• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengembangkan Misi Festival Sendratari untuk Preservasi

Dalam dokumen dialektika seni pertunukan (Halaman 194-200)

[Laporan Hasil Festival Sendratari se DIY 1998]

Ide dan gagasan Sri Sultan Hamengku Buwana X dalam sambutan sekaligus membuka Festival Sendratari antar Dati II se Daerah Istimewa Yogyakarta, di Bangsal Kepatihan 23-24 Oktober 1998, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Festival tahunan di DIY ini perlu dikelilingkan ke Dati II, nampaknya akan memberi tantangan baru bagi lembaga penyelenggara maupun peserta Festival . Betapa tidak, karena selama 29 tahun pelaksanaannya Festival Sendratari selalu berlangsung di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.

Seiring dengan semangat reformasi, nampaknya ide dan gagasan Ngarsa Dalem itu perlu segera disosialisasikan. Ide tersebut sebenarnya pernah mencuat ke permukaan tahun 1995, namun karena keinginan utusan Dati II saat itu menyatakan keberatan, karena mereka beranggapan bahwa tampil di Bangsal Kepatihan adalah kebanggan putra daerah, sehingga usulan itupun tidak pernah terealisir. Nah, kini ketika usulan itu muncul kembali dari Ngarsa Dalem, dengan berbagai pertimbangan ke depan, nampaknya perlu pemikiran kembali.

catatan pertunjukan

Visi dan Misi Festival Sendratari:

Secara singkat visi dan misi Festival sendratari ini sebenarnya adalah berupaya untuk memelihara kehidupan seni pertunjukan yang seimbang, sesuai dengan sifat kesenian itu sendiri. Selain itu juga untuk peningkatan kesadaran dan penghargaan masyarakat akan pentingnya nilai seni dalam kehidupan serta pentingnya nilai kehidupan dalam seni melalui forum Festival sendratari sebagai bagian dari khasanah budaya tradisional Indonesia.

Visi dan misi tersebut sangat berkorelasi dengan statement Ngarsa Dalem, kalau kita akan berbicara prospek Festival Sendratari untuk kepentingan yang lebih luas. Artinya diadakannya Festival ini sebenarnya untuk memberikan apresiasi dan wawasan berkesenian bagi masyarakat luas, tidak hanya sebatas para keluarga dan kerabat, atau teman dekat penari pengrawit seperti sinyalemen yang diungkapkan Ngarsa Dalem.

Kesan eksklusif yang selama ini kita rasakan dalam Festival Sendratari nampaknya akan membuai kepuasan pada komunitas yang terbatas, tetapi kita lupa pada masyarakat yang lebih luas, yang sebenarnya juga ingin menikmati sajian ini sebagai tambahan apresiasi tentang apa itu Sendratari. Langkah positif jika Festival ini dikelilingkan adalah memperpendek jarak tingkat apresiasi masyarakat daerah (di Kabupaten) yang jauh dari pusat kebudayaan (Kraton) dengan masyarakat kota yang dekat dengan kraton. Berawal dengan tingkat apresiasi yang tinggi itulah dukungan masyarakat di Dati II terhadap seniman atau penata tari yang

diserahi tugas menggarap sebuah sendratari akan semakin dapat dirasakan hasilnya. Iklim kompetisipun tidak akan semakin jauh. Hal ini tentunya menjadi tantangan seniman di daerah, jika masyarakat pecinta seninya telah berfikir kritis. Seniman tidak lagi menganggap penonton tidak tahu. Untuk memiliki sikap kritis maka masyarakat perlu diberi apresiasi tentang apa yang akan dikritik, melalui berbagai event seperti festival atau kegiatan lain yang menampilkan berbagai jenis kesenian.

Kesan lain kegagalan dalam mencapai visi tertentu dalam Festival ini akan menimbulkan image Festival tahunan ini tidak lebih sebagai “pesanan” yang artinya “Proyek” bagi oknum ter tentu yang merasa diuntungkan pada penyelenggaraan Festival tahunan ini. Sejalan dengan era reformasi saat ini, nampaknya pola pikir tersebut harus kita kikis untuk kemudian memasuki babakan baru yang lebih dinamis. Langkah awal menyelenggarakan Festival ini secara bergantian di Dati II di masa mendatang adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk memberi kontrol sosial terhadap penyelenggaraan Festival. Karena bagaimana pun juga masyarakat adalah bagian dari sistem sosial yang dapat memberikan penilaian terhadap gejala atau penyimpangan yang terjadi dalam sistem budaya tertentu. Untuk itulah mempertajam visi, serta mengembangkan misi yang lebih jauh ke depan terhadap pelaksanaan Festival ini menjadi sangat penting artinya bagi masa depan lembaga Festival secara menyeluruh.

Festival tahunan ini bagaimanapun juga memiliki muatan fungsional dalam penyelenggaraannya. Kata

catatan pertunjukan

fungsional di sini mengandung maksud bahwa sesuatu itu akan berfungsi apabila terjadi komunikasi dua arah yang positif dan saling menguntungkan (Laurenson, 1985). Namun kalau komunikasi yang tersampaikan hanya satu arah, maka sebenarnya apa yang kita ungkapkan dalam berbagai event itu belumlah sesuai dengan sasaran yang akan dicapai.

Kaitannya dengan Festival ini, faktor non teknis dalam penyelenggaraan memang sangat berpengaruh pada seluruh faktor teknis, sehingga faktor non teknis inipun harus mendapat perhatian untuk mendukung suksesnya faktor teknis. Kesan jenuh, monoton yang tersampaikan penonton, atau sebagian pendukung, dengan format dan setting yang begitu formal (di Kepatihan) merupakan embrio munculnya ketidakpedulian masyarakat pada Festival yang sebenarnya dapat diapresiasikan ke masyarakat yang lebih heterogen. Untuk itulah mempertajam visi dan pengembangan misi penyelenggaraan Festival Sendratari ini menjadi sangat urgen dan mendesak untuk dilakukan.

Misi Preservasi Festival Sendratari

Kembalinya acuan garap di era 80-an sebenarnya tidak terlalu masalah. Pas atau tidaknya sebuah sajian, sebenarnya hanya dari sudut pandang apa kita melihat sajian itu. Kalau kita bicara menggunakan kacamata kontemporer jelas format festival sendratari ini berjalan mundur! Kalau menggunakan frame tari kreasi baru (garapan baru) dengan gaya bebas, mungkin masih ketinggalan ! Nah, kini kacamata apa yang sesuai untuk melihat perkembangan sendratari itu sendiri ?

Jawabnya kacamata preservasi! Kalau kita bicara pada format preservasi, maka format inilah nampaknya yang paling sesuai dengan tempatnya (pendopo). Lepas dari sajian itu baik atau tidak, sesuai atau tidak dengan zamannya, tetapi format untuk misi preservasi itu sudah tercapai. Kilas balik tentunya kita harus merujuk pada sejarah awal terbentuknya forum Festival antar Dati II se DIY ini. Hal ini beralasan karena tujuan dan sasaran utama diadakannya Festival ini adalah untuk memberikan dukungan terhadap upaya pelestarian seni tari klasik gaya Yogyakarta yang hanya berkembang di lingkungan istana (kraton), sehingga tantangan itu dicoba dan dimunculkan melalui format Festival Sendratari pada tahun 1970.

Lepas dari berbagai masalah, sebenarnya format Festival ini tidak perlu dipermasalahkan. Pasalnya arah tujuan diadakannya Festival Sendratari ini sudah sangat amat jelas. Yang paling penting adalah bagaimana mengoptimalkan kualitas garap sesuai acuan yang ditetapkan dan menjadi konvensi lembaga Festival tahunan ini. Kedua, kalaupun ada berbagai pihak yang menginginkan adanya bentuk lain yang lebih inovatif, maka panitia penyelenggara, dalam hal ini Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, saya kira dapat mengakomodasi lewat kegiatan lain dengan tempat yang lain pula, sehingga kegelisahan seniman yang tidak sejalan dengan ide atau format sajian konvensional di Bangsal Kepatihan dapat tertampung.

Wadah tersebut harus mampu mengakumulasikan beberapa keinginan yang sifatnya inovatif dan kreatif dan tidak terikat pada satu aturan tertentu yang sifatnya teknis.

catatan pertunjukan

Dengan kata lain kebebasan bahasa ungkap dalam format alter natif ini lebih ditonjolkan. Adapun mekanisme pelaksanaannya, mungkin digilir dua tahun sekali. Kalau tahun ini arahnya lebih ke format preservasi, maka untuk tahun berikut arahnya pada inovasi dan kreasi total.

Hal ini perlu dilakukan dengan pertimbangan untuk mengusir kejenuhan, kedua memberi kesempatan seniman lain untuk menyumbangkan sajian alter natif dalam mendukung pelestarian tari klasik gaya Yogyakarta. Semoga permasalahan ini dapat dicarikan solusi yang paling tepat sehingga mampu mengakomodasi semua kepentingan untuk satu tujuan, preservasi seni tradisi.

Terpilih sebagai penyaji terbaik I-V dalam Festival tersebut adalah : Kontingen Kotamadya Yogyakarta (Judul: Tumuruning Pasopati), II Dati II Sleman (Ayustha Brastha), III Dati II Bantul (Satria Pinilih), IV Dati II Kulon Progo (Prawira Tunggal Bangsa), dan V Dati II Gunung Kidul (Labuh Tresna). Selain ranking sajian, terpilih juga sutradara terbaik: Icuk Ismunandar, SSn. (Sleman), Penata Tari Terbaik Wiyantari, S.Sn. (Kotamadya Yogyakarta) Peran Putra Terbaik, Icuk Ismunandar, Ssn. (Sleman-sebagai Prabu Newatakaca), Peran Wanita Terbaik, Agnes Widyasmoro (Sleman-sebagai Dewi Supraba), Penata Iringan terbaik, Surasa (Bantul), Penata Rias Busana , MM. Ngatini (Kodya Yogyakarta), Pembinaan Terbaik (Kab. Kulon Progo).

Tim pengamat dalam Festival tahun 1998 ini terdiri dari: RM Dinusatomo, BA, Fred Wibowo, R.Riya Soenartomo Tjondroradono, Th.Suharti, SST,SU., dan Drs Sumaryono, M.A.

Dalam dokumen dialektika seni pertunukan (Halaman 194-200)