• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenal Buton, Sejarah Buton, dan Sastra Buton

Dalam dokumen TESIS OLEH : SITI JULIATIN NIM : (Halaman 32-36)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

1. Mengenal Buton, Sejarah Buton, dan Sastra Buton

Baubau adalah sebuah kota di pulau Buton Sulawesi Tenggara. Baubau memperoleh staus kota pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan Uu Nomor 13 tahun 2001. Luas kota ini 295.072 km persegi dengan jumlah penduduk 167.519 jiwa (2018). Berdasarkan PERDA Nomor 2 tahun 2010 tentang penetapan hari jadi kota Baubau dan perubahan penulisan Baubau ditetapkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2 bahwa nama penulisan kota Bau bau menjadi Baubau sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. PERDA tersebut juga ditetapkan bahwa hari jadi kota Baubau pada tanggal 17 Oktober 1541. Pemilihan tahun 1541 karena tahun tersebut merupakan tahun bersejarah di bumi seribu benteng ini serta ditandai dengan terjadinya transformasi pemerintahan kerajaan Buton menjadi kesultanan Buton sebagai pembaharuan, yang ditandai dengan dilantiknya La Kilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.

Wilayah kota Baubau terdiri dari delapan kecamatan yaitu Betoambari yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Sulaa, kelurahan Waborobo, kelurahan Katobengke, kelurahan Lipu, kelurahan Labalawa. Bungi yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan

Ngkaring-Ngkaring, kelurahan Kampeonaho, kelurahan Liabuku, dan kelurahan Woliobuku. Kokalukuna yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Waruruma, kelurahan Lakologou, kelurahan Liwuto, kelurahan Sukanaeo, kelurahan Kadolomoko, kelurahan Kadolo. Murhum yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Wajo, kelurahan Lamangga, kelurahan Melai, kelurahan Baadia, kelurahan Tanganapada. Batupoaro yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Tarafu, kelurahan Kaobula, kelurahan Lanto, kelurahan Nganganaumala, kelurahan Wameo, kelurahan Bone-bone. Sorawolio yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Kaisabu Baru, kelurahan Karya Baru, kelurahan Bugi, kelurahan Gonda Baru. Wolio yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Bataraguru, kelurahan Tomba, kelurahan Wale, kelurahan Batulo, kelurahan Wangkanapi, kelurahan Kadolokatapi, kelurahan Bukit Wolio Indah. Lealea yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Palabusa, kelurahan Kantalai, kelurahan Lowu-lowu, kelurahan Kolese, kelurahan Kalia-lia. Orang Buton terkenal pula dengan keberadabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah kesultanan Buton diantaranya Benteng Keraton Buton, rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang kesultanan Buton yang disebut Kampua, dan masih banyak lagi.

Buton dikenal dalam sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi

dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai negeri (desa) keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru. Nama pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa menyebut nama pulau Buton. Terbentuknya wilayah Buton untuk menjadi sebuah kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke-13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah kota Baubau) serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan empat limbo (empat wilayah kecil) yaitu Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat limbo yang disebutkan diatas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga, dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaakaa (seorang wanita bersuamikan Sibatara turunan bangsawan kerajaan Majapahit) menjadi Raja pertama pada tahun 1332 setelah

mendapat persetujuan dari keempat orang Bonto (Patalimbona). Hal ini hampir sama dengan Lembaga Legislatif.

Dalam periodisasi sejarah Buton mencatat dua fase penting yaitu masa pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke-16 dengan diperintah oleh enam orang Raja diantaranya dua orang Raja perempuan yaitu Wa Kaakaa dan Bulawambona. Kedua Raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa pemerintahan kesultanan sejak masuknya Islam di kerajaan Buton pada tahun 948 Hijiriyah (1542 Masehi) bersama dilantiknya La Kilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke tiga puluh delapan yang berakhir tahun 1960.

Kesusastraan Buton mengalami fase baru pada abad ke-19 seiring penerapan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. ajaran tasawuf yang dikembangkan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin berdampak luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal berkesenian (Zahari,1977(III);28). Sastra-sastra lokal dikehendaki agar disesuaikan dengan tradisi dan ajaran tasawuf yang dikembangkan saat itu.

Kabhanti adalah tradisi lisan dan tulisan yang berupa nyanyian atau syair atau puisi di seluruh wilayah kesultanan Buton. Pelantunnya disebut Pekabhanti. Tradisi kabhanti ini muncul ketika penyebaran agama Islam di

Buton sangat marak dan termasuk didalamnya budaya tulis-menulis. Oleh sebab itu kabhanti ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Arab melayu, dan aksara Wolio. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton terutama bagian Keraton pada saat itu telah menampilkan sisi kreativitas dan tingginya tingkat intelektual masyarakat tersebut dalam membentuk peradaban pada masa itu. Masyarakat Buton pada umumnya memang menempatkan syariat Islam diatas segalanya. Isi Kabhanti itu sendiri banyak mengambil dari syariat Islam yang kemudian digunakan selain sebagai hiburan juga untuk menyampaikan kearifan lokal sebagai dasar karakter masyarakatnya.

Dalam penggunaannya Kabhanti memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai hiburan atau penyemangat kerja, sebagai wadah untuk mengantar tidur, sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi lainnya. Jabaran pada bait-bait Kabhanti mengarah pada falsafah Buton. Falsafah tersebut tertuang pada empat prinsip hidup masyarakat Buton. Pertama, sesama manusia harus saling menghormati, kedua, sesama manusia harus saling peduli, ketiga, sesama manusia harus saling memuliakan, keempat, sesama manusia harus saling menyayangi.

Dalam dokumen TESIS OLEH : SITI JULIATIN NIM : (Halaman 32-36)

Dokumen terkait