• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS OLEH : SITI JULIATIN NIM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS OLEH : SITI JULIATIN NIM :"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

LITERATURE BEFORE AND AFTER THE ENTRY OF ISLAM FROM ORAL LITERATURE TO WRITTEN LITERATURE AND ITS

RELEVANCE TO CHARACTER EDUCATION IN WABOROBO AND BUTON PALACE

BAUBAU CITY SOUTHEAST SULAWESI

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH : SITI JULIATIN NIM : 105041301718

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER DI WABOROBO DAN KERATON BUTON KOTA BAUBAU

(2)

i

PENDIDIKAN KARAKTER DI KERATON BUTON KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai Magister

Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan diajukan oleh

SITI JULIATIN

Nomor Induk Mahasiswa : 105041301718

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)

ii

KESUSASTRAAN SEBELUM DAN SESUDAH MASUKNYA ISLAM DARI SASTRA LISAN KE SASTRA TULIS DAN RELEVANSINYA TERHADAP

PENDIDIKAN KARAKTER DI KERATON BUTON KOTA BAUBAU SULAWESI TENGGARA

Yang Disusun dan Diajukan Oleh

SITI JULIATIN Nomor Induk Mahasiswa

105041301718

Telah Dipertahankan Di Depan Panitia Ujian Tesis Pada Tanggal 30 Januari 2021

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.H.Muhammad Rapi Tang,M.S. Dr.H.Andi Sukri Syamsuri,M.Hum.

Mengetahui

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Unismuh Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr.H.Darwis Muhdina,M.Ag. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum. NBM : 483 523 NBM : 922 699

(4)

iii

Judul Tesis Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Di Keraton Buton Kota Baubau

Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa SITI JULIATIN NIM 105041301718

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 30 Januari 2021 dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (M.Pd) pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar dengan beberapa perbaikan.

Makassar, 22 Maret 2021 Tim Penguji

Prof.Dr.H.Muhammad Rapi Tang,M.S. ……… (Pembimbing I)

Dr.H.Andi Sukri Syamsuri,M.Hum. ……… (Pembimbing II)

Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum. ………. (Penguji I)

Dr.Muhammad Akhir,M.Pd. ………. (Penguji II)

Mengetahui

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Magister Unismuh Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr.Darwis Muhdina,M.Ag. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum. NBM : 483 523 NBM : 922 699

(5)

iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN

MOTO

Menyia-nyiakan waktu lebih buruk dari kematian Karena kematian memisahkan dari dunia sementara

Menyia-nyiakan waktu memisahkanmu dari Allah -Imam bin Al Qayim

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk keluarga Tersayang, kedua orang tuaku, anak-anakku, Serta orang-orang yang sudah banyak berkorban dalam

Memberi semangat, mendoakan, dan mendorong Kesuksesanku dari segi material maupun non material

(6)

v

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama Siti Juliatin NIM 105041301718

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan Tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 22 Februari 2021 Pembuat pernyataan Siti Juliatin NIM : 105041301718

(7)
(8)

vii

SITI JULIATIN. 2021, “ Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Di Keraton Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara “ di bimbing oleh Muhammad Rapi Tang dan Andi Sukri Syamsuri.

Penelitian ini bertujuan :1). Mendeskripsikan nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu di kelurahan Keraton kecamatan Murhum kota Baubau, 2). Mengungkapkan nilai-nilai kearifan lokal pada Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina sebagai landasan pendidikan, 3). Meminimalkan pengaruh negatif budaya luar khususnya budaya barat yang dibawa oleh globalisasi, 4). Menelaah fungsi dan peranan kesusastraan bagi kehidupan masyarakat Buton.

Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Keraton kecamatan Murhum kota Baubau. Subjek penelitian adalah penutur asli syair Kabhanti Gambusu dan karya sastra Muhammad Idrus Kaimuddin. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik rekam dan teknik catat syair Kabhanti Gambusu serta melakukan pengamatan pada karya sastra Muhammad Idrus Kaimuddin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1). Nilai moral pada Kabhanti Gambusu terdiri dari prinsip sikap baik berupa pentingnya kesadaran manusia tentang eksistensi kemanusiaan, prinsip kerukunan berupa saling memperhatikan satu sama lain, prinsip hormat patuh kepada orang tua, dan prinsip ketuhanan dalam wujud keyakinan atas ketetapan tuhan, 2). Nilai kearifan lokal Kabhanti Bula Malino dan Jaohara Molabina terdiri dari aspek religius tentang hubungan manusia dengan tuhan, aspek norma tentang syariat Islam sebagai sumber utama dalam kehidupan masyarakat, dan aspek sosial tentang budi pekerti yang merujuk pada falsafah Buton Bhinci-Bhinciki Kuli. Nilai kearifan lokal dapat diimplementasikan dalam pendidikan karena pendidikan menjadi target kurikulum maka perlu kolaborasi antara nilai-nilai kearifan lokal dengan materi pendidikan. Memperkenalkan Kabhanti sebagai budaya daerah ke dalam mata pelajaran akan mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional. gerakan kearifan Buton dengan kembali ke akar budaya Buton sendiri merupakan tindakan cerdas untuk meminimalkan pengaruh negatif globalisasi.

Kata kunci : nilai moral syair Kabhanti Gambusu, kearifan lokal, karakter, norma, nilai, sosial

(9)

viii

SITI JULIATIN. 2021. “ Literature Before and After Entry Islam From Oral Literature To Written Literature and Relevance Hamp Character Education In Keraton Buton Baubau City Southeast Sulawesi “ guided by Muhammad Rapi Tang and Andi Sukri Syamsuri.

The aim of this studi :1). Discribe moral values in double Kabhanti verse in the Waborobo village Betoambari sub district Baubau city, 2). Express the value local wisdom on the Kabhanti Buton community as a foundation of education, 3). Minimize influence negative culture outside especially western culture brought about by globalization, 4). Examine function and role literature for the life of the Buton people. .

This research is field research by using a qualitative descriptive method. This research was conducted in Waborobo village Betoambari district and Keraton village Murhum district Baubau city. Research subject are native speaker of double Kabhanti verse and literary works of Muhammad Idrus Kaimuddin. Data collection techniques were carried out using recording techniques and double Kabhanti verse note techniques and observing the literary works of Muhammad Idrus Kaimuddin.

Research result show that :1) Moral values in dual Kabhanti consist of good attitudes in the form of the importance of human awareness of the existence of humanity, the principle of harmony in the form of mutual care for one another, the principle of obedient respect to parents, and divine principles in the form of belief in divine provision, 2). The value of local wisdom consists of religious aspect about the relationship between humans and god, aspect of norms regarding Islamic law as the main source in people’s lives, social aspects of manners which refer to the Buton Bhinci-Bhinciki Kuli falsafah. The value of local wisdom in Kabhanti can be implemented in education because education is the target of the curriculum it is necessary to collaborate between local wisdom values and educational materials. Introducing Kabhanti as a regional culture into the subject will develop a national culture with a national personality and awareness.

Keywords : moral values, dual Kabhanti verse, local wisdom, character, norms, values, social

(10)

ix

Segala puji syukur semoga senantiasa tercurahkan Kehadirat Allah Swt.,yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan kenikmatan-Nya kepada kita. Sehingga pada kesempatan kali ini kita masih sempat menyelesaikan penulisan hasil Tesis ini dalam keadaan sehat walafiat. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita yakni Baginda Rasulullah Muhammad Saw.,yang telah membawa umat manusia dari zaman kedzaliman, kesesatan menuju zaman yang penuh dengan petunjuk, cahaya, dan kebenaran. Kepada keluarga beliau, para sahabat, dan para pengikut-pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam menegakkan syariat Islam kapanpun dan dimanapun mereka berada.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya ibu Masfufah dan bapak Amran Hasibuan yang telah memberikan dukungan penuh dalam mengatasi kendala yang ada dari awal proses penelitian hingga saat ini. Dan tak lupa ucapan terima kasih juga kepada :

1. Prof.Dr.H.Ambo Asse,M.Ag., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberi kesempatan untuk bisa menuntut ilmu menjadi mahasiswa di kampus ini.

2. Dr.H.Darwis Muhdina,M.Ag., sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan izin dan dukungan demi terlaksananya penelitian dalam rangka penulisan tesis.

(11)

x

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tiada hentinya memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk menjadi contoh teladan.

4. Prof.Dr.H.Muhammad Rapi Tang,M.S., sebagai pembimbing I yang telah membimbing penulis menjadi insan akademis serta berbagai motivasi yang penulis peroleh.

5. Dr.H.Andi Sukri Syamsuri,M.Hum., sebagai pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian penelitian ini serta motivasi yang diberikan.

6. Dr.Abdul Rahman Rahim,M.Hum., sebagai penguji I yang telah banyak memberikan masukan guna perbaikan tesis ini.

7. Dr.Muhammad Akhir,M.Pd., sebagai penguji II yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi guna perbaikan tesis ini.

Harapan penulis semoga Tesis ini dapat memberikan pencerahan dan manfaat bagi penulis khususnya dan secara umum bagi pembaca lainnya. Segala kritikan dan masukan demi penyempurnaan Tesis ini akan di terima dengan senang hati.

Makassar, 22 Februari 2021 Penulis

Siti Juliatin

(12)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Penelitian Relevan ... 14

C. Rumusan Masalah ... 16

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Manfaat Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 18

1. Mengenal Buton, Sejarah Buton, dan Sastra Buton ... 18

2. Dari sastra lisan menuju sastra tulis ... 23

3. Nilai moral nyanyian rakyat ... 30

4. Nilai kearifan lokal Kabhanti ... 33

(13)

xii

A. Pendekatan Penelitian ... 40

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

C. Jenis dan Sumber Data ... 40

D. Teknik Pengumpulan Data ... 41

E. Teknik Analisis Data ... 41

F. Teknik Keabsahan Data ... 42

BAB IV TEMUAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pembahasan Hasil Penelitian ... 43

1. Pengolahan data hasil penelitian ... 43

B. Pembahasan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 104

(14)
(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberagaman bahasa merupakan warisan budaya leluhur yang sangat berharga sehingga upaya untuk melestarikan bahasa daerah harus ditangani serius. Hilangnya suatu bahasa pada hakikatnya merupakan hilangnya warisan nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat. gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa sudah lama dan sudah banyak diungkapkan oleh para pakar. kandungan setiap budaya terungkap dalam bahasanya. Tidak ada materi bahasa baik isi maupun bentuk yang tidak dirasakan sebagai lambang makna yang dikehendaki, tanpa memperdulikan sikap apapun yang ditunjukkan oleh budaya lain. pengalaman budaya yang baru sering dirasakan penting untuk memperluas sumber-sumber acuan suatu bahasa.

Bahkan Bloomfield menambahkan bahwa begitu kuat budaya terhadap bahasa. Sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Akhirnya dapat dimaknai bahwa tujuan hakiki dari pemeliharaan dan penggunaan bahasa daerah adalah untuk memastikan dan sekaligus pengidentifikasian budaya-budaya daerah dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Bahasa daerah dalam UUD 1945 ditetapkan sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat perhubungan didalam keluarga dan masyarakat daerah,

(16)

sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, dan sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia bahasa daerah berfungsi sebagai pendukung bahasa Indonesia, bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia atau pelajaran lain, dan sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia.

Kebhinekaan suku bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia berimbas kepada keragaman budaya yang didalamnya terdapat keragaman bahasa daerah yang dimilikinya. Kekhasan bahasa daerah masing-masing etnis itu senantiasa mengandung perhatian berbagai kalangan khususnya peneliti bahasa dan sastra daerah.

Sastra daerah yang menggunakan bahasa daerah adalah salah satu terpenting yang sangat mendesak diungkapkan melalui kajian ilmiah. karena pentingnya hal ini sangat banyak kajian interdisipliner sastra dengan bidang ilmu lain. seperti kajian sastra daerah dari sudut pandang sosial budaya, agama, nilai, lingkungan, dan lain-lain.

Kajian sastra khususnya sastra daerah (sastra lisan) tidak hanya berorientasi pada pendokumentasian dan pelestarian sastra lisan dan bahasa daerah yang digunakannya. Akan tetapi lebih pada pengungkapan serta aktualisasi nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Berbagai upaya

(17)

ilmiah tersebut banyak memberikan manfaat terhadap eksistensi sastra daerah bagi kehidupan pembaca dan pemiliknya.

Dijelaskan dalam GBHN 1999-2004 butir 2f tentang kebudayaan, kesenian, dan pariwisata (1999,106) bahwa ada upaya untuk melestarikan apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan pusat-pusat kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan nasional.

Secara morfologi kata kesusastraan berasal dari kata dasar susastra yang diberi imbuhan ke-an. Kata dasar susastra sebenarnya kata dasar kedua karena dapat diuraikan pula atas su dan sastra. Keduanya berasal dari bahasa sansekerta. Su berarti baik, sastra berarti tulisan. Kata susastra sendiri dalam bahasa Indonesia tidak hidup pemakaiannya kecuali dalam kata bentukan kesusastraan. Untuk pengertian susastra saat ini dipakai sastra saja. Sedangkan kesusastraan mengandung pengertian jamak yaitu semua yang meliputi sastra. Kesusastraan Indonesia artinya semua hal yang meliputi sastra Indonesia.

Effendi (dalam Badudu,1984;5) menjelaskan bahwa kesusastraan (sastra) ialah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa bagus dan sastra juga sebagai kesimpulan pendapat dengan bahasa yang indah. Dari Gazali.B.A, B.Simorangkir, Zuber Usman, Suparlan.D.S, maupun H.F.Sitompul yang mengakui bahwa kesusastraan itu karya seni yang ditulis dengan bahasa yang

(18)

indah. Secara singkat sastra adalah suatu kegiatan yang kreatif dari sebuah karya seni.

Sastra lisan adalah bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara terus-menerus secara lisan sebagai milik bersama. Shipley (dalam Gaffar dkk,1991;2) menjelaskan secara rinci bahwa sastra lisan adalah jenis atau kelas karya sastra tertentu yang dituturkan dari mulut ke mulut tersebar secara lisan, anonim, dan menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Jenis sastra lisan meliputi : 1. Bahasa rakyat : logat, sindiran, dan mantra. 2. Ungkapan tradisional : peribahasa, pepatah, dan seloka. 3. Pertanyaan tradisional : teka-teki, wangsalan. 4. Puisi rakyat : pantun, syair, dan gurindam. 5. Cerita prosa rakyat : mite, legenda, dongeng, fabel, cerita jenaka. 6. Nyanyian rakyat.

Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih berkisar pada sastra lisan yang sebagian besar tersimpan dalam ingatan orang tua atau pencerita yang jumlahnya semakin berkurang dimakan usia. Sastra daerah sebagai kebudayaan daerah yang mempunyai peran sangat penting dalam upaya pengembangan kebudayaan nasional. untuk itu penggalian kebudayaan daerah memerlukan data dan informasi yang lengkap sehingga keanekaragaman kebudayaan tersebut dapat mewujudkan kesatuan bangsa melalui sastra daerah yang dimilikinya. Salah satu informasi yang sangat penting yaitu adanya sastra daerah yang masih berbentuk lisan dan masih terdapat di tengah-tengah

(19)

masyarakat, serta diwariskan dan disebarkan secara turun-temurun dari generasi berikutnya.

Fungsi dan kedudukan sastra lisan itu sangat penting untuk mendukung usaha kegiatan pengembangan sastra tradisional yang menjadi aspirasi dan kreasi yang akan memperkaya dan mempermantab wawasan budaya bangsa Indonesia. oleh karena itu, sastra daerah merupakan gambaran dari alam budaya bangsa Indonesia. salah satu dari sekian banyak yang mewarisi sastra lisan daerah Buton adalah masyarakat Waborobo. Sastra lisan masyarakat Waborobo sangat beranekaragam jenisnya.

Syair Kabhanti Ganda merupakan salah satu sastra lisan masyarakat Waborobo yang biasa dilantunkan pada prosesi budaya yang disebut acara pingitan sebagai warisan sejak zaman dahulu hingga saat ini. Proses upacara adat ini dilaksanakan untuk puluhan anak gadis di kampung tersebut yang baru saja melewati masa menstruasi pertama.

Pada prosesi upacara adat pingitan selama tujuh malam atau delapan malam ini misalnya, para orang tua melantunkan nyanyian yang kemudian disebut dengan syair Kabanti Ganda. Syair Kabhanti Ganda ini masih dipertahankan oleh masyarakat Waborobo sekaligus sebagai ciri khas budaya masyarakat pemiliknya. Masyarakat kelurahan Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau masih merasakan betapa penting dan perlunya nilai-nilai kehidupan sosial keagamaan yang terkandung dalam prosesi dari nyanyian tersebut.

(20)

Disamping tradisi adat dan peninggalan bukti sejarah berupa artefak-artefak sejarah yang menjadi pilar pelestarian budaya dan sekaligus sebagai wahana untuk mempertahankan keberadaan bahasa Wolio, yang perlu diangkat ke permukaan adalah nyanyian rakyat Buton. Nyanyian rakyat merupakan salah satu alat atau wadah yang ampuh untuk dapat mempertahankan keberadaan bahasa daerah. Fungsi nyanyian rakyat selain sebagai alat pemertahanan bahasa juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Orang yang bernyanyi pada dasarnya ingin menyampaikan pesan atau nasehat yang bermanfaat bagi pembentukan watak dan kepribadian para pendengarnya. Pesan atau nasehat itu akan lebih mudah diterima jika dijalin dengan syair atau puisi yang mengasyikkan. Sehingga tanpa terasa para pendengarnya dapat menyerap ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya sesuai dengan taraf dan tingkat kedewasaan jiwanya masing-masing. fungsi lain dari nyanyian rakyat adalah sebagai pengokoh nilai-nilai dari sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. dalam nyanyian rakyat terkadang ajaran-ajaran etika dan moral bisa dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat. disamping itu, didalamnya juga terdapat larangan dan pantangan yang perlu dihindari. Nyanyian rakyat bagi warga masyarakat pendukungnya bisa menjadi tuntunan tingkah laku dalam pergaulan sosial. Dengan demikian, nyanyian rakyat berfungsi sebagai pengokohan nilai-nilai budaya dan juga sebagai media silahturahmi sesama masyarakat.

(21)

Indonesia merupakan negara yang secara garis besar mempunyai keragaman budaya, bahasa, serta adat istiadat. Indonesia yang terdiri dari tiga puluh empat provinsi yang masing-masing kaya akan budaya, bahasa dan adat istiadat termasuk sastra lisan dan tulisan. Sastra lisan merupakan ekspresi dari suatu budaya yang lahir dan berkembang pada masyarakat tertentu yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut serta turun-temurun.

Sastra tulis seperti Kabhanti yang berbahasa Wolio menjadi salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengenal budaya. Pada sisi lain kabhanti sebagai cermin kehidupan dan warisan budaya nasional serta masih mempunyai amanat yang tersirat didalamnya. Terutama sastra tulis kabhanti Bula Malino dan Bunga Malati. Kabhanti Bula Malino merupakan sebuah sastra tulis yang menceritakan tentang hubungan manusia dengan tuhannya, serta sikap yang harus dimiliki sebagai manusia ciptaan tuhan.

Sastra tulis dapat ditemukan pada masyarakat yang berada di daerah terpencil atau masyarakat tradisional. Seperti kabhanti pada beberapa tempat di seluruh nusantara, khususnya di Keraton Buton Sulawesi Tenggara. Saat ini keberadaan kabhanti terkesan terpinggirkan dengan melihat kenyataan yang ada bahwa kebanyakan masyarakat masa kini tidak lagi menjaga keutuhan dan kelestarian yang menjadi ciri khas daerahnya yaitu sastra tulis. Keberadaan kabhanti sudah mulai tergusur oleh jenis-jenis karya seni lain. kalau pun kabhanti masih

(22)

digunakan, pembacanya hanya pada kalangan orang tua karena kabhanti hanya dapat dipahami oleh mereka dan siapapun yang mendengarkan isi kabhanti tersebut meneteskan airmata karena kesedihan yang mendalam. Kabhanti berpotensi untuk menggugah rasa empati, religi, maupun suasana romantis. Tergusurnya kabhanti disebabkan oleh masyarakat suku Buton yang sudah banyak menerima budaya baru dan meninggalkan budaya tradisi lama, contohnya adanya pengaruh luar atau seni modern. Terutama generasi muda yang merupakan generasi penerus, dan para orang tua sebagai pendidik diakibatkan beberapa faktor seperti masyarakat suku Buton mulai generasi muda sampai orang tua telah lupa dengan budayanya sendiri khususnya kabhanti sebagai hasil budaya daerah Buton dan mulai menerima unsur budaya modern seperti ragam musik pop, dangdut, rock, dan lain-lain. selain itu, pengguna bahasa Wolio sedikit demi sedikit mulai berkurang karena lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing disebabkan karena akulturasi (pencampuran atau pembauran) budaya. Pembelajaran bahasa daerah pada mata pelajaran muatan lokal di sekolah telah diganti dengan bahasa asing karena Keraton merupakan wilayah wisata dipusat kota Baubau. Sehingga peserta didik sangat kurang memahami bahasa daerah yang dijadikan mata pelajaran muatan lokal. Hal ini berefek pada kabhanti sebagai karya tulis yang dijadikan budaya turun-temurun masyarakat Buton. Jika dilihat dari arti syair kabhanti banyak mengandung nasihat-nasihat yang dapat diambil manfaatnya terutama pada nilai religius dan kearifan lokal.

(23)

Religius adalah penghayatan dan pemahaman yang dilakukan seseorang dalam hidup serta kehidupan terutama pada kabhanti Bula Malino dan Bunga Malati.

Meneliti kembali kehidupan manusia Indonesia masa lalu mereka telah mewariskan tentang adab dan kearifan hidup yang diajarkan baik melalui lisan maupun tulisan. Salah satu contoh warisan pemikiran tentang adab pada masa lalu telah ada zaman kerajaan tradisional di Indonesia khususnya pada kesultanan Buton. Pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin telah melahirkan suatu pemikiran mengenai adab bagi masyarakat Buton baik di lingkungan Keraton maupun di luar Keraton.

Sebelum masuknya Islam masyarakat Buton Beragama hindu budha atau kepercayaan animisme dan dinamisme. Bahkan hingga abad ke-19 para pejabat kerajaan, Sultan, dan seluruh perangkatnya masih berfungsi, sistem kekuasaannya tetap berjalan, pranata-pranatanya tetap terpelihara, hegemoninya masih tetap diakui oleh daerah-daerah yang sudah lama menjadi wilayah kekuasaannya. Para penguasa masih tetap memelihara nilai-nilai Islam yang sufistik, bahkan dua dari enam Sultan yang berkuasa pada abad ke-19 mewariskan beberapa artikel, karya tulis, yang berisikan ajaran tasawuf (Rajab,2015;50-51).

Salah satu Sultan yang dianggap paling berjasa dalam pengembangan Islam adalah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, beliau memerintah antara tahun 1824-1851. Meskipun sebagai seorang Sultan

(24)

beliau sangat gemar menulis dalam rangka untuk mengembangkan kepercayaan yang diyakini. Ketika menjadi Sultan beliau mendirikan sekolah yang diberi nama Zaawiyah. Hasil dari sekolah ini adalah melahirkan cendekiawan yang gemar menulis.

Agama dimaknai sebagai ajaran sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang maha kuasa, tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Mayoritas penduduk Baubau beragama Islam dan mengidentifikasikan diri mereka sebagai negeri kesultanan Khalifatul Khamis atau negeri Khalifah kelima. Masyarakat Buton bukan hanya mempelajari aqidah dan ajaran Islam tetapi lebih jauh dari itu. Agama Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dan penting. Masuknya Islam di Buton bukan hanya membawa aqidah atau ajaran Islam tetapi juga sekaligus mempelajari aksara Arab yang kemudian diadabtasi oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Tulisan ini bagi masyarakat Buton menyebutnya dengan Buri Wolio (aksara Wolio). Aksara ini pada prinsipnya diadopsi dari aksara Arab melayu. Sebelumnya naskah / tulisan berbahasa Woilo juga banyak ditulis dan tersimpan di perpustakaan kesultanan. Naskah-naskah yang diwariskan sejak zaman kesultanan kurang lebih 350 buah (mantan sekretaris Sultan Buton terakhir Muhammad Falihi 1938-1960). Selain dari naskah-naskah tersebut terdapat pula naskah-naskah yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat dan jumlahnya diperkirakan sangat besar.

(25)

Dengan demikian dapat dihubungkan bahwa pemertahanan bahasa Wolio juga bersinggungan langsung dengan agama.

Wilayah pemakaian bahasa Wolio pada masa pemerintahan kesultanan Buton meliputi wilayah Keraton Buton di Wolio sekarang ini menjadi pusat pemerintahan kota Baubau. Bahasa Wolio selain digunakan sebagai alat komunikasi di pusat kerajaan Buton di Wolio juga digunakan sebagai bahasa resmi di tingkat kesultanan Buton.

Salah satu keunggulan bahasa Wolio dibandingkan dengan kelompok bahasa lainnya yang terdapat di kesultanan Buton adalah bahasa Wolio memiliki sistem aksara yang baku diadopsi dari aksara Arab dan aksara Jawi (Arab melayu). Hal ini dapat dilihat melalui berbagai peninggalan tertulis (naskah kuno) yang tersimpan di pusat Keraton Koleksi almarhum Muhammad Idrus Kaimuddin. Naskah-naskah kuno yang tersimpan selain menggunakan bahasa Wolio juga menggunakan beberapa bahasa yaitu bahasa melayu, Arab, Bugis, Belanda, dan Jepang. Dapat dipastikan bahwa kosakata bahasa Wolio memenuhi syarat sehingga mencapai fungsinya secara maksimal karena mengadopsi unsur-unsur serapan dari berbagai bahasa terutama bahasa melayu, bahasa Arab, dan bahasa pancana.

Ajaran-ajaran moral yang mencerahkan bagi masyarakat Buton sedang mengalami situasi krisis moral di Keraton. Pada hakikatnya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin berfungsi sebagai guru masyarakat pada zamannya. Menemukan esensi konsep tata krama atau etika menurut

(26)

ajaran pemikiran Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang menjadi tuntunan masyarakat Keraton kesultanan Buton yang pada dasarnya banyak bersumber dari ajaran agama Islam. Kelahiran pemikiran berupa ajaran-ajaran moral, etika, agama, dan kehidupan masyarakat Keraton Buton yang berlangsung melalui akulturasi antara Islam dan kebudayaan Buton pada hakikatnya merupakan sebuah proses pembentukan peradaban Buton yang berpusat pada Keraton dan disebarkan pada masyarakat Buton secara umum melalui proses dialog antara kebudayaan Buton dan kebudayaan Islam. Diakui telah terjadi akulturasi antara kebudayaan Buton dengan Islam atau sebaliknya, serta pembauran antara Islam dan budaya adat Buton. Meskipun demikian, pemikiran seorang Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dalam menjaga kearifan lokal melalui Kabhanti (naskah tulis).

Kabhanti berasal dari bahasa Wolio terdiri dari dua morfem yaitu morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat berfungsi sebagai pembentuk kata benda, sedangkan morfem bebas (bhanti) mengandung pengertian puisi. bentuk puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut menghasilkan rima, irama, atau ritme. Menurut La Niampe (2000) Kabhanti merupakan suatu karya sastra yang berbentuk puisi. Kesusastraan jenis ini telah dikenal oleh masyarakat Buton sejak masa kerajaan Buton oleh karena itu kesusastraan jenis Kabhanti merupakan kesusastraan masyarakat Buton paling tua. Kabhanti berkembang pesat

(27)

setelah masuknya agama Islam di kerajaan Buton. Masuknya ajaran Islam sanggup mengubah dan mewarnai perkembangan sastra masyarakat Buton. Petuah tentang nilai-nilai dan falsafah hidup disampaikan melalui Kabhanti yang pada prinsipnya merupakan hasil pengolahan secara bebas dari kesusastraan bentuk prosa sejak zaman itu. Kabhanti tidak saja berkembang secara lisan tetapi juga berkembang secara tertulis. Pembacaan Kabhanti biasanya dilakukan saat acara pengajian, acara walimatul ursy, acara khitanan serta sebagian besar nenek moyang masyarakat Buton menyanyikan Kabhanti untuk anak-anaknya sebelum tidur.

Sebagai contoh kearifan pendidikan etika, moral, dan karakter tersirat dalam nasehat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dalam Kabhanti karya beliau sebagai unsur kebudayaan orang Buton yang hidup di lingkungan masyarakat Keraton pada abad ke-19. Ajaran etika kehidupan yang menjadi tuntunan masyarakat Buton tersebut digali dari Kabhanti Bula Malino. karya Sultan Muhammad Idrus lainnya yang sudah menjadi tradisi tertua yang mengandung ajaran Islam dan moral bagi masyarakat Buton adalah Bunga Malati. Kabhanti ini sarat dengan nasihat dan pengingat bagi siapa saja yang hidup bermasyarakat. Seseorang akan membenarkan nilai luhur yang sejatinya untuk terus dilestarikan. Segala proses dan himbauan yang sarat dengan nilai moral dan agama dalam karya sastra lama ini digambarkan dengan lugas. Selayaknya syair dan petuah masa lampau isi dari Kabhanti Bula Malino dan Bunga Malati

(28)

ini memerlukan penjelasan dan uraian akan makna sesungguhnya, namun satu hal yang dapat diperhatikan bahwa pada akhirnya pesan moral dan pesan agama yang dibawa oleh syair-syair tersebut menjadi konsep berkeluarga (bermasyarakat) yang menginginkan terciptanya generasi yang baik dan bermartabat, selaras dengan identitas bangsa.

B. Penelitian Relevan

Beberapa penelitian serupa tentang sastra lisan di Buton yang menggunakan bahasa Wolio sebagai langkah awal mereka memusatkan kajian pada masalah inventarisasi karya sastra lisan. Seperti apa yang dilakukan oleh Mattaliti dkk (1985) dan La Djamudi (1993). Ada juga penelitian yang memusatkan kajian pada teori dan penerapan karya sastra lisan tersebut seperti yang dilakukan oleh Sande dkk (1998). Sedangkan Suhartini (2000) dalam bentuk kajian wacana.

Penelitian serupa tentang sastra tulis karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin juga dilakukan oleh Melamba dan Hafsah (2014) dimana berdasarkan penelitian yang mereka lakukan dapat disimpulkan bahwa karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin mampu menggabungkan antara kebudayaan lokal dengan Islam. Beberapa karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang bersumber dari ajaran Islam kemudian dijadikan sebagai tuntunan masyarakat dan penguasa di kesultanan Buton.

Penelitian lain mengenai sastra tulis karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin dilakukan oleh Rajab (2015) dimana dia menyimpulkan bahwa

(29)

selain sebagai seorang negarawan, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin juga merupakan seorang ulama dan pemikir dalam menegakkan aqidah Islam yang konsisten. Sebagai Sultan dan juga ulama selain menulis karya yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang kemajuan Islam beliau juga merupakan praktisi dan da’I yang berhasil.

Penelitian serupa tentang Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin pernah dilakukan oleh Ilyas dan Sabirin (2014) dimana dalam penelitian tersebut kesultanan Buton pada masa kepemimpinan Muhammad Idrus Kaimuddin menjadi pusat pendidikan dan kesenian. Selain itu, pada masa kepemimpinan beliau kesultanan Buton mulai menggalakkan tradisi literasi (menulis). Berdasarkan penelitian ini pula bahwa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin wafat pada tanggal 28 April 1851 dan dimakamkan di lingkungan masjid Baadia.

Dari dasar pemikiran diatas penulis merasa terpanggil untuk mengangkat judul “Kesusastraan Sebelum dan Sesudah Masuknya Islam Dari Sastra Lisan Ke Sastra Tulis dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Di Waborobo dan Keraton Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara“. alasan penulis mengangkat judul tersebut adalah sebagai berikut :

1. Di dalam judul tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal dan budaya yang jika kita kaji secara ilmiah akan ditemukan sejumlah konsep yang dapat menambah perbendaharaan pengetahuan umumnya, sehingga

(30)

akan membawa manfaat bagi kepentingan pembangunan bangsa secara keseluruhan.

2. Mengingat kebudayaan Buton terutama yang menyangkut kesusastraannya sudah lama terpendam dan jika tidak mendapat perhatian maka kekayaan warisan budaya dari para leluhur tersebut akan mengalami kepunahan.

3. Sudah seharusnya menjadi usaha sadar terutama bagi penulis sendiri dan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat memperkenalkan kesusastraan Buton sebagai salah satu warisan budaya kepada masyarakat luas. hal ini akan sangat bermanfaat terhadap pengembangan kebudayaan lokal khususnya maupun kebudayaan nasional pada umumnya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan alasan memilih judul yang telah dikemukakan diatas penulis dapat menetapkan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu di kelurahan Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau ?

2. Bagaimana nilai kearifan lokal pada Kabhanti dan relevansi dalam upaya pengembangan pendidikan untuk melahirkan nilai karakter bangsa ?

3. Bagaimana eksistensi pemertahanan nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran sastra ?

(31)

4. Bagaimana fungsi dan peranan kesusastraan Buton pada masyarakat?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan nilai moral dalam syair Kabhanti Gambusu di kelurahan Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau.

2. Untuk mengungkapkan nilai-nilai kearifan lokal pada Kabhanti masyarakat Buton sebagai landasan pendidikan.

3. Untuk meminimalkan pengaruh negatif budaya luar khususnya budaya barat yang dibawa oleh globalisasi

4. Untuk menelaah fungsi dan peranan kesusastraan bagi kehidupan masyarakat Buton.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

a. Sebagai bahan studi perbandingan dari penelitian selanjutnya yang dianggap relevan.

b. Sebagai informasi tentang kandungan nilai dalam Kabhanti. 2. Manfaat Praktis

Masukan bagi pihak Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka mempertimbangkan perlunya pembelajaran sastra.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Mengenal Buton, Sejarah Buton, dan Sastra Buton

Baubau adalah sebuah kota di pulau Buton Sulawesi Tenggara. Baubau memperoleh staus kota pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan Uu Nomor 13 tahun 2001. Luas kota ini 295.072 km persegi dengan jumlah penduduk 167.519 jiwa (2018). Berdasarkan PERDA Nomor 2 tahun 2010 tentang penetapan hari jadi kota Baubau dan perubahan penulisan Baubau ditetapkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2 bahwa nama penulisan kota Bau bau menjadi Baubau sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. PERDA tersebut juga ditetapkan bahwa hari jadi kota Baubau pada tanggal 17 Oktober 1541. Pemilihan tahun 1541 karena tahun tersebut merupakan tahun bersejarah di bumi seribu benteng ini serta ditandai dengan terjadinya transformasi pemerintahan kerajaan Buton menjadi kesultanan Buton sebagai pembaharuan, yang ditandai dengan dilantiknya La Kilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.

Wilayah kota Baubau terdiri dari delapan kecamatan yaitu Betoambari yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Sulaa, kelurahan Waborobo, kelurahan Katobengke, kelurahan Lipu, kelurahan Labalawa. Bungi yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan

(33)

Ngkaring-Ngkaring, kelurahan Kampeonaho, kelurahan Liabuku, dan kelurahan Woliobuku. Kokalukuna yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Waruruma, kelurahan Lakologou, kelurahan Liwuto, kelurahan Sukanaeo, kelurahan Kadolomoko, kelurahan Kadolo. Murhum yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Wajo, kelurahan Lamangga, kelurahan Melai, kelurahan Baadia, kelurahan Tanganapada. Batupoaro yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Tarafu, kelurahan Kaobula, kelurahan Lanto, kelurahan Nganganaumala, kelurahan Wameo, kelurahan Bone-bone. Sorawolio yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Kaisabu Baru, kelurahan Karya Baru, kelurahan Bugi, kelurahan Gonda Baru. Wolio yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Bataraguru, kelurahan Tomba, kelurahan Wale, kelurahan Batulo, kelurahan Wangkanapi, kelurahan Kadolokatapi, kelurahan Bukit Wolio Indah. Lealea yang terdiri atas beberapa kelurahan yaitu kelurahan Palabusa, kelurahan Kantalai, kelurahan Lowu-lowu, kelurahan Kolese, kelurahan Kalia-lia. Orang Buton terkenal pula dengan keberadabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah kesultanan Buton diantaranya Benteng Keraton Buton, rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang kesultanan Buton yang disebut Kampua, dan masih banyak lagi.

Buton dikenal dalam sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi

(34)

dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai negeri (desa) keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru. Nama pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa menyebut nama pulau Buton. Terbentuknya wilayah Buton untuk menjadi sebuah kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke-13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah kota Baubau) serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan empat limbo (empat wilayah kecil) yaitu Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat limbo yang disebutkan diatas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga, dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaakaa (seorang wanita bersuamikan Sibatara turunan bangsawan kerajaan Majapahit) menjadi Raja pertama pada tahun 1332 setelah

(35)

mendapat persetujuan dari keempat orang Bonto (Patalimbona). Hal ini hampir sama dengan Lembaga Legislatif.

Dalam periodisasi sejarah Buton mencatat dua fase penting yaitu masa pemerintahan kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke-16 dengan diperintah oleh enam orang Raja diantaranya dua orang Raja perempuan yaitu Wa Kaakaa dan Bulawambona. Kedua Raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa pemerintahan kesultanan sejak masuknya Islam di kerajaan Buton pada tahun 948 Hijiriyah (1542 Masehi) bersama dilantiknya La Kilaponto sebagai Sultan Buton pertama dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke tiga puluh delapan yang berakhir tahun 1960.

Kesusastraan Buton mengalami fase baru pada abad ke-19 seiring penerapan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. ajaran tasawuf yang dikembangkan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin berdampak luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal berkesenian (Zahari,1977(III);28). Sastra-sastra lokal dikehendaki agar disesuaikan dengan tradisi dan ajaran tasawuf yang dikembangkan saat itu.

Kabhanti adalah tradisi lisan dan tulisan yang berupa nyanyian atau syair atau puisi di seluruh wilayah kesultanan Buton. Pelantunnya disebut Pekabhanti. Tradisi kabhanti ini muncul ketika penyebaran agama Islam di

(36)

Buton sangat marak dan termasuk didalamnya budaya tulis-menulis. Oleh sebab itu kabhanti ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Arab melayu, dan aksara Wolio. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Buton terutama bagian Keraton pada saat itu telah menampilkan sisi kreativitas dan tingginya tingkat intelektual masyarakat tersebut dalam membentuk peradaban pada masa itu. Masyarakat Buton pada umumnya memang menempatkan syariat Islam diatas segalanya. Isi Kabhanti itu sendiri banyak mengambil dari syariat Islam yang kemudian digunakan selain sebagai hiburan juga untuk menyampaikan kearifan lokal sebagai dasar karakter masyarakatnya.

Dalam penggunaannya Kabhanti memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai hiburan atau penyemangat kerja, sebagai wadah untuk mengantar tidur, sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi lainnya. Jabaran pada bait-bait Kabhanti mengarah pada falsafah Buton. Falsafah tersebut tertuang pada empat prinsip hidup masyarakat Buton. Pertama, sesama manusia harus saling menghormati, kedua, sesama manusia harus saling peduli, ketiga, sesama manusia harus saling memuliakan, keempat, sesama manusia harus saling menyayangi.

2. Dari Sastra Lisan Menuju Sastra Tulis

Sejak masa pemerintahan Raja La Kilaponto yang kemudian menjadi Sultan pertama di Buton. Buton tidak saja menjadi agama Islam sebagai agama resmi kerajaan Buton tetapi juga menjadi pusat

(37)

penyebaran Islam di kawasan Sulawesi Tenggara. Kehadiran Islam termasuk kebudayaan di buton diperkuat dengan pendirian lembaga pengkajian Islam yang bernama Belo Baruga di Keraton Sultan Buton pada abad ke-16. Belo artinya hiasan, Baruga artinya balairung. Belo Baruga adalah pemuda umur sebelum lima belas tahun yang tinggal di Keraton Sultan Buton untuk mendapat pengalaman (pelajaran langsung) dalam tata cara pemerintahan dan adat istiadat yang ditugaskan dalam upacara-upacara. Selain Belo Baruga kesultanan Buton membangun tempat pengajaran tarekat yang populer dengan nama Zaawiyah. Yunus (1995,72-73) menyebutkan bahwa Zaawiyah merupakan sebuah bangunan pengajian untuk mempelajari tarekat. Selain sebagai tempat pengajian Zaawiyah berfungsi sebagai tempat penyimpanan surat-surat dan buku-buku keagamaan. Bangunan tersebut juga dikenal sebagai tempat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin belajar tarekat sebelum dirinya menjadi Sultan.

Lembaga Belo Baruga mencapai puncak keberhasilan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yakni dengan hadirnya pujangga-pujangga Buton yang mampu menulis dan berbahasa Arab dengan baik. Penguasaan yang baik terhadap bahasa dan aksara Arab berdampak pada kedudukan bahasa Arab yang semula sebagai bahasa asing meningkat menjadi bahasa resmi di lingkungan kesultanan Buton. Aksra Arab digunakan dalam menulis surat-surat, perjanjian, ataupun ajaran-ajaran yang dikembangkan para Sultan dan pujangga Buton. Oleh

(38)

masyarakat Buton aksara Arab yang dipakai dalam menulis Kabhanti ataupun naskah disebut Buri Wolio. Buri artinya tulisan dan Wolio artinya nama daerah yang menjadi pusat pemerintahan kesultanan Buton. Buri Wolio merupakan nama aksara Arab yang telah di modifikasi oleh masyarakat Buton agar dapat menampung semua bunyi konsonan dan vokal bahasa Wolio yang tidak terdapat dalam bahasa Arab. Hasil modifikasi bahasa Arab yang merupakan kolaborasi antara bahasa Arab dengan bunyi-bunyi konsonan dan vokal bahasa Wolio melahirkan aksara yang populer di Buton dengan nama Buri Wolio.

Pengajaran bahasa dan aksara Arab melahirkan beberapa penulis yang menandai masa baru kesusastraan Buton. Pujangga-pujangga Buton yang populer antara lain Sultan La Elangi, Sapati La Singka, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Kenepulu Bula, dan seorang perempuan bernama Wa Ode Samarati. Karya sastra yang dihasilkan antara lain Bula Malino (bulan yang terang), Kaluku Panda (kelapa pendek), Jaohara (permata), Nuru Molabi (cahaya yang mulia), Kalipopo Mainawa (bintang terang), Bunga Malati (bunga melati), Tula-Tula Koburu (cerita dari kubur), Pakeana Mia Arifu (pakaian orang arif), Ana-Ana Maelu (anak yatim piatu), Wa Hadini (Wa Hadini), Kanturuna Molingkana (pelita bagi orang yang pergi), dan Ajonga Inda Malusa (pakaian yang tidak luntur), dan lain-lain. Bahasa dan aksara yang digunakan para penulis yaitu bahasa Arab menggunakan aksara Arab, bahasa melayu menggunakan aksara Arab melayu, dan bahasa Wolio menggunakan aksara Arab Wolio.

(39)

Keberadaan para pujangga di kesultanan Buton memberi warna baru dalam dunia kesusastraan masyarakat Buton. Karya sastra yang semula berkembang dalam tradisi kelisanan mulai diciptakan dalam bentuk tertulis (naskah). Abad ke-19 merupakan fase penting kemajuan kesusastraan Buton terutama di sekitar Keraton kesultanan Buton. Isi sastra lisan Kabhanti yang semula merupakan potret keseharian masyarakat bergeser ke petuah-petuah adat dan agama. nyanyian Kabhanti berevolusi menjadi pembacaan naskah. pada pertengahan abad ke-19 para penulis telah mengubah sastra lisan Buton menjadi sastra tulis. Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin disebut sebagai sastrawan Buton yang memiliki kemampuan menulis dalam tiga bahasa yaitu bahasa Wolio (Buton), Arab, dan melayu. gubahan-gubahannya menjadi bahan bacaan pelajaran yang didendangkan di semua wilayah kesultanan Buton.

Sastra lisan Kabhanti kemudian tertransformasi menjadi sastra tulis Kabhanti merupakan dua karya yang berbeda. Masyarakat penikmat sastra lisan Kabhanti umumnya masyarakat awam. Sebaliknya penikmat sastra tulis Kabhanti umumnya kalangan bangsawan ataupun mereka yang masih berkerabat dengan kalangan Keraton. Perbedaan penikmat itu menjadikan ruang pertunjukannya berbeda. Sastra lisan Kabhanti dipertunjukkan di rumah-rumah warga untuk berbagai acara hiburan. Sebaliknya sastra tulis Kabhanti di gelar dalam Keraton ataupun di rumah-rumah tokoh agama dan masyarakat.

(40)

Perbedaan-perbedaan tersebut secara tegas sastra lisan Kabhanti dan sastra tulis Kabhanti merupakan dua karya yang berbeda. Terjadinya kesamaan nama merupakan upaya penguasa mengganti atau meredam kepopuleran sastra lisan Kabhanti. Karya sastra yang lama diganti dengan karya sastra baru yang lebih sufistik. Bentuk karya sastra lama diganti tetapi mempertahankan nama karya sastra lama. Dengan cara seperti itu masyarakat akan dikenalkan tradisi berkabhanti dengan bentuk dan isi yang baru. Perubahan semacam itu disertai dengan upaya-upaya mempertahankan Kabhanti dari sekitar bermukimnya para kaum agamawan.

Kebijakan penguasa yang memberi ruang besar pada karya sastra baru dan meredam kepopuleran karya sastra lama berdampak pada menguatnya posisi sastra tulis Kabhanti sebagai sastra Keraton. Sebaliknya sastra lisan Kabhanti semakin tergeser hingga ke daerah yang jauh dari Keraton. Sastra lisan Kabhanti yang semula sebagai pertunjukan komunal tergantikan oleh pertunjukan yang hanya dihadiri kalangan adat dan tokoh-tokoh kesultanan. Keriuhan yang menjadi ciri pertunjukan sastra lisan Kabhanti terganti oleh kekhusyu’an pembacaan naskah Kabhanti. Sastra lisan Kabhanti yang semula pertunjukan lisan yang spontan tergantikan oleh pertunjukan pembacaan naskah yang mirip dengan pembacaan tembang Macapat yang terdapat didalam tradisi masyarakat Jawa, Sunda dan Madura.

(41)

Sastra tulis Kabhanti, Macapat dipertunjukkan dengan cara membaca naskah yang telah ditulis sebelumnya. Pembacaan naskah-naskah tersebut memiliki aturan atau pakem yang wajib diikuti. pembacaan Macapat mempunyai aturan tersendiri yaitu dengan dilagukan. seni musik dan pertunjukan Macapat sebagai Puisi yang mula-mula dinyanyikan suatu cerita, dibaca dengan dinyanyikan dalam tembang sambil menambah penjelasan. Perbedaan Kabhanti dengan Macapat yaitu Macapat disertai dengan penjelasan. Sedangkan Kabhanti naskah hanya berupa pembacaan naskah. Kabhanti naskah tidak disertai penjelasan karena kalangan bangsawan Keraton mampu memahami isi naskah Kabhanti.

Kesuksesan Keraton Buton melahirkan sastra tulis memunculkan kontradiktif pada nama sastra tulis tersebut. Jika sastra lisan yang tersingkir populer dengan nama Kabhanti maka sastra tulis juga menggunakan nama yang sama yaitu Kabhanti. Naskah prosa yang di tulis para pujangga Buton menggunakan nama pada Kabhanti, padahal sastra tulis tersebut lahir untuk menggantikan posisi Kabhanti yang dianggap sebagai sastra yang bertentangan dengan etika moral dan agama. pentransformasian nama sastra lisan Kabhanti menjadi nama sastra tulis merupakan upaya merebut popularitas nama pertunjukan Kabhanti. Dari sudut pandang lain penggunaan nama Kabhanti sebagai nama sastra tulis yang digubah para penguasa kesultanan Buton

(42)

merupakan klimaks dari kontestasi antara sastra lisan yang berbasis tradisi lokal dengan sastra tulis yang Islami.

Penggunaan nama Kabhanti sebagai nama sastra tulis tidak hanya disebabkan oleh dua hal. Sastra lisan Kabhanti bermula dari sastra lisan Keraton yang terganti seiring perubahan kebijakan penguasa di kesultanan buton. Dugaan tersebut didukung oleh proses Islamisasi di Buton yang terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi pada masa Raja La Kilaponto (Sultan pertama), tahap kedua pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (Sultan keempat), dan tahap ketiga pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan ke duapuluh Sembilan). Tahapan-tahapan Islamisasi tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kebijakan penguasa seiring dengan perubahan tahapan Islamisasi. Kesenian tradisi pada masa Raja La Kilaponto (Sultan pertama) akan tetap bertahan atau justru berubah pada masa Islamisasi tahap dua Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Begitu pula Islamisasi pada tahap ketiga pada masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang berpotensi merupakan perubahan tradisi masyarakat yang disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang dikembangkannya.

Fakta lain yang memperlihatkan sastra lisan Kabhanti sebagai sastra lisan yang berasal dari Keraton yaitu aksi berbalas pantun dalam pertunjukan Kabhanti yang merupakan ciri kemelayuan. Sastra lisan Kabhanti merupakan karangan prosa yang tetap memperlihatkan ciri-ciri pantun melayu. Meskipun beberapa larik Kabhanti tidak terdapat sampiran

(43)

namun umumnya larik sastra lisan Kabhanti terdiri atas sampiran dan isi. Kemelayuan Kabhanti juga diketahui dari alat musik yang mengiringi pertunjukan yaitu gambus yang merupakan alat musik bernuansa Islam khususnya di wilayah nusantara. Dalam tradisi lisan tersimpan mutiara kehidupan yang sangat berharga, mengandung nilai-nilai moral dari masyarakat pendukungnya. Sastra lisan sebagaimana telah tercantum dalam surat Asy Syu’ara ayat 84 :

Terjemahaannya

Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.

Terjemahannya

Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.

Terjemahannya :

Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, yaitu bahwa sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan.

(44)

Tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka,dan sesungguhnya mereka segera dimasukkan (ke dalamnya).

Terjemahannya :

Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".

Sebagai kitab suci, Al Qur’an merupakan salah satu wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad Saw. Al Qur’an yang berupa kalam Allah ini merupakan kitab atau wahyu yang istimewa dibandingkan dengan wahyu-wahyu yang lainnya. Bahkan salah satu keistimewaannya adalah tidak ada satu bacaan pun yang lebih baik sejak peradaban baca tulis dikenal dalam peradaban manusia, baik yang dibaca oleh orang yang mengerti artinya maupun oleh orang yang tidak mengerti artinya. Sebagai sumber ajaran islam yang utama, Al Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Didalam Al Qur’an terdapat petunjuk hidup yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Lisan adalah salah satu anggota badan yag terdapat dalam mulut sebagai alat untuk berbicara dan mengecap. Sehingga orang yang berkata lancar, jelas, dan mudah dipahami disebut fasih lisannya. Secara jumlah, kata lisan disebut dalam Al Qur’an dengan surat yang berbeda. Dalam surat Al Maidah ayat 78 menjelaskan melalui lisan dapat menunjukkan bahwa

(45)

ucapan adalah doa. Dalam surat Al Nahl ayat 62 menjelaskan bahwa lisan mampu menjerumuskan kepada hal-hal yang di benci oleh Allah. Dan dalam surat Al Qashas ayat 34 menjelaskan bahwa lidah mampu memberikan perkataan yang membenarkan.

Penggunaan nama Kabhanti sebagai nama sastra tulis merupakan upaya menghapus memori masyarakat atas pertunjukan yang dianggap bertentangan dengan etika moral dan agama. penggunaan nama Kabhanti sebagai nama naskah (sastra tulis) yang berisi ajaran agama Islam dan pandangan hidup orang Buton di nilai sebagai upaya menggiring dan mengikis tradisi lokal yang kurang Islami ke Tradisi yang Islami. Sikap penguasa tersebut dilatari oleh semangat ajaran tasawuf dan syariat islam yang diterapkan oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Kebijakan tersebut menandakan sikap penguasa yang melihat kesenian bukan dari sudut pandang ideologi lokal tetapi dari sudut pandang agama. kesenian yang merupakan tradisi lokal disesuaikan ajaran tasawuf.

3. Nilai Moral Nyanyian Rakyat

Pada umumnya tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki seni, sastra, bahasa lisan dan tulisan, adat istiadat, tata cara dan tata krama pergaulan serta nilai-nilai kehidupan yang beranekaragam. Semua itu merupakan gambaran kekayaan budaya daerah di Indonesia dari masa ke masa. Oleh karena berkembangnya zaman dari masa tradisional ke masa modern. Semua unsur budaya tersebut berangsur-angsur berkurang

(46)

bahkan punah. Maka sangat penting jika hal-hal yang berkaitan dengan tradisi harus selalu dipertunjukkan agar kelestariannya tetap terjaga.

Tradisi di Indonesia yang menjadi bagian dari seni adalah nyanyian rakyat meskipun kenyataannya nyanyian ini bukan merupakan bagian dari seni musik secara utuh. Sebagian kecil nyanyian ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hal ajaran moral. Saat ini di Sulawesi Tenggara khususnya pada masyarakat Keraton, Waborobo di Baubau kegiatan nyanyian rakyat masih dapat kita jumpai walaupun dari sisi kuantitas sudah banyak berkurang penggunanya. Tentu hal tersebut terjadi karena adanya akulturasi tradisi yang dialamnya tidak terjadi adanya pemertahanan. Dari fenomena tersebut muncul batas-batas kehidupan masyarakat yang berakibat pada kecenderungan pola hidup sendiri-sendiri yang terbungkus dalam satu kelompok. Oleh karena itu tidak heran jika di Indonesia kita mendengar banyak budaya lisan maupun tulisan tidak sama antara satu dengan lainnya. Kebiasaan yang sudah menjadi tradisi di Indonesia antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya sangat jauh berbeda baik dari segi bentuk maupun prosesi pelaksanaannya. kenyataan itu tentu disebabkan oleh banyaknya daerah lepulauan yang ada di Indonesia.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang banyak memiliki daerah-daerah kecil dan memiliki adat kebiasaan masing-masing pula. Salah satu daerah yang dimaksud adalah Keraton

(47)

dan Waborobo di Baubau. Banyak sisi yang berkaitan dengan hiburan rakyat. Ada hiburan yang dapat menyenangkan hati semua orang, ada hiburan khusus untuk anak-anak yang dapat mengobati rasa lelah karena aktivitas kesehariannya membantu orang tua di kebun, Adapula hiburan rakyat yang khusus dilakukan oleh wanita yang sudah dipersunting dan sudah mempunyai momongan. Salah satu hiburan yang dimaksud adalah Kabhanti lisan atau nyanyian rakyat.

Menurut Jan Harold Brunvand yang dikutip oleh Danandjaja mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre faktor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara kolektif tertentu dalam bentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Setiap nyanyian rakyat, kata-kata, dan lagu merupakan dwi tunggal yang tidak dapat terpisahkan.

Teks Kabhanti atau nyanyian pada masyarakat Buton bertahan dengan memakai bahasa daerah setempat, sehingga mudah di terima oleh masyarakat. namun sekarang ini pengguna budaya Buton sudah semakin berkurang apalagi berkaitan dengan Kabhanti atau nyanyian rakyat. Untuk itu penulis berkeinginan melakukan penelitian ini karena adanya fakta bahwa generasi muda masa kini sudah tidak lagi melihat tradisinya sebagai sesuatu yang penting untuk diri mereka. Tradisi-tradisi tersebut banyak mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diharapkan dalam kehidupan sosial maupun di jenjang pendidikan.

(48)

Kabhanti pada masyarakat Buton khususnya desa Waborobo Baubau juga mengenal jenis-jenis Kabhanti lainnya. Yaitu Kabhanti Gambusu yang meliputi Kabhanti berbalas pantun, Kabhanti petuah, dan Kabhanti tarian. Kabhanti Kavekalolodo, Kabhanti saha, Kabhanti Hukumu, Kabhanti Anai Maelu. Namun penelitian ini hanya difokuskan pada Kabhanti Ganda pada masyarakat desa Waborobo kecamatan Betoambari kota Baubau provinsi Sulawesi Tenggara.

Secara etimologis kata moral berasal dari kata Mos dalam bahasa latin, bentuk jamaknya mores yang artinya adalah tata cara atau adat istiadat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2014;592) moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis terdapat berbagai rumusan pengertian moral yang dari segi substantif materiilnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Moral merupakan kondisi pikiran perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik buruknya. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan yang dilakukan seseorang pada saat melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dan lain-lain. Sikap moral sebenarnya adalah moralitas. Moral atau moralitas mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Sedangkan bidang moral adalah kehidupan masyarakat dilihat dari segi kebaikannya. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

(49)

Nilai berarti sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik, dan lain sebagainya.

4. Nilai Kearifan Lokal Kabhanti

Istilah kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berarti kebijaksanaan dan lokal yang berarti suatu tempat. Secara umum keariafan lokal dapat diartikan sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan terpelihara oleh masyarakat setempat. Secara linguistik kata kearifan di bentuk dari kata arif yang bermakna bijaksana, cerdik pandai. Jadi istilah kearifan berarti 1. Kebijaksanaan atau 2. Kecerdasan, sehingga kata kearifan berkenaan dengan dua hal yaitu karakter atau kepribadian dan kecerdasan atau kognisi. Batasan ini yang menjadi kerangka acuan pembahasan kearifan lokal masyarakat.

Beberapa ahli berpendapat untuk memadukan kearifan lokal dengan konsep budaya lokal yaitu kecerdasan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat untuk digunakan sebagai pencerdasan pula. Sementara itu kearifan lokal merupakan suatu hasil adabtasi dari suatu komunitas yang berasal dari generasi ke generasi berikutnya (Gunawan,2003;6).

(50)

Hal ini sejalan dengan pendapat (Taalami,2010;26) yang menegaskan bahwa kearifan lokal dipandang sebagai suatu adabtasi tentang pengalaman hidup masyarakat yang telah diterapkan secara turun-temurun sehingga menjadi suatu tradisi masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan lokal yang digunakan oleh suatu komunitas masyarakat lokal sehingga mereka dapat bertahan hidup dalam suatu lingkungan kolektif. Kearifan lokal dapat menyatu dengan sistem kepercayaan, pandangan hidup, norma, nilai sosial (etika), pengetahuan, dan budaya yang diekspresikan dalam penerapan tradisi yang dianut oleh masyarakat secara turun-temurun. Implikasi teori tersebut terhadap penelitian ini adalah kearifan lokal dipandang sebagai tradisi masyarakat yang terungkap pada Kabhanti masyarakat Buton dengan cerminan nilai-nilai luhur kehidupan. Tradisi dan budaya yang dikaji merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat yang telah diterapkan secara turun-temurun.

Secara esensial keariafan lokal merupakan sistem budaya lokal yang meliputi aspek 1. Nilai, 2. norma, 3. Perilaku, 4. Kebudayaan, 5. Pengetahuan, 6. Keyakinan dan, 7. Pandangan hidup. Implementasinya dalam peneltian ini ditekankan pada tiga hal yaitu aspek religius, aspek norma, aspek sosial, dan aspek pendidikan. Ketiga aspek tersebut menjadi tujuan pembahasan yang dikaitkan dengan pendidikan karakter yang sekarang ini menjadi perhatian dalam pengembangan kurikulum

(51)

atau pembelajaran di sekolah. Guru harus memiliki kreativitas dan inovatif dalam pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat.

Kabhanti sastra tulis merupakan salah satu jenis kesusastraan Buton berbentuk puisi. Kesusastraan jenis ini telah dikenal oleh masyarakat Buton sejak masa kesultanan Buton. Oleh karena itu kesusastraan jenis Kabhanti merupakan kesusastraan masyarakat Buton yang paling tua. Kabhanti berkembang pesat setelah masuknya Islam di kerajaan Buton. Masuknya ajaran agama Islam sanggup mengubah dan mewarnai perkembangan sastra masyarakat Buton. Petuah-petuah tentang nilai dan falsafah hidup disampaikan melalui Kabhanti. Yang pada prinsipnya merupakan hasil pengolahan secara bebas dari kesusastraan bentuk prosa. Sejak zaman itu Kabhanti tidak saja berkembang secara lisan tetapi juga berkembang secara tulisan.

Dari segi bentuknya kesusastraan jenis Kabhanti lisan dan tulis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pantun dan syair. Kabhanti yang tergolong kelompok pantun pada umumnya pendek, terdiri atas sampiran dan isi, dan kadang pula hanya berupa isi saja. Syair bentuknya panjang, dan merupakan hasil pengolahan secara bebas dari kesusastraan bentuk prosa. Biasanya terdiri atas delapan sampai duabelas suku kata. diantaranya memakai empat tekanan, biasanya terdiri atas tiga sampai empat perkataan sehingga Kabhanti juga termasuk karya sastra berbentuk puisi.

(52)

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra tidak hanya sebagai sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis norma yang menuangkan pengalaman yang luas dan pengalaman individu melalui ungkapan bahasa. Beberapa pandangan ahli tentang puisi yaitu 1. Carlyle mengemukakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal karena pencipta puisi memikirkan rangkaian bunyi yang merdu disusun dengan menonjolkan bunyi yang merdu. 2. Wordsworth mengemukakan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan seseorang pengarang yang bersifat imajinatif. 3. Dunton berpendapat bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik melalui bahasa emosional dan berirama. Sastra daerah dalam bentuk puisi seperti Kabhanti masyarakat Buton banyak mengandung nilai-nilai ajaran tentang kehidupan. Sebagai karya kreatif puisi menggunakan bahasa simbol sehingga untuk memahaminya memerlukan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah tentang Kabhanti pada masyarakat Buton dimaksudkan untuk menggali berbagai informasi tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat Buton pada masa lalu. Tujuannya agar menopang nilai-nilai kehidupan masa kini yang disebut dengan nilai-nilai kearifan lokal. Kabhanti dikenal oleh masyarakat Buton sejak awal kesultanan pada abad ke-15. Sehingga karya sastra ini dipandang sebagai bentuk sastra yang paling tua dalam masyarakat Buton. Penulisan Kabhanti mulai populer pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) karena Sultan sendiri banyak menulis Kabhanti yang bernafaskan Islam. Dalam

(53)

surat Al Alaq ayat 1 sampai 5 telah dijelaskan mengenai pentingnya membaca keadaan sosial sehingga dapat melatih diri untuk meningkatkan kepekaan, rasa empati, dan sebagainya.

Terjemahannya :

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia(3), Yang mengajar (manusia) dengan pena (4), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5)."

Terjemahnnya :

Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur'an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.

Seni yang lahir karena agama sudah mempunyai patokan-patokan yang jelas sesuai dengan ciri agama. Keindahan yang diperjuangkan oleh seni yang timbul dari agama juga bersifat normatif seperti dalam puisi para penyair dari Buton. Patokan-patokan normatif dapat dirujuk dalam Al

Gambar

Tabe lain tabea   Aomangka powandi   Nae tompamo kamborara   Lampangulu notingkulu   Notingkulu rato idhia   Ane sampurno wangu   Tobhiru nungguawe
Tabe lain tabea     permisi ! permisi !                                  Aomangka powandi   adik duluan lewat

Referensi

Dokumen terkait

karya Siti Aminah berdasarkan teori fiksi dari Robert Stanton Stanton yaitu fakta- fakta cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra. yang

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER CERPEN PILIHAN KOMPAS 2014 DENGAN JUDUL DI TUBUH TARRA, DALAM RAHIM POHON SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA”

Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien postpartus prematurus atas indikasi prematur kontraksi dengan cara pendekatan

Tesis yang berjudul : ASPEK-ASPEK STILISTIKA DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM ANTOLOGI GEGURITAN NALIKA LUMUH NGANGGUR KARYA YOKO KASUDRA SERTA RELEVANSINYA DENGAN

Penelitian ini dilakukan di MI Ar-Rahmah kabupaten karawang pada siswa kelas V dengan tujuan untuk mengetahui implementasi pembelajaran e-learning berbasis edmodo dengan

1) Teknik terjemahan yang dominan digunakan, dapat memberikan gambaran yang konkrit dalam menerjemahkan teks sastra. Karena teks sastra menonjolkan keindahan, dalam

Menurut Krathwohl (2002: 215), pemahaman konsep adalah menentukan makna pesan instruksional termasuk lisan, tertulis, dan mengkomunikasikan grafik. Sebagai upaya

oleh masing-masing penerjemah tersebut untuk mewujudkan padanan dari kata kerja say yang terdapat pada tuturan langsung dalam novel The Old Man and the Sea, 3) untuk