• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengemis: Sebagai Fenomena Psikokultural

Spiritualitas meliputi segala perasaan, pikiran dan penga- penga-laman yang muncul dari proses mengidentifikasi mengartikulasi

B. Kemiskinan: Dari Entitas Menuju Identitas

3. Mengemis: Sebagai Fenomena Psikokultural

Mengemis karena fakir yang sebenarnya menjadikan perbuatan meminta-minta kecuali dalam keadaan sang sangat terpaksa. Dalam kondisi yang seperti ini wajib dibantu oleh orang yang mampu sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’a>n.242Sebaliknya mengemis yang tidak disyari’atkan jika melakukannya dengan cara menipu dan untuk sumber kehidupan, maka hal ini sangat dilarang oleh Islam.243

jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta.

kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.

243 Hadits Pertama: Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َو ْيفِ َسْيَل يةَماَييقْلا َمْوَ ي َ يتِْأَي َّتََّح ،َساَّنلا ُلَأْسَي ُلُجَّرلا َلاَز اَم مَْلَ ُةَعْزُم يهيهْج

.

Pengemis berasal dari kata emis dan mengemis (meminta-minta sedekah, me(meminta-minta dengan merendah dan dengan penuh hara-pan. Emis pengemis (orang yang minta-minta).244 Berarti dengan kriteria mengemis yaitu mempertunjukkan seadaanya tanpa dengan niat yang penting asal-asalan dan mendapatkan uang dari pende-ngarnya dan tidak memiliki nilai seni. Bisnis mengemis semarak sejalan dengan meningkatnya kemiskinan, walaupun tidak dapat diabaikan bahwa ada pula anak-anak yang menggeluti pekerjaan tersebut karena gaya hidup konsumeritas.245

Perilaku miskin yang ada dalam diri seseorang pada awalnya tidak secara sadar dirasakan, selanjutnya mempertahankannya demi

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”. Lihat. Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).

Hadits Kedua: Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َرْمَْلْا ُلُكْأَي اََّنََّأَكَف رْقَ ف يْيَْغ ْنيم َلَأَس ْنَم .

“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api”. Lihat: Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281.

Hadits Ketiga: Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َّدُب َلَّ رْمَأ ْيفِ ْوَأ اًناَطْلُس ُلُجَّرلا َلَأْسَي ْنَأ َّلَّيإ ،ُهَهْجَو ُلُجَّرلا اَيبِ ُّدُكَي ٌّدَك ُةَلَأْسَم ْلاََ

هْنيم ُ .

“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada pengu asa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu”. Lihat: Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i (V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (no.

2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).

244 Google. Awan Sudiawan. Pengamen bukan pengemis. (21 Maret 2016).

245 Fenco’s weblog. Perlindungan Anak Indonesia. (21 Maret 2016)

kelangsungan hidup dan harga diri.246Dalam tinjauan ini, faktor yang mempengaruhi perilaku miskin dalam keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh From (family system perspective) adalah adanya kesalahan kecil yang dibiarkan berlarut-larut dalam keluarga, biasanya seringkali terjadi kesalahan pada hal interaksi antar keluarga, dan pengaruh budaya yang ada.247Indah permatasari dan Iriani Ismail mengungkapkan bahwa dimensi kemiskinan di kalangan pengemis mulai yang bersifat material sampai segi rohaniah/spiri-tual.248

Selain kesalahan tersebut, juga karena gaya kehidupan eforia yang selalu mengedepankan nilai sebagai representasi kehidupan yang nyata.249Inilah slogan dari kepribadian Adler. Ia merupakan tema yang selalu diulang-ulang dalam suasana tulisan Ader yang kemudian (misalnya, 1929, 1931) dan merupakan ciri sangat khas dari psikologinya. Gaya hidup merupakan prinsip sistem yang mana kepribadian individual berfungsi; keseluruhanlah yang memerintah bagian-bagiannya.

Gaya hidup merupakan prinsip-prinsip idiografik Adler yang utama; itulah prinsip yang menjelaskan keunikan seseorang.250 Sementara Guadalupe, Jose L; Freeman, Miriam L., mengatakan bahwa penyebab seseorang menjadi korban gaya hidup disebabkan

246 Pedersen, W., Samuelsen, S. O., & Wichstrom, L.,“’Intercourse debut age: Poor resources, problem behavior, or romantic appeal? A population-based longitudinal study”. The Journal of Sex Research, 40 (4), (2003) 333-345. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/215 278930?accountid=25704

247 Michael Nichols Family Therapy: Concepts and Methods (New York: Gardner Press, I 984); W. Robert Beavers Successful Marriage: A Family Systems Approach to Couple Therapy (New York: W.W. Norton, 1985).

248 Indah permatasari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Kemiskinan Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kabupaten Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1 No. 1.

249W. B. Mahan, “’Psychology and Hedonism Mahan Source’:

International Journal of Ethics, Vol. 39, No. 4 (Jul., 1929), pp. 408-423 Published by: The University of Chicago PressStable URL:

http://www.jstor.org/stable/2377727 .Accessed: 14/10/2014 06:19

250Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis) (Yogyakarta; Kanisius, 1993), h. 249.

karena tidak memiliki pandangan sensivitas terhadap budaya.251 Talcott Parson mengatakan bahwa perilaku dan mental seseorang dapat terpengaruh oleh culture, social, personality dan behavior organism.252Hal lain yang menyebabkan seseorang terjerumus pada kebiasaan menggantungkan nasibnya keoada orang lain adalah pera-saan takut pada diri seseorang akan mengalami kebangkrutan jika menjauh dari kebiasan tersebut. 253Dalam catatan Paul Ehrlich dan Marcus Feldman mengatakan bahwa faktor dominan dari perilaku seseorang dipengaruhi oleh budaya lingukungan yang di mana seseorang itu tinggal,254 justru dalam catatan Neil Thompson, problem perilaku dan mental seseorang dapat menjerumuskan ke dalam kerusakan mental.255Kerusakan mental seseorang disebabkan karena ketidaksehatannya sehingga akan mengganggu ketenteraman hatinya.256

Faktor yang mempengaruhi perilaku miskin ini selain gaya hidup adalah faktor stimulus lingkungan, sebagaimana pada teori

251Guadalupe, Jose L; Freeman, Miriam L. “’Common Human Needs in the Context of Diversity: integrating schools of thought.” Journal of Cultural Diversity; Fall (1999) 6, 3, page 85.; ProQuest

252 Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, Ilmu Akhlak(Bandung:

Pustaka Setia, 2010), h. 147.

253Wright, C. E., Schnur, J. B., Montgomery, G. H., & Bovbjerg, D.

H. “’Psychological factors associated with poor sleep prior to b reast surgery:

An exploratory study”. Behavioral Medicine, 36(3), (2010), 85-91.

Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/750362536?accountid=25704

254 Curent Anthropology, vol. 44, no. 1 February (Universitas Of Chicago Press, 2003), pp. 88-89, 92-95

255 Marry Ellen Coyte, Petter Gilbert and Vicky Nicholl, Spirituality, values, and mental health: jewels for the journey / edited by Mary Ellen Coyte, Peter Gilbert, andVicky Nicholls ; foreword by John Swinton.p. ; cm.Includes bibliographical references and index.

ISBN-13: 978-1-84310-456-8 (alk. paper) 1. Mental health services. 2.

Spirituality--Health aspects. 3.Values--Health aspects. 4. Spiritual care (Medical care)[DNLM: 1. Mental Health Services. 2. Spirituality. 3.

Caregivers. 4. Social Values. WM61 S7599 2008] I.Coyte, Mary Ellen, 1958- II. Gilbert, Peter, 1950- III. Nicholls, Vicky.RA790.S73 2008362.2--dc22.

256Ida Firdaus, “’Upaya Pembinaan Mental dan Ruhani”. al-Adyan/Vol. IX, No. 1/Januari-Juni/2014.

behaviorisme, bahwa kondisi lingkungan sangat menentukan sebagai upaya rekayasa perilaku.257 Teori Maslow dalam bukunya “Moti-vation and Personality” menjabarkan tingkat kebutuhan manusia dalam delapan tahapan dari tingkat dasar sampai tingkat puncak kebutuhan yang dikenal dengan piramida kebutuhan manusia, meliputi: 1) kebutuhan fisiologis (Physiological needs), 2) Kebutuhan rasa aman (safety needs), 3) kebutuhan kepemilikan dan cinta (belongingness and love needs), 4) kebutuhan harga diri(esteem needs), 5) kebeutuhan pengetahuan (cognitive needs), 6) kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), dan kebutuhan transenden (needs for transcendence), kebutuhan tentang keberartian dan eksistensi diri.258 Ini juga sebagaima diungkapkan oleh Elena Matei, Liliana Dumitrache, Gabriela Manea, Octavian Cococ, Carmen Mihalache259 membuktikan hasil penelitiannya bahwa faktor pemben-tukan mental mengemis adalah intensitas komunikasi dan segala aktivitas dikalangan komunitasnya yang selalu menjadi bagian dari doktrin mengemis.

Manusia ketika menghadapi persoalan-persoalan yang dihada-pi, selain karena faktor kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia seringkali hanya mengedepankan penafsiran rasionalitas, logika dan objektivitasnya tanpa berpikir campur tangan Tuhan sebagai referensi yang seharusnya dijadikan sebagai bahan pertimbangan.260Selain itu, manusia menganggap uang adalah segalanya untuk mencapai

“kesejahteraan” sebagaimana diceritakan dalam Novel Michael Ende, Momo, ketika masnusia mencari uang sebanyak-banyaknya memper-lihatkan masyarakat yang dingin, mati dan kaku. Uang memang konkret, tapi kebahagiaan adalah abstrak. Oleh karena itu tidak

257Subandi, “’Reposisi Psikologi Islami: Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Nasional I Psikologi Islam”. di Yogya karta, 24 September 2005.

258Titik Triwulan Tutik, Trianto, Dimensi Transendental dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Lintas Pustaka, 2008), hal. 91.

259 Elena Matei, Liliana Dumitrache, Gabriela Manea, Octavian Cococ, Carmen Mihalache, “’Begging Phenomenon in Bucharest City:

Dimensions and Patterns of Expression”. Revista de cercetare (2013), vol.

43, pp. 61-79.

260Stephen, Hawking.The Grand Design: Rancang Agung. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Zia Anshor (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).

mungkin jika keduanya direlasikan secara langsung. Demikianlah, manusia menjadi akrab dengan materi, tetapi asing dengan dirinya. Ia hanya condong pada hal-hal diluar dirinya, berfokus pada apa-apa dihadapannya, lalu meninggalkan batinnya dalam kekosongan. 261

Hasil penelitian yang diakukan oleh Khayatus Syaida dan Sugeng Harianto, menunjukkan bahwa para orang tua yang bekerja sebagai Tukang Bawak (penggali dan perawat kuburan di makam Islam Rangkah Surabaya) menyuruh anak-anaknya untuk meminta-minta kepada para peziarah dalam rangka membantu perekonomian keluarga.262Pada dasarnya manusia bersedia mengganti pola tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan kenyataan dan lingkungan, hanya saja kadang-kadang sulit bagi manusia untuk bisa berubah.

Salah satu penyebabnya adalah adanya perasaan yang merasa ber-pengalaman, merasa tidak perlu belajar lagi, dan beranggapan merasa telah mampu dan memiliki wawasan yang cukup untuk menghadapi persoalan-persoalan kehidupan yang dialaminya. Sehingga sungkan dan tidak mau belajar dari orang lain.263

Pengemis menurut Erving Goffman's Dramatugis dikatakan sebagai orang yang hidupnya tidak terikat dengan norma dan sopan-santun serta tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang pasti dan hidupnya selalu mengembara/berpindah-pindah.264Bisa juga dikatan seseorang yang mendapatkan penghasilan dari hasil menge-mis dengan berbagai macam cara dan alasan yang digunakan dalam rangka mengharap belas kasihan dan kemurahan hati dari orang lain.265Mukharjee mengatakan bahwa pengemis merupakan individu

261Yasmin Kartika Sari, “’Alam, Manusia dan Spiritualitas”. Jurnal Sosiotekhnologi (2011), edisi 4.

262Khayatus Syaida, Sugeng Harianto, “’Transformasi Kebudayaan Kemiskinan: Studi Etnografi Tentang Pola Sosialisasi Anak-Anak Tukang Bawak Di Makam Islam Rangkah Surabaya”. Jurnal Paradigma.Volume 03 Nomor 01 Tahun 2015.

263Johana E. Prawitasari, “’Aspek Sosio-Psikologis Usia Lanjut di Indonesia”. Penelitian Kesehatan(1993) Univesitas Gadjah Mada, 21 (4).

264 Tina, Kartika, “’ Vagrants and Beggars Phenomena Some Cities Indonesia In Science Communication Studies,”Developing Country Studies ISSN 2224-607X (Paper) ISSN 2225-0565 (Online) Vol.4, No.12(2014).

265article 1 Number 2 Peraturan Pemerintah 31/1980. Dalam Tina, Kartika, “’ Vagrants and Beggars Phenomena Some Cities Indonesia In

atau sekumpulan orang yang memanfaatkan kekurangan keadaan sosialnya dengan mengaharap belas kasihan dari orang lain.266Alasan yang sangat mendasar berkaitan dengan maraknya pengemis di India adalah ketidak mampuan mereka beradaptasi dengan perkembangan zaman yang disebabkan karena kemiskinan, rendahnya pendidikan, bahkan kurang patuh terhadap ajaran agamanya.

Di bawah ini beberapa gambaran perilaku mengemis dengan maraknya pengemis dan pengamen di Indonesia berdasarkan teori-teori psikologi:

a. Cultural and ethnic factors:267

Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.

b. Conditioning268

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pavlov, Thorndike dan Skinner, kebiasaan seseorang akan dapat membentuk perilaku.

c. Insight269

Sebagaimana dikemukakan oleh Kohler, pembentukan perilaku dengan menggunakan model dapat ditiru oleh individu.

d. Intention (Niat)270

Science Communication Studies,”Developing Country Studies ISSN 2224-607X (Paper) ISSN 2225-0565 (Online) Vol.4, No.12(2014).

266Mukharjee R. Causes of beggary. In J. M. Kumarappa (ed) Our Beggar Problem: How To Tackle It (1945), pp. 19-26. Bombay: Padma Publications Ltd.

267Nasikun.Diktat Mata Kuliah: Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001).

268 Umi Kulsum dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Sosial (Jakarta: Pretasi Pustaka, 2014), 124.

269 Umi Kulsum dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Sosial (Jakarta: Pretasi Pustaka, 2014), 125.

270 Umi Kulsum dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Sosial (Jakarta: Pretasi Pustaka, 2014), 125.

Sebagaimana dikemukakan oleh Worchel dan Cooper, Intention (niat) dapat menghadirkan seseorang untuk bersikap dan berperilaku.

e. Interaksi Sosial271

Interaksi sosial dapat menyebabkan perubahan pada perasaan seseorang.

f. Situasional272

Edward G. Sampson mengemukakan bahwa factor tersebut berperan penting terhadapa penbentukan perilaku individu.

g. Budaya kepribadian273

271 Umi Kulsum dan Mohammad Jauhar, Pengantar Psikologi Sosial (Jakarta: Pretasi Pustaka, 2014), 127.

272 Mahmud, Psikologi Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 56.

273 Beberapa peneliti kepribadian dan budaya menolak pendapat yang menyanggah segala kaitan kausal masam itu dengan karya mereka. Misalnya dalam perdebatan mengenai dikenakannya bedung pada anak -anak Rusia dalam usia dini dan toilet training yang ketat dan kaku pada anak Jepang.

Geoffrey Gorer dan Margaret Mead menola pernyataan bahwa mereka melakukan penalaran kausal bahwa kain bedung atau toilet training anak Rusia dan Jepanglah yang menyebabkan terbentuknya kepribadian orang dewasa Rusia dan Jepang dan dari situ mempengaruhi kerangka institusional masyarakat kontemporer Rusia dan Jepang yang lebih lusa. Mereka berdua menyatakan hanya berupaya menunjukkan proses yang dilalui oleh anak -anak kecil yang lahir di tengah budaya Rusia atau Jepang untuk menjadi orang Rusia dan Jepang, dan bahwa kain bedung serta toilet training tampaknya merupakan salah satu determinan penting bagi watak orang di kedua kasus itu masing-masing. Akan tetapi banyak kritikus berpendapat bahwa dalam kenyataannya yang dikemukakan oleh Gorer dan Mead lebih dari itu.Para kritikus itu mengutip ungkapan-ungkapan tertentu yang jelas menunjukkan bahwa Gorer mengajukan penjelasan-penjelasan kausal tentang berbagai institusi sosiokultural dengan menggunakan kepribadian orang dewasa Rusia dan Jepang- dan akhirnya praktik awal dalam pengasuhan anak –sebagai piranti penelasan yang pokok.

Lihat Victor Barouw, Culture and Personality (Homewood, III,:

Dorsey Press, 1963), bab 8; juga Margaret Mead, “National Character”

dalam A.L. Kroeber (ed), Anthropology Today (Chicago: University of Chicago Press, 1953) sebagai pustaka yang baik.

Para penulis aliran budaya-kepribadian menjelaskan akibat budaya terhadap kepribadian, melainkan juga menunjukkan dampak kepribadian terhadap budaya.

Kemiskinan secara keseluruhan disebutkan sebanyak 23 kali,274dan yang sering disebut adalah kalimat maskanah yang berasal dari kata miskin. Kemiskinan merupakan fenomena social klasik yang telah melekat pada masyarakat. pengertian dan ukurannya bersifat relative sesuai dengan kondisi social ekonomi masyarakat.275 Kemis-kinan dan perilaku miskin dapat dikategorikan sebagai persoalan kompleks dan akan terus menjadi persoalan actual dari masa ke masa.276Abad Badruzzaman menganggap kemiskinan sebagai suatu problem kehidupan yang perlu segera diatasi.277Secara sederhana bahwa perilaku manusia dilandasi oleh intensi atau niat seseorang.

Intensi itu sendiri merupakan fungsi dari sikap dan norma subjektif orang yang bersangkutan.

Gambaran perilaku pengemis sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh Indah Permata Sari, Iriani Ismail278 dan beberapa peneliti lainnya menghasilkan rumusan, antara lain: a) pola hidup konsumtif,279 b) kebiasaan,280 c) peniruan,281 d) niat yang kuat

274 M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’a>n: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlmn. 610.

275 Muhtadi Ridwan, (Malang: UIN Malang Press, 2012), hlmn. 1.

276 Agus Sjafari, Kemiskinan dan Perberdayaan Kelompok (Yogya-karta: Graha Ilmu, 2014), hlmn. 9.

277 Abad Badruzzaman, Teologi Kaum Tertindas (Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustadh’afi>n dengan Pendekatan Keindonesiaan), (Yogyakarta;

Pustaka Pelajar Offset, 2007), hlmn. 130-131.

278 Indah Permata Sari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kab. Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1, No. 1.

279 Rina Hardiyantina, Sukardi, “’studi Etnografi Perilaku Pengemis Masyarakat Desa Pragaan Daya Kabupaten Sumenep”. Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Malang, tanpa tahun.

280 Humaidi Ali, “’Pergeseran Budaya Mengemis di Masyarakat desa Pragaan”. (2003) dalam Indah Permata Sari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kab.

Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1, No. 1.

menjadi pengemis,282 dan e) dorongan pribadi yang kuat.283 Berda-sarkan keterangan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pengemis dapat disimpulkan sebagai berikut:

Tabel. 7

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pengemis284

281 Indah Permata Sari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kab. Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1, No. 1.

282 Dinas Sosial Bangkalan, (2010: 22) dalam Indah Permata Sari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kab. Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1, No. 1.

283 Indah Permata Sari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kab. Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1, No. 1.

284 Indah Permata Sari, Iriani Ismail, “’Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Pengemis Anak di Kecamatan Kamal Kab. Bangkalan”. Jurnal Studi Manajemen dan Bisnis (2014), Vol. 1, No. 1.

Pribadi Perilaku Pengemis

Lingkungan Keluarga

Gaya Hidup Kesalahan

dalam pendidikan Komunitas

Kebutuhan Budaya

Kerusakan Mental Korban Pergaulan

Dokumen terkait