Maxensius Tri Sambodo
B. Mengejar Kemakmuran Material
Data World Development Indicator Bank Dunia, memperlihatkan bahwa antara tahun 1969–2004 atau selama 35 tahun, Indonesia berada dalam status negara berpendapatan rendah (low income). Pada 1997, GNI Indonesia sudah mencapai 1.100 US$ atau berada di batas atas negara berpendapatan rendah yang dipatok 1.035 US$. Namun, krisis ekonomi yang terjadi pada 1997/98 membuat posisi
61 Keluar dari Middle ...
GNI Indonesia turun ke tingkat 660 US$ pada 1998. Dengan kata lain, krisis ekonomi 1997/98, membuat Indonesia gagal memperta-hankan statusnya sebagai negara berpendapatan menengah bawah. Selanjutnya, Indonesia berada di tingkatan negara berpendapatan menengah bawah selama 15 tahun (2004–2018). Resesi ekonomi yang terjadi akibat Covid-19 tentu saja akan kembali mengancam posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas, karena posisi Indonesia yang hanya sedikit di atas margin bawah. Dengan demikian, sejarah dapat kembali terulang jika Covid-19, mengganggu angka pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun ke depan.
Krisis ekonomi 1997/98 membuat Indonesia harus menunggu selama 6 tahun untuk kembali masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah. Jika diperhatikan, Covid-19 akan memberikan pengaruh pada capaian GNI per kapita pada 2020. Menimbang dampak Covid-19 di tingkat daerah, nasional, regional, dan global, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkoreksi cukup dalam. Apakah dampak Covid-19 akan kembali memaksa Indonesia masuk ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah? Apa pun yang terjadi, Indonesia harus bersiap menghadapi segala kemung-kinan. Kondisi ketidakpastian perlu menjadi cambuk bagi pengambil kebijakan untuk terus memperbaiki kebijakan di sisi penawaran
(sup-ply side) dan permintaan (demand side) agar lebih mampu mendorong
peningkatan kapasitas produktif nasional.
Beodiono (2019) mengatakan ada tiga faktor yang perlu menjadi perhatian besar dari sisi penawaran (supply side), yaitu penguatan sum-ber daya manusia, institusi, dan infrastruktur. Boediono menyebut ketiganya dengan istilah “trilogi”. Lebih jauh, Boediono juga mengata-kan elemen penting yang kurang mendapat perhatian dari pembuatan kebijakan, yaitu urutan (order), fokus (focus), koherensi (coherency), rasionalitas (rationality), dan keberlanjutan (continuity). Boediono juga mengatakan bahwa negara maju saat ini memberikan perhatian sangat besar pada masa awal pembangunannya pada “trilogi” tersebut. Ketiga hal tersebut dapat menjadi tuntunan bagi Indonesia untuk terus melakukan perbaikan kebijakan dari sisi penawaran (supply side).
Bagaimana halnya dengan sisi permintaan (demand side)? Dari sisi permintaan, posisi Indonesia relatif kuat. Merujuk pada Global
Competitiveness Index 2019, dalam hal ukuran pasar (market size),
Indonesia berada dalam ranking 7 dari 141 negara, sementara po-sisi teratas adalah Tiongkok (Schwab, 2019). Sisi permintaan yang cukup kuat posisinya juga tampak dari peranan konsumsi rumah dalam pertumbuhan ekonomi. Data Pertumbuhan Ekonomi Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada 2019, peranan konsumsi terhadap pembentukan produk domestik bruto mencapai 66,7%. Hal ini menandakan konsumsi akan menjadi “bantalan” di tengah gejolak ekonomi global akibat Covid-19. Jika konsumsi semakin menurun akibat krisis ekonomi, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Dengan demikian, pemerintah perlu terus memonitor dinamika konsumsi dan sentimen pasar, termasuk mengoptimalkan sisi belanja pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya untuk memperkuat sisi permintaan. Pemulihan permintaan domestik akan menjadi faktor penentu seberapa cepat Indonesia dapat keluar dari resesi ekonomi akibat Covid-19.
Cita-cita untuk menjadi negara maju perlu dibangun dengan dua pilar kekuatan, yaitu materi dan nonmateri. Dua istilah ini sebetulnya tampak dalam syair lagu Indonesia Raya, yakni “Bangunlah jiwanya... bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.
Kekuatan sisi materi salah satunya tergambar dalam kelompok
aspiring middle class, yakni kelompok kelas menengah, yang jumlahnya
115 juta penduduk atau 45% dari total penduduk Indonesia (Bank Dunia, 2019). Kelompok ini tidak masuk dalam kategori miskin ataupun rentan, tetapi secara ekonomi belumlah aman. Pengeluaran kelompok ini antara Rp523.000–Rp1,2 juta per bulan per orang (Bank Dunia, 2019). Menurut Bank Dunia, apabila kelompok ini diberikan keterampilan yang memadai, mereka akan bekerja lebih produktif dan menjadi kelompok yang sangat penting. Demikian juga penting untuk memberikan perlindungan sosial atas kelompok
63 Keluar dari Middle ...
ini, agar terjaga dari gejolak ekonomi yang bisa membawa mereka kembali pada kondisi miskin dan rentan.
Sementara itu, “roh” atau “beyond income” kemajuan ekonomi juga ditentukan oleh kualitas kelas pembaharu. Kelompok ini mencakup unsur reformis dalam kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM, dan lainnya (Boediono, 2008). Boediono juga mengatakan kelompok ini diikat oleh kesamaan platform untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, dan
rule of law. Sifat-sifat ini menjadi penting sebagai roh “negara maju,”
yakni negara dengan peradaban yang semakin tinggi.
Posisi Indonesia yang sudah naik kelas (dalam konteks income
status), akan mendorong pemerintah untuk memiliki standar tinggi
dalam memenuhi ekspektasi masyarakat global dan juga nasional atas standar kinerja non-income, misalnya dalam hal keterbukaan atau transparansi, akses data, perhatian terhadap lingkungan hidup, tata kelola pemerintahan, dan kualitas lembaga pendidikan (Wawancara bersama Prof. Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia bersama, 2020). Kemampuan Indonesia untuk meningkatkan faktor-faktor tersebut, tidak hanya akan menentukan seberapa mampu Indonesia dapat memulihkan ekonominya dari dampak Covid-19, tetapi yang lebih penting adalah kecepatan Indonesia untuk masuk dalam “club” negara maju di masa depan. Artinya, kemajuan dimensi materi dan non-materi perlu saling memperkuat antara satu dan lainnya.
Sumber daya yang dimiliki bangsa, perlu diarahkan untuk mem-perkuat kualitas sumber daya manusia, institusi, dan infrastruktur. Ketiga hal tersebut adalah “senjata” untuk dapat keluar dari jebakan
middle income trap. Namun, upaya meningkatkan kemakmuran juga
perlu dikawal dengan semangat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.