara manusia dalam bertindak, berpikir dan merasa.. Fakta sosial

Penulis menemukan kasus ibu hamil dengan Kehamilan Ektopik Terganggu disaat penulis melaksanakan praktek di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan serta ibu bersedia

[r]