• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGENALI IRODAH

Dalam dokumen 2-ilmu-laduni (Halaman 193-200)

MENGENALI IRODAH

Dalam rangka membangun sebab-sebab untuk mendapatkan Ilmu Laduni, bagian yang terpenting bagi seorang hamba adalah mengenali jenis irodah (kemauan) yang terbit dalam hatinya sendiri. Dengan pengenalan itu supaya mereka dapat membedakan dengan pasti terhadap setiap kemauan yang terbit dari dalam hatinya itu. Selanjutnya supaya mereka dapat memastikan pula bahwa kemauan yang terbit itu, sumbernya dari rahasia sumber Ilmu Laduni, bukan dari rekayasa akal, pikir, nafsu maupun bisikan setan.

Untuk mengenali irodah-irodah itu, jalannya harus dengan melaksanakan latihan yang terbimbing (riyadhoh). Memadukan antara dzikir dan fikir dalam pelaksanaan amal (wirid) yang dikondisikan dalam tujuan dan batasan waktu tertentu (mujahadah). Selanjutnya mengkombinasikan ayat yang tersirat— yang berupa ―buah pikir‖ yang terbit dalam hati buah mujahadah dan riyadhoh yang dijalani—dalam kesatuan amal yang berikutnya (tafakkur) dalam rangka mengadakan penelitian untuk mencari suatu kesimpulan di balik kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan yang sedang dihadapi.

Ketika hati seorang hamba telah terbiasa ditempa dengan latihan seperti tersebut diatas, yaitu

melatih diri untuk meredam ―kemampuan basyariyah‖ dengan kekuatan ―alam‖ dzikir dan pikir, pada gilirannya—buah dari latihan itu—mereka akan dapat mengenali bisikan-bisikan (khotir)—sebagai muassal timbulnya irodah—yang selalu bergerak di dalam hatinya.

Diantara bisikan-bisikan (khotir) tersebut ada yang datangnya dari Allah Ta‘ala, yang berupa ilham spontan yang terbaca oleh matahati (bashiroh), maka yang demikian itulah yang disebut dengan ―sumber Ilmu Laduni‖. Kemudian, ketika seorang hamba semakin mengenali khotir-khotir yang diterbitkan oleh ―sumber Ilmu Laduni‖ tersebut, semakin itu pula dia dapat memanfaatkan kemanfaatan hati (ruh)nya yang paling utama, yaitu sebagai tambang ilmu pengetahuan yang dinamis, aktual dan aplikatif yang memancar terus menerus tanpa pernah putus.

Itulah ―ilmu rasa‖ (ilmu spiritual) yang berupa pengalaman-pengalaman pribadi secara ruhaniyah yang universal. Selanjutnya—supaya potensi sumber Ilmu Laduni itu semakin berkembang dan kuat— kebutuhan membaca literatur yang ada setelah yang demikian itu, baik membaca kitab maupun buku-buku, hanyalah untuk menguatkan dan mencocokkan ―pemahaman hati‖ yang terlebih dahulu telah terbit di dalam hati tersebut, itu manakala ―pemahaman hati‖ tersebut akan disampaikan kepada orang lain—baik

MENCARI JATI DIRI - Jilid 2 195

melalui tulisan maupun ucapan—secara rasional ilmiyah.

Namun, apabila ―pemahaman hati‖ tersebut tidak harus disampaikan kepada orang lain, maka itu merupakan kekayaan ilmiyah yang tiada tara yang akan menjadikan seorang hamba mampu berma‘rifat dengan Allah Ta‘ala. Sebab, dengan potensi sumber Ilmu Laduni itu, matahari seorang hamba akan menjadi cemerlang sehingga mereka akan selalu mampu membaca rahasia yang ada di balik setiap kejadian yang dialami.

Adapun irodah-irodah tersebut adalah enam macam : 1. Kemauan nafsu syahwat

2. Kemauan akal 3. Kemauan fikir 4. Kemauan hati 5. Kemauan ruh

6. Kemauan sir atau rahasia.

Irodah-irodah itu adalah tanda-tanda kehidupan, sebab tanpa adanya irodah (kemauan) berarti orang sudah mati. Dengan dorongan kemauan nafsu

syahwat, seperti makan, minum dan melaksanakan

hubungan suami istri, manusia mendatangi hajat kebutuhan hidup dan mengembangkan keturunan. Dengan menggunakan akal, seperti membaca dan mendengarkan, manusia menyimpan data atau

merekam ilmu pengetahuan. Dengan fikir

(bertafakkur) yaitu menganalisa atau memadukan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain supaya manusia mendapatkan ilmu lagi yang baru. Dengan

hati untuk saling menyayangi sesama makhluk, dan

dengan ruh untuk mencari Tuhannya. Adapun yang dimaksud dengan dorongan kemauan sir atau

rahasia adalah dorongan dari dalam diri manusia

bagian keenam yang selain dari dorongan kemauan yang lima tersebut, yang kadang-kadang manusianya sendiri tidak banyak memahami—dari mana datangnya asal sumber itu—meskipun mereka bisa merasakan keberadaannya.

Kemauan pertama sampai dengan kemauan kelima adalah indera-indera yang ada pada diri manusia, yang sejatinya asal kejadiannya adalah satu kemudian berkembang fungsi kemanfaatannya— seiring dengan perkembangan hidup manusia— menjadi lima. Keadaan itu seperti pohon yang asal kejadiannya dari air, kemudian menjadi bibit, menjadi pohon, menjadi kembang, menjadi buah dan menjadi bibit kembali yang hakikat kejadiannya adalah dari

air.

Manakala manusia masih mempergunakan

lima inderanya (nafsu, akal, pikir, hati dan ruh). Maka

apapun yang dikerjakan manusia berarti masih berangkat dari kemauannya sendiri, atau kemauan

MENCARI JATI DIRI - Jilid 2 197

basyariyah. Hanya saja kemauan itu terbit dari indera

yang mana, dari kemauan nafsu, atau kemauan akal, atau kemauan fikir, atau kemauan hati , atau kemauan ruh.

Contoh misal: Seseorang berbuat sesuatu kepada orang lain—apapun bentuk perbuatannya itu—apabila perbuatan itu berangkat dari perwujudan kasih sayang kepada orang tersebut, berarti kemauan yang membangkitkan perbuatan itu adalah dorongan dari hatinya. Akan tetapi apabila kasih sayang kepada sesama tersebut atas dasar semata-mata mencari ridho Tuhannya, tidak dicampuri dengan kemauan yang lain, tidak karena kepentingan urusan orang yang disayangi maupun mengharapkan balasan kasih sayang dari orang yang disayangi, maka yang mendorong perbuatan tersebut adalah kemauan ruh atau ruhaniyah. Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya :

―Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan ridho Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih‖ QS. 76/9.

Berbuat semata-mata karena ridho Allah itu bisa dilaksanaan manakala seorang hamba—di dalam melaksanakan amal perbuatan tersebut—telah

mampu meleburkan irodah haditsnya secara totalitas kepada kemauan dan urusan Allah Ta‘ala (irodah azaliah). Artinya; manusia itu telah mampu melaksanakan semacam ―meditasi‖ di dalam setiap amal dan pekerjaan yang sedang dilakukan, mengembalikan kehendak dan tujuan kepada kehendak dan tujuan Allah di dalam amal sehingga tujuan amal tersebut akan menjadi sesuai dengan tujuan-Nya yang azaliah, maka selanjutnya perbuatan tersebut secara hakiki akan menjadi sesuai dengan perbuatan-Nya yang azaliah pula, hasilnya, kemungkinan pada tingkat yang lebih dalam lagi akan menjadi sesuai pula. Yaitu kehendak perbuatan tersebut telah menyatu dengan ―kehendak dan perbuatan Allah Ta‘ala yang azaliah‖.

Adalah ―meditasi islami‖ yang dilaksanakan di dalam pelaksaanaan ―dzikir dan tafakkur‖, ketika

irodah hadits telah menyatu dengan irodah azaliah, maka Qudroh haditsnya juga akan menyatu dengan Qudroh azaliah pula. Di saat yang demikian itu, maka ―kelima indera manusia‖ tersebut sejatinya hanya menjadi media

yang dikendalikan dan digerakkan oleh kekuatan selain dari kekuatan selain kelima indera tersebut dan diharapkan kekuatan itu adalah kekuatan qudroh

azaliah. Kekuatan itulah yang dimaksud dengan istilah

MENCARI JATI DIRI - Jilid 2 199

Kalau tidak demikian, apabila yang

menggerakkan badan yang telah kosong dari kemauan basyariyah tersebut bukan kehendak Sir, dikhawatirkan yang menggerakkannya justru adalah kekuatan makhluk Jin. Artinya, orang tersebut sedang kesurupan Jin.

Hal yang diuraikan tersebut diatas adalah urusan yang halus dan kasat mata yang keberadaannya di dalam jiwa manusia yang tersembunyi di balik daging dan tulang. Oleh karena tersembunyi maka ia hanya bisa dirasakan melalui tanda-tandanya. Sebab, setiap sinyal yang dipancarkan oleh pesawat pemancar umpamanya, sinyal itu hanya dapat diterima oleh pesawat penerima yang spesifik untuknya.

Demikianlah, apabila seseorang berbuat sesuatu untuk orang lain dari dorongan nafsunya, maka orang lain akan menerima dengan penerimaan nafsu pula, kalau dari dorongan akal dan fikirnya, maka orang lain akan menerima dengan akal dan fikirnya, kalau dari hatinya maka orang lain akan menerima dengan hatinya kalau dari ruhnya maka orang lain akan menerima dengan ruhnya. Kemudian kalau ada orang yang telah mampu berbuat suatu perbuatan hanya dengan didorong oleh kekuatan sirnya, berarti dia hanya semata-mata berurusan

dengan Allah Ta‘ala terhadap apa-apa yang telah dikerjakannya tersebut.

―Meditasi islami‖ tersebut adalah tahapan-tahapan pencapaian dari ―pengembaraan ruhaniyah‖ yang harus dicapai oleh seorang yang berjalan (salik) di jalan Allah Ta‘ala. Satu-satunya cara yang paling efektif dan aman adalah dengan pelaksanaan thoriqoh yang dibimbing oleh guru mursyid yang sejati. Kemudian, manakala di dalam pengembaraan ruhaniyah ini, seorang hamba terjaga dari kekuatan yang palsu dan berhasil mendapatkan kekuatan yang

asli, maka dia akan mendapatkan pengendalian dan

penjagaan dari rahasia urusan-urusan langit dan urusan-urusan bumi. Allah telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

―Dan siapa yang menyerahkan hadapannya kepada Allah dan dia seorang yang berbuat ihsan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan‖. QS. Luqman‖.31/22.

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata di

Dalam dokumen 2-ilmu-laduni (Halaman 193-200)